Jika hidup penuh cobaan, maka cobaan terbesar bagi Vina adalah Sean. Sean Davichi!
Vina menghela napas berulang kali, sudah hampir jam sebelas malam dan ia masih berkutat dengan laporan keuangan. Seandainya otaknya seencer Einstein, mungkin hanya hitungan menit Vina akan selesai mengerjakan semua hukuman ini. Akibat kecerobohannya, Vina harus lembur di hari pertama kerja sebagai sekretaris. Menyebalkan! Vina terus fokus pada angka di layar monitor, namun lama-kelamaan angka-angka itu jadi membelah diri. Vina memejamkan matanya, menggeleng cepat dan membuka mata selebar-lebarnya. Vina berusaha menepis rasa kantuk yang mulai mendominasi. Perlahan namun pasti mata itu kembali terpejam, bersamaan dengan kepalanya yang terjatuh ke atas tumpukan proposal di meja. Vina merasa rileks, tubuhnya seakan ringan, melayang di atas hamparan bunga di musim semi. Namun semua berubah jadi petaka, ketika suara bass menggelegar itu membuat matanya terbuka lebar. "DAVINA AYUDYA!!!" Vina membuka matanya secara perlahan, pertama kali yang dilihatnya wajah tampan yang ada di depan mata. Jaehyun NCT! "Daebak! JAEHYUN!!" Vina menangkup wajah itu, membingkai wajah yang melongo karena terkejut dengan sikap Vina. "Davina!" "Ssstuuuuttt!" Vina menekan tangannya di bibir pria itu. "Jaehyun ganteng banget, cium boleh?" Tak menunggu jawaban, Vina langsung memoyongkan bibirnya. Mendekat ke arah pria itu, menepis jarak yang semakin tipis. Sedikit lagi Vina bisa merealisasikan impiannya, namun tubuhnya justru terdorong mundur dan terjatuh di atas lantai. Pria itu mendorong wajah Vina dengan kasar. "Gila lo ya!" Vina mengerjapkan mata berulang kali, ketika mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Matanya membeliak kala melihat Sean berdiri di depannya sambil berkacak pinggang. Terlihat jelas aura kemarahan Sean, sorot matanya menjelaskan semua kejadian yang baru saja terjadi. Astaga, Vina merutuki diri sendiri. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Ya Tuhan, help me. Sean mengusap kasar wajahnya, kini ia berada di kamarnya. Duduk termenung dengan pikiran yang berkecamuk. Wajah Vina terus berkeliaran di otaknya, seperti hantu kuyang. Kilas balik kejadian tadi terus mengusiknya, ketika Vina hampir saja menciumnya. Entah kenapa Sean merasakan gejolak aneh di dalam dada. Bahkan seperti tersihir Sean dibuat tak berdaya, hampir saja ia terlena kalau kesadarannya tidak pulih. "Gak bisa! Gak bisa begini!!" Sean menggelengkan kepalanya. Ia harus buat perhitungan dengan wanita laknat itu. "Mikir Sean, mikir!!" Sean merebahkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya. Bodoh! Sean terus menyumpah serapah diri sendiri, entah apa yang membuatnya harus kembali ke sana. Ingatannya kembali berputar. "Kamu kerjakan ini semua!" Mata Vina membulat, menatap tumpukan berkas yang Sean letakkan di mejanya. Vina mendongakkan kepala. "I ... i—ni se—mua." Sean mengangguk, terlihat raut wajah Vina yang begitu pasrah. "Ingat, kamu gak boleh pulang sebelum ini semua selesai. NGERTI!!" "Iya." Sean pergi begitu saja, dalam hati ia bersorak merayakan kemenangannya. Hatinya begitu puas, melihat Vina menderita. Jahat! Tentu saja tidak, bagi Sean itu setimpal dengan apa yang Vina lakukan. Karena telah membuat wajah tampannya terkena cream cake. Sean tak langsung pulang, ia pergi ke cafe milik Davin. Di sana teman-temannya tengah berkumpul. Mereka langsung menyambut kedatangan Sean. Seperti kebanyakan wanita saat berkumpul, para pria pun melakukan