"Bapak, ngapain di sini?"
Bukannya Bentala kurang ajar, tapi melihat sang ayah datang ke rumahnya secara tiba-tiba sontak membuat pria itu kaget. Bentala tahu, cepat atau lambat sang ayah pasti tahu saat ia menunda untuk berangkat. Tanaya entah atau tidak, pasti telah mengadu pada ayahnya tersebut. Agam Putra Narendra adalah pensiunan TNI. Ia adalah mantan Jenderal, sekaligus mantan menteri pertahanan di era kepemimpinan presiden sebelumnya. Sudah dua tahun ia hanya duduk-duduk, sembari mengurus beberapa usaha perkebunan miliknya. Pria itu juga yang mengurus Bentala dari umur sepuluh tahun di saat ia ditinggalkan oleh Ibunya yang meninggal karena penyakit kanker. "Karena Bapak dengar kamu belum berangkat, Bapak jenguk kamu. Bapak pikir kamu sakit. Ternyata benar-benar sakit, ya? Tampangmu benar-benar buruk, Nak." Bentala mendengus, "Ben, bukan anak-anak lagi, Pak." "Kalau bukan anak-anak seharusnya kamu bisa mengurus diri kamu sendiri dengan benar. Saat kamu bilang ingin ambil bisnis di Stanford, Bapak setuju. Karena ada Tanaya di sana." "Kenapa sih, Bapak sesuka itu sama Tanaya?" Agam melengos. Ia selalu menolak pertanyaan itu. Bukannya ia suka dengan Tanaya, tapi ia terpaksa menikahkan putranya dengan putri dari pria terkaya di Indonesia, Mahaka Andromeda Gunawan. Selain demi masa depan Bentala, hanya Mahaka orang paling kaya di negara ini yang ia tahu dengan jelas kebusukannya. Mahaka tidak akan menolak Bentala, bahkan meskipun ia mati sekali pun. Pria itu harus menjaga Bentala hingga putranya menjadi apa pun yang dia inginkan. Agam tak gila harta, atau jabatan. Tapi, ia ingin putra satu-satunya tersebut hidup aman hingga tua. "Kamu sendiri mengapa sesuka itu sama putri keluarga Husada? Mereka memang kaya raya, tapi terlalu banyak masalah di keluarga mereka. Kamu tahu Emir Dikara Husada? Dia seorang profesor, tapi justru berkencan dengan gadis muda. Sungguh memalukan!" "Apa yang dilakukan Prof. Emir sama sekali enggak ada hubungannya dengan Rana, Pak. Rana juga sama malunya dengan tingkah ayahnya. Tolong, jangan bawa-bawa Rana." Agam jengah. Dengan kasar, ia menghembuskan napasnya, dan kemudian berdiri. Pria tua itu lalu mendekati putranya, dan menepuk bahu tegap Bentala dengan pelan. Ia ingin sekali Bentala paham keinginannya. "Bentala, pergilah ke US. Gadis itu enggak akan kembali kalau kamu belum juga pergi. Dia enggak akan kembali, atau pun menerima kamu. Dia enggak akan menunggu kamu, Nak." Bentala mendongak, menatap ayahnya dengan tajam. "Apa maksudnya? Apa yang Bapak lakukan sama Rana? Apa Bapak pergi menemuinya, dan mengancamnya?" Agam terkekeh, "buat apa mengancam gadis muda, Nak? Menemui, benar. Dia gadis yang cantik, dan sangat pintar. Pantas sih, kamu tergila-gila sama dia. Tapi, perlu kamu ingat, dia enggak akan mampu membantu ambisimu, Nak. Gadis itu saja mengerti, masa kamu enggak?" Dari situ Bentala paham segala keanehan yang terjadi pada diri Rana. Gadis itu bukannya berubah, tapi ia memang tidak ingin membebani mimpinya. Sejak awal bertemu, Bentala memang selalu menyebut satu persatu goal-nya. Tapi, tidak dengan Rana. Rana yang tipikal santai, dan tidak banyak memiliki keinginan memang jauh berbeda dengan Bentala. Namun, karena Rana-lah, Bentala jadi menikmati hidup. Karena Rana juga, ia jadi punya banyak teman. Tidak melulu terpaku pada ambisinya, pada cita-citanya menjadi nomor satu. "Bentala, pergilah. Dia saja meninggalkanmu. Itu artinya, gadis itu tak mau terlibat dengan apa pun yang terjadi denganmu di kemudian hari. Sadarlah!" *** Seminggu kemudian, Indira menemui Rana di tanah kelahirannya, Bali. Gadis itu tampak bersantai di rumah ayahnya yang berada di daerah Bedugul. Indira tahu Rana pulang, saat asisten rumah tangga Rana mengiriminya pesan. Indira tentu saja