Hari begitu cepat berlalu, Dirham dan Dinar pulang ke Jakarta naik pesawat untuk meminimalkan waktu perjalanan, tidak ingin istrinya kelelahan dan mengambil resiko untuk kandungan Dinar. Saat ini mereka sedang menunggu sopir keluarga Assegaff menjemput mereka di bandara.
Ternyata Adam juga ikut serta, hari memang sudah senja, waktunya Adam pulang dari kantor, dia sengaja meminta supirnya untuk langsung pergi ke bandara menjemput putra dan menantunya.
“Assalamualaikum.. ” Dirham dan istrinya yang sudah beberapa menit keluar langsung menoleh ke arah sumber suara, Adam tersenyum pada anak dan menantunya.
“Waalaikumussalam, Pa.”
“Sudah lama menunggu?”
“10 menit gitu lah Pa, Mama nggak ikut?” Dirham segera meraih tangan Adam dan menciumnya. Diikuti oleh Dinar, istrinya melakukan hal yang sama.
“Papa kan baru saja pulang dari kerja, sekalian ambil kalian dulu, baru bisa pulang bareng.”
Dirham membuka lemari tempat handuk dan bathrobe disimpan, ditarik keluar satu dan diberikan pada istrinya. Dia menatap wajah mendung Dinar yang masih menunduk tanpa melihatnya. “Bisa nggak, kalau menerima apapun dariku, atau berbicara denganku itu jangan menunduk. Memangnya kamu bersalah?” Dinar menelan saliva, kalimat Dirham dengan intonasi yang serius membuat nyalinya ciut. Dinar segera mengangkat wajahnya menatap sang suami yang sudah menyambutnya dengan tatapan tajam bak elang ingin menerkam mangsanya. Setetes butiran bening lolos dari sudut mata bulat Dinar, entah kenapa dia jadi sensitif saat ini. “Hei, kau kenapa, ada yang sakit? perutmu sakit?” Dirham menilik diri istrinya dengan teliti, lengan, perut dan wajah Dinar dilihat lebih dekat, mencari sebab perubahan mood Dinar. ‘Hatiku yang sakit Am.’ tentu saja itu hanya terucap dalam hati. “Tidak. Aku tidak apa-apa,
“A-aku.. ” Dinar tidak mampu meneruskan ucapannya, hatinya sakit seolah ditusuk dengan pisau tajam. Air matanya sudah bergenang. “Aku hanya memintamu untuk memindahkan barang-barang itu, bukan membukanya. Barang-barang berharga ini bahkan nilainya lebih tinggi dari apapun termasuk kamu!” napas Dirham turun naik menahan amarah. Berani sekali Dinar menyentuh barang-barang pribadinya. Kenangan yang terus disimpannya. Menjadi pengusir kerinduannya pada sosok gadis yang sangat dicintai. Aaaargh. Air mata Dinar jatuh tanpa bisa ditahan lagi, hardikan keras dari suaminya sangat menakutkan, kalimatnya teramat menyakitkan, bahkan suaminya tidak menyadari kalau ucapannya telah melukai hati rawan seorang istri, ternyata penilaian Dirham begitu rendah terhadapnya. Kenangan pahit beberapa bulan lalu mulai berputar di ingatan, dia menunduk menyembunyikan tangis. Dinar terisak pelan. Tangannya memegang erat ujung bajunya. Airmatanya menga
Demi melihat mertuanya sedang berdiri memandang kearahnya, Dinar serta merta berdiri dari pangkuan Dirham. Sementara suaminya ikut berdiri, dasi yang sudah dilonggarkan tadi ditarik lalu dilepaskan dan ditinggalkan begitu saja di sofa. Nora melangkah menuju meja makan diiringi anak dan menantunya. Mata Dirham berbinar senang melihat hidangan di atas meja. Semua adalah pesanannya. Ludah ditelan, terasa kering tenggorokan. Dirham duduk dan menggosok kedua tangannya membayangkan enaknya makanan di depannya, terasa tidak sabar ingin menjamah dan segera menyantap dengan penuh selera. Tangannya dicuci dan mengambil tempe mendoan yang digoreng garing. Sekali gigit, dia langsung tersenyum puas. “Mama masak? enak banget ini, Mam.” “Istri kamulah yang masak, Mama tadi mau bantu masak tapi baru teringat ada beberapa pesanan pelanggan Mama yang belum selesai design-nya, mama pergi melukis dan menantu kesayangan Ma
