"Eh, lo sudah nonton filmnya Rana Husada belum? Gue nonton sama cowok gue kemarin, gila keren banget dia jadi pelakor. Bagus banget filmnya! Aktingnya si Rana nih, memang enggak pernah gagal ya?"
Indira, dan Camilla langsung menoleh saat dua orang gadis muda tengah membicarakan sahabat mereka, Rana. Setelah kepergian Bentala tiga tahun lalu, Rana sibuk dengan segala kegiatan yang positif. Ia kembali ke bangku kuliah, lulus S2, dan terkenal sebagai aktris teater. Setengah tahun yang lalu, film pertama Rana berhasil meraih dua setengah juta penonton, dan menasbihkannya sebagai salah satu aktris pendatang baru terbaik di berbagai ajang penghargaan. Kini film kedua Rana menjadi perbincangan di mana-mana. Meskipun belum menjadi tokoh utama, tapi Rana justru yang paling banyak meraih atensi. Rana dianggap sebagai representasi dari aktris yang memiliki wajah cantik, berkelas, dan berbakat. "Makin berjaya aja, teman kita." Indira mengangguk, ia setuju dengan anggapan Camilla. "Ya, memang akting Rana sekeren itu sih. Lo udah nonton filmnya, Dir? Rumor yang bilang terjadi cinlok antara Rana sama Ighfal kayaknya karena mereka terlalu sekeren itu deh, aktingnya. Sekelas Adrianna Larasati aja kebanting sama Rana. Keren sih!" "Gue belum nonton. Nanti gue nonton deh, sama Iskandar." "Menurut lo, benar enggak rumor yang bilang si Rana cinlok sama Ighfaldi Wiguna?" tanya Camilla yang langsung disambut gelengan oleh Indira. Camilla menyeruput teh-nya sebentar, dan kemudian melanjutkan gosip yang didapatnya, "Teman gue bilang, Ighfal datang khusus buat nonton pementasan Rana minggu kemarin. Dia juga bawa bunga Peony buat Rana." "Oh, ya?" Indira memberi kode, ke arah pintu restoran. "Kita tanya ke orangnya langsung. Tuh, dia datang!" Rana mengedarkan pandangannya, dan langsung tersenyum saat melihat keberadaan kedua sahabat baiknya. Senyumnya mengembang, saat beberapa orang menyapanya. Untungnya tak ada satu pun yang menghampiri Rana, jadi gadis itu bisa melenggang bebas menuju bangku Indira, dan Camilla. Ia pun langsung menyapa mereka, dan duduk di satu kursi kosong yang tersedia. "Kalian sudah lama? Maaf banget, gue ada pemotretan tadi," ucap Rana sembari melihat buku menu yang diserahkan oleh Indira. "Cappucinno aja sama cheese cake deh, boleh." "Tumben, lo lagi enggak diet, Na?" Rana menggeleng. "Gue ada project film terbaru, Mil. Perannya jadi cewek yang hobi makan setelah putus gitu. Jadi, gue harus naikin berat badan sedikit biar kelihatan alami pas gendut." "Lo tuh hobi banget deh, cari peran yang nyusahin diri lo sendiri." Rana hanya terkekeh, tak menimpali celetukan Camilla. Baginya menerima peran yang menantang adalah sesuatu yang menyenangkan. Ia merasa lebih nyaman memerankan peran yang berbeda setiap filmnya. Ada kepuasan tersendiri kalau dia berhasil memerankan setiap karakter yang tak sama satu sama lainnya. Matanya lalu berpindah ke Indira yang baru saja selesai menyebutkan pesanannya ke pramusaji yang ia panggil. "Lo kenapa? Mata lo kok sembap gitu?" Indira terkesiap, ia reflek membuang muka, "perasaan lo aja. Gue begadang nonton drama korea. Kurang tidur ini, Na." "Ya kan, Na?" sambar Camilla langsung. "Tadi gue juga bilang begitu, tapi langsung nepis seolah enggak ada apa-apa." "Soal Iskandar?" tanya Rana yang disambut gelengan oleh Indira. "Gue enggak percaya sana sekali kalau gara-gara nonton doang, muka lo bisa sembap begitu. Serius deh, Dir. Lo kenapa?" Indira mencoba tersebut. Ia mencoba membuat yakin Rana, atau pun Camilla bahwa dirinya baik-baik saja. Camilla sudah berhenti bertanya, namun Rana masih menatapnya dengan penuh pertanyaannya. Di antara semua temannnya memang dengan Rana-lah, Indira merasa paling dekat. Gadis itu sensitif, terbuka, dan paling oke menjadi