Share

Tetangga Baru

Jika hidup penuh cobaan, maka cobaan terbesar bagi Vina adalah Sean. Sean Davichi!

Vina menghela napas berulang kali, sudah hampir jam sebelas malam dan ia masih berkutat dengan laporan keuangan.

Seandainya otaknya seencer Einstein, mungkin hanya hitungan menit Vina akan selesai mengerjakan semua hukuman ini.

Akibat kecerobohannya, Vina harus lembur di hari pertama kerja sebagai sekretaris. Menyebalkan!

Vina terus fokus pada angka di layar monitor, namun lama-kelamaan angka-angka itu jadi membelah diri. Vina memejamkan matanya, menggeleng cepat dan membuka mata selebar-lebarnya. Vina berusaha menepis rasa kantuk yang mulai mendominasi.

Perlahan namun pasti mata itu kembali terpejam, bersamaan dengan kepalanya yang terjatuh ke atas tumpukan proposal di meja.

Vina merasa rileks, tubuhnya seakan ringan, melayang di atas hamparan bunga di musim semi. Namun semua berubah jadi petaka, ketika suara bass menggelegar itu membuat matanya terbuka lebar.

"DAVINA AYUDYA!!!"

Vina membuka matanya secara perlahan, pertama kali yang dilihatnya wajah tampan yang ada di depan mata.

Jaehyun NCT!

"Daebak! JAEHYUN!!" Vina menangkup wajah itu, membingkai wajah yang melongo karena terkejut dengan sikap Vina.

"Davina!"

"Ssstuuuuttt!" Vina menekan tangannya di bibir pria itu. "Jaehyun ganteng banget, cium boleh?" Tak menunggu jawaban, Vina langsung memoyongkan bibirnya. Mendekat ke arah pria itu, menepis jarak yang semakin tipis.

Sedikit lagi Vina bisa merealisasikan impiannya, namun tubuhnya justru terdorong mundur dan terjatuh di atas lantai. Pria itu mendorong wajah Vina dengan kasar.

"Gila lo ya!"

Vina mengerjapkan mata berulang kali, ketika mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Matanya membeliak kala melihat Sean berdiri di depannya sambil berkacak pinggang.

Terlihat jelas aura kemarahan Sean, sorot matanya menjelaskan semua kejadian yang baru saja terjadi. Astaga, Vina merutuki diri sendiri. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ya Tuhan, help me.

Sean mengusap kasar wajahnya, kini ia berada di kamarnya. Duduk termenung dengan pikiran yang berkecamuk. Wajah Vina terus berkeliaran di otaknya, seperti hantu kuyang.

Kilas balik kejadian tadi terus mengusiknya, ketika Vina hampir saja menciumnya. Entah kenapa Sean merasakan gejolak aneh di dalam dada. Bahkan seperti tersihir Sean dibuat tak berdaya, hampir saja ia terlena kalau kesadarannya tidak pulih.

"Gak bisa! Gak bisa begini!!" Sean menggelengkan kepalanya. Ia harus buat perhitungan dengan wanita laknat itu. "Mikir Sean, mikir!!" Sean merebahkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya.

Bodoh!

Sean terus menyumpah serapah diri sendiri, entah apa yang membuatnya harus kembali ke sana. Ingatannya kembali berputar.

"Kamu kerjakan ini semua!" Mata Vina membulat, menatap tumpukan berkas yang Sean letakkan di mejanya. Vina mendongakkan kepala.

"I ... i—ni se—mua." Sean mengangguk, terlihat raut wajah Vina yang begitu pasrah.

"Ingat, kamu gak boleh pulang sebelum ini semua selesai. NGERTI!!"

"Iya."

Sean pergi begitu saja, dalam hati ia bersorak merayakan kemenangannya. Hatinya begitu puas, melihat Vina menderita.

Jahat!

Tentu saja tidak, bagi Sean itu setimpal dengan apa yang Vina lakukan. Karena telah membuat wajah tampannya terkena cream cake.

Sean tak langsung pulang, ia pergi ke cafe milik Davin. Di sana teman-temannya tengah berkumpul. Mereka langsung menyambut kedatangan Sean.

Seperti kebanyakan wanita saat berkumpul, para pria pun melakukan hal yang sama. Mereka saling bercerita tentang karir dan percintaan masing-masing. Sampai waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul 22.00.

Namun mereka masih belum beranjak dari sana, begitupun Sean. Ia tak ingin pulang dan mendengarkan celotehan mamanya tentang perjodohan. Memangnya Sean gak laku sampai harus dijodohkan.