tak tinggal diam, ia sambangi sahabatnya itu langsung ke Bedugul. "Hai, Nona Danuretjo! Long time no see." Indira dengan kesal menoyor kepala Rana, "gue pikir lo melarikan diri ke luar negeri. Ke mana aja lo, Rana Diatmika Husada?" "Cuma nginap di salah satu hotel bokap gue, kok." "Bandung?" Rana mengangguk. Ia memang sengaja bersembunyi sampai Bentala benar-benar berangkat ke Amerika. Bila pria itu tahu, Rana pulang ke Bali, sama halnya seperti Indira, Bentala juga pasti akan meluncur mengejarnya. Ia tak ingin Bentala terlalu lama mengambil waktu untuk seorang gadis yang tak membantu mimpinya sama sekali seperti dirinya. "Gue sih udah bisa menebak, tapi gue pengin jawaban pasti dari lo. Malam itu lo sama Bentala making love, ya kan?" Rana menoleh, dan langsung melempar bantal ke muka Indira. "Pelan dikit woy! Ada abang gue di bawah. Kalau dia dengar, bisa digorok kepala gue. Lo tahu kan, cuma abang gue yang paling waras di keluarga gue." "Sama lo tadinya," celetuk Indira yang langsung disambar tawa oleh Rana. "Lo gila tahu enggak, Na! Gue pikir buat lo, keperawanan itu nomor satu. Tapi, malah lo kasih cuma-cuma ke Bentala. Mana lo tinggal pergi lagi. Lo tuh kenapa sih, Na?" Rana tak menjawab. Ekspresi wajahnya berubah. Rana memang paling juara menyoal perubahan ekspresi. Ia selalu takjub saat betapa berbakatnya Rana di dunia akting. Tiga sampai lima tahun ke depan, Indira yakin dari dunia teater yang kecil, Rana pasti bisa jadi aktris terkenal di Indonesia. "Gue ketemu sama Bapaknya Bentala." "Om Agam? Hmm... ya enggak heran sih, kalau lo langsung menghindari anaknya. Om Agam emang seserem itu. Untung aja sih, dia kenal sama bapaknya Tanaya juga, kalau enggak, mungkin gue kali ya diambil jadi calon mantu. Amit-amit deh!" cerocos Indira yang lagi-lagi membuat Rana tersenyum. "Om Agam bilang apa, Na? Suruh jauhin anaknya? Kayaknya sih enggak deh! Ya kan?" Rana menggeleng, "dia cuma cerita hal apa aja yang Bentala inginkan dalam hidup. Dia juga cerita hal apa aja yang udah Bentala raih dengan jerih payahnya sendiri. Dia mungkin terlihat garang di luar, tapi dia kebapakan banget. Dia beda sama bokap gue. Jujur sih, gue iri sama Bentala." Indira setuju. Meskipun mantan Jenderal, tapi Agam Putra Narendra sama sekali bukan tipikal ayah otoriter. Agam selalu hangat. Membuat siapa pun sadar kalau pria itu sangat mencintai putra satu-satunya. "Dia cuma pengin yang terbaik buat Bentala. Bersama Tanaya adalah jawabannya. Tanaya adalah versi perempuannya Bentala. Mereka berdua akan saling mendukung sama lain. Mereka sepadan." "Pikiran itu datang juga bukan baru-baru ini kan? Dari lo ketemu Bentala pun, seorang Rana yang digila-gilai banyak laki-laki udah mulai insecure." "Iya, Dir." "Tapi, dengan melepas keperawanan lo? Lo bukannya jaga banget, Na? Kenapa?" "Malam itu gue mabuk, Dira. Gue juga enggak tahu bakalan terjadi. Tapi, entah kenapa gue puas. Dia cinta pertama gue, Dir. Satu-satunya yang bikin gue jatuh hati. Kalau pun akhirnya Bentala pergi bersama orang lain, gue ikhlas. Karena hingga akhir pun, gue memang cuma mau dia yang memilikinya. Bilang gue gila, tapi tipikal cinta kan, emang gitu. Gila, dan buta. Gue sih berharap kemarin itu yang terakhir. Gue enggak mau ketemu Bentala lagi, Dir. Selamanya kalau bisa." ***"Eh, lo sudah nonton filmnya Rana Husada belum? Gue nonton sama cowok gue kemarin, gila keren banget dia jadi pelakor. Bagus banget filmnya! Aktingnya si Rana nih, memang enggak pernah gagal ya?"Indira, dan Camilla langsung menoleh saat dua orang gadis muda tengah membicarakan sahabat mereka, Rana. Setelah kepergian Bentala tiga tahun lalu, Rana sibuk dengan segala kegiatan yang positif. Ia kembali ke bangku kuliah, lulus S2, dan terkenal sebagai aktris teater. Setengah tahun yang lalu, film pertama Rana berhasil meraih dua setengah juta penonton, dan menasbihkannya sebagai salah satu aktris pendatang baru terbaik di berbagai ajang penghargaan.Kini film kedua Rana menjadi perbincangan di mana-mana. Meskipun belum menjadi tokoh utama, tapi Rana justru yang paling banyak meraih atensi. Rana dianggap sebagai representasi dari aktris yang memiliki wajah cantik, berkelas, dan berbakat."Makin berjaya aja, teman kita." Indira mengangguk, ia setuju dengan anggapan Camilla. "Ya, memang akti
