"Gila kamu, Rana! Gila! Apa sih yang sebenarnya sedang kamu lakukan?"Rana terus merutuki dirinya sendiri. Setelah mengikuti Bentala kembali ke ruang rawat ayahnya, Rana meminta izin untuk ke kamar mandi. Awalnya Bentala memelototi Rana, namun karena berada di depan Emir, Bentala tak bisa menyuarakan penolakannya. Rana jelas menang, dan melenggang jauh meninggalkan dua pria penting di hidup Rana tersebut.Gadis itu tahu Bentala sudah menduga kalau Rana akan melarikan diri kembali. Namun, ia juga tak bisa memenuhi permintaan Bentala. Bukan karena tidak bisa, tapi karena lebih kepada status pria itu yang sudah menikah. Seharusnya tadi Rana memberontak, tapi ia justru bersikap lembek dengan menyerahkan dirinya pada pria itu. Sungguh, Rana merasa dirinya seperti perempuan murahan."Hei, Dir. Lo lagi ada di apartemen enggak? Gue butuh curhat nih," ucap Rana di telepon saat gadis itu mulai menjalankan mobilnya keluar rumah sakit. Di ujung telepon, Indira pun mempersilahkan, membuat Rana lan
"Apa? Mau mengundurkan diri? Kenapa lagi sih? Lo tuh kalau cari asisten yang benar dong, Tish. Masa dalam satu tahun gue enam kali ganti asisten. Lo tuh yang benar aja. Apa perlu gue gaji HRD buat interview asisten?" Latisha Permata menunduk, meminta maaf pada Rana karena untuk keenam kalinya gadis itu akan kehilangan asistennya. Ini bukan sama sekali salah Rana, Latisha sendiri yang memang tak pandai memilih orang untuk dipekerjakan. Ada saja masalah yang terjadi. Namun yang paling sering adalah mengundurkan diri dengan alasan ingin menikah. Latisha sendiri sampai bingung. Padahal Rana sangat baik. Gadis itu bukan aktris yang neko-neko, meskipun saat ini namanya sedang berada di urutan paling atas. Tak ada yang menolak Rana. Gadis itu akan siap bermain untuk peran apa pun, dan hasilnya entah mengapa selalu terlihat brilian. "Kali ini tolong cari yang benar. Kalau bisa yang udah nikah aja. Ya, meskipun sulit sih, emang. Tapi, tolonglah kalau bisa awet, Tish." Latisha mengangguk, "k
"Gue turut berduka cita, ya. Lo yang kuat, Ben. Ikhlaskan kepergian Om Agam. Jangan terus menerus berlarut dalam kesedihan. Biar Om Agam di sana juga tenang." Bentala mengangguk, dan kemudia tersenyum tipis pertanda bahwa ia baik-baik saja. Bentala memang baik-baik saja. Dia memang terlihat sedih, kuyu, dan tak bersemangat, namun selebihnya ia dalam keadaan yang sangat tegar. Ia tampak sangat kuat untuk ukuran kehilangan yang sangat berat. Rana yang berdiri di belakang Indira, langsung tersenyum. Ia tak sanggup berkata-kata. Bentala pun juga hanya membalas senyumannya. Pria itu hanya menerima uluran tangan Rana dengan profesional. "Kalian bisa masuk, dan mendo'akan Bapak," ucap Bentala sambil mempersilahkan keduanya untuk masuk. "Gue enggak bisa menemani kalian, karena masih ada banyak tamu yang harus gue sapa. Maaf, ya." Indira, dan Rana mengangguk bersamaan. "Ya, enggak apa-apa, Ben!" Rana masuk terlebih dahulu diikuti oleh Indira. Keduanya melihat almarhum, dan mendo'akannya. R
"Bentala, sudah sepuluh menit. Pulanglah!"Bentala melepaskan pelukannya. Matanya mencari, namun Rana tampak mencoba mengalihkannya ke mana saja, asal itu bukan kepada Bentala. Rana sungguh tak ingin menatap mata teduh Bentala yang mampu menyihir, dan membuat pikirannya berantakan. Ia tak ingin setelah pelukan, ada aktivitas lainnya yang membuat tekadnya buyar.Sayangnya lawan yang dihadapi Rana adalah seorang Bentala Pradaya Byakta. Pria itu benar-benar keras kepala bila itu bicara mengenai Rana. Ia tangkup wajah mungil Rana yang cantik, dan ia paksa gadis itu untuk menatapnya. Rana pun lagi, dan lagi tak bisa berpaling. Mata mereka saling bertemu, saling mencoba berbicara lewat sunyi yang tak mungkin bisa diraih oleh orang lain."Kamu benar-benar ingin aku pulang? Kamu bisa bicara, dan menjawab pertanyaanku, jika kamu mau. Aku akan ada di sini semalaman untuk tahu semua isi kepala, dan perasaanmu, Rana.""Tapi, aku enggak mau," jawab Rana dengan sangat lemah. "Aku hanya ingin kamu p