hal yang sama. Mereka saling bercerita tentang karir dan percintaan masing-masing. Sampai waktu tak terasa sudah menunjukkan pukul 22.00. Namun mereka masih belum beranjak dari sana, begitupun Sean. Ia tak ingin pulang dan mendengarkan celotehan mamanya tentang perjodohan. Memangnya Sean gak laku sampai harus dijodohkan. "Gimana jadi CEO baru? Pasti seru." tanya Davin. Sean hanya menyahutinya dengan senyuman tipis. Seru apanya, ia bahkan membenci pekerjaanya. "Sekretaris lo cakep gak?" timpal Andra. "Masih ting-ting?" Andra memperagakan tangannya membentuk tanda kutip. Sean melirik sebal Andra, kenapa ia bisa berteman dengan garangan fakboi. Apakah otak Andra hanya berisi selangkangan saja? Benar-benar pria laknat. Ngomong-ngomong soal sekretaris, Sean jadi teringat dengan Davina. Sean melirik jam tangannya, sudah hampir jam sebelas. "Mau ke mana?" tanya Davin, ketika Sean beranjak dari duduknya. "Gue cabut dulu, ada urusan penting," jawab Sean, ia meraih jasnya. "Baru jam segini, atau jangan-jangan lo mau ...." Andra menggantungkan ucapannya, menatap Sean dengan seringai menyebalkan. "Dasar VIKTOR!" Sean berdecak lalu pergi begitu saja. "Jangan lupa pake pengaman!" teriak Andra di sambut gelak tawa teman-temannya. Sean tak menggubrisnya, pikirannya kalud karena teringat Vina yang masih dikantor. Seingat Sean, wanita itu sangat takut gelap. Sementara lampu di kantor akan otomatis mati saat pukul 23.00. Sean memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, tampak gusar karena Vina tak kunjung mengangkat teleponnya. "Bego, lo ngapain si! Kenapa gak angkat telepon gue!" Sean terus menggerutu, kepanikan membuatnya semakin khawatir. Sean memarkirkan mobilnya di depan lobi, ia masuk ke dalam mengabaikan pertanyaan security. Benar dugaan Sean gedung itu sudah gelap gulita, ia segera naik ke lift. Sean terus merutuki Vina yang tak kunjung mengangkat teleponnya. Sean sampai di depan pintu ruangannya, ia menarik knop pintu dan terdiam di depan pintu dengan mulut menganga. Ingin rasanya Sean mengumpat saat ini juga. Orang yang Sean khawatirkan justru tengah tertidur pulas. Sean mendekati Vina yang sedang mendengkur, ia tampak geleng-geleng kepala. "Dasar kebo, ngiler lagi!" Sean bergidik ngeri melihat proposal yang sudah berlukiskan pulau. Tiba-tiba terlintas ide jahil dalam pikirannya, Sean menyeringai. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Vina. Mengamati wajah teduh yang terlihat sangat cantik. "Cantik," gumam Sean tanpa sadar. Seketika ia menggeleng, memukul bibirnya saat tersadar dengan apa yang baru saja di ucapkan. "Gue ralat gak jadi cantik, tapi jelek!" Sean memang labil, ia terlalu jaim untuk mengakui kecantikan Vina. Sean menyingkirkan rambut Vina yang menghalangi wajahnya, ia menyelipkannya ke belakang telinga. Dengan aba-aba dalam hati, Sean langsung berteriak tepat di depan telinga Vina. "DAVINA AYUDYA!!!" Namun di luar dugaan, respon Vina justru membuat Sean spot jantung. Bagaimana tidak, Vina langsung menangkup wajah Sean. Ia tampak tersenyum lebar, wajahnya penuh binar dengan mata yang masih meredup. "DAVINA!" Bukannya melepas, Vina justru menekankan jarinya ke depan bibir Sean. Membuatnya tercekat. Sean melotot saat Vina dengan berani mendekatkan wajahnya, bibir monyongnya membuat Sean kalang kabut. Sean benar-benar merutuki tindakan gila wanita itu. Saat bibir itu hampir menyentuh wajah Sean, tangannya dengan sigap mendorong wajah Vina dengan kasar. Bahkan Vina sampai terjungkal ke