Share

04. CINTA GILA DAN BUTA

"Bapak, ngapain di sini?"

Bukannya Bentala kurang ajar, tapi melihat sang ayah datang ke rumahnya secara tiba-tiba sontak membuat pria itu kaget. Bentala tahu, cepat atau lambat sang ayah pasti tahu saat ia menunda untuk berangkat. Tanaya entah atau tidak, pasti telah mengadu pada ayahnya tersebut.

Agam Putra Narendra adalah pensiunan TNI. Ia adalah mantan Jenderal, sekaligus mantan menteri pertahanan di era kepemimpinan presiden sebelumnya. Sudah dua tahun ia hanya duduk-duduk, sembari mengurus beberapa usaha perkebunan miliknya. Pria itu juga yang mengurus Bentala dari umur sepuluh tahun di saat ia ditinggalkan oleh Ibunya yang meninggal karena penyakit kanker.

"Karena Bapak dengar kamu belum berangkat, Bapak jenguk kamu. Bapak pikir kamu sakit. Ternyata benar-benar sakit, ya? Tampangmu benar-benar buruk, Nak."

Bentala mendengus, "Ben, bukan anak-anak lagi, Pak."

"Kalau bukan anak-anak seharusnya kamu bisa mengurus diri kamu sendiri dengan benar. Saat kamu bilang ingin ambil bisnis di Stanford, Bapak setuju. Karena ada Tanaya di sana."

"Kenapa sih, Bapak sesuka itu sama Tanaya?"

Agam melengos. Ia selalu menolak pertanyaan itu. Bukannya ia suka dengan Tanaya, tapi ia terpaksa menikahkan putranya dengan putri dari pria terkaya di Indonesia, Mahaka Andromeda Gunawan. Selain demi masa depan Bentala, hanya Mahaka orang paling kaya di negara ini yang ia tahu dengan jelas kebusukannya.

Mahaka tidak akan menolak Bentala, bahkan meskipun ia mati sekali pun. Pria itu harus menjaga Bentala hingga putranya menjadi apa pun yang dia inginkan. Agam tak gila harta, atau jabatan. Tapi, ia ingin putra satu-satunya tersebut hidup aman hingga tua.

"Kamu sendiri mengapa sesuka itu sama putri keluarga Husada? Mereka memang kaya raya, tapi terlalu banyak masalah di keluarga mereka. Kamu tahu Emir Dikara Husada? Dia seorang profesor, tapi justru berkencan dengan gadis muda. Sungguh memalukan!"

"Apa yang dilakukan Prof. Emir sama sekali enggak ada hubungannya dengan Rana, Pak. Rana juga sama malunya dengan tingkah ayahnya. Tolong, jangan bawa-bawa Rana."

Agam jengah. Dengan kasar, ia menghembuskan napasnya, dan kemudian berdiri. Pria tua itu lalu mendekati putranya, dan menepuk bahu tegap Bentala dengan pelan. Ia ingin sekali Bentala paham keinginannya.

"Bentala, pergilah ke US. Gadis itu enggak akan kembali kalau kamu belum juga pergi. Dia enggak akan kembali, atau pun menerima kamu. Dia enggak akan menunggu kamu, Nak."

Bentala mendongak, menatap ayahnya dengan tajam. "Apa maksudnya? Apa yang Bapak lakukan sama Rana? Apa Bapak pergi menemuinya, dan mengancamnya?"

Agam terkekeh, "buat apa mengancam gadis muda, Nak? Menemui, benar. Dia gadis yang cantik, dan sangat pintar. Pantas sih, kamu tergila-gila sama dia. Tapi, perlu kamu ingat, dia enggak akan mampu membantu ambisimu, Nak. Gadis itu saja mengerti, masa kamu enggak?"

Dari situ Bentala paham segala keanehan yang terjadi pada diri Rana. Gadis itu bukannya berubah, tapi ia memang tidak ingin membebani mimpinya. Sejak awal bertemu, Bentala memang selalu menyebut satu persatu goal-nya. Tapi, tidak dengan Rana.

Rana yang tipikal santai, dan tidak banyak memiliki keinginan memang jauh berbeda dengan Bentala. Namun, karena Rana-lah, Bentala jadi menikmati hidup. Karena Rana juga, ia jadi punya banyak teman. Tidak melulu terpaku pada ambisinya, pada cita-citanya menjadi nomor satu.

"Bentala, pergilah. Dia saja meninggalkanmu. Itu artinya, gadis itu tak mau terlibat dengan apa pun yang terjadi denganmu di kemudian hari. Sadarlah!"

