Share

06. BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN

"Tanaya, sudah berapa lama kalian berhubungan? Ya Tuhan, Tanaya! Tak pernah terpikirkan dalam kepalaku kalau kamu akan berciuman dengan Edward. Dia teman dekatku, Tanaya."

Tanaya bergeming. Matanya sibuk memandang ke luar jendela, sedangkan Bentala duduk dengan ekspresi tak karuan. Ia tak pernah menyangka kalau Tanaya yang selalu anggun, dan minim kesalahan akan tertangkap basah mencium teman dekatnya, Edward Clarkson.

Bentala pikir Tanaya adalah gadis yang tak tertarik dengan hubungan asmara. Ternyata diamnya Tanaya, karena ia tengah menjalin hubungan dengan salah satu pria. Hal yang tak pernah terlewat di kepala Bentala akan dilakukan oleh Tanaya.

"Jawab aku, Tanaya!"

"CUKUP, BEN!" teriak Tanaya dengan muka masam. "Cukup bertingkah sebagai tunanganku. Cukup bertanya-tanya hal yang enggak pernah kamu pedulikan. Kenapa sekarang kamu mau tahu? Kenapa Ben? Kenapa?"

"Aku harus tahu, karena aku masih tunangan kamu, Tanaya."

Tanaya berdecih. Ia benci tingkah Bentala terhadapnya hari ini. Selama satu setengah tahun, tak ada sedikit pun perhatian yang Bentala berikan. Pria itu terlalu dingin, dan tak terjangkau sama sekali.

Untuk apa ia memberikan perasaan ke pria yang bahkan menyebutkan nama gadis lain tiap ia mabuk. Jadi, ketimbang ia memusingkan urusan Bentala, lebih baik ia mencari pria lain yang mencintainya. Toh, pertunangan keduanya juga bukan atas andil dirinya. Bukan salahnya kalau pada akhirnya ia memilih mencintai pria lain.

"Lalu apa yang mau kamu lakukan?"

"Kalau kamu memang mencintai Edward, ya kita putuskan saja pertunangan ini."

"Tidak," sambar Tanaya langsung. Ekspresinya langsung berubah khawatir. "Tolong, Bentala! Jangan putuskan pertunangan kita. Kalau kamu memutuskan pertunangan ini, ayahku pasti akan murka. Aku benar-benar mencintai Edward. Aku enggak mau putus darinya."

Bentala mengusap wajahnya. Ia benar-benar bingung. Di satu sisi, ia ingin lepas dari segala jenis pertunangannya dengan Tanaya. Namun di satu sisi yang lain hanya Tanaya yang bisa memuluskan jalan meraih segala mimpi-mimpinya.

Setelah Rana memutuskan untuk meninggalkannya, dan bersembunyi darinya, Bentala tak pernah berharap bertemu gadis itu lagi. Ia kecewa, meskipun hatinya memang kesulitan melupakan Rana. Ia tak bisa mencintai Tanaya, meski sudah mencoba sebisa mungkin. Pikiran, dan hatinya masih tertuju pada Rana.

"Oke, sekarang gantian aku yang tanya. Kamu maunya bagaimana?" tanya Bentala pada Tanaya. "Kalau kamu tidak memutuskan pertunangan ini, pada akhirnya kamu akan menikah denganku, Tanaya. Lalu bagaimana dengan Edward?"

"Itu urusanku. Tidak masalah kalau kita sampai menikah. Lagipula Edward juga enggak masalah. Tak pernah ada masalah dengan itu, termasuk juga dengan kamu. Kita buat pernikahan kita nanti sebagai pertunangan yang menguntungkan. Kamu bisa kembali mengejar perempuan bernama Rana itu kalau kamu mau."

"Kamu gila tahu enggak, Tanaya!"

Tanaya mendekati Bentala, duduk di sampingnya, dan meraih tangannya. Katakan dirinya gila, tapi hanya Bentala yang bisa menolongnya. Bila ketahuan ayahnya, Tanaya pasti disuruh berpisah dengan Edward. Walau bagaimana pun menikah dengan pria asing memang bukan pilihan yang cocok untuk keluarga Gunawan yang notabene selalu berurusan dengan politik dalam negeri.