"Maharta Resto, and Cafe kan? Ini gue sudah sampai di parkiran. Lo tunggu aja di sana. Jangan keluar buat jemput gue. Gue bisa kok, masuk sendiri. Belum datang kan, CEO dari Putra Jaya Group?"Latisha menjawab dari ujung telepon kalau calon bosnya belum datang. Ia merasa lega, karena ternyata dirinya belum terlambat. Terjebak macet selama tiga puluh menit ternyata membuat mood Rana turun. Selain itu, sejak pagi perasaan sedang tidak enak. Rana pikir, kemungkinan besarnya akibat memikirkan Bentala terus menerus.Rana pun mencoba membuang pikiran buruknya. Ia berusaha merapikan penampilannya, dan membuat calon bosnya terkesan. Ia tidak ingin dianggap tidak profesional, karena berpakaian tidak pantas, atau datang terlambat di pertemuan pertama. Segalanya Rana coba untuk dibuat semaksimal mungkin."Hei," sapa Rana pada Latisha yang langsung berdiri menyambut sang aktris. "Syukurlah calon bos kita belum sampai. Gue pikir bakalan terlambat.""Gue pikir juga lo bakalan terlambat." Latisha la
"Aku mengundangmu ke sini bukan untuk membahas soal itu. Aku enggak mau membahas soal masa lalu, apalagi yang berurusan dengan kesalahan kita lima tahun lalu. Aku mabuk saat itu, Bentala. Begitu juga dengan kamu. Jadi, mari kita lupakan kejadian malam itu. Tolonglah, Bentala!" Bentala mengernyit seperti tidak suka dengan jawaban Rana. Hatinya tersentil. Ia ingin sekali memarahi Rana, namun ia tahu semua yang gadis itu pikirkan, karena statusnya yang telah menikah. Tidak ada satu pun gadis yang ingin dijadikan yang kedua, apalagi seorang Rana Diatmika Husada. Rana sendiri tahu bahwa semua perkataannya jahat. Ia juga tahu kalau semua perkataannya adalah sebuah kebohongan. Rana memang menganggap bahwa kejadian lima tahun lalu itu adalah kesalahan, tapi ia tidak pernah melupakannya. Rana mengingatnya, bahkan hingga detik itu. "Aku tahu kamu bohong," lirih Bentala pelan, namun sebelum Rana kembali membalas perkataannya tersebut, pria itu mulai mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, lupakan
Bentala Pradaya Byakta : Pertanyaan pertama adalah mengapa kamu melarikan diri lima tahun yang lalu?Bentala belum pulang. Ia memang memenuhi permintaan Rana untuk keluar dari apartemennya, dan menghargai dirinya. Tapi, Bentala belum mau pulang dari sana. Pria itu masih berada di parkiran apartemen Rana, dan mulai mengirim chat ke gadis itu.Padahal pria itu memiliki segudang pekerjaan yang harus dikerjakan, tapi dengan gilanya ia justru memilih menuntut jawaban dari Rana. Bagi Bentala kini, Rana adalah yang utama. Setelah kehilangan Agam, hanya Rana satu-satunya harapan yang tersisa. Kalau Rana juga menolaknya, ia tidak tahu harus menghadapi kehidupan masa depannya dengan cara bagaimana."Pulang, Ben." Suara Rana menggema di telinganya saat Ben mengangkat panggilannya. "Kamu bisa chat aku mulai besok. Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan kamu malam ini.""Kamu lagi off dari pekerjaan. Jadi, kamu punya banyak waktu luang. Kamu memangnya mau apa? Aku lihat kamu tampak santai