lantai. "Gila lo ya!" Sean geleng-geleng kepala. Membungkam mulutnya, tak bisa dibayangkan jika bibir itu benar-benar menempel. Apa jadinya jika iler itu juga ikut menempel. "Tidaaak!!!" ————— Vina terbangun ketika gedoran pintu terdengar begitu kencang. Siapa yang berani menggedor di pagi buta seperti ini. Vina pikir ini masih pagi, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.00. Vina melirik jam wekernya yang menunjukkan pukul 03.00. Sial, gara-gara jam wekernya mati ia jadi kesiangan. Vina bergegas turun dari kasur. Ia berjalan ke kamar mandi, namun gedoran pintu membuatnya kembali berbalik menuju pintu. "Siapa si, pagi-pagi beri ...." Vina mengatupkan bibirnya saat tahu siapa yang berdiri di depan pintu. Nyalinya tiba-tiba menciut. Mak Erot? Apa gue lupa bayar kos? Atau kreditan panci? "Eh, Emak." Vina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ada apa Mak? Kayanya bukan tanggalnya nagih kos-kosan." "Beresin barang-barang kamu!" "Hah?" Vina melongo. "Loh kenapa Mak? Kan Vina gak telat bayar." "Pokoknya pindah, sudah ada yang sewa lebih mahal!" Vina hendak protes tapi ibu kosnya langsung melotot dengan wajah ganas. Ketika uang lebih berkuasa, Vina yang tak memiliki apa-apa ini tak bisa berbuat banyak. "Oh iya, ada yang nunggu kamu di bawah," ucap Mak Erot sebelum pergi. Siapa? Vina melongokkan kepalanya ke bawah, matanya melotot. "Pak Bian!" Vina menghela napas panjang, entah ke mana pak Bian membawanya. Hukuman apa lagi yang akan Vina dapatkan karena tidak masuk kantor. "Bapak ngapain bawa saya ke sini?" Vina celingukan, memperhatikan gedung tinggi di depannya. "Apartemen?" "Turun!" perintah pak Bian, mengabaikan pertanyaan Vina. "Gak mau!" Vina curiga, ia mulai panik dan ketakutan. Bagaimana jika dirinya nanti diapa-apain, secara kan pak Bian jomblo. "Buang pikiran kotor kamu!" Vina mengerjapkan matanya, kenapa pak Bian bisa tahu isi otaknya? Terdengar helaan napas panjang dari pak Bian, ia menyodorkan kunci pada Vina. "Apa ini?" Vina mengrnyitkan dahi. "Kunci." Vina mendengus mendengar jawaban polos pak Bian. Yang bilang itu tongkol siapa? "Saya tahu itu kunci, tapi buat apa?" "Tempat tinggal kamu yang baru." "Hah?" Vina melongo, tempat tinggal? Vina menoleh pada gedung tinggi itu, bahkan ia tak pernah membayangkan tinggal di sana. "Tapi———" "Itu fasilitas dari kantor, kamu juga akan dapat fasilitas antar jemput setiap harinya. Untuk hari ini kamu gak perlu ke kantor, jadi pergunakan waktu kamu untuk bebenah," ujar pak Bian. "Sungguh?" Di luar ekspetasinya, ternyata jadi sekretaris tidak buruk-buruk banget. Vina bisa menghemat gajinya, ia tidak perlu bayar kos, tidak perlu bayar bis. Vina bisa mengumpulkan uang yang banyak dan mewujudkan impiannya. Vina dibuat takjub saat memasuki apartemennya, ruangan yang tiga kali lipat lebih lebar dari kamar kosnya. Vina menyentuh setiap perabotan di dalamnya, semua barang-barang itu terlihat sangat mewah. "Daebak!!" Decak kagum tak henti-hentinya keluar dari mulut Vina, ia langsung menghambur ke kamar. Menjatuhkan diri di atas ranjang berukuran besar. Vina seperti ikan hiu terdampar, tangannya bergerak-gerak ke atas ke bawah. Hingga matanya mulai terpejam. Keesokan paginya, Vina terbangun dengan napas memburu. Mimpi buruknya kembali menghantui. Vina turun dari ranjang, mengucek-ngucek matanya sambil berjalan ke pintu. "Iya." teriak Vina saat mendengar bunyi bel apartemennya. "Siapa si pagi-pagi buta begini udah berisik!" gerutunya. Vina mencepol tinggi