Jodoh itu kadang seperti jaelangkung.
Datang tak diundang, muncul tiba-tiba. Tak terduga! .... Mobil Mercedes Benz C-Class Sedan melaju di jalanan ibukota. Pagi ini keadaan jalan raya cukup padat merayap. Sean duduk di bangku penumpang, membaca proposal secara seksama. Hari ini merupakan hari pertama Sean menjabat jadi CEO baru di perusahaan papanya. Sehingga banyak hal yang harus ia persiapkan untuk meeting nanti. "Pak Bian, soal kontrak kerja untuk sekretaris baru sudah selesai ditandatangani?" tanya Sean tanpa mengalihkan pandangannya dari proposal. "Sudah Pak." Pak Bian melirik sekilas bosnya lewat kaca spion. "Apa ada masalah?" "Tidak. Pegawai itu langsung menandatanganinya." Sean mengangguk. Sesuai dugaannya, wanita itu memang ceroboh dan masih saja ceroboh. Lihat saja, kejutan apa yang akan dia dapatkan. Sean menyeringai, membuat pak Bian bergidik ngeri saat tak sengaja melirik ke arah spion di atasnya. Sean pikir bekerja di kantor papanya akan sangat membosankan, tapi ternyata ia salah. Sean justru menemukan kesenangan di sana, disaat hari pertama Sean melangkahkan kakinya di tempat itu. Di mana Sean melihat dengan jelas sosok yang sudah ia cari hampir enam tahun lamanya. Sean tersenyum miring ketika ingatanya kembali berputar pada kejadian beberapa hari yang lalu. Berulang kali Sean menghela napas, kesal dan gondok bercampur jadi satu. Andai saja tak ada kisah malin kundang yang dikutuk jadi batu, maka dengan lantang Sean akan menolak jabatan CEO. Sean tak berminat dengan perusahaan papanya, ia lebih suka merintis kariernya menjadi CEO agensi model yang sudah Sean dirikan hampir tiga tahun. Tapi, Sean terpaksa menuruti permintaan papanya. Sean tidak mau membuat sang mama berubah menjadi rapper, mamanya bisa mengomel panjang lebar melebihi episode sinetron uttaran. "Pak Sean? Apa Bapak mendengarkan saya?" Suara sekretaris papanya menghempas Sean dari lamunannya. Sean tersadar, ia segera menoleh lalu mengangguk pelan. "Iya." Bahkan Sean tak tahu apa yang dikatakan pria itu sejak tadi. Sean mulai jenuh mendengarkan celotehan Bian yang menjelaskan perihal pekerjaanya. Jujur Sean tidak berminat. Kini mereka memasuki lift, Sean menatap ke segala arah. Hingga netranya tanpa sengaja mengenali sosok yang berdiri di depan lift. Sean memencet tombol buka ketika lift yang ditumpanginya akan tertutup. Matanya terus memperhatikan gerak gerik wanita itu, hingga wanita itu masuk ke dalam lift. Berbalik menghadap Sean. Benar dugaannya, Sean tidak salah orang. Wanita itu memang benar Davina, mantan terlaknat yang sudah lama ia cari-cari. "Ada apa Pak?" tanya pak Bian. Sean menggeleng, kembali ke posisinya. Namun matanya terus tertuju pada lift di depannya yang sudah mulai tertutup. Senyum kemenangan itu terbit, Sean sudah tak sabar ingin menghancurkan keangkuhan wanita itu. See you Davina Ayudia! ——————— Sean berdecak, kesal. Sudah lima belas menit ia duduk di kursi kebesarannya, menunggu mangsanya yang tak kunjung datang. "Pak Bian," panggil Sean. "Iya, Pak." Pria itu menghampiri Sean. "Jam berapa ini? Bapak tahu kan saya paling benci dengan pegawai malas, apalagi sampai terlambat. Bapak tahu lima belas menit saya terbuang