Share

02. MALAM TAK TERLUPAKAN

"Rana, kita harus berhenti."

Lirihan itu terdengar begitu pelan di leher jenjang Rana. Bentala benar-benar berada dalam kebingungan. Ia ingin sekali menyudahi segala tindakan yang tengah dilakukannya. Namun apa daya, kulit mulus, dan wangi vanilla yang manis dari tubuh Rana, tak mampu membuat Bentala berhenti.

Inchi demi inchi Bentala telusuri pipi, dagu, leher, hingga pundak Rana dengan bibirnya. Tak ada satu pun yang tertinggal. Tangannya bahkan sudah masuk ke dalam kemeja Rana, lalu merasai kulit mulus Rana, dan mulai memasuki area yang rasanya tak boleh terjangkau oleh tangan Bentala.

"Jangan," larang Rana sama lirihnya. Napas gadis itu terengah, matanya menutup. Kulitnya yang putih bahkan mulai memerah karena gairah. "Jangan berhenti, Bentala."

"Ini sudah terlalu jauh."

"Maka teruskan, bukannya justru berhenti." Rana meraup rambut tebal Bentala. Membuat pria itu makin terpancing. "Kita sudah memulainya, jadi lanjutkan saja, Bentala! Bukankah kita sudah sama-sama gila sekarang?"

Rana lagi, dan lagi benar malam itu. Bentala bahkan kesulitan melepaskan Rana. Rana sendiri bukannya menjauh seperti biasa, ia justru semakin menempel pada Bentala seolah-olah mengajaknya untuk berpikir lebih tidak rasional. Lagipula siapa yang bisa rasional di saat gadis yang kamu impikan sedang berada di pangkuanmu, dan kamu miliki sepenuhnya.

Bentala jelas tidak perlu sungkan. Ia lepaskan kemeja Rana, dan ia biarkan kulit gadis itu menempel padanya. Ia bungkam lagi mulut Rana dengan sebuah ciuman. Tanpa pikir panjang, ia jatuhkan tubuh gadis itu di karpet bulu ruang tengahnya.

"Aku akan memilikimu. Jadi, jangan pernah menyesali apa pun. Ini kamu sendiri bukan yang meminta?" tanya Bentala di sela-sela sesi ciuman panas mereka. Rana menatap mata Bentala, dan kemudian mengangguk dengan tegas. "Kamu tahu kan, ini sebuah kesalahan?"

"Ya, aku tahu."

Bentala menyatukan keningnya dengan kening Rana. Ekspresinya tampak sangat frustasi. Namun Rana mencoba menyingkirkannya dengan sebuah ciuman di pipi Bentala. Rana tersenyum sembari mengelus pipi Bentala dengan sangat lembut.

"Kamu yakin, Rana? Ini akan mengubah segalanya."

"Kita sudah sampai sini, mana mungkin aku enggak yakin." Rana mengalungkan tangannya di leher Bentala, lalu menariknya mendekat. "Aku enggak akan berhenti, begitu juga dengan kamu, Ben."

Tak dapat berkata-kata, Bentala hanya mampu terpaku memandangi binar mata Rana. Logikanya berkata tidak, tapi Rana terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Bentala bukan pria suci yang tahan godaan.

Oleh sebab itu, Bentala tak tinggal diam. Ia cium lagi Rana dengan sepenuh hati. Sebelum akhirnya melepaskannya, dan kemudian bangkit dari ruang tengah. Ia angkat, dan gendong gadis itu ke kamarnya. Kamar yang secara harfiah belum pernah terbuka untuk siapa pun.

Bentala menaruh Rana di tempat tidurnya, menatapnya dengan sorot memuja. Ia cium kening gadisnya, dan ia rabai semua tubuh gadis itu dengan bibirnya. Rana hanya bisa pasrah. Ia sudah setuju, dan tak bisa mundur, meskipun hatinya tahu apa yang dirinya, dan Bentala lakukan adalah satu kesalahan.

"Maafkan aku, Rana. Aku tahu ini kesalahan. Tapi, aku mohon kamu ingat ini. Aku mencintaimu. Sangat."

***

"Tato yang bagus."

