Vina menghela napas berulang kali, mengembuskannya dengan kasar. Rasa gondok masih bercokol di hati, emosinya semakin mencuat ke ubun-ubun.
Vina tak berhenti merutuki diri, menyumpah serapah Sean. Bagaimana bisa, manusia kampret itu memanfaatkan sikap cerobohnya. Menjebak Vina, menjerumuskan nya ke jurang penyesalan. Harusnya Vina memang tidak menandatangani perjanjian terkutuk itu, apa jadinya jika ia harus selalu menempel seperti perangko pada Sean? Sungguh konyol! Gak sudi! "Aaawww!" Vina meringis ketika kopi yang tengah diaduk menumpahi tangannya. Vina mengembuskan napas panjang. Lelah. Ini kopi ketiga, setelah kopi sebelumnya ditolak dengan berbagai alasan tak masuk akal. Vina menarik napas kuat, menyiapkan mentalnya untuk menghadapi Sean. Sean menatap Vina yang berjalan ke arahnya. Terlihat seringai menyebalkan yang tercetak jelas di sebelah sudut bibirnya. Seperti Voldemort di film Harry Potter. Vina langsung meletakkan kopi itu ke depan Sean. Pria itu kembali mengukur suhu kopinya dengan termometer. "Kurang panas!" celetuk Sean, menunjukkan suhu di termometer. "What? Lo mau ngerjain gue? Hah!" Luapan amarah Vina tak lagi mampu dibendung. "Tadi lo bilang kepanasan, sekarang lo bilang kurang panas! Mau lo apa si?" teriak Vina dengan lantangnya. Persetan dengan sopan santun. "Kurang ajar sama majikan, potong gaji 10%." Vina sketika melotot, sementara Sean justru tersenyum puas. Ia bersandar di kursi, sambil menggerakkan kursinya ke kanan-kiri. Matanya tak lepas dari tatapan Vina. "Lo gila! Udah jadi fakboi sekarang mau jadi bos gak ada ahlak!" Vina mendesis, bisa stres ia lama-lama bersama Sean. "Bodo amat!" Sean tampak tak peduli. "Buatin lagi, ingat harus pas 90°. Jangan kemanisan!" Vina mendengus, mengambil kembali kopi itu lalu keluar dari ruangan Sean. Sean tertawa terpingkal-pingkal, memegangi perutnya. Tak kuasa menahan tawa. Sean sangat puas mengerjai Vina, sampai wanita itu tampak frustasi. "Mukanya konyol banget!" Sean cekikikan, membayangkan wajah Vina ketika syok tadi. "Ini baru permulaan Davina!" smirk Sean terukir di sudut bibirnya. Entah dendam kesumat apa yang membuat Sean selalu ingin mengerjai Vina. Ketika wajah cantik itu berubah jadi seperti mak lampir, rasanya ada kepuasan tersendiri. Kopi ke lima, kali ini Sean harus menyiapkan alasan lagi. Sean menatap Vina yang berjalan mendekat, meletakakan kopi di meja. Sean kembali mengukur suhunya, sial! Suhunya pas, ia tidak mungkin membuat alasan yang sama. "Awww ... tiupin!" Sean memberikan cangkir kopi itu pada Vina. "Sean Davichi!" Vina menggebrak meja Sean. "Lo!" Matanya menatap nyalang Sean, "Gak usah banyak ting————" "Sssuuuttt!" Sean menekankan jarinya di bibir Vina. "Tiupin atau potong gaji?" "Gak sudi!" Vina menepis tangan Sean, ia berbalik hendak pergi. "Gue mau cake rasa red velvet." Sean melirik jam tangannya. "Sepuluh menit lo gak sampai sini, lembur sampai jam sepuluh malam tanpa digaji!" "Sean!" bentak Vina, berbalik menatap sengit Sean. "Lo sengaja, lo mau ngerjain———" "Sembilan menit tiga puluh detik." Sean benar-benar membuat amarah Vina siap meledak. "Disurat perjanjian tertulis, kalau lo gak turutin kemauan gue lo bakal lembur selama sebulan tanpa digaji." "Dasar Bos laknat! Calon penghuni neraka!" Vina menghentakkan kakinya, dengan kesal ia membanting pintu saat keluar. Sean tergelak, memang ini yang diharapkan. Kemarahan seorang Davina