"Cappucino aja, Fal. Rasanya kepala gue mau pecah. Gue butuh kopi, dan curhat ke lo, mungkin?"Ighfaldi tertawa lepas saat mendengar Rana mengatakan hal tersebut. Entah sejak kapan Ighfal, dan Rana mengubah hubungan profesional mereka menjadi pertemanan. Namun yang jelas semenjak projek film yang mempertemukan keduanya, hubungan mereka menjadi akrab, dan gosip tentang kedekatan keduanya pun terus merebak di berbagai media. Banyak fans yang mendukung keduanya, namun bagi Rana, Ighfal lebih cocok untuk dijadikan teman baginya, tidak lebih.Ighfal sendiri selalu memberikan kode-kode bahwa ia sangat menyukai Rana. Sayangnya Rana tak pernah membiarkan Ighfal melewati garis pertemanan, jadi ia pun juga membatasi perasaan sukanya pada gadis itu. Ia tak mau merusak pertemanan mereka yang menyenangkan. Lagipula cinta bisa didapatkan di mana saja, namun teman baik seperti Rana tak mungkin ia dapatkan dengan mudah di dunia ini."Tumben lo pusing," celetuk Ighfal dengan nada bercanda. "Biasanya s
"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Gue benar-benar senang, karena lo sudah sadar, Na. Maaf ya, gue enggak bisa melihat lo langsung ke Australia. Karena gue pikir-pikir keadaannya pasti enggak memungkinkan dan gue enggak pernah ke Australia sebelumnya. Gue takut jatuhnya ngerepotin Indira yang lagi sibuk ngurusin lo, dan kerjaannya."Hanya sebuah gelengan yang mampir di wajah Rana saat mendengar managernya, Latisha meminta maaf. Ia tak pernah mempermasalahkan siapa yang berada di sampingnya saat sakit. Baginya di mana pun berada, Rana sudah cukup dengan doa. Rana tahu obat mujarab terampuh bagi orang sakit adalah doa dari orang yang benar-benar tulus menginginkan kesembuhan diri kita.Latisha sendiri merasa sangat bahagia. Meskipun hanya bisa melihat Rana dari panggilan video, tapi gadis itu sudah merasa cukup puas. Melihat Rana meresponnya dengan senyum tercantik yang Rana punya, sudah membuat Latisha merasa sangat lega."Tidak masalah kok," jawab Rana jujur. Ia tersenyum lemah. "Lo jangan maksain diri buat ke sini. L
"Indira, boleh saya bicara sama kamu sebentar?"Tak mungkin Indira tak kaget. Ia menengadah, dan memastikan kalau yang bicara padanya memang benar-benar seorang Emir Dikara Husada. Selama hampir dua minggu, pria itu pura-pura tak mempedulikannya, hari ini, di hari di mana Rana sadar sepenuhnya, Emir akhirnya mau mengajaknya bicara. Bukannya Rana berharap, tapi ia ingin antara dirinya, dan Emir berhenti memikirkan menyoal masa lalu, serta terjebak di dalamnya.Indira pun mengangguk, meskipun Arnold sempat menggeleng. Ia menatap Arnold seraya tersenyum meminta pengertian. Arnold pun melihat pada Indira, dan akhirnya memperbolehkan gadis itu menyelesaikan segala masalahnya dengan pria brengsek yang ternyata adalah sahabat baik Rana. Jujur, saat mengetahuinya, Arnold jelas kaget bukan main. Ia sungguh merasa luar biasa, karena ternyata Rana, dan juga Indira masih bisa menjalin pertemanan yang sangat baik."Tunggulah di sini," pinta Indira yang langsung disanggupi oleh Arnold. "Aku akan ba
"Maaf, mengganggu waktumu, Ben. Tapi, saya harus memberikan ini secara langsung untukmu. Kamu diundang khusus sebagai best man-saya dalam pernikahan saya dengan Tanaya. Ya, saya tahu kondisinya tidak memungkinkan. Tapi, tak apa-apa. Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda bahwa hanya kamu yang berhak untuk posisi itu."Tentu saja Bentala terhenyak. Bukan soal undangannya, tapi bagaimana Edward selalu memperlakukannya dengan spesial. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Edward baginya sudah seperti saudara yang ia temukan di benua lain. Dia selalu merawat, memperhatikan, bahkan memperlakukan Bentala seperti dirinya adalah orang yang layak mendapat perlakuan tersebut. Tak hanya Edward, Tanaya pun demikian.Untuk itulah, Bentala rela melakukan banyak hal bodoh hanya untuk menjaga mereka tetap bahagia. Sebab, di saat ia tak punya siapa-siapa di negeri orang, hanya Edward, dan Tanaya yang membantunya. Hanya mereka berdua yang rela bersusah payah untuk seorang Bentala."Kamu membuat
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in