pendengar. "Gue enggak apa-apa, Na." Ucapan itu tegas, seolah tak ingin dibantah. Rana pun mengalah. "Seharusnya yang diinterogasi tuh, lo. Katanya lo cinlok sama Ighfaldi Wiguna. Bener, Na?" Rana melotot, dan dengan cepat menggeleng. "Kalian percaya?" "Ighfal mah keren, Na. Ganteng khas Indonesia gitu lagi. Mana ramah banget katanya. Tapi, tetap sih yang paling gue suka cowok-cowok bule gitu. Eh, kok melenceng. Jadi, lo sama Ighfal enggak, Na?" tanya Camilla gemas. "Ya enggaklah," sanggah Rana santai. "Gue pikir kalian yang paling tahu, kalau itu tuh gosip. Ighfal memang enggak sebrengsek image-nya. Dia memang baik ke semua cewek, playboy benar, tapi dia memang berbakat banget. Pria paling berbakat di bidang seni yang pernah gue kenal. Akting dia bagus, pinter main alat musik, suaranya enak, plus gue akuin dia lebih ganteng kalau diliat aslinya. Tapi, kalian tahu kan, perasaan gue condong ke mana?" Indira, dan Camilla langsung mengubah eksperesi mereka. Sudah tiga tahun, tapi tak ada yang berubah sama sekali dari bagaimana Rana memandang seorang pria. Gadis itu melejit dengan rumor yang sangat banyak. Sayangnya tak ada satu pun yang menjadi nyata, karena kenyataannya Rana masih terbelenggu ke satu pria, Bentala Pradaya Byakta. Indira gantian mengelus bahu Rana. Indira yang paling tahu bagaimana Rana pura-pura tidak peduli dengan keadaan Bentala. Padahal Indira tahu, Rana ingin sekali mengetahui bagaimana pria itu. Seperti apa tampangnya kini, bagaimana kehidupannya, dan mengapa ia belum kembali ke Indonesia meski sudah lulus dari Stanford. "Kalau lo belum lupa, ya kejarlah sampai ke US." "Dia masih sama Tanaya, Dira. Ya kali, seorang Rana Diatmika Husada menjadi orang kedua di hubungan orang lain. Mending dia sama cowok playboy macam Ighfaldi Wiguna, ketimbang ngejar cowok yang udah punya tunangan kayak Bentala." Camilla benar, Indira sepenuhnya setuju. "Ya, berusaha lupain lah. Lo calon aktris besar, cowok kayak Bentala banyak, Na." "Nah, ini benar. Gue setuju!" seru Camilla dengan lantang membuat beberapa orang di dekat mereka menoleh sesaat. "Ups, sorry. Gue terlalu bersemangat. Tapi, maaf banget deh, Na. Tapi, yang gue dengar dari Imran, katanya Bentala sama Tanaya mau nikah. Gue belum tahu sih ini cuma rumor doang, atau kenyataan." Rana makin terdiam. Membuat Indira gemas, dan memelototi Camilla dengan galak. Karena merasa bersalah, Camilla pun langsung minta maaf. Namun dengan cepat, Rana pun langsung mengubah ekspresinya. "Gue enggak apa-apa kok, Mil. Lagian gue sudah enggak mau peduli. Terserah mereka mau menikah atau enggak. Itu bukan urusan gue sama sekali." "Bagus deh," celetuk Camilla langsung. Indira hanya geleng-geleng kepala, ingin menimpali, namun ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Tak hanya miliknya, namun juga Camilla. Karena penasaran, keduanya langsung melihat isi notifikasi di dalamnya. "Ya Tuhan!" "Kenapa Mil? Pesan dari siapa?" tanya Rana penasaran. Camilla mendongak, ia melihat ke arah Indira. Tapi temannya tersebut tampak masih sama kagetnya. Karena tak bisa berkata-kata, Camilla pun menyerahkan ponselnya, memberi tahu Rana. "Itu bukan sebuah rumor, Bentala, dan Tanaya akan benar-benar menikah minggu ini di US." ***"Tanaya, sudah berapa lama kalian berhubungan? Ya Tuhan, Tanaya! Tak pernah terpikirkan dalam kepalaku kalau kamu akan berciuman dengan Edward. Dia teman dekatku, Tanaya."Tanaya bergeming. Matanya sibuk memandang ke luar jendela, sedangkan Bentala duduk dengan ekspresi tak karuan. Ia tak pernah menyangka kalau Tanaya yang selalu anggun, dan minim kesalahan akan tertangkap basah mencium teman dekatnya, Edward Clarkson.Bentala pikir Tanaya adalah gadis yang tak tertarik dengan hubungan asmara. Ternyata diamnya Tanaya, karena ia tengah menjalin hubungan dengan salah satu pria. Hal yang tak pernah terlewat di kepala Bentala akan dilakukan oleh Tanaya."Jawab aku, Tanaya!""CUKUP, BEN!" teriak Tanaya dengan muka masam. "Cukup bertingkah sebagai tunanganku. Cukup bertanya-tanya hal yang enggak pernah kamu pedulikan. Kenapa sekarang kamu mau tahu? Kenapa Ben? Kenapa?""Aku harus tahu, karena aku masih tunangan kamu, Tanaya."Tanaya berdecih. Ia benci tingkah Bentala terhadapnya hari ini. S