Ayudia. ——————— Ujian sekolah baru saja berakhir. Vina yang baru saja pulang sekolah, langsung ke toko kue milik bundanya. "Rame ya Bun?" Vina memperhatikan suasana toko yang sangat ramai. "Iya, mana yang delivery juga banyak. Belum ke handle semua. Kamu pulang gih, ganti bajunya." Vina menggeleng, ia tidak mau pulang. "Males ah, di rumah sendirian. Mau Vina bantuin gak, anterin pesenannya?" Vina menawarkan diri, awalnya sang bunda menolak tapi Vina terus merengek hingga akhirnya diizinkan. Vina menenteng cake pesanan yang harus diantarnya, cake rasa red velvet. Rasa kesukaanya. Vina memasuki sebuah cafe yang cukup mewah, ia celingukan. Vina pun mendekat ke meja bar, bertanya pada seorang barista. "Mas mau anter cake, alamatnya benar di sini. Cuma saya bingung musti kasih ke siapa?" tanya Vina. "Atas nama siapa?" "Davin," jawab Vina dengan cepat. "Oh mas Davin, langsung aja ke atas. Kebetulan lagi ada acara reuni di atas." Vina mengangguk, ia mengucapkan terimakasih setelah itu naik ke lantai dua mengikuti arahan mas-mas tadi. Sedikit gugup Vina mengetuk pintu di depannya. Ia masuk saat mendengar sahutan dari dalam. Vina terpaku di depan pintu, sepertinya ia salah masuk ruangan. Hening. Semua orang menatapnya dengan aneh. Sial memang, harusnya Vina tidak ke sini jika tahu yang pesan itu mantan kakak seniornya. Yang lebih buruknya, ada Sean di sana. "Wow, mantanya Sean!" seru salah seorang. Vina semakin menunduk, tubuhnya gemetar. Sean hanya diam saja, ketika Vina digiring Davin untuk duduk di depannya. "Lo gak mau sapa dia, bro?" Davin menepuk bahu Sean, tapi cowok itu hanya berdecih. Menatap jijik Vina. "Udah setahun, dan lo masih burik aja!" celetuk Sean. Sontak saja itu membuat gelak tawa tak terelakkan. Mereka semua tertawa tanpa peduli bagaimana perasaan Vina. "Ini cake-nya, gue cuma nganter ini." Vina memberanikan diri untuk bangkit, ia meletakkan cake itu di atas meja. Vina sudah melangkah, tapi lengannya ditarik ke belakang membuat tubuhnya refleks berbalik. Vina syok! Ia terdiam, pandangannya tertutup krim cake yang sengaja di lempar ke mukanya. Orang-orang di sana makin tertawa, terutama Sean sang pelaku utama. "Ini hadiah buat lo, karena berani nongolin muka burik lo di depan gue!" Semenjak hari itu Vina sangat membenci cake red velvet, atau apa pun yang berbau-bau red velvet. Mengingatkan Vina akan kejadian buruk yang menimpanya. "Mba?" Panggilan kasir menyadarkan Vina dari lamunannya. "Eh, iya Mba." "Mau bayar cash atau debit?" Vina merutuki diri, kenapa ia tidak minta uang sama si kampret. Jadinya Vina harus mengeluarkan uang sendiri! Mana tanggal tua. "Cash saja Mba." "Totalnya tiga ratus lima puluh ribu." Vina membeliakkan mata, karena harga satu cake setara dengan uang makannya seminggu. Alamak, puasa seminggu ini! Vina sudah akan beranjak keluar, namun panggilan seseorang membuatnya kembali berbalik. Vina mengerutkan kening, menatap pasangan di depannya. "Davina kan?" Vina hanya mengangguk, ia heran dengan pria di depannya. Kenapa pria itu sok SKSD dengannya, di depan pasangannya pula. "Apa kabar?" "Baik." Vina tampak bingung. "Maaf, apa sebelumnya kita pernah kenal atau ketemu?" "Lo lupa sama gue. Ini gue Rey, Reynaldi Stronghold. Dulu kita pernah ketemu di tongkrongan, waktu Sean bawa lo." Dunia memang begitu sempit, pikir Vina. Bagaimana bisa dirinya bertemu dengan sepupu Sean. "Wah lo sekarang makin cantik