Share

07. PERTEMUAN KEMBALI

"Mengapa iklannya payah semua sih? Kalau begini bagaimana bisa menaikkan profit? Saya mau siang ini diadakan rapat besar-besaran! Buat apa kita punya produk rumah tangga yang bagus, tapi promosinya seadanya begini."

Sang Asisten, Danish Setia Budi, langsung mengangguk. Ia dengan cepat melangkah keluar ruangan untuk menjalankan apa pun amanat dari sang atasan. Tak lama dari acara pernikahannya digelar, Bentala langsung pulang ke Indonesia. Ia memiliki tanggung jawab yang sangat menyita waktunya.

Mimpinya baru benar-benar terealisasi setahun ke belakang. Kini ia menjadi wakil ketua partai Karya Bersama Indonesia, dan digadang-gadang menjadi bakal calon Gubernur Jakarta. Jadi, tak hanya menjalankan bisnis ayahnya, Bentala benar-benar sukses membangun figurnya menjadi menarik di periode pemilihan presiden tahun ini.

"Kalau Edward belum bisa ke Indonesia, ya jangan dipaksa. Orang tua kamu mulai curiga, Tanaya. Ini sudah enam bulan. Kamu mau kepergok orang tuamu, karena tengah tinggal bersama bule Inggris?" tanya Bentala via panggilan video. "Biarkan dia menyusulmu nanti, Tanaya. Kalian butuh jarak. Hubungan kalian bahkan hampir lima tahun."

"Menurut kamu begitu? Tapi, aku memang harus pulang. Panggilan salah satu rumah sakit sangat sulit untuk aku tolak. Rumah sakit sebesar Husada, bagaimana mungkin aku melewatkannya? Aku penggemar Prof. Emir. Ya, meskipun pria itu hidung belang!"

Bentala tertawa. Pria itu tahu kalau istrinya tersebut sangat menyukai Emir Dikara Husada, pemilik rumah sakit Husada, sekaligus dokter bedah terbaik se-Asia Tenggara. Namun, Bentala tak memberi tahu Tanaya kalau Emir adalah ayah kandung Rana. Ia pun juga menjauhi obrolan apa pun mengenai Rana selama tinggal selama satu setengah tahun di Indonesia.

Bentala juga menghindari pertemuan apa pun dengan Rana selama satu setengah tahun di Indonesia. Ia tak mau bertemu dengan gadis itu. Ia juga tak ingin lagi berurusan dengan gadis itu, meskipun kini foto Rana ada di mana-mana. Mengganggu niatnya untuk berjauhan dengan gadis yang namanya entah mengapa masih terpatri kuat di hatinya.

"Kapan kamu akan pulang?" tanya Bentala sembari menandatangani beberapa perjanjian kerja sama. "Kita harus bertemu dulu untuk membicarakan beberapa hal. Jangan sampai saat bertemu dengan orang tuamu, jawaban kita berbeda."

"Mungkin bulan depan. Beberapa hari sebelum keberangkatan, aku akan menghubungimu, Ben." Bentala mengangguk. "Bagaimana dengan Bapak? Apa keadaannya sudah lebih baik?"

Ekspresi Bentala langsung berubah murung, "belum."

"Maaf, ya. Aku tidak banyak membantu. Sayangnya aku cuma dokter anak. Tapi, Prof. Emir, dan Prof. Aisyah adalah dokter bedah terbaik se-Asia Tenggara. Mereka pasti akan menyembuhkan Bapak. Kamu tenang saja."

Bentala hanya tersenyum, dan mengangguk. Memang alasan kepulangan Bentala adalah kesehatan Agam yang semakin menurun selama dua tahun ke belakang. Bahkan terhitung sudah tiga bulan, Agam tidak sadarkan diri setelah operasi. Bentala berharap bapaknya untuk segera bangun, dan sembuh seperti sedia kala.

"Oke, sampai nanti ya, Ben. Kabari aku terus tentang kesehatan Bapak. Jaga dirimu, ok?"

"Kamu juga. Jangan terlalu banyak bertengkar dengan Edward."

Bentala pun menutup panggilan video-nya. Bersamaan dengan itu, Danish masuk dengan wajah gelisah yang tak bisa Bentala tebak apa penyebabnya. Dengan tergopoh-gopoh, ia berikan ponsel Bentala yang tadi dititipkan bosnya tersebut untuk diisi ulang baterainya.

"Ada telepon dari rumah sakit, Pak. Katanya Pak Agam sedang dalam keadaan kritis. Prof. Emir meminta anda untuk datang ke rumah sakit sekarang juga."

