Share

Di Balik Asmara Sang Aktris
Di Balik Asmara Sang Aktris
Penulis: Cha

01. SATU KESALAHAN

"Hai Bentala! It's me, Rana! Walau terlambat, tapi selamat karena diterima di Stanford. Selamat juga atas pertunanganmu."

Tulisan itu terkesan ceria di selipan bunga peony yang sangat cantik. Tapi bukan sebentuk ucapan, atau karangan bunga yang dibutuhkan pria tinggi bernama Bentala Pradaya Byakta tersebut. Ia lebih butuh bertemu dengan si pengirim bunga, dan akhirnya setelah melewati wisuda, Bentala pun bertemu dengan Rana Diatmika Husada di malam terakhirnya di Indonesia.

Rana tengah menyesap anggur merah. Tampak menikmati, sementara sang empunya rumah tengah sibuk mengantar beberapa temannya ke teras. Malam sudah menjelang pukul setengah satu, namun Rana tak bergegas pulang seperti yang lain.

"Rana, gue sama Camilla duluan ya," ujar Indira memberi tahu. Indira tak ingin meninggalkan Rana, tapi ia tak sanggup kalau harus mengurus dua wanita mabuk bersamaan. "Tadi gue sudah minta Ben untuk antar lo pulang. Ok?"

Rana hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia masih sadar. Tak sepayah Camilla yang sudah tak jelas mengoceh apa. Pesta perpisahan Bentala memang menjadi penuh tawa, dan kegilaan setelah mereka bermain truth or dare.

Rana, dan Camilla yang lebih suka dare, tentu saja memilih menghabiskan satu gelas anggur. Mereka berdua tipe yang menyimpan rapat masalah pribadi. Suka kejujuran, tapi tak lantas mengumbarnya dengan asal-asalan. Apalagi itu menyoal perasaan.

"Gue titip Rana, tolong lo antar pulang. Jangan lo apa-apain. Inget tiga hari yang lalu lo baru aja tunangan sama Tanaya. Lo masih waras kan, Ben?"

Ben mengangguk, meskipun kepalanya memang mulai terasa berat. "Sedikit mabuk, tapi enggak apa-apa. Gue masih sanggup bawa Rana pulang. Lo antar Camilla aja. Lagipula gue enggak gila begituan ya, kayak Imran. Enak aja lo!"

"Ya kali. Kita sama-sama tahu kalau lo bucin banget sama Rana."

"Tapi gue sudah punya tunangan, Indira."

Indira tak menanggapi. Ia hanya mengangguk, dan memilih percaya pada Bentala. Indira pun pergi setelah menaruh Camilla ke dalam mobil. Ia kembali mengingatkan Bentala. Sehebat apa pun pengendalian diri Bentala, cinta tetap bisa membutakan siapa saja.

Bentala sendiri juga sadar diri. Ia sama sekali tak menyangkal kalau dirinya begitu tergila-gila pada Rana. Namun tak lantas ia berpikiran macam-macam, dan akhirnya menyesalinya di kemudian hari.

"Aku rasa enggak bisa pulang deh, Ben." Celetukan Rana tersebut membuat Ben mau tak mau duduk di hadapannya. Rana memang tampak kepayahan, meskipun masih sadarkan diri. "Aku enggak bisa ke mana-mana. Aku rasa akan menginap di sini saja."

"Rana, kamu tahu kan, di sini cuma ada satu kamar tidur. Aku enggak menerima siapa pun menginap. Termasuk kamu."

Rana mengernyit, "oh ya?"

"Ya." Bentala menjawab dengan yakin. "Aku akan mengantar kamu pulang."

Bentala hendak berdiri, namun Rana menarik tangannya. Pria itu pun kembali duduk di posisi semula. Mereka kembali bertatapan. Setelah dua bulan lebih keduanya tak saling bertemu, entah karena kesibukan, atau Rana yang menghindarinya.

Bentala sebenarnya ingin mencecar Rana dengan berbagai pertanyaan. Namun permainan truth or dare yang diusungnya tetap gagal membuat Rana jujur. Gadis itu memilih untuk mabuk, ketimbang mengungkap perasaannya sendiri.

