"Kalau bukan karena pekerjaan, mungkin aku akan seharian di sini memelukmu."Tak ada yang salah dari kata-kata Bentala. Rana yang biasanya bangun pagi-pagi seperti enggan bangkit dari tempat tidur. Tubuh Bentala yang tegap seperti tempat ternyaman untuk Rana menempelkan diri bagai lem kepada kertas. Ia juga tak ingin ke mana-mana, apalagi mengingat kalau Bentala akan sangat sibuk ke depannya.Namun hidup terus berjalan. Benar kata Bentala, Rana tak pernah egois. Bahkan menyangkut soal dirinya sendiri saja, ia tak pernah mau menang. Seperti sebuah aturan dalam hidupnya, Rana merasa dirinya cukup beruntung di dunia ini dibanding orang lain yang hidupnya tidak semulus dirinya."Kalau begitu pergilah, Ben!" cicit Rana dengan mata yang masih terpejam. "Kalau kamu enggak cepat-cepat pergi, akan ada yang menahanmu tetap di sini seharian lho!""Jujur, aku dengan senang hati menuruti keinginan orang itu."Rana mencibir, "Bentala, dan mulutnya yang manis."Alih-alih marah, Bentala justru tertaw
"Tidak perlu diam-diam melirik saya. Di kepala kamu pasti banyak sekali pertanyaan kan, Fahmi? Tanyakan saja, apa yang ingin kamu tahu. Saya akan memberi tahu kamu apa pun. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak merahasiakan apa pun?"Namanya adalah Fahmi Anggara Torro. Pria berusia empat puluh tahunan yang sudah bekerja pada keluarganya sejak usia belasan. Fahmi adalah anak dari supir bapaknya, Har Torro. Meskipun Pak Har sudah pensiun, tetapi Fahmi tetap setia mengabdi pada keluarganya.Selama Bentala pergi ke Amerika, Fahmi yang menjaga bapaknya. Ia tak bisa menyembunyikan apa pun dari Fahmi, pria itu memiliki insting lebih hebat dari siapa pun yang pernah bekerja pada ayahnya. Fahmi mungkin bukan berlatar belakang militer, tapi didikan bapaknya pada pria itu membuat Fahmi memiliki keahlian yang sama luar biasanya dengan ajudan lainnya yang berasal dari militer."Perempuan itu bukannya Nona Rana Diatmika Husada?" tanya Fahmi memulai pertanyaannya."Ya, kamu benar." Bentala tak ada
"Lo gila, Na? Pak Bentala ke kamar lo? Ngapain? Numpang ke kamar kecil? Pasti enggak mungkin, kan? Apalagi kalau cuma numpang lihat-lihat doang? Itu lebih enggak mungkin!"Rana seperti anak remaja yang ketahuan ibunya, karena membawa pacarnya ke dalam kamar pribadi. Meringkuk di atas tempat tidur, dan tak berniat membantah sama sekali. Ia pun hanya mampu melihat sang manajer marah-marah dengan ekspresi mengerikan. Untuk pertama kali dalam hidup Rana, ia akhirnya bisa melihat Latisha terlihat begitu kesal, dan gusar.Tadinya ia pikir tidak akan ada pembicaraan menyoal kejadian semalam. Ia ingin menyimpannya sendirian, seperti kejadian lima tahun lalu. Tapi, apa mau dikata, sebuah kejutan terkuak nyata. Memperlihatkan apa yang terjadi semalam pada sang manajer yang hidupnya sangat lempeng bak jalan tol."Lo kok, diam saja sih?""Gue nunggu lo selesai marah-marah," jawab Rana pelan. "Gue tahu hal begini tuh tabu buat lo, Tish. Tapi, apa ya, gue sudah melakukan hal seperti ini lima tahun
"Papa pikir kamu enggak akan datang. Papa senang akhirnya kamu datang menemui Papa. Papa juga senang saat kamu memanggil Mbak Ronah kemarin untuk membereskan apartemen kamu. Bagaimana kabar kamu, Nak? Kamu sehat, kan?"Tidak ada kata luluh dalam kamus Rana saat ia sedang dalam keadaan marah pada seseorang. Termasuk sang Papa, tentunya. Sayangnya keteguhan itu harus runtuh saat mendengar sang Papa pingsan di rumah sakit akibat kelelahan. Rana yang memang pada dasarnya susah untuk egois, langsung berlari dengan cemas untuk melihat keadaan sang Papa yang ternyata benar-benar terbaring tak berdaya di kamar rawat rumah sakit Husada.Tak ada yang menemani Emir Dikara Husada saat Rana sampai. Hal tersebut sebenarnya sudah ia prediksi sebelumnya. Kakak pertamanya sedang di luar negeri, dan kakak keduanya pasti sedang sibuk dengan bisnisnya. Mereka berdua laki-laki, dan sangat sulit diharapkan kehadirannya."Makanya sadar diri. Papa tuh tahun depan sudah kepala enam lho," cibir Rana pada sang
