"Tidak perlu diam-diam melirik saya. Di kepala kamu pasti banyak sekali pertanyaan kan, Fahmi? Tanyakan saja, apa yang ingin kamu tahu. Saya akan memberi tahu kamu apa pun. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak merahasiakan apa pun?"Namanya adalah Fahmi Anggara Torro. Pria berusia empat puluh tahunan yang sudah bekerja pada keluarganya sejak usia belasan. Fahmi adalah anak dari supir bapaknya, Har Torro. Meskipun Pak Har sudah pensiun, tetapi Fahmi tetap setia mengabdi pada keluarganya.Selama Bentala pergi ke Amerika, Fahmi yang menjaga bapaknya. Ia tak bisa menyembunyikan apa pun dari Fahmi, pria itu memiliki insting lebih hebat dari siapa pun yang pernah bekerja pada ayahnya. Fahmi mungkin bukan berlatar belakang militer, tapi didikan bapaknya pada pria itu membuat Fahmi memiliki keahlian yang sama luar biasanya dengan ajudan lainnya yang berasal dari militer."Perempuan itu bukannya Nona Rana Diatmika Husada?" tanya Fahmi memulai pertanyaannya."Ya, kamu benar." Bentala tak ada
"Lo gila, Na? Pak Bentala ke kamar lo? Ngapain? Numpang ke kamar kecil? Pasti enggak mungkin, kan? Apalagi kalau cuma numpang lihat-lihat doang? Itu lebih enggak mungkin!"Rana seperti anak remaja yang ketahuan ibunya, karena membawa pacarnya ke dalam kamar pribadi. Meringkuk di atas tempat tidur, dan tak berniat membantah sama sekali. Ia pun hanya mampu melihat sang manajer marah-marah dengan ekspresi mengerikan. Untuk pertama kali dalam hidup Rana, ia akhirnya bisa melihat Latisha terlihat begitu kesal, dan gusar.Tadinya ia pikir tidak akan ada pembicaraan menyoal kejadian semalam. Ia ingin menyimpannya sendirian, seperti kejadian lima tahun lalu. Tapi, apa mau dikata, sebuah kejutan terkuak nyata. Memperlihatkan apa yang terjadi semalam pada sang manajer yang hidupnya sangat lempeng bak jalan tol."Lo kok, diam saja sih?""Gue nunggu lo selesai marah-marah," jawab Rana pelan. "Gue tahu hal begini tuh tabu buat lo, Tish. Tapi, apa ya, gue sudah melakukan hal seperti ini lima tahun
"Papa pikir kamu enggak akan datang. Papa senang akhirnya kamu datang menemui Papa. Papa juga senang saat kamu memanggil Mbak Ronah kemarin untuk membereskan apartemen kamu. Bagaimana kabar kamu, Nak? Kamu sehat, kan?"Tidak ada kata luluh dalam kamus Rana saat ia sedang dalam keadaan marah pada seseorang. Termasuk sang Papa, tentunya. Sayangnya keteguhan itu harus runtuh saat mendengar sang Papa pingsan di rumah sakit akibat kelelahan. Rana yang memang pada dasarnya susah untuk egois, langsung berlari dengan cemas untuk melihat keadaan sang Papa yang ternyata benar-benar terbaring tak berdaya di kamar rawat rumah sakit Husada.Tak ada yang menemani Emir Dikara Husada saat Rana sampai. Hal tersebut sebenarnya sudah ia prediksi sebelumnya. Kakak pertamanya sedang di luar negeri, dan kakak keduanya pasti sedang sibuk dengan bisnisnya. Mereka berdua laki-laki, dan sangat sulit diharapkan kehadirannya."Makanya sadar diri. Papa tuh tahun depan sudah kepala enam lho," cibir Rana pada sang
"Tolong, jaga Papa ya, Mbak Ronah. Aku ada syuting di Bali selama seminggu, dan harus berangkat sore ini. Kalau ada apa-apa, Mbak Ronah telepon aku aja. Aku sudah kirim pulsa ke nomor Mbak Ronah juga.""Baik, Mbak. Mbak Rana enggak perlu khawatir."Rana memang tidak pernah khawatir selama ada Mbak Ronah di hidupnya. Perempuan itu sudah seperti kakak untuknya. Dari umur belasan, Mbak Ronah yang menjaga, dan membantu Rana. Ia menghabiskan hidupnya untuk bekerja bersama keluarganya yang sangat berantakan.Rana pun memeluk Mbak Ronah, mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada perempuan tersebut. Ia mengelus punggung ibu anak satu tersebut dengan sayang, mengirimkan sebuah rasa yang ia harap tersampaikan dengan baik kepada Mbak Ronah. Mbak Ronah pun membalas pelukan Rana dengan sama sayangnya."Mbak Rana jangan lupa makan, ya. Jaga kesehatan. Syuting-syuting kan, bikin Mbak suka lupa waktu. Nanti saya ingatkan Mbak Tisha deh," pesan Mbak Ronah yang dibarengi tawa kecil oleh Rana. Ia pun