"Kamu enggak akan mengantar aku pulang. Aku enggak akan ke mana-mana. Ini mungkin malam terakhir aku ketemu kamu sebelum kamu benar-benar pergi ke US untuk waktu dua tahun lebih. Aku enggak bisa memandangi kamu, karena setelah besok kamu akan menjadi milik Tanaya. Dia sudah nunggu kamu di US. Kalian akan bersama. Aku akan benar-benar kehilangan kamu, Bentala."

"Kalau begitu, mengapa kamu nyuruh aku pergi? Mengapa kamu nyuruh aku tunangan sama Tanaya? Mengapa Rana?"

Rana tak langsung menjawab. Binar matanya mulai sayu. Ia mulai kehilangan arah, dan dengan mudahnya ingin jujur saja. Sayangnya ia tak mau, dan tak bisa, meskipun semua kejujuran sudah berada di ujung lidahnya.

"Aku tak mau memberitahumu apa-apa. Jadi, jangan mencoba bertanya apa pun. Permainannya sudah selesai tadi."

"Kalau kamu masih enggak mau menjawab semua pertanyaanku, maka ayo pulang. Pulang ke tempatmu, Rana. Jangan membuat segala hal menjadi sulit. Ayo, Rana!"

"Aku enggak akan ke mana-mana, Bentala!" seru Rana pada Bentala. Ia menatap wajah Bentala yang mulai lelah dengan galak. "Aku akan menginap. Aku enggak akan ke mana-mana. Aku akan tetap di sini, Bentala. Jangan suruh aku pulang. Berhentilah menyuruhku pulang. Titik."

Bentala menggeleng dengan keras. "Aku tidak bisa membiarkanmu di rumahku semalaman hingga esok siang, Rana. Selain karena aku sibuk, aku juga enggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku enggak sehebat itu, Rana. Memandangimu dalam jarak sedekat ini saja membuatku rasanya ingin mati."

"Kalau begitu lakukan!" Rana menantang. Bentala pikir, alkohol sudah benar-benar merusak akal pikiran gadis kesayangannya. "Lakukan, Ben. Aku sudah bilang ingin menginap bukan? Di sini cuma ada kita berdua. Tidak ada yang lain. Tidak juga Tanaya. Apa yang mau kamu lakukan? Ayo kita lakukan sebelum malam ini berakhir."

"Jangan gila, Rana!" hardik Bentala kesal. "Ayo, pulang!"

Bentala kembali ingin berdiri, namun lagi, dan lagi Rana menahannya. Gadis itu bahkan memajukan tubuhnya, dan mencium bibir Bentala. Tanpa aba-aba yang membuat Bentala jelas sangat kaget. Ia tak menyangka sama sekali Rana yang selalu menjaga dirinya dengan baik, melakukan hal gila tersebut.

Namun, kepala Bentala yang tak benar-benar waras, jelas menerimanya. Ia melumat bibir itu, merasai tempat yang paling membuatnya penasaran. Meskipun ia bukanlah pria yang liar, tapi beberapa kali Bentala pernah merasakan bibir gadis lain yang pernah menjadi teman dekatnya. Rasanya jelas beda. Kali ini lebih manis, lebih candu dari yang pernah terlintas di pikirannya.

"Kamu membalas ciumanku." Bentala mengambil napas, tak menggubris perkataan Rana. "Kamu benar-benar jatuh cinta padaku ya, Bentala?"

"Ya. Bagaimana mungkin kamu masih bertanya setelah enam tahun ini aku selalu ada di sisimu? Jadi, diamlah, Rana. Kalau kamu ingin aku melakukannya, maka aku akan melakukannya. Jangan pernah suruh aku berhenti. Ini semua karena permintaanmu yang gila."

Bentala jelas sudah kehilangan akal sehatnya. Bukannya menyudahi kedekatan mereka, Bentala justru membawa tubuh Rana yang indah ke atas pangkuannya. Ia kembali mencium bibir penuh Rana dengan sepenuh hati, merasai segala hal yang selalu menjadi pertanyaan dalam benaknya. Ia ingin gadis itu sepenuhnya, meskipun beberapa menit sebelumnya Bentala jelas-jelas mengatakan tidak.

Rana sendiri tahu ia sudah gila. Tapi, apa yang dilakukannya malam itu adalah sebuah cara untuk mengungkap perpisahan. Perpisahan paling menyakitkan untuk cinta pertamanya. Cinta pertama yang kemungkinan tidak akan Rana miliki seumur hidupnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status