"Tanaya, sudah berapa lama kalian berhubungan? Ya Tuhan, Tanaya! Tak pernah terpikirkan dalam kepalaku kalau kamu akan berciuman dengan Edward. Dia teman dekatku, Tanaya."Tanaya bergeming. Matanya sibuk memandang ke luar jendela, sedangkan Bentala duduk dengan ekspresi tak karuan. Ia tak pernah menyangka kalau Tanaya yang selalu anggun, dan minim kesalahan akan tertangkap basah mencium teman dekatnya, Edward Clarkson.Bentala pikir Tanaya adalah gadis yang tak tertarik dengan hubungan asmara. Ternyata diamnya Tanaya, karena ia tengah menjalin hubungan dengan salah satu pria. Hal yang tak pernah terlewat di kepala Bentala akan dilakukan oleh Tanaya."Jawab aku, Tanaya!""CUKUP, BEN!" teriak Tanaya dengan muka masam. "Cukup bertingkah sebagai tunanganku. Cukup bertanya-tanya hal yang enggak pernah kamu pedulikan. Kenapa sekarang kamu mau tahu? Kenapa Ben? Kenapa?""Aku harus tahu, karena aku masih tunangan kamu, Tanaya."Tanaya berdecih. Ia benci tingkah Bentala terhadapnya hari ini. S
"Mengapa iklannya payah semua sih? Kalau begini bagaimana bisa menaikkan profit? Saya mau siang ini diadakan rapat besar-besaran! Buat apa kita punya produk rumah tangga yang bagus, tapi promosinya seadanya begini." Sang Asisten, Danish Setia Budi, langsung mengangguk. Ia dengan cepat melangkah keluar ruangan untuk menjalankan apa pun amanat dari sang atasan. Tak lama dari acara pernikahannya digelar, Bentala langsung pulang ke Indonesia. Ia memiliki tanggung jawab yang sangat menyita waktunya. Mimpinya baru benar-benar terealisasi setahun ke belakang. Kini ia menjadi wakil ketua partai Karya Bersama Indonesia, dan digadang-gadang menjadi bakal calon Gubernur Jakarta. Jadi, tak hanya menjalankan bisnis ayahnya, Bentala benar-benar sukses membangun figurnya menjadi menarik di periode pemilihan presiden tahun ini. "Kalau Edward belum bisa ke Indonesia, ya jangan dipaksa. Orang tua kamu mulai curiga, Tanaya. Ini sudah enam bulan. Kamu mau kepergok orang tuamu, karena tengah tinggal be
"Kamu bisa pergi, Rana. Tidak ada yang menghalangimu untuk pergi. Pergilah kalau kamu ingin pergi."Rana terpaku. Ia hanya terdiam saat Bentala mengusirnya. Ia memang bisa pergi, tapi kondisi Agam yang tengah kritis, entah mengapa membuatnya ingin tetap di sana. Ia tak sanggup bila harus meninggalkan Bentala, meskipun gadis itu tahu pria tersebut milik orang lain.Bentala yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, langsung menengadahkan kepalanya. Ia penasaran mengapa Rana tak membalas seruannya. Gadis itu justru termangu, seperti tak mendengar apa yang baru saja ia katakan."Rana, aku sedang bicara denganmu.""Aku dengar, kok." Jawaban itu pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Bentala."Lantas kenapa masih diam di situ?""Aku duduk di sini bukan karena dirimu, Bentala! Tolong diamlah! Ini rumah sakit.""Tidak ada yang mengatakan kalau tempat ini hotel, Rana."Rana menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia tak tahu sama sekali kalau setelah menikah, Bentala menjadi secerewet itu. Namun, Be
