Dirham dan Dinar pergi ke rumah Riko untuk memberitahukan kalau dia akan resign dari pekerjaannya. Kebetulan hari ini Riko tidak ada jadwal di kampus.
“Assalamualaikum.. ” kedua pasangan muda itu mengucap salam bersamaan, Nek Ijah yang sore itu sedang menyiram tanaman di halaman rumah tersenyum ramah melihat siapa yang datang. Dinar mencium tangan tua itu diikuti oleh suaminya.
Mata Dinar terpaku pada rumah sebelah, rumah tempatnya berteduh untuk pertama kali di kota kecil ini. Di rumah itu dia selalu menghibur dirinya, berdoa meminta ada kebahagiaan setelah kesedihan, dia selalu yakin akan ada pelangi setelah hujan. Jalan hidup yang berliku telah membuatnya menjadi sosok perempuan tegar dan tidak takut menghadapi hari esok.
“Waalaikumussalam nak, ayo masuk, kok malah bengong to?”
Dirham ikut menoleh menatap wajah ayu istrinya yang sudah terlihat sedih, ada air jernih di sudut matanya.
<Mengandung konten 21+ “Am.. mandiiih dulu sana.” kecupan-kecupan kecil di belakang telinga Dinar membuatnya menggeliat karena geli. Bulu kuduknya berdiri bersamaan dengan desiran gairah karena sedikit sentuhan di area belakang telinganya, juga usapan lembut di perut menjalar naik ke atas, Dirham terlalu pintar membuatnya haus akan sentuhan. “No bra? Why? Are you ready for me?” napas Dirham berat menampar belakang telinga istrinya. ‘Ish, aku salah memilih tadi, kenapa tidak pakai bra saja malam ini.’ Dinar memarahi dirinya sendiri. “Kalau tidur pakai bra sesak, Aaah.. ” satu desahan lolos dari bibir mungil Dinar yang merah alami ketika tangan suaminya sudah meremas dan mencubit serta menggosok puncak bukit kembarnya secara bergantian. Erangan Dinar seolah menginginkan sentuhan lebih lagi. “Minggu depan kita pulang ke Jakarta, kamu bisa bertemu dengan temanmu.” Dirham memutar tubuh istrinya, kini mereka berhadap
Seorang pria muda memakai pakaian santai dan bersepatu sport sedang berjalan semakin mendekat ke arah Dinar dan Dirham. Dinar serta merta melepaskan lengan suaminya. Wajahnya tegang menatap pada pemuda yang kini berhenti di depannya. Waktu memanggil nama Dinar tadi dia berjarak dalam 3 meter saja. Dan sekarang berdiri tepat di depan pasangan suami istri itu. Dirham menatap tajam pada pria muda yang sekarang memegang lengan istrinya. “Andika.” gumaman dari mulut Dinar sudah menjelaskan pada Dirham kenapa ekspresi wajah Dinar setegang itu. “Lepaskan tanganmu, sial!” Dirham menepis tangan Andika dengan kasar. “Memangnya kamu siapanya Dinar, berani ngelarang aku?” “Aku ...” “Dia temanku! Teman dekat, dan kamu tidak perlu menyentuhku, Dika!” Dirham terkesiap mendengar ucapan istrinya, wajahnya memerah dia mengetapkan gigi, dongkol. Marah. “Hanya teman? tapi berani melarang. Kenalkan aku calon suaminya.”
Hari begitu cepat berlalu, Dirham dan Dinar pulang ke Jakarta naik pesawat untuk meminimalkan waktu perjalanan, tidak ingin istrinya kelelahan dan mengambil resiko untuk kandungan Dinar. Saat ini mereka sedang menunggu sopir keluarga Assegaff menjemput mereka di bandara. Ternyata Adam juga ikut serta, hari memang sudah senja, waktunya Adam pulang dari kantor, dia sengaja meminta supirnya untuk langsung pergi ke bandara menjemput putra dan menantunya. “Assalamualaikum.. ” Dirham dan istrinya yang sudah beberapa menit keluar langsung menoleh ke arah sumber suara, Adam tersenyum pada anak dan menantunya. “Waalaikumussalam, Pa.” “Sudah lama menunggu?” “10 menit gitu lah Pa, Mama nggak ikut?” Dirham segera meraih tangan Adam dan menciumnya. Diikuti oleh Dinar, istrinya melakukan hal yang sama. “Papa kan baru saja pulang dari kerja, sekalian ambil kalian dulu, baru bisa pulang bareng.”
