"Gue turut berduka cita, ya. Lo yang kuat, Ben. Ikhlaskan kepergian Om Agam. Jangan terus menerus berlarut dalam kesedihan. Biar Om Agam di sana juga tenang."Bentala mengangguk, dan kemudia tersenyum tipis pertanda bahwa ia baik-baik saja. Bentala memang baik-baik saja. Dia memang terlihat sedih, kuyu, dan tak bersemangat, namun selebihnya ia dalam keadaan yang sangat tegar. Ia tampak sangat kuat untuk ukuran kehilangan yang sangat berat.Rana yang berdiri di belakang Indira, langsung tersenyum. Ia tak sanggup berkata-kata. Bentala pun juga hanya membalas senyumannya. Pria itu hanya menerima uluran tangan Rana dengan profesional."Kalian bisa masuk, dan mendo'akan Bapak," ucap Bentala sambil mempersilahkan keduanya untuk masuk. "Gue enggak bisa menemani kalian, karena masih ada banyak tamu yang harus gue sapa. Maaf, ya."Indira, dan Rana mengangguk bersamaan. "Ya, enggak apa-apa, Ben!"Rana masuk terlebih dahulu diikuti oleh Indira. Keduanya melihat almarhum, dan mendo'akannya. Rana
"Bentala, sudah sepuluh menit. Pulanglah!"Bentala melepaskan pelukannya. Matanya mencari, namun Rana tampak mencoba mengalihkannya ke mana saja, asal itu bukan kepada Bentala. Rana sungguh tak ingin menatap mata teduh Bentala yang mampu menyihir, dan membuat pikirannya berantakan. Ia tak ingin setelah pelukan, ada aktivitas lainnya yang membuat tekadnya buyar.Sayangnya lawan yang dihadapi Rana adalah seorang Bentala Pradaya Byakta. Pria itu benar-benar keras kepala bila itu bicara mengenai Rana. Ia tangkup wajah mungil Rana yang cantik, dan ia paksa gadis itu untuk menatapnya. Rana pun lagi, dan lagi tak bisa berpaling. Mata mereka saling bertemu, saling mencoba berbicara lewat sunyi yang tak mungkin bisa diraih oleh orang lain."Kamu benar-benar ingin aku pulang? Kamu bisa bicara, dan menjawab pertanyaanku, jika kamu mau. Aku akan ada di sini semalaman untuk tahu semua isi kepala, dan perasaanmu, Rana.""Tapi, aku enggak mau," jawab Rana dengan sangat lemah. "Aku hanya ingin kamu p
"Maharta Resto, and Cafe kan? Ini gue sudah sampai di parkiran. Lo tunggu aja di sana. Jangan keluar buat jemput gue. Gue bisa kok, masuk sendiri. Belum datang kan, CEO dari Putra Jaya Group?"Latisha menjawab dari ujung telepon kalau calon bosnya belum datang. Ia merasa lega, karena ternyata dirinya belum terlambat. Terjebak macet selama tiga puluh menit ternyata membuat mood Rana turun. Selain itu, sejak pagi perasaan sedang tidak enak. Rana pikir, kemungkinan besarnya akibat memikirkan Bentala terus menerus.Rana pun mencoba membuang pikiran buruknya. Ia berusaha merapikan penampilannya, dan membuat calon bosnya terkesan. Ia tidak ingin dianggap tidak profesional, karena berpakaian tidak pantas, atau datang terlambat di pertemuan pertama. Segalanya Rana coba untuk dibuat semaksimal mungkin."Hei," sapa Rana pada Latisha yang langsung berdiri menyambut sang aktris. "Syukurlah calon bos kita belum sampai. Gue pikir bakalan terlambat.""Gue pikir juga lo bakalan terlambat." Latisha la
"Aku mengundangmu ke sini bukan untuk membahas soal itu. Aku enggak mau membahas soal masa lalu, apalagi yang berurusan dengan kesalahan kita lima tahun lalu. Aku mabuk saat itu, Bentala. Begitu juga dengan kamu. Jadi, mari kita lupakan kejadian malam itu. Tolonglah, Bentala!"Bentala mengernyit seperti tidak suka dengan jawaban Rana. Hatinya tersentil. Ia ingin sekali memarahi Rana, namun ia tahu semua yang gadis itu pikirkan, karena statusnya yang telah menikah. Tidak ada satu pun gadis yang ingin dijadikan yang kedua, apalagi seorang Rana Diatmika Husada.Rana sendiri tahu bahwa semua perkataannya jahat. Ia juga tahu kalau semua perkataannya adalah sebuah kebohongan. Rana memang menganggap bahwa kejadian lima tahun lalu itu adalah kesalahan, tapi ia tidak pernah melupakannya. Rana mengingatnya, bahkan hingga detik itu."Aku tahu kamu bohong," lirih Bentala pelan, namun sebelum Rana kembali membalas perkataannya tersebut, pria itu mulai mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, lupakan sa