rambutnya, ia masih mengenakan tanktop dan hotpants tanpa memakai cardigan lebih dulu. Sepertinya Vina belum sepenuhnya sadar. "Siapa ...?" Vina cengo ketika pintu terbuka lebar. Matanya melotot, ketika bola matanya bertubrukan dengan sorot tajam di depannya. Seringai menyebalkan itu menyambutnya. "Selamat pagi tetangga baru." Mata Vina berkedut, rasanya ia ingin menangis. Sejauh mana pun Vina berada, kenapa selalu Sean yang muncul di hadapannya. TAKDIR MACAM APA INI?!Ketika ekspetasi berbanding terbalik dengan realita~~•••~~"Selamat pagi tetangga baru."Mata Vina berkedut, rasanya ia ingin menangis. Sejauh mana pun Vina berada, kenapa selalu Sean yang muncul di hadapannya.TAKDIR MACAM APA INI?!Emosi Vina memuncak ke ubun-ubun, ia sudah muak dengan Sean. Namun semua emosinya seketika sirna, saat Sean memajukan wajahnya ke depan wajah Vina.Dengan jarak yang begitu dekat, Vina bisa melihat dengan jelas wajah tampan yang sempat ia kagumi. Rahang tegas dan hidung mancung, ditambah bola mata yang entah kenapa mampu membuatnya terpesona.Vina refleks menutup mulutnya, karena tiba-tiba ia cegukan. Vina tersadar, matanya melotot karena wajah Sean yang ada di depannya hanya berjarak sejengkal."Dasar mesum!!" teriak Vina saat tahu ke mana arah mata Sean memandang, ia mendorong wajah Sean dengan kasar.Sean jelas terkejut, mendapat reaksi Vina yang berlebihan. Sean sampai terdorong mundur dan Vina langsung masuk membanting pintu."Dasar cewek bar-bar!"
Vina berjalan gontai memasuki kafe milik Reyvan. Ia menjatuhkan diri ke atas sofa. Beruntung kafe sudah sepi karena Reyvan baru saja menutupnya."Lo kenapa? Tumben pulang malem banget? Lembur?" Reyvan meletakkan secangkir mochacino ke depan Vina."Reyvan." Vina merubah posisi duduknya menghadap Reyvan yang duduk di seberang. "Lo tahu harga mobil Ferrari F60 America?"Reyvan mengernyitkan dahi, tampak berpikir. "Kenapa? Lo mau beli?""Mahal gak? Semahal apa?" tanya Vina tampak penasaran. Reyvan mengotak atik ponselnya sejenak. Lalu menunjukkan layar ponselnya."Sekitar 2,5 juta USD setara 25,6 milyar. Mahal si, soalnya mobilnya juga keren," jelas Reyvan.Mata Vina membulat seketika, melihat harga mobil yang begitu fantastis."Rey, 25,6 milyar itu nolnya berapa?" Vina menjatuhkan wajahnya ke meja. Ia benar-benar frustasi.Dari mana Vina bisa dapatkan uang sebanyak itu dalam waktu semalam, ya kali Vina jaga lilin. Yang muter siapa?"Kenapa?" tanya Reyvan penasaran. "Lo mau beli? Emang
Menjelang subuh Sean sudah terbangun. Ia menatap semua ruangan di apartemennya, rapi dan bersih tentunya.Sean menyeringai, ia benar-benar merealisasikan ucapannya———menciptakan mimpi buruk bagi Davina.Lihat saja sekarang, Sean mengacak-ngacak ranjangnya. Mengeluarkan semua isi lemarinya, menyebar semua barang-barang yang sudah tertata rapi.Tak puas membuat kamarnya kacau balau, Sean berjalan menuju dapur. Menaburkan tepung ke mana-mana, layaknya anak kecil ia mengelurkan isi saus dan kecap. Lantai yang tadinya bersih seketika kotor, penuh dengan kecap dan saus."Perfect." Sean menepuk-nepuk tangannya, sembari tersenyum puas. "Selamat berjuang Davina."Waktu menunjukkan pukul 05.00, namun suara berisik itu sudah mengusik tidur Vina. Perasaan alarmnya ia setting jam 06.00. Tangannya terulur menggapai jam weker di nakas, dengan gerakan cepat melemparkannya.Ia kembali tidur, memeluk bantal guling. Namun suara ringtone itu masih terus berbunyi nyaring, Vina membuka sebelah matanya. Men