Dirham membuka lemari tempat handuk dan bathrobe disimpan, ditarik keluar satu dan diberikan pada istrinya. Dia menatap wajah mendung Dinar yang masih menunduk tanpa melihatnya. “Bisa nggak, kalau menerima apapun dariku, atau berbicara denganku itu jangan menunduk. Memangnya kamu bersalah?” Dinar menelan saliva, kalimat Dirham dengan intonasi yang serius membuat nyalinya ciut. Dinar segera mengangkat wajahnya menatap sang suami yang sudah menyambutnya dengan tatapan tajam bak elang ingin menerkam mangsanya. Setetes butiran bening lolos dari sudut mata bulat Dinar, entah kenapa dia jadi sensitif saat ini. “Hei, kau kenapa, ada yang sakit? perutmu sakit?” Dirham menilik diri istrinya dengan teliti, lengan, perut dan wajah Dinar dilihat lebih dekat, mencari sebab perubahan mood Dinar. ‘Hatiku yang sakit Am.’ tentu saja itu hanya terucap dalam hati. “Tidak. Aku tidak apa-apa,
“A-aku.. ” Dinar tidak mampu meneruskan ucapannya, hatinya sakit seolah ditusuk dengan pisau tajam. Air matanya sudah bergenang. “Aku hanya memintamu untuk memindahkan barang-barang itu, bukan membukanya. Barang-barang berharga ini bahkan nilainya lebih tinggi dari apapun termasuk kamu!” napas Dirham turun naik menahan amarah. Berani sekali Dinar menyentuh barang-barang pribadinya. Kenangan yang terus disimpannya. Menjadi pengusir kerinduannya pada sosok gadis yang sangat dicintai. Aaaargh. Air mata Dinar jatuh tanpa bisa ditahan lagi, hardikan keras dari suaminya sangat menakutkan, kalimatnya teramat menyakitkan, bahkan suaminya tidak menyadari kalau ucapannya telah melukai hati rawan seorang istri, ternyata penilaian Dirham begitu rendah terhadapnya. Kenangan pahit beberapa bulan lalu mulai berputar di ingatan, dia menunduk menyembunyikan tangis. Dinar terisak pelan. Tangannya memegang erat ujung bajunya. Airmatanya menga
Demi melihat mertuanya sedang berdiri memandang kearahnya, Dinar serta merta berdiri dari pangkuan Dirham. Sementara suaminya ikut berdiri, dasi yang sudah dilonggarkan tadi ditarik lalu dilepaskan dan ditinggalkan begitu saja di sofa. Nora melangkah menuju meja makan diiringi anak dan menantunya. Mata Dirham berbinar senang melihat hidangan di atas meja. Semua adalah pesanannya. Ludah ditelan, terasa kering tenggorokan. Dirham duduk dan menggosok kedua tangannya membayangkan enaknya makanan di depannya, terasa tidak sabar ingin menjamah dan segera menyantap dengan penuh selera. Tangannya dicuci dan mengambil tempe mendoan yang digoreng garing. Sekali gigit, dia langsung tersenyum puas. “Mama masak? enak banget ini, Mam.” “Istri kamulah yang masak, Mama tadi mau bantu masak tapi baru teringat ada beberapa pesanan pelanggan Mama yang belum selesai design-nya, mama pergi melukis dan menantu kesayangan Ma