Bentala Pradaya Byakta : Pertanyaan pertama adalah mengapa kamu melarikan diri lima tahun yang lalu?Bentala belum pulang. Ia memang memenuhi permintaan Rana untuk keluar dari apartemennya, dan menghargai dirinya. Tapi, Bentala belum mau pulang dari sana. Pria itu masih berada di parkiran apartemen Rana, dan mulai mengirim chat ke gadis itu.Padahal pria itu memiliki segudang pekerjaan yang harus dikerjakan, tapi dengan gilanya ia justru memilih menuntut jawaban dari Rana. Bagi Bentala kini, Rana adalah yang utama. Setelah kehilangan Agam, hanya Rana satu-satunya harapan yang tersisa. Kalau Rana juga menolaknya, ia tidak tahu harus menghadapi kehidupan masa depannya dengan cara bagaimana."Pulang, Ben." Suara Rana menggema di telinganya saat Ben mengangkat panggilannya. "Kamu bisa chat aku mulai besok. Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan kamu malam ini.""Kamu lagi off dari pekerjaan. Jadi, kamu punya banyak waktu luang. Kamu memangnya mau apa? Aku lihat kamu tampak santai
"Cappucino aja, Fal. Rasanya kepala gue mau pecah. Gue butuh kopi, dan curhat ke lo, mungkin?"Ighfaldi tertawa lepas saat mendengar Rana mengatakan hal tersebut. Entah sejak kapan Ighfal, dan Rana mengubah hubungan profesional mereka menjadi pertemanan. Namun yang jelas semenjak projek film yang mempertemukan keduanya, hubungan mereka menjadi akrab, dan gosip tentang kedekatan keduanya pun terus merebak di berbagai media. Banyak fans yang mendukung keduanya, namun bagi Rana, Ighfal lebih cocok untuk dijadikan teman baginya, tidak lebih.Ighfal sendiri selalu memberikan kode-kode bahwa ia sangat menyukai Rana. Sayangnya Rana tak pernah membiarkan Ighfal melewati garis pertemanan, jadi ia pun juga membatasi perasaan sukanya pada gadis itu. Ia tak mau merusak pertemanan mereka yang menyenangkan. Lagipula cinta bisa didapatkan di mana saja, namun teman baik seperti Rana tak mungkin ia dapatkan dengan mudah di dunia ini."Tumben lo pusing," celetuk Ighfal dengan nada bercanda. "Biasanya s
"Hai Bentala! It's me, Rana! Walau terlambat, tapi selamat karena diterima di Stanford. Selamat juga atas pertunanganmu."Tulisan itu terkesan ceria di selipan bunga peony yang sangat cantik. Tapi bukan sebentuk ucapan, atau karangan bunga yang dibutuhkan pria tinggi bernama Bentala Pradaya Byakta tersebut. Ia lebih butuh bertemu dengan si pengirim bunga, dan akhirnya setelah melewati wisuda, Bentala pun bertemu dengan Rana Diatmika Husada di malam terakhirnya di Indonesia.Rana tengah menyesap anggur merah. Tampak menikmati, sementara sang empunya rumah tengah sibuk mengantar beberapa temannya ke teras. Malam sudah menjelang pukul setengah satu, namun Rana tak bergegas pulang seperti yang lain."Rana, gue sama Camilla duluan ya," ujar Indira memberi tahu. Indira tak ingin meninggalkan Rana, tapi ia tak sanggup kalau harus mengurus dua wanita mabuk bersamaan. "Tadi gue sudah minta Ben untuk antar lo pulang. Ok?"Rana hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia masih sadar. Tak sepaya
"Rana, kita harus berhenti."Lirihan itu terdengar begitu pelan di leher jenjang Rana. Bentala benar-benar berada dalam kebingungan. Ia ingin sekali menyudahi segala tindakan yang tengah dilakukannya. Namun apa daya, kulit mulus, dan wangi vanilla yang manis dari tubuh Rana, tak mampu membuat Bentala berhenti.Inchi demi inchi Bentala telusuri pipi, dagu, leher, hingga pundak Rana dengan bibirnya. Tak ada satu pun yang tertinggal. Tangannya bahkan sudah masuk ke dalam kemeja Rana, lalu merasai kulit mulus Rana, dan mulai memasuki area yang rasanya tak boleh terjangkau oleh tangan Bentala."Jangan," larang Rana sama lirihnya. Napas gadis itu terengah, matanya menutup. Kulitnya yang putih bahkan mulai memerah karena gairah. "Jangan berhenti, Bentala.""Ini sudah terlalu jauh.""Maka teruskan, bukannya justru berhenti." Rana meraup rambut tebal Bentala. Membuat pria itu makin terpancing. "Kita sudah memulainya, jadi lanjutkan saja, Bentala! Bukankah kita sudah sama-sama gila sekarang?"R