ya ... awww, sakit Yank." Rey meringis mengusap pinggangnya yang baru saja di cubit istrinya. "Sorry ya. Istri gue emang suka cemburuan ... awww." Vina hanya tersenyum kikuk melihat keduanya. "Kalau begitu aku permisi dulu, senang bertemu kalian." Vina pamit undur diri, melemparkan senyuman hangat pada istri Rey yang dibalas langsung oleh wanita itu. "Ana, kamu lihat. Dia mantanya Sean, tapi Sean aja gak tau diri malah jadiin gadis sepolos dia barang taruhan. Emang gak ada ahlak tuh bocah, untung kamu nikahnya sama aku bukan dia." Vina mengeratkan cengkraman pada tentengannya, ia tersenyum tipis mendengar ucapan Rey. Hal yang sangat memalukan, tapi selalu hidup dalam ingatan semua orang. Vina berjalan tergesa memasuki kantor, ia memencet tombol lift. Vina menarik napas kuat-kuat, mengembuskannya secara perlahan. Vina keluar dari lift, bergegas menuju ruangan Sean. Tanpa permisi Vina masuk, ia berjalan mendekati Sean yang sedang berdiri menatap keluar gedung. Saking buru- burunya, Vina tak memperhatikan langkah kakinya. Vina tersandung, tubuhnya tersungkur membuat cake yang dipegangnya terlempar. Vina mengerjapkan mata ketika mendengar erangan Sean. Ia mengangkat wajahnya, menatap Sean yang berdiri tepat di depannya. Wajah Vina berubah pucat, ketika melihat krim cake memenuhi wajah Sean. Mampus! Vina memejamkan mata, bersamaan dengan teriakan lantang dari Sean. "DAVINA AYUDIAAA!!!"Jika hidup penuh cobaan, maka cobaan terbesar bagi Vina adalah Sean. Sean Davichi!Vina menghela napas berulang kali, sudah hampir jam sebelas malam dan ia masih berkutat dengan laporan keuangan.Seandainya otaknya seencer Einstein, mungkin hanya hitungan menit Vina akan selesai mengerjakan semua hukuman ini.Akibat kecerobohannya, Vina harus lembur di hari pertama kerja sebagai sekretaris. Menyebalkan!Vina terus fokus pada angka di layar monitor, namun lama-kelamaan angka-angka itu jadi membelah diri. Vina memejamkan matanya, menggeleng cepat dan membuka mata selebar-lebarnya. Vina berusaha menepis rasa kantuk yang mulai mendominasi.Perlahan namun pasti mata itu kembali terpejam, bersamaan dengan kepalanya yang terjatuh ke atas tumpukan proposal di meja.Vina merasa rileks, tubuhnya seakan ringan, melayang di atas hamparan bunga di musim semi. Namun semua berubah jadi petaka, ketika suara bass menggelegar itu membuat matanya terbuka lebar."DAVINA AYUDYA!!!"Vina membuka matanya se
Ketika ekspetasi berbanding terbalik dengan realita~~•••~~"Selamat pagi tetangga baru."Mata Vina berkedut, rasanya ia ingin menangis. Sejauh mana pun Vina berada, kenapa selalu Sean yang muncul di hadapannya.TAKDIR MACAM APA INI?!Emosi Vina memuncak ke ubun-ubun, ia sudah muak dengan Sean. Namun semua emosinya seketika sirna, saat Sean memajukan wajahnya ke depan wajah Vina.Dengan jarak yang begitu dekat, Vina bisa melihat dengan jelas wajah tampan yang sempat ia kagumi. Rahang tegas dan hidung mancung, ditambah bola mata yang entah kenapa mampu membuatnya terpesona.Vina refleks menutup mulutnya, karena tiba-tiba ia cegukan. Vina tersadar, matanya melotot karena wajah Sean yang ada di depannya hanya berjarak sejengkal."Dasar mesum!!" teriak Vina saat tahu ke mana arah mata Sean memandang, ia mendorong wajah Sean dengan kasar.Sean jelas terkejut, mendapat reaksi Vina yang berlebihan. Sean sampai terdorong mundur dan Vina langsung masuk membanting pintu."Dasar cewek bar-bar!"