sia-sia!" omel Sean. Sean paling benci dengan orang yang tidak tepat waktu. Apa lagi jika orang itu Vina, semakin bertambah rasa dongkolnya. "Kalau begitu saya hubungi dulu Pak." Pak Bian bergegas keluar, ia bernapas lega ketika keluar dari ruangan yang begitu panas seperti tungku api. Sean bersumpah akan membuat perhitungan dengan Vina, memangnya dia siapa seenak jidat membuat Sean harus menunggu seperti ini. Sean mengalihkan perhatiannya pada pemandangan di luar gedung. Dinding ruangannya terbuat dari kaca, memudahkan Sean melihat keindahan kota Jakarta dari lantai 15. Dua puluh menit berlalu, Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. "Masuk." Sean mempersilahkan orang itu masuk. Orang itu berjalan mendekat, meletakkan secangkir kopi ke meja. Sean tak berbalik, ia tetap memunggunginya. Matanya terpejam tapi telinganya terus mendengar perkataan manis yang keluar dari bibir orang itu. Orang itu tampak gugup, ketakutan. Tentu saja, karena kesalahannya memang fatal——apa lagi di hari pertama bekerja sebagai sekretarisnya. Sean tak tahan lagi, ia sudah penasaran akan seperti apa wajah Vina saat Sean menampakkan wajahnya ke depan Vina. Syok? Atau justru mati berdiri? Akan sangat menyenangkan pastinya! Sean tertawa puas dalam hati. Sean tak menyia-nyiakan waktu lagi, ia memutar kursi menghadap Vina yang berdiri di depan meja kerjanya. "Hai," sapa Sean. "Se—an!" Terlihat jelas ekspresi Vina yang sangat tegang. Senyum keramat Sean begitu mengerikan, mengalahkan seringai nyamuk berdarah dingin. "Wah, kita ketemu lagi?" Pertanyaan yang tak perlu dijawab oleh Vina. Rasanya Vina ingin sekali meremas mulut Sean atau kalau perlu menggepreknya sampai hancur. "Dunia itu sempit ya? Atau memang takdir yang tak rela jika kita berpi———" "Maaf, sepertinya saya salah masuk ruangan!" Dengan ketus Vina memotong ucapan Sean, ia segera berbalik berniat keluar dari ruangan, namun ucapan Sean menginterupsinya. "Pak Bian, tolong ke ruangan saya sekarang. Sepertinya ada orang kesasar di sini." Vina mengepalkan tangannya, Sean benar-benar menguji kesabarannya. Kenapa Sean tak pernah berubah? Masih saja menyebalkan! "Permisi Pak. Bapak panggil saya." Pak Bian masuk, ia melemparkan tatapan tajam pada Vina sebelum menghadap Sean. "Orang ini katanya salah ruangan," kata Sean sembari menunjuk Vina yang terpaku di tempatnya berdiri. "Davina!" panggil pak Bian dengan suara yang terdengar sangat tegas. Vina memejamkan matanya, menguatkan diri lalu berbalik secara perlahan. Vina tersenyum kikuk pada pak Bian. "Iya, Pak." "Apa-apaan si kamu? Itu Pak Sean bos baru kita!" Vina merasa jika tubuhnya terhempas dari atas gedung ini, seakan mati rasa. Ucapan pak Bian membuatnya tak percaya. "Gak mungkin!" Vina menggeleng. "Gak mungkin si fakboi itu bos barunya!" Tanpa sadar Vina mengucapkan hal itu. "Jaga sikap kamu Vina, atau kamu bisa dipecat!" tegur pak Bian. Sean tersenyum puas, melihat wajah Vina yang berubah pucat. Namun diluar dugaan, Vina justru mengucapkan hal yang tak pernah terpikirkan olehnya. "Saya lebih baik dipecat Pak. Dari pada saya harus menjadi sekretaris dia!" Vina menunjuk Sean dengan tatapan sengit. Amit-amit jabang bayi bajang, gak sudi