Apa yang ada dibayangan kalian tentang wewegombel?Wanita bertubuh tinggi besar, berambut panjang serta memiliki balon udara yang besar.Namun bagi Vina, definisi itu justru menggambarkan wanita yang baru saja mendorongnya. Menyebabkan pantat teposnya mencium lantai.Wanita itu berdiri di hadapannya, matanya melotot seperti banteng yang siap menyeruduknya. Deru napas yang menggebu, menandakan emosi yang memuncak ke ubun-ubun. Terlihat jelas dari sorot mata wanita itu.Siapa dia?Mungkinkah dia Ana-Ana itu?Di luar ekspetasi Vina. Apa Sean sudah tidak bisa memilih mangsanya dengan benar sekarang? Sungguh menggelikan."Bitch! Pelakor!"What? Pelakor?Sinting emang nih wanita! Pikir Vina, ia mendesis sambil meringis menahan sakit di pinggulnya. Encok dah gue."Kamu gak apa-apa?"Vina terkesiap, tatapannya tertuju pada Sean yang berlutut di depannya. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata, Sean terlihat sangat tampan.Wait. Ralat, Sean sama sekali tak terlihat tampan. Justru pemandanga
Embusan napas Sean menyapu wajahnya, membuat aliran darah berdesir dengan kejutan listrik di sekujur tubuhnya.Help me, please. Jerit Vina dalam hati."Lo pasti sengaja kan? Jawab!""Gak .... " Vina menggelengkan kepalanya di depan wajah Sean yang hanya berjarak sejengkal. "Gue ... ceguk!"Shit!Vina merutuki reaksi tubuhnya, kenapa ia harus cegukan disaat darurat seperti ini!!Siapa pun tolong gue.Sean memiringkan kepalanya, maju seperkian centi. Bau mint langsung menyeruak ke indera penciuman Vina.Vina memejamkan mata, dalam hati ia terus merapalkan doa. Termasuk doa pengusir Setan, berharap dalam hitungan detik Sean akan menghilang———melebur jadi asap. Wussss!Tapi nyatanya, itu hanya imajinasi Vina saja. Karena Vina merasakan deru napas Sean menyapu wajahnya, menandakan Sean masih di depannya dengan jarak yang semakin tipis."Bos, siang ini ...." Tiba-tiba pintu terbuka lebar, pria yang tengah memegang tablet itu tercekat melihat posisi bosnya dengan sang sekretaris. "Ups ... se
Sean mengusap kasar wajahnya, langkah kakinya terasa berat. Atmosfir rumah orangtuanya begitu menyesakkan, seolah Sean tahu apa maksud sang mama menyuruhnya pulang.Sean berhenti di ambang pintu, menatap datar pada mereka yang berada di meja makan. Sesuai dugaannya, pertemuan ini bukan sekedar makan malam biasa. Pasti ada udang dibalik bakwan. Betapa liciknya sang mama, menjebaknya pada pertemuan antar keluarga."Malam," sapa Sean, memaksakan senyum tipisnya. Ia duduk di hadapan Kimmy yang sejak tadi memandang takjub dirinya."Apa kabar, Sean? Makin sibuk aja kayanya udah jadi bos." Sean hanya tersenyum tipis mendengar calon mertuanya membual. Rasanya muak!Sean hanya menanggapi seadanya, tak banyak bicara. Ia sama sekali tak berminat. Hingga percakapan itu sampai di babak paling penting. Sean melongo mendengar pernyataan sepihak sang mama."Jadi, pertunangan kalian bakal diadain minggu depan. Mama juga udah urus semuanya."Bukan hanya terkejut, rasanya Sean seperti dihempas dari lang
Vina berjalan sempoyongan. Ia merangkul Sean menuju unit apartemennya. Sesampainya di depan pintu, Vina bingung karena tidak tahu apa pasword-nya."Sean, Pasword-nya apa?" Vina menepuk-nepuk pipi Sean. "Sean!" hardik Vina karena Sean sama sekali tak menggubrisnya, pria itu justru meracau tak jelas sedari tadi.Kaki Vina sudah pegal, ia bingung harus bagaimana. Kunci tidak ada, kartu akses juga tidak ada. Pasword pun Vina tidak tahu. Vina mengembuskan napas kasar. Sepertinya tak ada pilihan lain, mau tidak mau Vina membawa Sean ke dalam unitnya."Sean!! Lo bisa diem gak si?!" Vina benar-benar gondok dengan Sean. Pria itu terus menduselkan kepalanya di ceruk leher Vina. "Sean!!""Hm." Sean mengangkat wajahnya, bau alkohol menyeruak ke hidung Vina.Vina mendesis, berniat menjauhkan tubuhnya namun Sean justru menarik pinggang Vina hingga keduanya jatuh di atas ranjang. Posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi Vina, karena Sean terjatuh tepat di atasnya."Minggir!" Bukannya minggir Sean