"Gimana jadi CEO baru? Pasti seru." tanya Davin. Sean hanya menyahutinya dengan senyuman tipis. Seru apanya, ia bahkan membenci pekerjaanya.

"Sekretaris lo cakep gak?" timpal Andra. "Masih ting-ting?" Andra memperagakan tangannya membentuk tanda kutip.

Sean melirik sebal Andra, kenapa ia bisa berteman dengan garangan fakboi. Apakah otak Andra hanya berisi selangkangan saja? Benar-benar pria laknat.

Ngomong-ngomong soal sekretaris, Sean jadi teringat dengan Davina. Sean melirik jam tangannya, sudah hampir jam sebelas.

"Mau ke mana?" tanya Davin, ketika Sean beranjak dari duduknya.

"Gue cabut dulu, ada urusan penting," jawab Sean, ia meraih jasnya.

"Baru jam segini, atau jangan-jangan lo mau ...." Andra menggantungkan ucapannya, menatap Sean dengan seringai menyebalkan.

"Dasar VIKTOR!" Sean berdecak lalu pergi begitu saja.

"Jangan lupa pake pengaman!" teriak Andra di sambut gelak tawa teman-temannya.

Sean tak menggubrisnya, pikirannya kalud karena teringat Vina yang masih dikantor. Seingat Sean, wanita itu sangat takut gelap. Sementara lampu di kantor akan otomatis mati saat pukul 23.00.

Sean memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, tampak gusar karena Vina tak kunjung mengangkat teleponnya.

"Bego, lo ngapain si! Kenapa gak angkat telepon gue!" Sean terus menggerutu, kepanikan membuatnya semakin khawatir.

Sean memarkirkan mobilnya di depan lobi, ia masuk ke dalam mengabaikan pertanyaan security. Benar dugaan Sean gedung itu sudah gelap gulita, ia segera naik ke lift. Sean terus merutuki Vina yang tak kunjung mengangkat teleponnya.

Sean sampai di depan pintu ruangannya, ia menarik knop pintu dan terdiam di depan pintu dengan mulut menganga. Ingin rasanya Sean mengumpat saat ini juga.

Orang yang Sean khawatirkan justru tengah tertidur pulas. Sean mendekati Vina yang sedang mendengkur, ia tampak geleng-geleng kepala.

"Dasar kebo, ngiler lagi!" Sean bergidik ngeri melihat proposal yang sudah berlukiskan pulau.

Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam pikirannya, Sean menyeringai. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Vina. Mengamati wajah teduh yang terlihat sangat cantik.

"Cantik," gumam Sean tanpa sadar. Seketika ia menggeleng, memukul bibirnya saat tersadar dengan apa yang baru saja di ucapkan. "Gue ralat gak jadi cantik, tapi jelek!" Sean memang labil, ia terlalu jaim untuk mengakui kecantikan Vina.

Sean menyingkirkan rambut Vina yang menghalangi wajahnya, ia menyelipkannya ke belakang telinga. Dengan aba-aba dalam hati, Sean langsung berteriak tepat di depan telinga Vina.

"DAVINA AYUDYA!!!"

Namun di luar dugaan, respon Vina justru membuat Sean spot jantung. Bagaimana tidak, Vina langsung menangkup wajah Sean. Ia tampak tersenyum lebar, wajahnya penuh binar dengan mata yang masih meredup.

"DAVINA!" Bukannya melepas, Vina justru menekankan jarinya ke depan bibir Sean. Membuatnya tercekat.

Sean melotot saat Vina dengan berani mendekatkan wajahnya, bibir monyongnya membuat Sean kalang kabut. Sean benar-benar merutuki tindakan gila wanita itu.

Saat bibir itu hampir menyentuh wajah Sean, tangannya dengan sigap mendorong wajah Vina dengan kasar. Bahkan Vina sampai terjungkal ke lantai.

"Gila lo ya!"

Sean geleng-geleng kepala. Membungkam mulutnya, tak bisa dibayangkan jika bibir itu benar-benar menempel. Apa jadinya jika iler itu juga ikut menempel.

"Tidaaak!!!"

—————

Vina terbangun ketika gedoran pintu terdengar begitu kencang. Siapa yang berani menggedor di pagi buta seperti ini. Vina pikir ini masih pagi, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.00. Vina melirik jam wekernya yang menunjukkan pukul 03.00.