Mengandung konten 21+ Dirham membawa satu gelas besar coklat panas beserta satu kotak biskuit. Dia duduk di sebelah istrinya.“Jangan pikirkan omongan Julia. Aku tidak mau sampai ada apa-apa, karena kamu banyak pikiran.”“Tapi semua omongannya benar, Am.”“Tidak semua benar. Sudah! sampai di sini saja bahas Julia. Bagus ngomong lainnya. Mmmm, tentang besok.”“Kenapa dengan besok?”“Kita keluar jam 10, ternyata acara esok itu pernikahan temanmu. Tadi ku lihat lagi undangannya.” Dirham mengambil sepotong biskuit dan dimakan. “Aku sudah tau, kemarin Delia menghubungi aku. Dia banyak bercerita.” Dinar mengubah duduknya yang tadi menggantung kaki. Sekarang dia menyandarkan badannya pada dinding gazebo. Dirham melakukan hal yang sama di sebelahnya. “Kamu cerita juga tentang kita?” tanya Dirham sambil matanya terus menatap wajah istrinya. Cantik. “Belum, biar besok dia lihat sendiri.”“Nah makan, aaaa... ” Dinar membuka mulut saat t
Muncul Edo dan Tasya serta staf lain yang bekerja di restoran Azhar. Mereka semua menatap Dinar dan Dirham silih berganti dengan berbagai ekspresi. Yang jelas banyak pandangan tidak suka. Edo melihat Dinar dengan seribu kekecewaan. Dia memang ada rasa spesial untuk Dinar, tapi dia terlambat sekarang, Dinar sudah dimiliki pria lain. Ada rasa perih menggores hati Edo. Tapi apa daya Dinar bukan jodohnya. Dan dia harus akur terima ketentuan takdir dalam hidupnya. “Aku suami dia. Jawaban itu sudah cukup jelas,¹ kan? Tidak perlu tanya yang lain.” Dingin dan angkuh! itu kesan yang ditangkap oleh teman-teman Dinar yang ada di tempat itu. Delia memegang tangan Dinar. Edo memejamkan mata, kenyataan yang tidak ingin dia dengar saat ini. Sementara Zaky berbisik pada istrinya, dan pergi menuju ke belakang. “Jangan pulang dulu, duduklah sebentar. Aku yakin banyak cerita y
Suara nyanyian burung kenari dan debur ombak berselang-seling membangunkan tidur pulas Dirham. Pria itu membuka matanya dan melihat jam di ponsel, sudah jam 5 pagi. Ia bangun dan menatap pada wajah ayu wanita yang masih tertidur pulas di atas lengannya. Dirham bangun dari tempat tidur dan mengalihkan kepala sang istri. Ia melangkah menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri sebentar dan menunaikan kewajibannya. Lima belas menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda Dinar akan bangun, pasti wanita cantik itu kelelahan melayani keinginan suaminya yang tidak pernah jemu. Dinar baru dibiarkan tidur hampir jam 1 pagi.“Eungh …” Dinar menggeliat ketika merasakan tidurnya terganggu. Kantuknya tidak dapat lagi dinegosiasi, suaminya yang perkasa membuatnya hampir tidak bisa berdiri tadi dini hari, hingga ke kamar mandi harus digendong.Melihat istrinya tidur dengan mulut terbuka, membuat Dirham tertawa.'Kenapalah kamu itu sangat m
Mature contentDinar mencoba mengimbangi permainan lidah nakal sang suami, dan seperti selalu, Dirham selalu tidak bisa ditebak arah permainannya.“Mas, engh …” satu lenguhan keluar dari bibir mungil sang istri tatkala bibir Dirham mulai turun menjelajahi leher putih dan menyesap serta melumat dengan sesapan-sesapan kecil dan panas meninggalkan beberapa jejak kemerahan si sana. Jemari tangan Dinar meremas rambut Dirham menyalurkan hasratnya yang mulai bangkit.Dirham membawa istrinya ke atas tempat tidur dan menjatuhkannya, ia merasa celananya sesak karena miliknya mengeras sejak mereka turun dari mobil tadi. Membayangkan Dinar yang mendesis nikmat di bawah tubuhnya saja membuat pria itu langsung bergairah.Dirham membuka blouse istrinya, sementara Dinar memberi akses pada sang suami untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Ia juga menarik keluar baju pria yang menjadi tempat ia mencurahkan segal