Bentala terkesiap. Ia tak tahu kalau Rana masih tersadar, dan belum jatuh ke dalam bunga tidur. Setelah sesi panjang yang terasa nikmat untuk Bentala, pria itu sengaja memberi jeda. Ia membawa Rana ke dalam pelukannya, dan sengaja terdiam agar gadis tersebut tertidur.

Tak mendapat jawaban dari Bentala, Rana pun mulai menelusuri dada bidang Bentala dengan telunjuknya yang lentik. Lagi, dan lagi sentuhan gadis itu menjadi sebuah candu yang tak terelakkan. Bentala mungkin dalam krisis kewarasan sekarang akibat perlakuan kecil Rana padanya.

Rana mendongak, dan menemukan Bentala tengah menutup mata. Rana pun bertanya dengan suara pelan. "Ben, kamu sudah tidur ya?"

Bentala menggeleng, "belum."

"Oh, kupikir kamu tidur. Kamu menutup mata kamu."

Bentala membuka matanya, melirik pada Rana, dan kemudian tersenyum. Pria itu lalu makin mengeratkan pelukannya. Ia tak ingin Rana menjauh, atau kedinginan. Ia ingin sepanjang sisa malam, Rana tetap menempel padanya.

Bentala ingin sekali menyuruh Rana tertidur, namun jemari Rana yang tidak bisa diam menandakan kalau ia masih ingin menjelajah. Bentala tak bereaksi apa-apa, dan membiarkan Rana melakukan apa pun yang diinginkannya. Jujur, Bentala sangat menyukainya.

"Ini apa artinya?" tanya Rana pelan. Lebih terdengar seperti bisikan. "Pasti ada artinya, kan? Semua tato kamu yang kecil-kecil itu aja punya arti. Apalagi yang bentuknya ukiran sebesar ini."

"Bukan apa-apa."

"Masa sih? Aku kok, enggak percaya ya. Apa jangan-jangan ini punya arti yang berhubungan dengan seseorang ya? Kamu enggak mau ngasih tahu karena yang ada di tempat tidurmu itu aku, kan?"

Bentala menggeleng, lalu terkekeh pelan. Ia mencium kening Rana, dan bergumam, "kamu aneh tahu enggak. Jelas-jelas perempuan paling spesial di hidupku tuh, cuma kamu."

"Gombal."

Tak ada kebohongan sama sekali. Apalagi bicara soal kegombalan, ini adalah hal mustahil. Buat Bentala, membual hanyalah ajang membuang waktu. Ia tak pernah bermain-main, terlebih menyoal perasaannya ke Rana.

Bentala terdiam sejenak. Ia ingin memberi tahu apa yang terukir di tatonya, tapi Rana jelas sudah menguap. Gadis itu pasti sangat mengantuk. Bentala tersenyum, menarik selimut untuk menutupi tubuh Rana, dan mengelus rambutnya yang hitam.

"Tidur, Rana. Aku akan menceritakannya lain waktu. Setelah ini, kita akan punya banyak waktu untuk berbagi cerita. Kita punya banyak waktu untuk membicarakan hal yang enggak penting."

Rana terdiam sejenak, lalu bergumam, "aku harap begitu. Aku harap kita memang seperti itu."

Bentala mengernyit, "maksudnya?"

Tak ada jawaban lagi dari Rana. Gadis itu sudah benar-benar menutup matanya. Ia terlelap ke dalam bunga tidur yang tak terjangkau oleh Bentala. Pria itu lalu tersenyum, sebab perasaannya sangat terpuaskan.

Bentala pun mengalungkan lengannya ke perut Rana. Membawanya lebih dekat, dan kemudian mencium pelipis gadis itu dengan lembut. Ia tatap wajah cantik Rana yang sedang tertidur dari samping. Mungkin bila Tuhan mengizinkan, ini akan menjadi kegiatan favoritnya.

Dalam benak Bentala, ia tak pernah berpikir akan ada di posisi itu. Bersama Rana, dalam keadaan terbuka, tak berbalut apa-apa, dan di atas kasurnya sendiri. Mereka saling berpelukan, tak berjarak. Jelas kenyataan yang terpampang jauh lebih indah di banding bayangan semu yang selama ini pernah terlintas di pikirannya.

"Terima kasih, Rana. Malam ini akan menjadi yang tak terlupakan dalam hidupku. Selamanya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status