***

Seminggu kemudian, Indira menemui Rana di tanah kelahirannya, Bali. Gadis itu tampak bersantai di rumah ayahnya yang berada di daerah Bedugul. Indira tahu Rana pulang, saat asisten rumah tangga Rana mengiriminya pesan. Indira tentu saja tak tinggal diam, ia sambangi sahabatnya itu langsung ke Bedugul.

"Hai, Nona Danuretjo! Long time no see."

Indira dengan kesal menoyor kepala Rana, "gue pikir lo melarikan diri ke luar negeri. Ke mana aja lo, Rana Diatmika Husada?"

"Cuma nginap di salah satu hotel bokap gue, kok."

"Bandung?"

Rana mengangguk. Ia memang sengaja bersembunyi sampai Bentala benar-benar berangkat ke Amerika. Bila pria itu tahu, Rana pulang ke Bali, sama halnya seperti Indira, Bentala juga pasti akan meluncur mengejarnya. Ia tak ingin Bentala terlalu lama mengambil waktu untuk seorang gadis yang tak membantu mimpinya sama sekali seperti dirinya.

"Gue sih udah bisa menebak, tapi gue pengin jawaban pasti dari lo. Malam itu lo sama Bentala making love, ya kan?"

Rana menoleh, dan langsung melempar bantal ke muka Indira. "Pelan dikit woy! Ada abang gue di bawah. Kalau dia dengar, bisa digorok kepala gue. Lo tahu kan, cuma abang gue yang paling waras di keluarga gue."

"Sama lo tadinya," celetuk Indira yang langsung disambar tawa oleh Rana. "Lo gila tahu enggak, Na! Gue pikir buat lo, keperawanan itu nomor satu. Tapi, malah lo kasih cuma-cuma ke Bentala. Mana lo tinggal pergi lagi. Lo tuh kenapa sih, Na?"

Rana tak menjawab. Ekspresi wajahnya berubah. Rana memang paling juara menyoal perubahan ekspresi. Ia selalu takjub saat betapa berbakatnya Rana di dunia akting. Tiga sampai lima tahun ke depan, Indira yakin dari dunia teater yang kecil, Rana pasti bisa jadi aktris terkenal di Indonesia.

"Gue ketemu sama Bapaknya Bentala."

"Om Agam? Hmm... ya enggak heran sih, kalau lo langsung menghindari anaknya. Om Agam emang seserem itu. Untung aja sih, dia kenal sama bapaknya Tanaya juga, kalau enggak, mungkin gue kali ya diambil jadi calon mantu. Amit-amit deh!" cerocos Indira yang lagi-lagi membuat Rana tersenyum. "Om Agam bilang apa, Na? Suruh jauhin anaknya? Kayaknya sih enggak deh! Ya kan?"

Rana menggeleng, "dia cuma cerita hal apa aja yang Bentala inginkan dalam hidup. Dia juga cerita hal apa aja yang udah Bentala raih dengan jerih payahnya sendiri. Dia mungkin terlihat garang di luar, tapi dia kebapakan banget. Dia beda sama bokap gue. Jujur sih, gue iri sama Bentala."

Indira setuju. Meskipun mantan Jenderal, tapi Agam Putra Narendra sama sekali bukan tipikal ayah otoriter. Agam selalu hangat. Membuat siapa pun sadar kalau pria itu sangat mencintai putra satu-satunya.

"Dia cuma pengin yang terbaik buat Bentala. Bersama Tanaya adalah jawabannya. Tanaya adalah versi perempuannya Bentala. Mereka berdua akan saling mendukung sama lain. Mereka sepadan."

"Pikiran itu datang juga bukan baru-baru ini kan? Dari lo ketemu Bentala pun, seorang Rana yang digila-gilai banyak laki-laki udah mulai insecure."

"Iya, Dir."

"Tapi, dengan melepas keperawanan lo? Lo bukannya jaga banget, Na? Kenapa?"

"Malam itu gue mabuk, Dira. Gue juga enggak tahu bakalan terjadi. Tapi, entah kenapa gue puas. Dia cinta pertama gue, Dir. Satu-satunya yang bikin gue jatuh hati. Kalau pun akhirnya Bentala pergi bersama orang lain, gue ikhlas. Karena hingga akhir pun, gue memang cuma mau dia yang memilikinya. Bilang gue gila, tapi tipikal cinta kan, emang gitu. Gila, dan buta. Gue sih berharap kemarin itu yang terakhir. Gue enggak mau ketemu Bentala lagi, Dir. Selamanya kalau bisa."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status