Selepas kepergian Vina, Sean memutar kursinya menghadap keluar gedung berdinding kaca. Sean menghela napasnya, memejamkan mata sejenak. Bayangan bibir Vina terus mengusik otak kotornya. Sepertinya Sean perlu jasa rukiyah, agar jiwa mesumnya tak semakin menggila."Gue bukan Rey, tapi makin ke sini kenapa gue berhasrat buat jadi seperti Rey," gumam Sean.Ceo mesum!Sean berdecih, ketika hal itu terlintas di otaknya. "Gak, gue gak boleh jadi mesum." Sean menggelengkan kepalanya. "Aisshh, Davina!" geram Sean ketika mendengar derit pintu yang terbuka."Apalagi si, Vina ...!" Sean tercekat ketika memutar kursinya. Bukan Vina yang masuk, melainkan sosok Kimmy."Vina?" Kimmy berdecak, tak suka. "Siapa Vina? Wanita mana lagi yang buat kamu goyah?"Sean memutar bola matanya, malas menanggapi ocehan Kimmy. Ia beranjak dari duduknya, suara Kimmy membuat telinganya pengang tak karuan."Ngapain si lo ke sini?""Aku bawain kamu makan siang. Aku baru aja belajar resep baru," ucap Kimmy sembari menata
Setalah cuti kerja hampir dua minggu paska acarapernikahan dan honeymoon. Kini Sean kembali ke rutinitas, bekerja di perusahaan orangtuanya. Meski rasanya berat harus berpisah dengan istrinya, mengingat Vina sudah tidak diperbolehkan lagi jadi sekretarisnya oleh sang mama, dengan alasan agar Vina tidak kecapekan dan bisa segera memberi beliau cucu.Itu kenapa Sean terlihat nggak semangat di hari pertama kerja setelah cuti. Ia terlihat ogah-ogahan bangun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar saat tak menemukan keberadaan istrinya. Aroma lezat masakan, menggiring langkah Sean menuju dapur. Seperti yang Sean duga, istrinya sudah menyibukkan diri di dapur.Sean terdiam di dekat bar kitchen, memandangi siluet tubuh istrinya yang tampak sibuk di depan kompor. Sean menelan ludah, bohong kalau ia tidak tergoda melihat penampilan Vina saat ini.Rambut panjang yang dicepol tinggi, memperlihatkan leher mulus yang mengundang Sean untuk menciumnya. Bahu yang terbuka, karena Vina hanya memakai t
"Maaf ya, Sean. Aku kayaknya nggak bisa sama kamu lagi.""Hah?""Maksud kamu apa, Vin? Nggak usah aneh-aneh deh!""Ternyata aku nggak benar-benar cinta sama kamu.""Nggak cinta?" Sean mengernyit, nggak habis pikir Vina yang baru seminggu jadi istrinya justru bilang seperti itu. "Vin, beneran nggak lucu ya. Kita baru seminggu loh nikah, terus kita lagi honeymoon. Bisa-bisanya kamu bilang begini? Kamu ngerusak suasana!""Maaf." Vina meminta maaf, tapi raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. "Tapi aku tetep pengen pisah dari kamu.""Vin, seriously?" Sean meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya ke bawah. "Padahal kita baru saja—""Justru karena itu aku pengen pisah sama kamu," potong Vina, beranjak dari ranjang membiarkan selimut yang menutupi separuh tubuhnya merosot. Ia berdiri di dekat ranjang dengan hanya memakai pakaian dalam, menatap Sean dan kembali berkata, "aku merasa di-prank sama kamu. Kirain gede, tahunya mini-mini."What the hel