***

"Iya, Pa. Ini aku lagi jalan ke ruangan Papa. Sabar sebentar, ok?"

Awalnya ia hanya ingin santai seharian di apartemennya, saat sang Ayah memintanya membawakan vitamin, dan beberapa berkas ke rumah sakit. Karena Gino, asisten ayahnya sedang pulang kampung, jadilah Rana sebagai tumbal. Rana sempat kesal, namun memang apartemennya yang paling dekat, dan kemungkinan juga hanya dirinya yang tengah lowong siang itu.

Rana pun memasuki ruangan ayahnya, saat suster yang bertugas mengatakan kalau dirinya sudah ditunggu sejak tadi. Si suster juga mengatakan kalau ayahnya sedang istirahat. Jadi, tak ada kunjungan pasien satu pun di ruangannya.

"Rana, datang!" serunya saat melangkah masuk ke dalam ruangan di mana sang ayah sedang duduk sambil membaca sebuah laporan. "Katanya lagi istirahat. Kok, masih kerja aja sih, Pa?"

"Ini ada pasien yang pagi ini keadaannya sangat drop. Tiba-tiba saja. Padahal beberapa hari ini progresnya mulai bagus." Emir pun menaruh laporan tersebut di meja, lalu menyalami Rana yang barada di sampingnya. "Kamu apa kabar? Tumben kamu enggak sibuk?"

"Aku memang mau istirahat dua bulan. Lagi enggak mau ambil job apa pun," jelasnya sambil melirik nama di bagian depan laporan. "Agam Putra Narendra ini maksudnya bapaknya Bentala, Pa?"

Emir melirik sekilas, lalu mengangguk. Ia melihat ada perubahan ekspresi yang signifikan saat dirinya memberi tahu Rana. Gadis itu terlihat kaget, namun langsung menyembunyikannya dengan bersikap datar. Sebagai aktris terkenal, mungkin saja orang lain akan tertipu. Tapi, tidak dengan Emir, seorang ayah yang sudah membesarkan Rana sejak istrinya kabur entah ke mana.

"Kamu kenal sama Agam, Nak?"

"Ya, aku pernah ketemu sekali," jawab Rana jujur. "Tante Dahlia apa kabar, Pa? Sudah lama banget Rana enggak ketemu dia."

"Mencoba mengalihkan pembicaraan ya, kamu?" tanya Emir yang langsung mendapat cengiran dari Rana. "Lagipula bukannya kamu enggak suka sama Dahlia? Kami sudah lama putus."

Rana mengernyit. Satu hal yang paling Rana tidak suka dari ayahnya adalah kebiasaannya bergonta-ganti pacar. Rana pikir itu karena watak ayahnya saja, tapi setelah ia telisik lebih jauh, kemungkinan besarnya karena Emir masih menaruh rasa pada sang Ibu yang entah hilang ke mana.

Rana mungkin benci sifat ayahnya, tapi ia jauh lebih benci ibunya. Dengan gilanya meninggalkan dua kakaknya, dan dirinya yang masih sangat kecil. Maka dari itu sekecewa apa pun Rana pada Emir, ia akan tetap memaafkan pria itu. Pria yang berusaha memberikan cinta, dan waktunya pada Rana.

"Terus sekarang masih kosong? Papa enggak mau nyari yang seumuran aja?"

"Seusia 59 tahun?" tanya Emir skeptis. "Kamu pikir enak berhubungan badan sama wanita yang sudah menopause? Jangan aneh-aneh deh, Rana. Kalau kasih nasihat tuh, yang oke dikit gitu."

Rana terkekeh, dan hanya menggelengkan kepala saat mendengar jawaban ayahnya yang melantur. Mungkin usia boleh 59 tahun, tapi Emir Dikara Husada benar-benar masih setampan pria 40 tahunan. Pantas saja masih banyak gadis muda yang mengantri untuk dipinang pria berumur seperti Emir.

"Papa sudah makan? Ayo, kita makan siang."

"Belum bisa, Nak. Papa harus stand by di sini 24 jam. Agam sedang kritis. Jadi, Papa enggak bisa ke mana-mana?"

"Hah?"

"Ya, kebetulan sekarang papa sedang menunggu Bentala."

"Apa?" Kali ini Rana benar-benar ketar-ketir.

"Nah, itu dia datang orangnya!"

Rana menoleh. Mendapati seorang pria tampan yang sudah lima tahun ini tak pernah ia lihat sebelumnya, kini berada di hadapannya. Mereka saling melempar pandang. Terlihat kaget satu sama lain.

***

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status