"Ya Tuhan!"
Rana terkesiap tentu saja. Ia mendapati dirinya bangun tidur tanpa sehelai benang pun dengan Bentala di sampingnya. Tanpa Rana cek, ia yakin Bentala tak ada bedanya dengan dirinya. Orang paling gila sekali pun tahu pasti telah terjadi hal yang tidak-tidak antara keduanya. Rana mencoba untuk bangun. Meskipun kepalanya terasa sakit, tapi ia harus segera melarikan diri. Dengan hati-hati ia coba bangkit dari tempat tidur Bentala. Ia tak ingin pria itu bangun, dan memergoki kepergiannya. "Ya Tuhan, aku pasti benar-benar gila semalam," rutuk Rana sambil mencatut satu persatu pakaiannya. Dengan gerakan sepelan mungkin, Rana pun mencoba keluar dari kamar Bentala. "Maafkan aku, Bentala. Aku benar-benar meminta maaf, karena harus pergi meninggalkanmu. Kita enggak bisa bersama. Kamu harus bersama Tanaya." Rana menatap wajah Bentala yang damai dalam tidurnya. Ini adalah kali terakhir melihat wajah dominan itu. Wajah yang selalu menemaninya selama enam tahun ini. Wajah yang akan sangat dirindukannya setelah segala kejadian yang terjadi ini. Setelah berhasil menutup pintu kamar Bentala, Rana pun secepat mungkin memakai pakaiannya, sembari memesan transportasi online. Ia tahu kalau dirinya kalah cepat dari Bentala, ia kemungkinan tidak bisa ke mana-mana. Bentala pasti menghalanginya sebisa mungkin. Selepas pakaiannya lengkap, ia keluar dari rumah Bentala. Ia sungguh bersyukur, karena rumah Bentala berada di sebuah cluster yang tak jauh dari pintu masuk. Ia jauh lebih bersyukur, saat melewati pintu masuk cluster, transportasi online pesanannya pun tiba. Tanpa menunggu lama, Rana pun masuk ke dalam mobil. "Selamat pagi, Mbak." Sapaan itu terdengar sangat ramah, membuat Rana mau tak mau tersenyum di situasi yang sedang carut marut. "Sesuai tujuan ya, Mbak?" "Iya, Pak. Tapi, kalau lewat minimarket, tolong mampir sebentar ya, Pak." Pria yang sepertinya seumuran ayahnya itu langsung mengangguk, mengiyakan. Ia pun langsung menjalankan mobilnya, menuju rute yang sudah dipesan oleh Rana. Rana sendiri bingung. Di sela-sela rasa sakit di kepala, dan selangkangannya, gadis itu mencoba mencari tahu apa yang terjadi semalam. Ia susun keping demi keping ingatan yang tersisa di kepalanya. Lalu Rana tersadar kalau dirinya benar-benar gila. Demi menghindari pertanyaan Bentala, Rana justru memasuki kehidupan yang lebih gila dengan melempar keperawanannya pada pria yang sejak beberapa minggu ini sengaja ia hindari. Bentala pasti kesal setengah mati saat tahu Rana melarikan diri dari kenyataan yang benar-benar ia benci seumur hidupnya. *** "Rana?" Bentala meraba tempat tidurnya, dan tak menemukan Rana di sebelahnya. Ia lihat jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Rana memang tipe gadis yang selalu bangun pagi-pagi buta, jadi kemungkinan ia sudah bangkit dari tempat tidur sejak tadi. Bentala pun mengucek matanya, mencoba menormalkan diri sebelum benar-benar bangkit mencari keberadaan Rana. Sayangnya perasaan Bentala sama sekali tak enak. Ia tak mendengar suara apa pun. Tak juga kucuran air di kamar mandi, atau suara apa pun di luar kamar. Rumahnya benar-benar sunyi. "Rana, kamu di kamar mandi?" tanya Bentala yang sama sekali tak mendapat jawaban. "Rana? Jangan bercanda dong!" Bentala pun segera bangkit. Ia mengecek kamar mandinya, dan menemukan kalau tempat itu terlalu kering untuk ukuran sehabis dipakai. Bentala pun khawatir. Ia segera berlari ke luar kamar. Mencari Rana di segala penjuru rumahnya. Sayangnya ia tak menemukan gadis itu di mana pun. Tak ada tanda-tanda Rana masih berada di dalam rumahnya. Jadi, ia mengecek cctv pintu masuk, dan menemukan kalau gadis itu keluar rumah tiga puluh menit yang lalu. Bentala pun kesal. Ia tak menyangka sama sekali Rana meninggalkannya sendirian setelah malam panas yang Bentala pikir