"Tolong, jaga Papa ya, Mbak Ronah. Aku ada syuting di Bali selama seminggu, dan harus berangkat sore ini. Kalau ada apa-apa, Mbak Ronah telepon aku aja. Aku sudah kirim pulsa ke nomor Mbak Ronah juga.""Baik, Mbak. Mbak Rana enggak perlu khawatir."Rana memang tidak pernah khawatir selama ada Mbak Ronah di hidupnya. Perempuan itu sudah seperti kakak untuknya. Dari umur belasan, Mbak Ronah yang menjaga, dan membantu Rana. Ia menghabiskan hidupnya untuk bekerja bersama keluarganya yang sangat berantakan.Rana pun memeluk Mbak Ronah, mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada perempuan tersebut. Ia mengelus punggung ibu anak satu tersebut dengan sayang, mengirimkan sebuah rasa yang ia harap tersampaikan dengan baik kepada Mbak Ronah. Mbak Ronah pun membalas pelukan Rana dengan sama sayangnya."Mbak Rana jangan lupa makan, ya. Jaga kesehatan. Syuting-syuting kan, bikin Mbak suka lupa waktu. Nanti saya ingatkan Mbak Tisha deh," pesan Mbak Ronah yang dibarengi tawa kecil oleh Rana. Ia pun
"Kami berharap apa yang Pak Pranata sampaikan di debat kali ini bisa menjawab sebagian pertanyaan masyarakat. Persis seperti yang Pak Pranata, dan Mas Gandhi sampaikan pada saat deklarasi, bahwa visi misi kami sama dengan apa yang sudah dilakukan Presiden saat ini. Kami akan memperbaiki, dan memperbagus yang ada. Jadi, bila ada yang berasumsi bahwa kami melakukan hal sebaliknya, maka itu bukan dari tim kami. Terima kasih ya, Mas, Mbak." Pernyataan Bentala nampaknya tak cukup membuat para wartawan puas. Mereka masih saja melemparkan pertanyaan-pertanyaan baru yang hanya ditanggapi senyuman oleh Bentala. Bahkan hingga ia masuk ke dalam mobil, para wartawan itu masih saja sibuk menginginkan jawabannya. Fahmi yang cepat tanggap tentu saja langsung menjalankan mobilnya meninggalkan gedung KPU, yakni lokasi debat perdana calon presiden. Terlepas dari segala hiruk pikuk kontestasi pemilu, Bentala benar-benar bersemangat. Ia sangat menyukai pekerjaan ini, meskipun rasanya lelah yang ia tangg
"CUT!" Teriakan itu menandai selesainya adegan terakhir yang dibutuhkan oleh sutradara. Rana pun segera saja menghembuskan napas lega. Sudah empat hari ia berjibaku dengan proses syuting, dan akhirnya selesai sebelum waktu yang telah ditentukan oleh tim. Rana pun mengucapkan terima kasih pada seluruh kru atas kerja sama yang sangat begitu baik. Dayu pun dengan cekatan berlari menghampiri Rana. Ia membawakan Rana botol minum yang sudah terisi penuh dengan air mineral. Tak lupa Rana berterima kasih pada asisten barunya tersebut. Dayu juga menawarkan kain untuk menutupi bahu Rana dari sengatan sinar matahari yang mulai terasa panasnya. "Kerja bagus, Mbak Rana!" seru Dayu yang disambut senyuman oleh Rana. "Memang enggak salah deh, Mbak Rana terkenal. Memang aktingnya sebagus itu. Aku saja yang baru empat hari terjun ke lapangan benar-benar terpesona melihat perubahan ekspresi Mbak Rana. Keren!" "Terima kasih lho, Day." Tak hanya mendapat pujian dari Dayu, Rana juga mendapat dua jempol
