"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Hai Bentala! It's me, Rana! Walau terlambat, tapi selamat karena diterima di Stanford. Selamat juga atas pertunanganmu."Tulisan itu terkesan ceria di selipan bunga peony yang sangat cantik. Tapi bukan sebentuk ucapan, atau karangan bunga yang dibutuhkan pria tinggi bernama Bentala Pradaya Byakta tersebut. Ia lebih butuh bertemu dengan si pengirim bunga, dan akhirnya setelah melewati wisuda, Bentala pun bertemu dengan Rana Diatmika Husada di malam terakhirnya di Indonesia.Rana tengah menyesap anggur merah. Tampak menikmati, sementara sang empunya rumah tengah sibuk mengantar beberapa temannya ke teras. Malam sudah menjelang pukul setengah satu, namun Rana tak bergegas pulang seperti yang lain."Rana, gue sama Camilla duluan ya," ujar Indira memberi tahu. Indira tak ingin meninggalkan Rana, tapi ia tak sanggup kalau harus mengurus dua wanita mabuk bersamaan. "Tadi gue sudah minta Ben untuk antar lo pulang. Ok?"Rana hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia masih sadar. Tak sepaya
"Rana, kita harus berhenti."Lirihan itu terdengar begitu pelan di leher jenjang Rana. Bentala benar-benar berada dalam kebingungan. Ia ingin sekali menyudahi segala tindakan yang tengah dilakukannya. Namun apa daya, kulit mulus, dan wangi vanilla yang manis dari tubuh Rana, tak mampu membuat Bentala berhenti.Inchi demi inchi Bentala telusuri pipi, dagu, leher, hingga pundak Rana dengan bibirnya. Tak ada satu pun yang tertinggal. Tangannya bahkan sudah masuk ke dalam kemeja Rana, lalu merasai kulit mulus Rana, dan mulai memasuki area yang rasanya tak boleh terjangkau oleh tangan Bentala."Jangan," larang Rana sama lirihnya. Napas gadis itu terengah, matanya menutup. Kulitnya yang putih bahkan mulai memerah karena gairah. "Jangan berhenti, Bentala.""Ini sudah terlalu jauh.""Maka teruskan, bukannya justru berhenti." Rana meraup rambut tebal Bentala. Membuat pria itu makin terpancing. "Kita sudah memulainya, jadi lanjutkan saja, Bentala! Bukankah kita sudah sama-sama gila sekarang?"R
"Ya Tuhan!"Rana terkesiap tentu saja. Ia mendapati dirinya bangun tidur tanpa sehelai benang pun dengan Bentala di sampingnya. Tanpa Rana cek, ia yakin Bentala tak ada bedanya dengan dirinya. Orang paling gila sekali pun tahu pasti telah terjadi hal yang tidak-tidak antara keduanya.Rana mencoba untuk bangun. Meskipun kepalanya terasa sakit, tapi ia harus segera melarikan diri. Dengan hati-hati ia coba bangkit dari tempat tidur Bentala. Ia tak ingin pria itu bangun, dan memergoki kepergiannya."Ya Tuhan, aku pasti benar-benar gila semalam," rutuk Rana sambil mencatut satu persatu pakaiannya. Dengan gerakan sepelan mungkin, Rana pun mencoba keluar dari kamar Bentala. "Maafkan aku, Bentala. Aku benar-benar meminta maaf, karena harus pergi meninggalkanmu. Kita enggak bisa bersama. Kamu harus bersama Tanaya."Rana menatap wajah Bentala yang damai dalam tidurnya. Ini adalah kali terakhir melihat wajah dominan itu. Wajah yang selalu menemaninya selama enam tahun ini. Wajah yang akan sangat
"Bapak, ngapain di sini?"Bukannya Bentala kurang ajar, tapi melihat sang ayah datang ke rumahnya secara tiba-tiba sontak membuat pria itu kaget. Bentala tahu, cepat atau lambat sang ayah pasti tahu saat ia menunda untuk berangkat. Tanaya entah atau tidak, pasti telah mengadu pada ayahnya tersebut.Agam Putra Narendra adalah pensiunan TNI. Ia adalah mantan Jenderal, sekaligus mantan menteri pertahanan di era kepemimpinan presiden sebelumnya. Sudah dua tahun ia hanya duduk-duduk, sembari mengurus beberapa usaha perkebunan miliknya. Pria itu juga yang mengurus Bentala dari umur sepuluh tahun di saat ia ditinggalkan oleh Ibunya yang meninggal karena penyakit kanker."Karena Bapak dengar kamu belum berangkat, Bapak jenguk kamu. Bapak pikir kamu sakit. Ternyata benar-benar sakit, ya? Tampangmu benar-benar buruk, Nak."Bentala mendengus, "Ben, bukan anak-anak lagi, Pak.""Kalau bukan anak-anak seharusnya kamu bisa mengurus diri kamu sendiri dengan benar. Saat kamu bilang ingin ambil bisnis
"Eh, lo sudah nonton filmnya Rana Husada belum? Gue nonton sama cowok gue kemarin, gila keren banget dia jadi pelakor. Bagus banget filmnya! Aktingnya si Rana nih, memang enggak pernah gagal ya?"Indira, dan Camilla langsung menoleh saat dua orang gadis muda tengah membicarakan sahabat mereka, Rana. Setelah kepergian Bentala tiga tahun lalu, Rana sibuk dengan segala kegiatan yang positif. Ia kembali ke bangku kuliah, lulus S2, dan terkenal sebagai aktris teater. Setengah tahun yang lalu, film pertama Rana berhasil meraih dua setengah juta penonton, dan menasbihkannya sebagai salah satu aktris pendatang baru terbaik di berbagai ajang penghargaan.Kini film kedua Rana menjadi perbincangan di mana-mana. Meskipun belum menjadi tokoh utama, tapi Rana justru yang paling banyak meraih atensi. Rana dianggap sebagai representasi dari aktris yang memiliki wajah cantik, berkelas, dan berbakat."Makin berjaya aja, teman kita." Indira mengangguk, ia setuju dengan anggapan Camilla. "Ya, memang akti
"Tanaya, sudah berapa lama kalian berhubungan? Ya Tuhan, Tanaya! Tak pernah terpikirkan dalam kepalaku kalau kamu akan berciuman dengan Edward. Dia teman dekatku, Tanaya."Tanaya bergeming. Matanya sibuk memandang ke luar jendela, sedangkan Bentala duduk dengan ekspresi tak karuan. Ia tak pernah menyangka kalau Tanaya yang selalu anggun, dan minim kesalahan akan tertangkap basah mencium teman dekatnya, Edward Clarkson.Bentala pikir Tanaya adalah gadis yang tak tertarik dengan hubungan asmara. Ternyata diamnya Tanaya, karena ia tengah menjalin hubungan dengan salah satu pria. Hal yang tak pernah terlewat di kepala Bentala akan dilakukan oleh Tanaya."Jawab aku, Tanaya!""CUKUP, BEN!" teriak Tanaya dengan muka masam. "Cukup bertingkah sebagai tunanganku. Cukup bertanya-tanya hal yang enggak pernah kamu pedulikan. Kenapa sekarang kamu mau tahu? Kenapa Ben? Kenapa?""Aku harus tahu, karena aku masih tunangan kamu, Tanaya."Tanaya berdecih. Ia benci tingkah Bentala terhadapnya hari ini. S