"Kita harus menikah, Ben." Tanaya berusaha. Bentala harus setuju dengan keinginannya. "Bukankah kamu bercita-cita menjadi Presiden? Jalan satu-satunya adalah menjadi menantu Mahaka Gunawan. Kalau kamu hanya pria biasa dengan status ayahmu yang sudah tak aktif lagi di pemerintahan akan sulit bagi kamu masuk ke dalam pusaran elit politik. Kamu harus menikah denganku untuk mendapatkan tempat khusus di partai Karya Bersama Indonesia."

"Kamu sudah memikirkan ini?"

Tanaya mengerutkan kening, "kamu memangnya enggak?"

Tanaya benar. Ia memang memikirkan jalan yang sama. Lima tahun dari sekarang, ia bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta. Sangat mudah melenggang ke kursi nomor satu Indonesia kalau ia sudah menjabat sebagai Gubernur.

Hal itu menjadi lebih mungkin, kalau ia sudah masuk ke pusaran elit politik. Sebesar partai Karya Bersama Indonesia adalah tempat yang apik. Ia mungkin akan terseok-seok langkahnya kalau tidak menjadi menantu seorang Mahaka Andromeda Gunawan. Bahkan keinginannya menjadi presiden, harus ia tunggu dua puluh hingga dua puluh lima tahun lagi.

"Baiklah. Kita buat pertunangan ini berjalan mulus. setelah kita lulus tahun depan, ayo menikah! Kita buat pernikahan ini menjadi pernikahan yang menguntungkan. Menguntungkan bagi kamu, dan menguntungkan juga bagi aku."

***

"Lo yakin mau nikah sama Tanaya?"

Imran, dan Iskandar berdiri di belakangnya. Kedua sahabatnya tersebut itu bingung saat Bentala memberi tahu kalau dirinya akan menikah dengan Tanaya di Amerika. Ini adalah kesepakatannya dengan Tanaya, dan hingga hari ini gadis itu masih membutuhkannya untuk merahasiakan hubungannya dengan Edward.

Bentala tak peduli. Toh, ia tak memiliki rasa pada Tanaya. Ia senang kalau Tanaya memiliki hubungan asmara yang membuatnya nyaman. Dengan begitu, tak pernah ada perasaan bersalah pada diri Bentala kepada Tanaya karena tak bisa memberikan cinta yang seharusnya.

"Sudah sampai sini, kalian masih tanya?"

"Lo memangnya cinta sama Tanaya?" Pertanyaan yang cukup aneh keluar dari mulut Imran, sang buaya darat. "Maksud gue, ini pernikahan lho."

"Ya terus? Lo making love sama banyak cewek aja enggak pakai perasaan."

"Ya tapi ini kan, ikatan suci pernikahan bro!"

Bentala terdiam. Ia tahu dirinya salah besar. Sebuah ikatan sakral yang tidak boleh dipermainkan, justru kini menjadi senjata untuknya di masa depan. Dengan cepat, ia memohon maaf dalam hati pada Tuhan atas tindakan gila yang dirinya, dan Tanaya lakukan.

"Cinta bisa datang setelah nikah." Ucapan Iskandar kali ini benar. Temannya yang satu itu memang selalu berhasil menjadi oasis di tengah gersang. "Masalahnya lo masih punya perasaan ke Rana enggak? Kalau lo menikahi Tanaya, mendingan lo lupain dulu cewek satu itu dari pikiran, dan otak lo!"

Bentala menghembuskan napasnya, "Rana tahu enggak?"

"Tahu. Dia enggak mungkin enggak tahu. Ya, meskipun lo enggak undang dia."

"Lo masih ada perasaan ke Rana, Ben?" tanya Imran gantian.

Bentala memilih menggeleng. Bukannya berbohong, tapi menolak untuk menjawab. Ia tidak mau memikirkan gadis itu di saat ia yakin menikahi Tanaya demi masa depannya yang lebih penting.

"Ini jawabannya enggak punya perasaan, atau enggak tahu?" desak Imran yang langsung dapat tinju dari Bentala. "Iya, iya, gue enggak tanya lagi. Tapi, kasihan Tanaya enggak sih, Ben?"

"Itu urusan gue. Lo berdua enggak perlu tahu. Sekarang tugas lo berdua hanya jadi pendamping pernikahan. Jangan tanya apa-apa lagi!"

Bukannya Bentala tidak mau cerita. Tapi, ini bukan saat yang tepat. Siapa saja bisa datang, dan menguping. Rahasianya, dan Tanaya harus tersimpan rapat. Paling tidak sampai dirinya menjadi Gubernur nantinya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status