"Danish, sepertinya pesta penutupannya diganti malam ini saja. Tolong, siapkan makan malam untuk semua tim. Saya harus memberikan apresiasi kepada semua orang yang terlibat dalam syuting kali ini. Seperti yang kamu bilang kalau mereka semua bekerja dengan sangat baik."Mendengar hal tersebut sontak saja membuat Danish mengernyit. Mata Bentala mungkin sedang menghadap kepada layar laptopnya, namun ia pasti sedang tidak bercanda saat mengucapnya. Ia pun melirik ke jam tangannya, dan menggaruk kepalanya saat tahu bahwa ia hanya punya waktu yang sangat sempit untuk menyiapkan segalanya."Mengapa?" tanya Bentala yang ternyata sudah menghadap pada Danish."Ini sudah jam sepuluh siang, Pak. Bapak yakin akan ada restoran yang berani menyiapkan makan malam untuk sekitar lima puluh orang? Untuk mencari restorannya saja, saya butuh waktu. Bagaimana kalau besok saja? kemungkinan reservasinya akan lebih mudah."Bentala menaikkan alisnya sebelah, "kamu tuh, lagi banyak pikiran, ya?""Hah? Tidak, Pa
"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Gue benar-benar senang, karena lo sudah sadar, Na. Maaf ya, gue enggak bisa melihat lo langsung ke Australia. Karena gue pikir-pikir keadaannya pasti enggak memungkinkan dan gue enggak pernah ke Australia sebelumnya. Gue takut jatuhnya ngerepotin Indira yang lagi sibuk ngurusin lo, dan kerjaannya."Hanya sebuah gelengan yang mampir di wajah Rana saat mendengar managernya, Latisha meminta maaf. Ia tak pernah mempermasalahkan siapa yang berada di sampingnya saat sakit. Baginya di mana pun berada, Rana sudah cukup dengan doa. Rana tahu obat mujarab terampuh bagi orang sakit adalah doa dari orang yang benar-benar tulus menginginkan kesembuhan diri kita.Latisha sendiri merasa sangat bahagia. Meskipun hanya bisa melihat Rana dari panggilan video, tapi gadis itu sudah merasa cukup puas. Melihat Rana meresponnya dengan senyum tercantik yang Rana punya, sudah membuat Latisha merasa sangat lega."Tidak masalah kok," jawab Rana jujur. Ia tersenyum lemah. "Lo jangan maksain diri buat ke sini. L
"Indira, boleh saya bicara sama kamu sebentar?"Tak mungkin Indira tak kaget. Ia menengadah, dan memastikan kalau yang bicara padanya memang benar-benar seorang Emir Dikara Husada. Selama hampir dua minggu, pria itu pura-pura tak mempedulikannya, hari ini, di hari di mana Rana sadar sepenuhnya, Emir akhirnya mau mengajaknya bicara. Bukannya Rana berharap, tapi ia ingin antara dirinya, dan Emir berhenti memikirkan menyoal masa lalu, serta terjebak di dalamnya.Indira pun mengangguk, meskipun Arnold sempat menggeleng. Ia menatap Arnold seraya tersenyum meminta pengertian. Arnold pun melihat pada Indira, dan akhirnya memperbolehkan gadis itu menyelesaikan segala masalahnya dengan pria brengsek yang ternyata adalah sahabat baik Rana. Jujur, saat mengetahuinya, Arnold jelas kaget bukan main. Ia sungguh merasa luar biasa, karena ternyata Rana, dan juga Indira masih bisa menjalin pertemanan yang sangat baik."Tunggulah di sini," pinta Indira yang langsung disanggupi oleh Arnold. "Aku akan ba
"Maaf, mengganggu waktumu, Ben. Tapi, saya harus memberikan ini secara langsung untukmu. Kamu diundang khusus sebagai best man-saya dalam pernikahan saya dengan Tanaya. Ya, saya tahu kondisinya tidak memungkinkan. Tapi, tak apa-apa. Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda bahwa hanya kamu yang berhak untuk posisi itu."Tentu saja Bentala terhenyak. Bukan soal undangannya, tapi bagaimana Edward selalu memperlakukannya dengan spesial. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Edward baginya sudah seperti saudara yang ia temukan di benua lain. Dia selalu merawat, memperhatikan, bahkan memperlakukan Bentala seperti dirinya adalah orang yang layak mendapat perlakuan tersebut. Tak hanya Edward, Tanaya pun demikian.Untuk itulah, Bentala rela melakukan banyak hal bodoh hanya untuk menjaga mereka tetap bahagia. Sebab, di saat ia tak punya siapa-siapa di negeri orang, hanya Edward, dan Tanaya yang membantunya. Hanya mereka berdua yang rela bersusah payah untuk seorang Bentala."Kamu membuat
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in