Vina berjalan gontai memasuki kafe milik Reyvan. Ia menjatuhkan diri ke atas sofa. Beruntung kafe sudah sepi karena Reyvan baru saja menutupnya."Lo kenapa? Tumben pulang malem banget? Lembur?" Reyvan meletakkan secangkir mochacino ke depan Vina."Reyvan." Vina merubah posisi duduknya menghadap Reyvan yang duduk di seberang. "Lo tahu harga mobil Ferrari F60 America?"Reyvan mengernyitkan dahi, tampak berpikir. "Kenapa? Lo mau beli?""Mahal gak? Semahal apa?" tanya Vina tampak penasaran. Reyvan mengotak atik ponselnya sejenak. Lalu menunjukkan layar ponselnya."Sekitar 2,5 juta USD setara 25,6 milyar. Mahal si, soalnya mobilnya juga keren," jelas Reyvan.Mata Vina membulat seketika, melihat harga mobil yang begitu fantastis."Rey, 25,6 milyar itu nolnya berapa?" Vina menjatuhkan wajahnya ke meja. Ia benar-benar frustasi.Dari mana Vina bisa dapatkan uang sebanyak itu dalam waktu semalam, ya kali Vina jaga lilin. Yang muter siapa?"Kenapa?" tanya Reyvan penasaran. "Lo mau beli? Emang
Menjelang subuh Sean sudah terbangun. Ia menatap semua ruangan di apartemennya, rapi dan bersih tentunya.Sean menyeringai, ia benar-benar merealisasikan ucapannya———menciptakan mimpi buruk bagi Davina.Lihat saja sekarang, Sean mengacak-ngacak ranjangnya. Mengeluarkan semua isi lemarinya, menyebar semua barang-barang yang sudah tertata rapi.Tak puas membuat kamarnya kacau balau, Sean berjalan menuju dapur. Menaburkan tepung ke mana-mana, layaknya anak kecil ia mengelurkan isi saus dan kecap. Lantai yang tadinya bersih seketika kotor, penuh dengan kecap dan saus."Perfect." Sean menepuk-nepuk tangannya, sembari tersenyum puas. "Selamat berjuang Davina."Waktu menunjukkan pukul 05.00, namun suara berisik itu sudah mengusik tidur Vina. Perasaan alarmnya ia setting jam 06.00. Tangannya terulur menggapai jam weker di nakas, dengan gerakan cepat melemparkannya.Ia kembali tidur, memeluk bantal guling. Namun suara ringtone itu masih terus berbunyi nyaring, Vina membuka sebelah matanya. Men
Apa yang ada dibayangan kalian tentang wewegombel?Wanita bertubuh tinggi besar, berambut panjang serta memiliki balon udara yang besar.Namun bagi Vina, definisi itu justru menggambarkan wanita yang baru saja mendorongnya. Menyebabkan pantat teposnya mencium lantai.Wanita itu berdiri di hadapannya, matanya melotot seperti banteng yang siap menyeruduknya. Deru napas yang menggebu, menandakan emosi yang memuncak ke ubun-ubun. Terlihat jelas dari sorot mata wanita itu.Siapa dia?Mungkinkah dia Ana-Ana itu?Di luar ekspetasi Vina. Apa Sean sudah tidak bisa memilih mangsanya dengan benar sekarang? Sungguh menggelikan."Bitch! Pelakor!"What? Pelakor?Sinting emang nih wanita! Pikir Vina, ia mendesis sambil meringis menahan sakit di pinggulnya. Encok dah gue."Kamu gak apa-apa?"Vina terkesiap, tatapannya tertuju pada Sean yang berlutut di depannya. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata, Sean terlihat sangat tampan.Wait. Ralat, Sean sama sekali tak terlihat tampan. Justru pemandanga