berarti bagi gadis itu. *** "Ben? Lo ngapain di sini?" Camilla jelas kebingungan saat melihat Bentala berdiri di depan pintu apartemen Indira. Pria itu langsung merangsek masuk. Mengecek satu persatu ruangan, dan tak menemukan Rana sama sekali di apartemen itu. Camilla yang tak bisa melarang Bentala, hanya membiarkannya. Indira yang baru kembali dari jogging paginya, langsung kebingungan melihat tingkah Bentala yang aneh. Pria itu berantakan. Seperti kebingungan, dan tak tentu arah. Indira yakin terjadi sesuatu antara Bentala Pradaya Byakta dan sahabatnya. "Lo ngapain Ben? Nyari Rana? Dia enggak ada di sini, by the way." Bentala menoleh, dan berjalan mendekati Indira. "Lo tahu kan, di mana Rana berada? Di mana dia? Di mana Rana, Dir?" Indira mengernyit, dan kemudian bertanya, "bukannya semalam gue suruh lo antar Rana pulang? Kalau lo benar-benar ngantar Rana pulang, artinya sekarang dia ada di apartemennya." Bentala menggeleng. Pria itu sudah mengecek apartemen Rana, namun menurut satpam apartemennya, gadis itu belum pulang sejak pergi semalam. Saat mengetuk pintu pun, Rana tak jua membukanya. Bentala yakin Rana tidak mungkin pulang. Jadi, Bentala pun memutuskan untuk segera mendatangi apartemen Indira. Di situ ia justru ketahuan melanggar omongannya sendiri. Alih-alih menemukan Rana, ia justru kepergok tak memulangkan Rana ke apartemennya sendiri semalam. "Jadi, kalian menghabiskan malam bersama kemarin?" tanya Camilla memecah kebisuan antara mereka. "Lo nyari Rana ke sini, artinya lo enggak memulangkan Rana kan, kemarin?" "Iya," jawab Bentala jujur. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Indira gantian. Bentala mendongak, lalu menatap Indira dengan tajam. "Itu bukan urusan lo atau pun Camilla. Sekarang gue tanya, di mana Rana? Gue yakin lo tahu di mana Rana berada." Indira menghembuskan napasnya dengan dalam. Ia kesal sekali. Perasaannya memang tak enak saat meninggalkan Rana bersama Bentala semalam. Mereka berdua dalam keadaan sekarat. Saling mencintai, tapi sama sekali tidak bisa bersama. Memang benar ungkapan yang menyatakan kalau tidak ada yang baik-baik saja antara pria, dan wanita di satu tempat tertutup. Indira salah saat mengira Bentala bisa menjaga sahabatnya, dan menahan dirinya dari segala cobaan. Bentala tetaplah seorang pria yang tak akan melewatkan ikan matang lezat tersaji di depan mata. "Gue enggak tahu di mana Rana sekarang, Ben. Kalau pun terjadi sesuatu antara kalian semalam, dia enggak akan pergi ke sini. Dia pasti bersembunyi ke tempat lain sampai lo benar-benar pergi ke US. Lo sudah kenal Rana selama enam tahun, perkara kayak begini seharusnya lo ngerti kan?" Bentala mengacak-acak rambutnya. Menyesali tindakan cerobohnya semalam. Tak seharusnya ia hilang akal. Tak seharusnya ia larut dalam kegilaan gadis mabuk seperti Rana. Kini gadis itu pasti merasa sangat bersalah. Rana pasti melarikan diri setelah mengingat kebodohannya semalam. Lebih bodohnya lagi, Bentala justru tak sigap. Ia justru terlelap seolah-olah tak akan terjadi hal demikian antara dirinya, dan juga Rana. "Percuma lo nyalahin diri lo sendiri sekarang. Apa pun pikiran lo enggak akan membuat Rana muncul dari tempat persembunyiannya. Apa pun yang lo sesali, enggak akan membuat sesuatu yang terjadi balik lagi ke tempat semula. Menyerah aja, Ben. Lo, dan Rana memang enggak bisa bersatu." ***"Bapak, ngapain di sini?"Bukannya Bentala kurang ajar, tapi melihat sang ayah datang ke rumahnya secara tiba-tiba sontak membuat pria itu kaget. Bentala tahu, cepat atau lambat sang ayah pasti tahu saat ia menunda untuk berangkat. Tanaya entah atau tidak, pasti telah mengadu pada ayahnya tersebut.Agam Putra Narendra adalah pensiunan TNI. Ia adalah mantan Jenderal, sekaligus mantan menteri pertahanan di era kepemimpinan presiden sebelumnya. Sudah dua tahun ia hanya duduk-duduk, sembari mengurus beberapa usaha perkebunan miliknya. Pria itu juga yang mengurus Bentala dari umur sepuluh tahun di saat ia ditinggalkan oleh Ibunya yang meninggal karena penyakit kanker."Karena Bapak dengar kamu belum berangkat, Bapak jenguk kamu. Bapak pikir kamu sakit. Ternyata benar-benar sakit, ya? Tampangmu benar-benar buruk, Nak."Bentala mendengus, "Ben, bukan anak-anak lagi, Pak.""Kalau bukan anak-anak seharusnya kamu bisa mengurus diri kamu sendiri dengan benar. Saat kamu bilang ingin ambil bisnis