"Mengapa iklannya payah semua sih? Kalau begini bagaimana bisa menaikkan profit? Saya mau siang ini diadakan rapat besar-besaran! Buat apa kita punya produk rumah tangga yang bagus, tapi promosinya seadanya begini." Sang Asisten, Danish Setia Budi, langsung mengangguk. Ia dengan cepat melangkah keluar ruangan untuk menjalankan apa pun amanat dari sang atasan. Tak lama dari acara pernikahannya digelar, Bentala langsung pulang ke Indonesia. Ia memiliki tanggung jawab yang sangat menyita waktunya. Mimpinya baru benar-benar terealisasi setahun ke belakang. Kini ia menjadi wakil ketua partai Karya Bersama Indonesia, dan digadang-gadang menjadi bakal calon Gubernur Jakarta. Jadi, tak hanya menjalankan bisnis ayahnya, Bentala benar-benar sukses membangun figurnya menjadi menarik di periode pemilihan presiden tahun ini. "Kalau Edward belum bisa ke Indonesia, ya jangan dipaksa. Orang tua kamu mulai curiga, Tanaya. Ini sudah enam bulan. Kamu mau kepergok orang tuamu, karena tengah tinggal be
"Kamu bisa pergi, Rana. Tidak ada yang menghalangimu untuk pergi. Pergilah kalau kamu ingin pergi."Rana terpaku. Ia hanya terdiam saat Bentala mengusirnya. Ia memang bisa pergi, tapi kondisi Agam yang tengah kritis, entah mengapa membuatnya ingin tetap di sana. Ia tak sanggup bila harus meninggalkan Bentala, meskipun gadis itu tahu pria tersebut milik orang lain.Bentala yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, langsung menengadahkan kepalanya. Ia penasaran mengapa Rana tak membalas seruannya. Gadis itu justru termangu, seperti tak mendengar apa yang baru saja ia katakan."Rana, aku sedang bicara denganmu.""Aku dengar, kok." Jawaban itu pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Bentala."Lantas kenapa masih diam di situ?""Aku duduk di sini bukan karena dirimu, Bentala! Tolong diamlah! Ini rumah sakit.""Tidak ada yang mengatakan kalau tempat ini hotel, Rana."Rana menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia tak tahu sama sekali kalau setelah menikah, Bentala menjadi secerewet itu. Namun, Be
"Gila kamu, Rana! Gila! Apa sih yang sebenarnya sedang kamu lakukan?"Rana terus merutuki dirinya sendiri. Setelah mengikuti Bentala kembali ke ruang rawat ayahnya, Rana meminta izin untuk ke kamar mandi. Awalnya Bentala memelototi Rana, namun karena berada di depan Emir, Bentala tak bisa menyuarakan penolakannya. Rana jelas menang, dan melenggang jauh meninggalkan dua pria penting di hidup Rana tersebut.Gadis itu tahu Bentala sudah menduga kalau Rana akan melarikan diri kembali. Namun, ia juga tak bisa memenuhi permintaan Bentala. Bukan karena tidak bisa, tapi karena lebih kepada status pria itu yang sudah menikah. Seharusnya tadi Rana memberontak, tapi ia justru bersikap lembek dengan menyerahkan dirinya pada pria itu. Sungguh, Rana merasa dirinya seperti perempuan murahan."Hei, Dir. Lo lagi ada di apartemen enggak? Gue butuh curhat nih," ucap Rana di telepon saat gadis itu mulai menjalankan mobilnya keluar rumah sakit. Di ujung telepon, Indira pun mempersilahkan, membuat Rana lan