Alarm terus berbunyi, memenuhi ruangan. Suaranya yang nyaring memekakkan telinga, sangat mengganggu.Sean melenguh, tangannya terulur mematikan alarm. Ia perlahan membuka mata saat merasakan pergerakan di dadanya. Sean tersenyum tipis melihat siapa pelakunya.Sean bergerak hendak bangun, tapi tangan mungil itu melingkar di perutnya. Memeluknya semakin erat, bahkan sesekali mengerang dengan mata masih terpejam."Do not leave me alone," gumamnya."Baby I want to go to the toilet." Sean menangkup pipi Vina yang begitu menggemaskan.Vina menggeleng, menyembunyikan wajahnya di dada telanjang Sean. "Stay with me."Sean mendengus geli karena tingkah Vina yang seperti anak kecil, ia menyentil kening Vina sampai perempuan itu memekik."Oppa!! Sakit," rengek Vina mengusap keningnya, bibirnya mengerucut ke depan."Makanya jangan nonton drakor mulu, halu kan." Sean terkekeh geli. "Ayo bangun katanya mau lihat sunrise."Sunrise?"Ya ampun, jam berapa sekarang?" Vina mencari-cari keberadaan ponseln
Selepas acara akad nikah di Bandung, keesokan harinya dilanjutkan acara resepsi di Jakarta. Orangtua Sean menggelar acara resepsi pernikahan di ballroom hotel bintang lima di Jakarta.Davin memasuki ruangan, berjalan tertatih dengan bantuan tongkat dan teman-temannya."Hati-hati," kata Devan."Gue gak papa," tukas Davin yang enggan dibantu."Dasar keras kepala!" gerutu Andra, dibalas dengusan Davin.Mereka bertiga berjalan menghampiri sang mempelai pengantin yang ada di singgasananya. Senyum lebar menghiasi wajah Sean saat menyambut ketiga sahabatnya."Akhirnya Sean nikah, gak jadi karatan," seru Devan dengan kekehannya yang terdengar garing."Sial, lo kira gue besi tua," gerutu Sean."Emang, lo kan jomblo tua," balas Devan. "Tapi, selamat Bro. Gue ikut seneng akhirnya lo bisa menyelesaikan cinta lama lo yang belum kelar," ucap Devan sembari memeluk hangat Sean."Thank's Bro. Jadi kapan lo nyusul, gak baik nyebar benih di kloset." Sean terkekeh geli karena Devan langsung melepas peluk
Kimmy menggerutu sepanjang jalan, jika bukan karena Reyvan yang menyuruhnya ke butik maka ia tak akan mengalami kejadian naas seperti tadi.Arrggghhh!!!Bahkan Kimmy semakin kesal saat bayangan itu terus melintas, berseliweran di otaknya yang tiba-tiba dungu."Udahan?"Kimmy masuk ke kafe dan mengabaikan pertanyaan sang pemilik kafe. Ia langsung menuju sofa paling ujung, merebahkan diri di sana. Kimmy tak peduli jika keadaan kafe sedang ramai, mengingat ini jam makan siang."Arggg!! Sial!" erang Kimmy tiba-tiba. Ia sudah muak dengan bayang-bayang yang mengotori matanya, membuat hatinya terus merongrong untuk mengamuk.Waras Kimmy! Waras!Kimmy terus meneriaki dirinya sendiri."Move on, move on, move on." Kimmy terus merapalkan kata-kata sakral itu sampai tak sadar seseorang duduk di hadapannya."Mochachino?"Kimmy membuka matanya dan mendapati Reyvan sudah duduk di hadapannya. Pria itu menunjuk gelas besar di atas meja dengan dagunya."Cuacanya emang panas, cocok buat dinginin pikiran
Sean pikir acara lamarannya akan berakhir berantakan karena kedatangan Davin. Bahkan ia sudah sangat cemas melihat pria itu nekad melamar Vina. Tapi jawaban Vina memupuskan kegusaran Sean."Maaf Davin, aku tidak bisa. Aku sudah menentukan pilihanku dan pilihanku itu Sean."Jawaban Vina bagai pukulan telak untuk Davin. Kata-kata Vina seperti belati yang menusuk hati, menorehkan luka menganga di dalam sana."Tapi Vin ...," lirih Davin. "Apa tidak ada sedikit pun kesempatan untuk aku?" Davin melihat Vina dengan tatapan sayu, seakan memohon.Sean sudah muak melihat drama tengik buatan Davin, ia sudah akan menerjang Davin. Beruntung sang mama menahan dirinya, membuat Sean urung melakukan tindakan gilanya. Sean hanya bisa mengepalkan kedua tangan, menyalurkan kekesalannya pada manusia tidak tahu diri macam Davin."Gak." Vina menggeleng dengan cepat. "Dari dulu cuma Sean yang aku cinta. Kamu tahu itu."Terdengar helaan napas berat Davin, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Haruskah ia berhent
