Share

03. MELARIKAN DIRI DARI KENYATAAN

"Ya Tuhan!"

Rana terkesiap tentu saja. Ia mendapati dirinya bangun tidur tanpa sehelai benang pun dengan Bentala di sampingnya. Tanpa Rana cek, ia yakin Bentala tak ada bedanya dengan dirinya. Orang paling gila sekali pun tahu pasti telah terjadi hal yang tidak-tidak antara keduanya.

Rana mencoba untuk bangun. Meskipun kepalanya terasa sakit, tapi ia harus segera melarikan diri. Dengan hati-hati ia coba bangkit dari tempat tidur Bentala. Ia tak ingin pria itu bangun, dan memergoki kepergiannya.

"Ya Tuhan, aku pasti benar-benar gila semalam," rutuk Rana sambil mencatut satu persatu pakaiannya. Dengan gerakan sepelan mungkin, Rana pun mencoba keluar dari kamar Bentala. "Maafkan aku, Bentala. Aku benar-benar meminta maaf, karena harus pergi meninggalkanmu. Kita enggak bisa bersama. Kamu harus bersama Tanaya."

Rana menatap wajah Bentala yang damai dalam tidurnya. Ini adalah kali terakhir melihat wajah dominan itu. Wajah yang selalu menemaninya selama enam tahun ini. Wajah yang akan sangat dirindukannya setelah segala kejadian yang terjadi ini.

Setelah berhasil menutup pintu kamar Bentala, Rana pun secepat mungkin memakai pakaiannya, sembari memesan transportasi online. Ia tahu kalau dirinya kalah cepat dari Bentala, ia kemungkinan tidak bisa ke mana-mana. Bentala pasti menghalanginya sebisa mungkin.

Selepas pakaiannya lengkap, ia keluar dari rumah Bentala. Ia sungguh bersyukur, karena rumah Bentala berada di sebuah cluster yang tak jauh dari pintu masuk. Ia jauh lebih bersyukur, saat melewati pintu masuk cluster, transportasi online pesanannya pun tiba. Tanpa menunggu lama, Rana pun masuk ke dalam mobil.

"Selamat pagi, Mbak." Sapaan itu terdengar sangat ramah, membuat Rana mau tak mau tersenyum di situasi yang sedang carut marut. "Sesuai tujuan ya, Mbak?"

"Iya, Pak. Tapi, kalau lewat minimarket, tolong mampir sebentar ya, Pak."

Pria yang sepertinya seumuran ayahnya itu langsung mengangguk, mengiyakan. Ia pun langsung menjalankan mobilnya, menuju rute yang sudah dipesan oleh Rana. Rana sendiri bingung. Di sela-sela rasa sakit di kepala, dan selangkangannya, gadis itu mencoba mencari tahu apa yang terjadi semalam.

Ia susun keping demi keping ingatan yang tersisa di kepalanya. Lalu Rana tersadar kalau dirinya benar-benar gila. Demi menghindari pertanyaan Bentala, Rana justru memasuki kehidupan yang lebih gila dengan melempar keperawanannya pada pria yang sejak beberapa minggu ini sengaja ia hindari. Bentala pasti kesal setengah mati saat tahu Rana melarikan diri dari kenyataan yang benar-benar ia benci seumur hidupnya.

***

"Rana?"

Bentala meraba tempat tidurnya, dan tak menemukan Rana di sebelahnya. Ia lihat jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Rana memang tipe gadis yang selalu bangun pagi-pagi buta, jadi kemungkinan ia sudah bangkit dari tempat tidur sejak tadi. Bentala pun mengucek matanya, mencoba menormalkan diri sebelum benar-benar bangkit mencari keberadaan Rana.

Sayangnya perasaan Bentala sama sekali tak enak. Ia tak mendengar suara apa pun. Tak juga kucuran air di kamar mandi, atau suara apa pun di luar kamar. Rumahnya benar-benar sunyi.

"Rana, kamu di kamar mandi?" tanya Bentala yang sama sekali tak mendapat jawaban. "Rana? Jangan bercanda dong!"

Bentala pun segera bangkit. Ia mengecek kamar mandinya, dan menemukan kalau tempat itu terlalu kering untuk ukuran sehabis dipakai. Bentala pun khawatir. Ia segera berlari ke luar kamar. Mencari Rana di segala penjuru rumahnya.