Mengandung konten 21+ Dirham membawa satu gelas besar coklat panas beserta satu kotak biskuit. Dia duduk di sebelah istrinya.“Jangan pikirkan omongan Julia. Aku tidak mau sampai ada apa-apa, karena kamu banyak pikiran.”“Tapi semua omongannya benar, Am.”“Tidak semua benar. Sudah! sampai di sini saja bahas Julia. Bagus ngomong lainnya. Mmmm, tentang besok.”“Kenapa dengan besok?”“Kita keluar jam 10, ternyata acara esok itu pernikahan temanmu. Tadi ku lihat lagi undangannya.” Dirham mengambil sepotong biskuit dan dimakan. “Aku sudah tau, kemarin Delia menghubungi aku. Dia banyak bercerita.” Dinar mengubah duduknya yang tadi menggantung kaki. Sekarang dia menyandarkan badannya pada dinding gazebo. Dirham melakukan hal yang sama di sebelahnya. “Kamu cerita juga tentang kita?” tanya Dirham sambil matanya terus menatap wajah istrinya. Cantik. “Belum, biar besok dia lihat sendiri.”“Nah makan, aaaa... ” Dinar membuka mulut saat t
Muncul Edo dan Tasya serta staf lain yang bekerja di restoran Azhar. Mereka semua menatap Dinar dan Dirham silih berganti dengan berbagai ekspresi. Yang jelas banyak pandangan tidak suka. Edo melihat Dinar dengan seribu kekecewaan. Dia memang ada rasa spesial untuk Dinar, tapi dia terlambat sekarang, Dinar sudah dimiliki pria lain. Ada rasa perih menggores hati Edo. Tapi apa daya Dinar bukan jodohnya. Dan dia harus akur terima ketentuan takdir dalam hidupnya. “Aku suami dia. Jawaban itu sudah cukup jelas,¹ kan? Tidak perlu tanya yang lain.” Dingin dan angkuh! itu kesan yang ditangkap oleh teman-teman Dinar yang ada di tempat itu. Delia memegang tangan Dinar. Edo memejamkan mata, kenyataan yang tidak ingin dia dengar saat ini. Sementara Zaky berbisik pada istrinya, dan pergi menuju ke belakang. “Jangan pulang dulu, duduklah sebentar. Aku yakin banyak cerita y
Dirham membalikkan badan serta merta, inilah saatnya dia tahu kebenaran dari mulut lelaki yang dicurigai selama ini. Dinar takut akan ada salah paham diantara Zaky dan Dirham hingga terjadi perkelahian.“Maaf, aku akan pulang ya, Del. Suamiku sudah mengajakku pulang.” Dinar berdiri dari duduknya. “Tidak! Kita pulang nanti, Fathia adalah adik kandungku, kau mengenal adikku, Zaky Azhar?”Pria bernetra coklat cair itu menarik kursi di sebelah Dinar dan duduk dengan sorot mata tajam menatap wajah Zaky penuh selidik. Dinar juga kembali duduk di kursinya, wajahnya tampak gelisah.Dia tegang. “Oo, aku baru ingat. Mas Dirham ini pernah datang ke kampus untuk menjemput Fathia dulu, kan? Dia apa kabar sekarang, Mas? Masih kuliah di luar negeri kan, ya?” Dirham terkesiap mendengar pertanyaan dari Zaky, pengantin baru yang berumur lebih muda 7 tahun darinya itu seolah tidak tahu tentang kematian Fathia. Apa benar Zaky memang tidak tahu sama sekali tentang Fa
Pak Doni Azhar dan Bu Ambar berdiri tepat di belakang Dinar dan Dirham. Mereka sempat mendengar obrolan antara Dinar dan suaminya meskipun kurang jelas. Dinar berdiri dan melangkah menghampiri pria seumuran almarhum ayahnya itu lalu mencium tangannya dengan hormat. Doni Azhar adalah bosnya, ayah dari Zaky itu kenalan ayah dan ibunya. Mereka pernah bertemu ketika sama-sama menghadiri acara pernikahan saudaranya di kota Solo. Mereka menginap di hotel yang sama dan akhirnya berkenalan. Itu terjadi sudah beberapa tahun lalu waktu mendiang ayah Dinar masih ada. “Bapak, gimana kabarnya?” “Dinar. Ini suami kamu? Tadi ngomong apa yang tidak perlu diketahui orang lain?” Dinar tersenyum kikuk. Pasti Pak Doni sempat mendengar obrolannya bersama Dirham tadi. “Oh itu tentang rencana kejutan ulang tahun saya.” Dinar berbohong demi menutupi tragedi di masa lalunya dengan Dirham. “Begitu, tidak mau kenalin s
“Turunkan Mama Am, ada apa sih?” Nora menjerit dan menepuk lengan putranya. Dirham masih mengangkatnya dan membawanya berputar-putar, Dinar sekarang mengambil alih memegang selang air. Dia memberi waktu pada Dirham dan ibunya untuk menikmati kebahagiaan mereka.Tadi jam 3 sore Dirham pulang dari kantor untuk membawanya melakukan USG, dan setelah melihat hasil USG betapa dia juga bahagia, perutnya diusap penuh rasa sayang.‘Love you princess’ bisiknya pelan. Selang air yang belum ditutup diraih.“Mama pasti ikut seneng dengar kabar ini.”“Ada apa sih? jangan bikin Mama penasaran dong.”“Cucu mama perempuan, anak Am perempuan.”“Really? Selamat sayang, selamat.” Nora memeluk putranya erat, air matanya tidak bisa dibendung lagi, dia bahagia sekarang, terlalu bahagia. Akan ada putri yang lahir dalam keluarga Assegaff, seorang putri yang sudah diambil dulu kini akan