"Gila kamu, Rana! Gila! Apa sih yang sebenarnya sedang kamu lakukan?"Rana terus merutuki dirinya sendiri. Setelah mengikuti Bentala kembali ke ruang rawat ayahnya, Rana meminta izin untuk ke kamar mandi. Awalnya Bentala memelototi Rana, namun karena berada di depan Emir, Bentala tak bisa menyuarakan penolakannya. Rana jelas menang, dan melenggang jauh meninggalkan dua pria penting di hidup Rana tersebut.Gadis itu tahu Bentala sudah menduga kalau Rana akan melarikan diri kembali. Namun, ia juga tak bisa memenuhi permintaan Bentala. Bukan karena tidak bisa, tapi karena lebih kepada status pria itu yang sudah menikah. Seharusnya tadi Rana memberontak, tapi ia justru bersikap lembek dengan menyerahkan dirinya pada pria itu. Sungguh, Rana merasa dirinya seperti perempuan murahan."Hei, Dir. Lo lagi ada di apartemen enggak? Gue butuh curhat nih," ucap Rana di telepon saat gadis itu mulai menjalankan mobilnya keluar rumah sakit. Di ujung telepon, Indira pun mempersilahkan, membuat Rana lan
"Apa? Mau mengundurkan diri? Kenapa lagi sih? Lo tuh kalau cari asisten yang benar dong, Tish. Masa dalam satu tahun gue enam kali ganti asisten. Lo tuh yang benar aja. Apa perlu gue gaji HRD buat interview asisten?" Latisha Permata menunduk, meminta maaf pada Rana karena untuk keenam kalinya gadis itu akan kehilangan asistennya. Ini bukan sama sekali salah Rana, Latisha sendiri yang memang tak pandai memilih orang untuk dipekerjakan. Ada saja masalah yang terjadi. Namun yang paling sering adalah mengundurkan diri dengan alasan ingin menikah. Latisha sendiri sampai bingung. Padahal Rana sangat baik. Gadis itu bukan aktris yang neko-neko, meskipun saat ini namanya sedang berada di urutan paling atas. Tak ada yang menolak Rana. Gadis itu akan siap bermain untuk peran apa pun, dan hasilnya entah mengapa selalu terlihat brilian. "Kali ini tolong cari yang benar. Kalau bisa yang udah nikah aja. Ya, meskipun sulit sih, emang. Tapi, tolonglah kalau bisa awet, Tish." Latisha mengangguk, "k
"Gue turut berduka cita, ya. Lo yang kuat, Ben. Ikhlaskan kepergian Om Agam. Jangan terus menerus berlarut dalam kesedihan. Biar Om Agam di sana juga tenang."Bentala mengangguk, dan kemudia tersenyum tipis pertanda bahwa ia baik-baik saja. Bentala memang baik-baik saja. Dia memang terlihat sedih, kuyu, dan tak bersemangat, namun selebihnya ia dalam keadaan yang sangat tegar. Ia tampak sangat kuat untuk ukuran kehilangan yang sangat berat.Rana yang berdiri di belakang Indira, langsung tersenyum. Ia tak sanggup berkata-kata. Bentala pun juga hanya membalas senyumannya. Pria itu hanya menerima uluran tangan Rana dengan profesional."Kalian bisa masuk, dan mendo'akan Bapak," ucap Bentala sambil mempersilahkan keduanya untuk masuk. "Gue enggak bisa menemani kalian, karena masih ada banyak tamu yang harus gue sapa. Maaf, ya."Indira, dan Rana mengangguk bersamaan. "Ya, enggak apa-apa, Ben!"Rana masuk terlebih dahulu diikuti oleh Indira. Keduanya melihat almarhum, dan mendo'akannya. Rana
"Bentala, sudah sepuluh menit. Pulanglah!"Bentala melepaskan pelukannya. Matanya mencari, namun Rana tampak mencoba mengalihkannya ke mana saja, asal itu bukan kepada Bentala. Rana sungguh tak ingin menatap mata teduh Bentala yang mampu menyihir, dan membuat pikirannya berantakan. Ia tak ingin setelah pelukan, ada aktivitas lainnya yang membuat tekadnya buyar.Sayangnya lawan yang dihadapi Rana adalah seorang Bentala Pradaya Byakta. Pria itu benar-benar keras kepala bila itu bicara mengenai Rana. Ia tangkup wajah mungil Rana yang cantik, dan ia paksa gadis itu untuk menatapnya. Rana pun lagi, dan lagi tak bisa berpaling. Mata mereka saling bertemu, saling mencoba berbicara lewat sunyi yang tak mungkin bisa diraih oleh orang lain."Kamu benar-benar ingin aku pulang? Kamu bisa bicara, dan menjawab pertanyaanku, jika kamu mau. Aku akan ada di sini semalaman untuk tahu semua isi kepala, dan perasaanmu, Rana.""Tapi, aku enggak mau," jawab Rana dengan sangat lemah. "Aku hanya ingin kamu p