Sayangnya ia tak menemukan gadis itu di mana pun. Tak ada tanda-tanda Rana masih berada di dalam rumahnya. Jadi, ia mengecek cctv pintu masuk, dan menemukan kalau gadis itu keluar rumah tiga puluh menit yang lalu. Bentala pun kesal. Ia tak menyangka sama sekali Rana meninggalkannya sendirian setelah malam panas yang Bentala pikir berarti bagi gadis itu.

***

"Ben? Lo ngapain di sini?"

Camilla jelas kebingungan saat melihat Bentala berdiri di depan pintu apartemen Indira. Pria itu langsung merangsek masuk. Mengecek satu persatu ruangan, dan tak menemukan Rana sama sekali di apartemen itu. Camilla yang tak bisa melarang Bentala, hanya membiarkannya.

Indira yang baru kembali dari jogging paginya, langsung kebingungan melihat tingkah Bentala yang aneh. Pria itu berantakan. Seperti kebingungan, dan tak tentu arah. Indira yakin terjadi sesuatu antara Bentala Pradaya Byakta dan sahabatnya.

"Lo ngapain Ben? Nyari Rana? Dia enggak ada di sini, by the way."

Bentala menoleh, dan berjalan mendekati Indira. "Lo tahu kan, di mana Rana berada? Di mana dia? Di mana Rana, Dir?"

Indira mengernyit, dan kemudian bertanya, "bukannya semalam gue suruh lo antar Rana pulang? Kalau lo benar-benar ngantar Rana pulang, artinya sekarang dia ada di apartemennya."

Bentala menggeleng. Pria itu sudah mengecek apartemen Rana, namun menurut satpam apartemennya, gadis itu belum pulang sejak pergi semalam. Saat mengetuk pintu pun, Rana tak jua membukanya. Bentala yakin Rana tidak mungkin pulang.

Jadi, Bentala pun memutuskan untuk segera mendatangi apartemen Indira. Di situ ia justru ketahuan melanggar omongannya sendiri. Alih-alih menemukan Rana, ia justru kepergok tak memulangkan Rana ke apartemennya sendiri semalam.

"Jadi, kalian menghabiskan malam bersama kemarin?" tanya Camilla memecah kebisuan antara mereka. "Lo nyari Rana ke sini, artinya lo enggak memulangkan Rana kan, kemarin?"

"Iya," jawab Bentala jujur.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Indira gantian.

Bentala mendongak, lalu menatap Indira dengan tajam. "Itu bukan urusan lo atau pun Camilla. Sekarang gue tanya, di mana Rana? Gue yakin lo tahu di mana Rana berada."

Indira menghembuskan napasnya dengan dalam. Ia kesal sekali. Perasaannya memang tak enak saat meninggalkan Rana bersama Bentala semalam. Mereka berdua dalam keadaan sekarat. Saling mencintai, tapi sama sekali tidak bisa bersama.

Memang benar ungkapan yang menyatakan kalau tidak ada yang baik-baik saja antara pria, dan wanita di satu tempat tertutup. Indira salah saat mengira Bentala bisa menjaga sahabatnya, dan menahan dirinya dari segala cobaan. Bentala tetaplah seorang pria yang tak akan melewatkan ikan matang lezat tersaji di depan mata.

"Gue enggak tahu di mana Rana sekarang, Ben. Kalau pun terjadi sesuatu antara kalian semalam, dia enggak akan pergi ke sini. Dia pasti bersembunyi ke tempat lain sampai lo benar-benar pergi ke US. Lo sudah kenal Rana selama enam tahun, perkara kayak begini seharusnya lo ngerti kan?"

Bentala mengacak-acak rambutnya. Menyesali tindakan cerobohnya semalam. Tak seharusnya ia hilang akal. Tak seharusnya ia larut dalam kegilaan gadis mabuk seperti Rana.

Kini gadis itu pasti merasa sangat bersalah. Rana pasti melarikan diri setelah mengingat kebodohannya semalam. Lebih bodohnya lagi, Bentala justru tak sigap. Ia justru terlelap seolah-olah tak akan terjadi hal demikian antara dirinya, dan juga Rana.

"Percuma lo nyalahin diri lo sendiri sekarang. Apa pun pikiran lo enggak akan membuat Rana muncul dari tempat persembunyiannya. Apa pun yang lo sesali, enggak akan membuat sesuatu yang terjadi balik lagi ke tempat semula. Menyerah aja, Ben. Lo, dan Rana memang enggak bisa bersatu."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status