Sial, gara-gara jam wekernya mati ia jadi kesiangan. Vina bergegas turun dari kasur. Ia berjalan ke kamar mandi, namun gedoran pintu membuatnya kembali berbalik menuju pintu.

"Siapa si, pagi-pagi beri ...." Vina mengatupkan bibirnya saat tahu siapa yang berdiri di depan pintu. Nyalinya tiba-tiba menciut.

Mak Erot? Apa gue lupa bayar kos? Atau kreditan panci?

"Eh, Emak." Vina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa Mak? Kayanya bukan tanggalnya nagih kos-kosan."

"Beresin barang-barang kamu!"

"Hah?" Vina melongo. "Loh kenapa Mak? Kan Vina gak telat bayar."

"Pokoknya pindah, sudah ada yang sewa lebih mahal!" Vina hendak protes tapi ibu kosnya langsung melotot dengan wajah ganas.

Ketika uang lebih berkuasa, Vina yang tak memiliki apa-apa ini tak bisa berbuat banyak.

"Oh iya, ada yang nunggu kamu di bawah," ucap Mak Erot sebelum pergi.

Siapa?

Vina melongokkan kepalanya ke bawah, matanya melotot. "Pak Bian!"

Vina menghela napas panjang, entah ke mana pak Bian membawanya. Hukuman apa lagi yang akan Vina dapatkan karena tidak masuk kantor.

"Bapak ngapain bawa saya ke sini?" Vina celingukan, memperhatikan gedung tinggi di depannya. "Apartemen?"

"Turun!" perintah pak Bian, mengabaikan pertanyaan Vina.

"Gak mau!" Vina curiga, ia mulai panik dan ketakutan. Bagaimana jika dirinya nanti diapa-apain, secara kan pak Bian jomblo.

"Buang pikiran kotor kamu!" Vina mengerjapkan matanya, kenapa pak Bian bisa tahu isi otaknya?

Terdengar helaan napas panjang dari pak Bian, ia menyodorkan kunci pada Vina.

"Apa ini?" Vina mengrnyitkan dahi.

"Kunci." Vina mendengus mendengar jawaban polos pak Bian. Yang bilang itu tongkol siapa?

"Saya tahu itu kunci, tapi buat apa?"

"Tempat tinggal kamu yang baru."

"Hah?" Vina melongo, tempat tinggal? Vina menoleh pada gedung tinggi itu, bahkan ia tak pernah membayangkan tinggal di sana. "Tapi———"

"Itu fasilitas dari kantor, kamu juga akan dapat fasilitas antar jemput setiap harinya. Untuk hari ini kamu gak perlu ke kantor, jadi pergunakan waktu kamu untuk bebenah," ujar pak Bian.

"Sungguh?" Di luar ekspetasinya, ternyata jadi sekretaris tidak buruk-buruk banget.

Vina bisa menghemat gajinya, ia tidak perlu bayar kos, tidak perlu bayar bis. Vina bisa mengumpulkan uang yang banyak dan mewujudkan impiannya.

Vina dibuat takjub saat memasuki apartemennya, ruangan yang tiga kali lipat lebih lebar dari kamar kosnya. Vina menyentuh setiap perabotan di dalamnya, semua barang-barang itu terlihat sangat mewah.

"Daebak!!" Decak kagum tak henti-hentinya keluar dari mulut Vina, ia langsung menghambur ke kamar.

Menjatuhkan diri di atas ranjang berukuran besar. Vina seperti ikan hiu terdampar, tangannya bergerak-gerak ke atas ke bawah. Hingga matanya mulai terpejam.

Keesokan paginya, Vina terbangun dengan napas memburu. Mimpi buruknya kembali menghantui. Vina turun dari ranjang, mengucek-ngucek matanya sambil berjalan ke pintu.

"Iya." teriak Vina saat mendengar bunyi bel apartemennya. "Siapa si pagi-pagi buta begini udah berisik!" gerutunya.

Vina mencepol tinggi rambutnya, ia masih mengenakan tanktop dan hotpants tanpa memakai cardigan lebih dulu. Sepertinya Vina belum sepenuhnya sadar.

"Siapa ...?" Vina cengo ketika pintu terbuka lebar.

Matanya melotot, ketika bola matanya bertubrukan dengan sorot tajam di depannya. Seringai menyebalkan itu menyambutnya.

"Selamat pagi tetangga baru."

Mata Vina berkedut, rasanya ia ingin menangis. Sejauh mana pun Vina berada, kenapa selalu Sean yang muncul di hadapannya.

TAKDIR MACAM APA INI?! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status