“Mas! Anak-anak dengar tuh.” Dinar mencubit pinggang suaminya.“Dengar apa itu, Bunda?” Ruby memang kritis pemikirannya, selalu ingin tahu apapun yang didengar oleh telinganya.“Tidak ada apa, Sayang. Ruby nanti kalau bobo sama Oma dan Opa jangan rewel tau.” Dinar berpesan pada putrinya.“Kakak kan udah gede, pesen itu buat adik kali, Bunda.” Dirham tertawa mendengar kalimat pedas dari putrinya, ngikut siapalah itu, pedas kalau ngomong.“Adik uga udah pintal kok, pipis malam aja udah kaga pelnah.” Abizaair tidak mau ketinggalan.“Jelas dong, Adik udah mau 4 tahun, mana boleh pipis malem. Kasihan yang bobo sama adik kalau kena pipisnya.”Ujar Dirham pula, ia membawa mobil dalam kecepatan sedang.“Papa pelnah pipis malam-malam?” pertanyaan dari sang putra membuat Dinar terbatuk-batuk.“Pernah dong, tanya sama Bunda tuh. S
Dirham menatap istrinya, ia merasa heran mendengar ucapan dari gadis di depannya itu.“Sada, maksudnya apa? Kami tulus lho membantu kalian.” Dinar meminta Sada untuk menjelaskan penolakannya tadi.“Loli, ajak adik-adik ini bermain dengan Ruby.” Dinar memanggil Loli.“Iya, Bu. Ayo adik. Ada temannya di sana.” Loli datang dan memanggil adik-adik Sada untuk menuju ke halaman samping.“Pergilah, nanti Mbak panggil kalau mau pulang.” Baim dan Zahra mengangguk dan mengikuti langkah Loli.“Begini, Pak. Saya tidak enak kalau harus menerima kebaikan bapak dan ibu cuma-cuma.” Dinar tersenyum, ia mengerti apa maksud dari Sada. Ia masih ingat dulu Sada tidak pernah mau menerima uang secara cuma-cuma, ia harus bekerja sebelum menerima uang dari orang lain.“Tapi ini kan beasiswa. Namanya beasiswa pasti tanpa syarat. Kecuali beasiswa prestasi.&r
“Mbak Dinar!” Dinar langsung berdiri dan memeluk gadis itu dengan mata berbinar, gadis yang ingin ditemui ternyata sekarang ada di depannya. Sada membalas memeluknya.“Kamu kerja di sini?” Dirham bertanya pada Sada, gadis yang dulu pernah menjadi orang kepercayaannya untuk mengantar dan menjemput Dinar waktu mereka belum menikah.“Iya, Pak. Saya kerja di sini? Bapak sekeluarga liburan?”“Ayo, duduk. Kita bisa cerita-cerita. Adik-adik kamu pasti sudah besar sekarang.”Dinar menyentuh lengan Sada.Gadis itu tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.“Saya masih kerja, Mbak. Mana bisa duduk-duduk di sini. Adik saya sudah sekolah, kelas 6 SD sama kelas 4.”“Kamu tidak narik ojol lagi?” Dirham bertanya sambil mengambil sebotol air mineral di atas meja. Dibuka tutupnya dan diberikan pada sang istri.“Sore jam 4 setelah pul
“Sayang, Sorry Papa sama bunda ketiduran tadi. Sekarang ajak adik tunggu di depan, ya?”Dirham mengusap kepala putrinya. Ruby mengangguk dengan cepat. Ia memanggil sang adik sesuai pesan papanya.Sementara Dirham kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dinar baru saja selesai memakai selendang pashmina kegemarannya. Ia menyembur parfum lalu mengoles bibirnya dengan lipstik berwarna nude.Pelukan hangat Dirham dari belakang membuatnya sedikit menoleh.Dirham mendekap erat tubuh ramping istrinya, wangian aroma yang selalu segar pada penciumannya ia hirup dalam-dalam.“Jangan cantik-cantik, nanti ada yang naksir.”“Ruby bilang apa?”Dinar mengusap lengan sang suami yang melingkari perutnya.“Minta jalan-jalan ke pantai. Kita gerak sekarang. Kasihan anak-anak, ngambek katanya nungguin kita lama dari tadi.”“Papanya sih suka lama-lam