"Kami berharap apa yang Pak Pranata sampaikan di debat kali ini bisa menjawab sebagian pertanyaan masyarakat. Persis seperti yang Pak Pranata, dan Mas Gandhi sampaikan pada saat deklarasi, bahwa visi misi kami sama dengan apa yang sudah dilakukan Presiden saat ini. Kami akan memperbaiki, dan memperbagus yang ada. Jadi, bila ada yang berasumsi bahwa kami melakukan hal sebaliknya, maka itu bukan dari tim kami. Terima kasih ya, Mas, Mbak." Pernyataan Bentala nampaknya tak cukup membuat para wartawan puas. Mereka masih saja melemparkan pertanyaan-pertanyaan baru yang hanya ditanggapi senyuman oleh Bentala. Bahkan hingga ia masuk ke dalam mobil, para wartawan itu masih saja sibuk menginginkan jawabannya. Fahmi yang cepat tanggap tentu saja langsung menjalankan mobilnya meninggalkan gedung KPU, yakni lokasi debat perdana calon presiden. Terlepas dari segala hiruk pikuk kontestasi pemilu, Bentala benar-benar bersemangat. Ia sangat menyukai pekerjaan ini, meskipun rasanya lelah yang ia tangg
"CUT!" Teriakan itu menandai selesainya adegan terakhir yang dibutuhkan oleh sutradara. Rana pun segera saja menghembuskan napas lega. Sudah empat hari ia berjibaku dengan proses syuting, dan akhirnya selesai sebelum waktu yang telah ditentukan oleh tim. Rana pun mengucapkan terima kasih pada seluruh kru atas kerja sama yang sangat begitu baik. Dayu pun dengan cekatan berlari menghampiri Rana. Ia membawakan Rana botol minum yang sudah terisi penuh dengan air mineral. Tak lupa Rana berterima kasih pada asisten barunya tersebut. Dayu juga menawarkan kain untuk menutupi bahu Rana dari sengatan sinar matahari yang mulai terasa panasnya. "Kerja bagus, Mbak Rana!" seru Dayu yang disambut senyuman oleh Rana. "Memang enggak salah deh, Mbak Rana terkenal. Memang aktingnya sebagus itu. Aku saja yang baru empat hari terjun ke lapangan benar-benar terpesona melihat perubahan ekspresi Mbak Rana. Keren!" "Terima kasih lho, Day." Tak hanya mendapat pujian dari Dayu, Rana juga mendapat dua jempol
"Danish, sepertinya pesta penutupannya diganti malam ini saja. Tolong, siapkan makan malam untuk semua tim. Saya harus memberikan apresiasi kepada semua orang yang terlibat dalam syuting kali ini. Seperti yang kamu bilang kalau mereka semua bekerja dengan sangat baik."Mendengar hal tersebut sontak saja membuat Danish mengernyit. Mata Bentala mungkin sedang menghadap kepada layar laptopnya, namun ia pasti sedang tidak bercanda saat mengucapnya. Ia pun melirik ke jam tangannya, dan menggaruk kepalanya saat tahu bahwa ia hanya punya waktu yang sangat sempit untuk menyiapkan segalanya."Mengapa?" tanya Bentala yang ternyata sudah menghadap pada Danish."Ini sudah jam sepuluh siang, Pak. Bapak yakin akan ada restoran yang berani menyiapkan makan malam untuk sekitar lima puluh orang? Untuk mencari restorannya saja, saya butuh waktu. Bagaimana kalau besok saja? kemungkinan reservasinya akan lebih mudah."Bentala menaikkan alisnya sebelah, "kamu tuh, lagi banyak pikiran, ya?""Hah? Tidak, Pa
Bentala Pradaya Byakta : Kamu harusnya dihukum, karena telah memuji pria lain di depanku. Mau itu asistenku sekali pun, kamu enggak boleh memuji siapa pun. Aku cemburu, tahu enggak?Hampir saja Rana tertawa saat membaca pesan dari Bentala. Rana pikir dulu Bentala hanya bersikap protektif padanya, tapi ternyata ia mengerti kalau Bentala adalah tipe pencemburu. Tiap ada laki-laki yang mendekatinya, pasti diseleksi dulu oleh Bentala. Padahal mereka bukanlah sepasang kekasih, hanya teman dekat yang Rana tolak perasaannya.Kini ia harus menghargai perasaan pria itu. Mungkin memang benar hubungan mereka belum benar-benar menemukan kejelasan. Tapi, Rana tak peduli. Status tak penting, dan seperti kata Bentala, kini dirinya hanya butuh Bentala di sampingnya, membuatnya bahagia.Rana Diatmika Husada : Kamu cemburu? Kalau begitu jangan berbohong padaku! Katamu tak bisa datang, tapi tiba-tiba saja berbagi kebahagiaan dengan orang banyak. Menyebalkan, tahu enggak?Rana melirik pada Bentala yang s