Vina berkali-kali menelan ludah, rasa gugup dan takut mendominasi. Langkah kakinya semakin berat, genggaman tangan Sean pun kian erat. Meski ragu keduanya tetap melangkah menuju kamar mama Sean.Walaupun sudah larut malam, Sean tetap nekad ingin menemui mamanya. Sean tak bisa jika harus menunggu sampai besok, apa pun yang terjadi Sean sudah mantap dengan pilihannya."Sean." Vina berhenti melangkah, membuat Sean otomatis berbalik menghadapnya. "Besok saja ya. Aku takut," cicit Vina, nyaris tak terdengar."Gak. Pokoknya kita harus ketemu mama sekarang. Apa pun yang terjadi, aku harus dapetin restu mama malam ini." Sean meraih kedua tangan Vina, mengusapnya dengan ibu jari. "Kamu percaya sama aku 'kan?"Vina mengangguk, ia sangat percaya dengan Sean. Tapi ... keraguannya juga sama besar. Vina ragu mama Sean akan merestuinya, mengingat sikap mama Sean yang selalu sinis padanya."Ayo." Suara Sean menginterupsi, genggaman di tangan menariknya kembali melangkah menuju kamar mamanya.Vina ter
"Will you marry me."Kata-kata Davin terus berputar di otak Vina yang tiba-tiba tumpul sesaat. Terlalu mengejutkan hingga Vina tak tahu harus bereaksi seperti apa.Will you marry me?Mungkin jika itu Sean dengan senang hati tanpa ragu lagi, Vina akan bilang 'yes, i will'. Tapi ini Davin! Orang yang tak pernah Vina bayangkan. Meskipun sang ayah sempat ingin menjodohkannya, tetap saja itu hal yang sangat tidak mungkin.Vina masih melongo, bibirnya terlalu kelu untuk berucap, bahkan telinga Vina serasa berdengung tak mampu mendengarkan apa pun kecuali kalimat tadi.Ini lebih horor dari putusan pengadilan soal kawin gantung. Emang ada ya?Oh, shit!Apa otaknya sudah tidak bisa berfungsi dengan benar. Semuanya jadi tidak masuk akal. Seandainya Vina bisa membelah lantai kafe, maka ia akan dengan senang hati menenggelamkan diri saat ini juga."Berengsek!"Vina tersentak, ketika suara lantang berbaur pekikan orang-orang di sekitarnya menginterupsi. Hal pertama yang Vina lihat, Davin sudah ter
Akibat insiden semalam, aura di rumah ini begitu mencekam. Vina yang baru turun hanya mendapati dua PRT yang sedang menyiapkan sarapan. Padahal biasanya ada mama Sean yang bawel menberikan interuksi pada keduanya."Pagi Bi," sapa Vina."Pagi Non," balas kedua PRT itu bebarengan."Yang lain belum pada turun ya Bi?" tanya Vina."Belum Non," jawab salah seorang yang lebih tua.Vina hanya mengangguk, ia duduk termenung memandangi meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Pikiran Vina berkecamuk, memikirkan kejadian semalam.Apa ini semua karena kehadiran dirinya?Hal itu sangat mengganggu dalam benaknya. Jika iya, sebaiknya Vina mundur saja."Pagi Cinta."Vina tersentak saat merasakan kecupan di pipinya. Ia langsung menoleh dan mendapati wajah Sean yang menyebalkan."Sean!" pekik Vina, memukul pelan bahu pria itu.Sean terkekeh, menertawakan wajah Vina yang begitu lucu dan menggemaskan. Apalagi rona merah di pipinya, mirip Jeng Kelin."Papa sama Mama lo mana?" tanya Vina."Kamu," ralat