Mature content “Sayang, sabar.” Dinar mengacuhkan kalimat suaminya, entah kenapa sejak ia masuk ke dalam kamar, hasrat seksualnya naik tiba-tiba. “Mas, aku tidak bisa sabar lagi.” Dinar langsung menyerang Dirham dengan ciuman-ciuman panas, Pria itu bergerak mundur dan masuk dalam kotak kaca, ia membalas setiap lumatan dan sesapan bibir istrinya. Tangannya menahan tengkuk Dinar agar ciuman panas dan dalam mereka tidak terlepas. Bagian bawah tubuh Dirham sudah berdiri mengeras di dalam celana chino-nya. Begitu juga Dinar ia merasakan denyutan yang semakin menggila di bawah sana. Ia merapatkan kedua kakinya menahan rasa juga keinginan. Pria itu menarik dress istrinya lalu dilepaskan menyisakan penutup bagian dalam saja semakin membuat hasrat Dirham bergelora menatap tubuh indah yang tidak berubah dari awal mereka bersama, Dinar juga tidak tinggal diam, ia menarik turun celana sang suami, matanya membulat saat tangannya meremas sesuatu yang sudah menge
“Iya, ini Ruby. Yang saya kandung waktu masih di sini dulu, Mak. Ini Abizaair adik dia. Ini Loli pengasuh mereka. Ayo sayang, Salim sama Nek Marni.” Mak Marni manggut-manggut dengan mata berkaca-kaca. Terharu ternyata masih diberi kesempatan bertemu dengan majikannya yang baik seperti Dinar dan Dirham.“Saya kaget waktu Masnya menghubungi saya, untuk membantu membersihkan rumah ini.”“Ini semua juga buat saya kaget, Mak. Suami saya selalu memberi kejutan.” matanya memandang pada Dirham yang membaringkan Ruby di atas sofa.“Nak Loli, mari saya tunjukkan kamar untuk tidurkan nak Abizaair.” Mak Marni membawa Loli ke kamar yang memang disediakan khusus untuknya dan anak-anak.“Mas, sebaiknya Ruby juga dipindahkan sekali, lagian mereka juga sudah makan tadi di bandara, biarkan mereka istirahat dulu.”“Iya, aku juga ngantuk. Padahal baru jam 1 siang.”
Mendengar kalimat dari staf itu membuat wajah Rosy pucat seketika. Jadi pria yang begitu mempesona dan sesuai dengan impiannya adalah pemilik Cafe tempatnya bekerja. Istrinya juga berada di sini dan terlihat sangat saling mencintai. Ada rasa malu terselip dalam hatinya tapi rasa terpesonanya masih menguasai perasaannya. Pria yang sangat luar biasa, sudah tampan mempesona dengan postur tubuh sempurna kaya rasa dan romantis. Wanita mana saja pasti akan bertekuk lutut di depannya. Sungguh beruntung wanita yang sudah berhasil menjadi istrinya.“Kamu staf baru ya, tidak tahu kalau itu adalah owner Cafe, itu bos kita. Istrinya sangat baik, ramah dengan siapa saja.” tambah pekerja itu memuji istri bosnya. Sejak bekerja di sini, ia baru tiga kali bertemu dengan istri bos, Dinar tidak segan-segan memberi contoh jika staf baru tidak tahu cara mengerjakan tugasnya.“Mm, i-iya. Gue staf baru.”“O, pantas saja tidak ken