"Eh, lo sudah nonton filmnya Rana Husada belum? Gue nonton sama cowok gue kemarin, gila keren banget dia jadi pelakor. Bagus banget filmnya! Aktingnya si Rana nih, memang enggak pernah gagal ya?"Indira, dan Camilla langsung menoleh saat dua orang gadis muda tengah membicarakan sahabat mereka, Rana. Setelah kepergian Bentala tiga tahun lalu, Rana sibuk dengan segala kegiatan yang positif. Ia kembali ke bangku kuliah, lulus S2, dan terkenal sebagai aktris teater. Setengah tahun yang lalu, film pertama Rana berhasil meraih dua setengah juta penonton, dan menasbihkannya sebagai salah satu aktris pendatang baru terbaik di berbagai ajang penghargaan.Kini film kedua Rana menjadi perbincangan di mana-mana. Meskipun belum menjadi tokoh utama, tapi Rana justru yang paling banyak meraih atensi. Rana dianggap sebagai representasi dari aktris yang memiliki wajah cantik, berkelas, dan berbakat."Makin berjaya aja, teman kita." Indira mengangguk, ia setuju dengan anggapan Camilla. "Ya, memang akti
"Tanaya, sudah berapa lama kalian berhubungan? Ya Tuhan, Tanaya! Tak pernah terpikirkan dalam kepalaku kalau kamu akan berciuman dengan Edward. Dia teman dekatku, Tanaya."Tanaya bergeming. Matanya sibuk memandang ke luar jendela, sedangkan Bentala duduk dengan ekspresi tak karuan. Ia tak pernah menyangka kalau Tanaya yang selalu anggun, dan minim kesalahan akan tertangkap basah mencium teman dekatnya, Edward Clarkson.Bentala pikir Tanaya adalah gadis yang tak tertarik dengan hubungan asmara. Ternyata diamnya Tanaya, karena ia tengah menjalin hubungan dengan salah satu pria. Hal yang tak pernah terlewat di kepala Bentala akan dilakukan oleh Tanaya."Jawab aku, Tanaya!""CUKUP, BEN!" teriak Tanaya dengan muka masam. "Cukup bertingkah sebagai tunanganku. Cukup bertanya-tanya hal yang enggak pernah kamu pedulikan. Kenapa sekarang kamu mau tahu? Kenapa Ben? Kenapa?""Aku harus tahu, karena aku masih tunangan kamu, Tanaya."Tanaya berdecih. Ia benci tingkah Bentala terhadapnya hari ini. S
"Mengapa iklannya payah semua sih? Kalau begini bagaimana bisa menaikkan profit? Saya mau siang ini diadakan rapat besar-besaran! Buat apa kita punya produk rumah tangga yang bagus, tapi promosinya seadanya begini." Sang Asisten, Danish Setia Budi, langsung mengangguk. Ia dengan cepat melangkah keluar ruangan untuk menjalankan apa pun amanat dari sang atasan. Tak lama dari acara pernikahannya digelar, Bentala langsung pulang ke Indonesia. Ia memiliki tanggung jawab yang sangat menyita waktunya. Mimpinya baru benar-benar terealisasi setahun ke belakang. Kini ia menjadi wakil ketua partai Karya Bersama Indonesia, dan digadang-gadang menjadi bakal calon Gubernur Jakarta. Jadi, tak hanya menjalankan bisnis ayahnya, Bentala benar-benar sukses membangun figurnya menjadi menarik di periode pemilihan presiden tahun ini. "Kalau Edward belum bisa ke Indonesia, ya jangan dipaksa. Orang tua kamu mulai curiga, Tanaya. Ini sudah enam bulan. Kamu mau kepergok orang tuamu, karena tengah tinggal be