Embusan napas Sean menyapu wajahnya, membuat aliran darah berdesir dengan kejutan listrik di sekujur tubuhnya.Help me, please. Jerit Vina dalam hati."Lo pasti sengaja kan? Jawab!""Gak .... " Vina menggelengkan kepalanya di depan wajah Sean yang hanya berjarak sejengkal. "Gue ... ceguk!"Shit!Vina merutuki reaksi tubuhnya, kenapa ia harus cegukan disaat darurat seperti ini!!Siapa pun tolong gue.Sean memiringkan kepalanya, maju seperkian centi. Bau mint langsung menyeruak ke indera penciuman Vina.Vina memejamkan mata, dalam hati ia terus merapalkan doa. Termasuk doa pengusir Setan, berharap dalam hitungan detik Sean akan menghilang———melebur jadi asap. Wussss!Tapi nyatanya, itu hanya imajinasi Vina saja. Karena Vina merasakan deru napas Sean menyapu wajahnya, menandakan Sean masih di depannya dengan jarak yang semakin tipis."Bos, siang ini ...." Tiba-tiba pintu terbuka lebar, pria yang tengah memegang tablet itu tercekat melihat posisi bosnya dengan sang sekretaris. "Ups ... se
Sean mengusap kasar wajahnya, langkah kakinya terasa berat. Atmosfir rumah orangtuanya begitu menyesakkan, seolah Sean tahu apa maksud sang mama menyuruhnya pulang.Sean berhenti di ambang pintu, menatap datar pada mereka yang berada di meja makan. Sesuai dugaannya, pertemuan ini bukan sekedar makan malam biasa. Pasti ada udang dibalik bakwan. Betapa liciknya sang mama, menjebaknya pada pertemuan antar keluarga."Malam," sapa Sean, memaksakan senyum tipisnya. Ia duduk di hadapan Kimmy yang sejak tadi memandang takjub dirinya."Apa kabar, Sean? Makin sibuk aja kayanya udah jadi bos." Sean hanya tersenyum tipis mendengar calon mertuanya membual. Rasanya muak!Sean hanya menanggapi seadanya, tak banyak bicara. Ia sama sekali tak berminat. Hingga percakapan itu sampai di babak paling penting. Sean melongo mendengar pernyataan sepihak sang mama."Jadi, pertunangan kalian bakal diadain minggu depan. Mama juga udah urus semuanya."Bukan hanya terkejut, rasanya Sean seperti dihempas dari lang
Vina berjalan sempoyongan. Ia merangkul Sean menuju unit apartemennya. Sesampainya di depan pintu, Vina bingung karena tidak tahu apa pasword-nya."Sean, Pasword-nya apa?" Vina menepuk-nepuk pipi Sean. "Sean!" hardik Vina karena Sean sama sekali tak menggubrisnya, pria itu justru meracau tak jelas sedari tadi.Kaki Vina sudah pegal, ia bingung harus bagaimana. Kunci tidak ada, kartu akses juga tidak ada. Pasword pun Vina tidak tahu. Vina mengembuskan napas kasar. Sepertinya tak ada pilihan lain, mau tidak mau Vina membawa Sean ke dalam unitnya."Sean!! Lo bisa diem gak si?!" Vina benar-benar gondok dengan Sean. Pria itu terus menduselkan kepalanya di ceruk leher Vina. "Sean!!""Hm." Sean mengangkat wajahnya, bau alkohol menyeruak ke hidung Vina.Vina mendesis, berniat menjauhkan tubuhnya namun Sean justru menarik pinggang Vina hingga keduanya jatuh di atas ranjang. Posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi Vina, karena Sean terjatuh tepat di atasnya."Minggir!" Bukannya minggir Sean