"Apa? Mau mengundurkan diri? Kenapa lagi sih? Lo tuh kalau cari asisten yang benar dong, Tish. Masa dalam satu tahun gue enam kali ganti asisten. Lo tuh yang benar aja. Apa perlu gue gaji HRD buat interview asisten?" Latisha Permata menunduk, meminta maaf pada Rana karena untuk keenam kalinya gadis itu akan kehilangan asistennya. Ini bukan sama sekali salah Rana, Latisha sendiri yang memang tak pandai memilih orang untuk dipekerjakan. Ada saja masalah yang terjadi. Namun yang paling sering adalah mengundurkan diri dengan alasan ingin menikah. Latisha sendiri sampai bingung. Padahal Rana sangat baik. Gadis itu bukan aktris yang neko-neko, meskipun saat ini namanya sedang berada di urutan paling atas. Tak ada yang menolak Rana. Gadis itu akan siap bermain untuk peran apa pun, dan hasilnya entah mengapa selalu terlihat brilian. "Kali ini tolong cari yang benar. Kalau bisa yang udah nikah aja. Ya, meskipun sulit sih, emang. Tapi, tolonglah kalau bisa awet, Tish." Latisha mengangguk, "k
"Gue turut berduka cita, ya. Lo yang kuat, Ben. Ikhlaskan kepergian Om Agam. Jangan terus menerus berlarut dalam kesedihan. Biar Om Agam di sana juga tenang."Bentala mengangguk, dan kemudia tersenyum tipis pertanda bahwa ia baik-baik saja. Bentala memang baik-baik saja. Dia memang terlihat sedih, kuyu, dan tak bersemangat, namun selebihnya ia dalam keadaan yang sangat tegar. Ia tampak sangat kuat untuk ukuran kehilangan yang sangat berat.Rana yang berdiri di belakang Indira, langsung tersenyum. Ia tak sanggup berkata-kata. Bentala pun juga hanya membalas senyumannya. Pria itu hanya menerima uluran tangan Rana dengan profesional."Kalian bisa masuk, dan mendo'akan Bapak," ucap Bentala sambil mempersilahkan keduanya untuk masuk. "Gue enggak bisa menemani kalian, karena masih ada banyak tamu yang harus gue sapa. Maaf, ya."Indira, dan Rana mengangguk bersamaan. "Ya, enggak apa-apa, Ben!"Rana masuk terlebih dahulu diikuti oleh Indira. Keduanya melihat almarhum, dan mendo'akannya. Rana
"Bentala, sudah sepuluh menit. Pulanglah!"Bentala melepaskan pelukannya. Matanya mencari, namun Rana tampak mencoba mengalihkannya ke mana saja, asal itu bukan kepada Bentala. Rana sungguh tak ingin menatap mata teduh Bentala yang mampu menyihir, dan membuat pikirannya berantakan. Ia tak ingin setelah pelukan, ada aktivitas lainnya yang membuat tekadnya buyar.Sayangnya lawan yang dihadapi Rana adalah seorang Bentala Pradaya Byakta. Pria itu benar-benar keras kepala bila itu bicara mengenai Rana. Ia tangkup wajah mungil Rana yang cantik, dan ia paksa gadis itu untuk menatapnya. Rana pun lagi, dan lagi tak bisa berpaling. Mata mereka saling bertemu, saling mencoba berbicara lewat sunyi yang tak mungkin bisa diraih oleh orang lain."Kamu benar-benar ingin aku pulang? Kamu bisa bicara, dan menjawab pertanyaanku, jika kamu mau. Aku akan ada di sini semalaman untuk tahu semua isi kepala, dan perasaanmu, Rana.""Tapi, aku enggak mau," jawab Rana dengan sangat lemah. "Aku hanya ingin kamu p
"Maharta Resto, and Cafe kan? Ini gue sudah sampai di parkiran. Lo tunggu aja di sana. Jangan keluar buat jemput gue. Gue bisa kok, masuk sendiri. Belum datang kan, CEO dari Putra Jaya Group?"Latisha menjawab dari ujung telepon kalau calon bosnya belum datang. Ia merasa lega, karena ternyata dirinya belum terlambat. Terjebak macet selama tiga puluh menit ternyata membuat mood Rana turun. Selain itu, sejak pagi perasaan sedang tidak enak. Rana pikir, kemungkinan besarnya akibat memikirkan Bentala terus menerus.Rana pun mencoba membuang pikiran buruknya. Ia berusaha merapikan penampilannya, dan membuat calon bosnya terkesan. Ia tidak ingin dianggap tidak profesional, karena berpakaian tidak pantas, atau datang terlambat di pertemuan pertama. Segalanya Rana coba untuk dibuat semaksimal mungkin."Hei," sapa Rana pada Latisha yang langsung berdiri menyambut sang aktris. "Syukurlah calon bos kita belum sampai. Gue pikir bakalan terlambat.""Gue pikir juga lo bakalan terlambat." Latisha la