"Kamu bisa pergi, Rana. Tidak ada yang menghalangimu untuk pergi. Pergilah kalau kamu ingin pergi."Rana terpaku. Ia hanya terdiam saat Bentala mengusirnya. Ia memang bisa pergi, tapi kondisi Agam yang tengah kritis, entah mengapa membuatnya ingin tetap di sana. Ia tak sanggup bila harus meninggalkan Bentala, meskipun gadis itu tahu pria tersebut milik orang lain.Bentala yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, langsung menengadahkan kepalanya. Ia penasaran mengapa Rana tak membalas seruannya. Gadis itu justru termangu, seperti tak mendengar apa yang baru saja ia katakan."Rana, aku sedang bicara denganmu.""Aku dengar, kok." Jawaban itu pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Bentala."Lantas kenapa masih diam di situ?""Aku duduk di sini bukan karena dirimu, Bentala! Tolong diamlah! Ini rumah sakit.""Tidak ada yang mengatakan kalau tempat ini hotel, Rana."Rana menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia tak tahu sama sekali kalau setelah menikah, Bentala menjadi secerewet itu. Namun, Be
"Gila kamu, Rana! Gila! Apa sih yang sebenarnya sedang kamu lakukan?"Rana terus merutuki dirinya sendiri. Setelah mengikuti Bentala kembali ke ruang rawat ayahnya, Rana meminta izin untuk ke kamar mandi. Awalnya Bentala memelototi Rana, namun karena berada di depan Emir, Bentala tak bisa menyuarakan penolakannya. Rana jelas menang, dan melenggang jauh meninggalkan dua pria penting di hidup Rana tersebut.Gadis itu tahu Bentala sudah menduga kalau Rana akan melarikan diri kembali. Namun, ia juga tak bisa memenuhi permintaan Bentala. Bukan karena tidak bisa, tapi karena lebih kepada status pria itu yang sudah menikah. Seharusnya tadi Rana memberontak, tapi ia justru bersikap lembek dengan menyerahkan dirinya pada pria itu. Sungguh, Rana merasa dirinya seperti perempuan murahan."Hei, Dir. Lo lagi ada di apartemen enggak? Gue butuh curhat nih," ucap Rana di telepon saat gadis itu mulai menjalankan mobilnya keluar rumah sakit. Di ujung telepon, Indira pun mempersilahkan, membuat Rana lan
"Apa? Mau mengundurkan diri? Kenapa lagi sih? Lo tuh kalau cari asisten yang benar dong, Tish. Masa dalam satu tahun gue enam kali ganti asisten. Lo tuh yang benar aja. Apa perlu gue gaji HRD buat interview asisten?" Latisha Permata menunduk, meminta maaf pada Rana karena untuk keenam kalinya gadis itu akan kehilangan asistennya. Ini bukan sama sekali salah Rana, Latisha sendiri yang memang tak pandai memilih orang untuk dipekerjakan. Ada saja masalah yang terjadi. Namun yang paling sering adalah mengundurkan diri dengan alasan ingin menikah. Latisha sendiri sampai bingung. Padahal Rana sangat baik. Gadis itu bukan aktris yang neko-neko, meskipun saat ini namanya sedang berada di urutan paling atas. Tak ada yang menolak Rana. Gadis itu akan siap bermain untuk peran apa pun, dan hasilnya entah mengapa selalu terlihat brilian. "Kali ini tolong cari yang benar. Kalau bisa yang udah nikah aja. Ya, meskipun sulit sih, emang. Tapi, tolonglah kalau bisa awet, Tish." Latisha mengangguk, "k
"Gue turut berduka cita, ya. Lo yang kuat, Ben. Ikhlaskan kepergian Om Agam. Jangan terus menerus berlarut dalam kesedihan. Biar Om Agam di sana juga tenang."Bentala mengangguk, dan kemudia tersenyum tipis pertanda bahwa ia baik-baik saja. Bentala memang baik-baik saja. Dia memang terlihat sedih, kuyu, dan tak bersemangat, namun selebihnya ia dalam keadaan yang sangat tegar. Ia tampak sangat kuat untuk ukuran kehilangan yang sangat berat.Rana yang berdiri di belakang Indira, langsung tersenyum. Ia tak sanggup berkata-kata. Bentala pun juga hanya membalas senyumannya. Pria itu hanya menerima uluran tangan Rana dengan profesional."Kalian bisa masuk, dan mendo'akan Bapak," ucap Bentala sambil mempersilahkan keduanya untuk masuk. "Gue enggak bisa menemani kalian, karena masih ada banyak tamu yang harus gue sapa. Maaf, ya."Indira, dan Rana mengangguk bersamaan. "Ya, enggak apa-apa, Ben!"Rana masuk terlebih dahulu diikuti oleh Indira. Keduanya melihat almarhum, dan mendo'akannya. Rana