Vina harus menjadi sekretaris Sean! Lebih baik ia jadi pengangguran dari pada harus tunduk di bawah perintah Sean. "Memangnya, kamu punya deposit berapa?" sahut Sean terdengar meremehkan. "Yang pasti saya tidak akan jadi gembel karena dipecat dari sini!" tukas Vina, semakin geram dengan tingkah Sean yang meremehkan dirinya. Masih banyak perusahaan yang akan menerima dirinya, memangnya hanya perusahaan ini saja. Seyakin itu Vina. "Wow ...." Sean terkekeh, sangat menyebalkan. "Pak Bian, sepertinya pegawai Bapak yang satu ini tidak membaca dengan rinci semua isi kontrak kerjanya." Kontrak kerja? Vina melotot, jangan bilang Sean menjebaknya. Jika iya, Vina tidak akan memaafkan Sean. "Pak Bian tolong bacakan lagi isi kontrak kerjanya, agar Ibu Davina bisa mendengar dengan jelas." Sean memberikan proposal berisi kontrak kerja Vina kepada Bian. Pak Bian mulai membacakan secara terperinci poin-poin yang ada di kontrak kerja dan Vina baru menyadari jika semua poin itu sangat merugikan dirinya. Vina mengepalkan kedua tangannya, menatap sengit Sean yang menyeringai padanya. Awas lo Sean!! "Apabila pihak kedua memutuskan berhenti secara sepihak, maka pihak kedua berkewajiban membayar denda sebesar satu milyar rupiah ...." Bagaikan pukulan telak bagi Vina. Satu milyar! Bahkan itu tiga ratus tiga puluh tiga kali gajinya saat ini, sebagai karyawan magang dan Vina tidak punya tabungan sebanyak itu. "Atau kurungan penjara selama sepuluh tahun." Sepuluh tahun! Bisa jadi perawan tua Vina di penjara selama itu. Ya Tuhan kutukan macam apa ini? Vina rasanya ingin menjerit, hidupnya berubah bagaikan mimpi buruk dan itu semua gara-gara Sean. "Jadi bagaimana?" Sean berdiri mendekati Vina. "Pilih dipenjara atau kamu tanda tangani perjanjian ini." Sean menyodorkan proposal baru kepada Vina. Vina mendongak menatap garang Sean, tapi Sean justru tersenyum miring. Menyuruh Vina mengambil proposal itu, lewat gerakan matanya. Vina mengambilnya dengan kasar, membuka proposal itu. Vina tidak akan mengulangi kesalahannya, kali ini ia akan mengamati dengan rinci setiap kata yang tertulis. Kurang ajar memang! Mata Vina membeliak hampir keluar, ia dibuat melongo dengan isi perjanjian terkutuk itu. Vina menoleh pada Sean yang masih setia berdiri di sampingnya. Ingin sekali Vina mengorbankan Sean ke masjid dekat kos-kosannya, saat Idul Adha nanti. Pria itu sangat licik! Sean tersenyum lebar, kali ini ia akan merealisasikan ucapannya. Membuat Vina bertekuk lutut di hadapannya. Kena kau Davina!Vina menghela napas berulang kali, mengembuskannya dengan kasar. Rasa gondok masih bercokol di hati, emosinya semakin mencuat ke ubun-ubun.Vina tak berhenti merutuki diri, menyumpah serapah Sean. Bagaimana bisa, manusia kampret itu memanfaatkan sikap cerobohnya. Menjebak Vina, menjerumuskan nya ke jurang penyesalan. Harusnya Vina memang tidak menandatangani perjanjian terkutuk itu, apa jadinya jika ia harus selalu menempel seperti perangko pada Sean? Sungguh konyol! Gak sudi!"Aaawww!" Vina meringis ketika kopi yang tengah diaduk menumpahi tangannya.Vina mengembuskan napas panjang. Lelah. Ini kopi ketiga, setelah kopi sebelumnya ditolak dengan berbagai alasan tak masuk akal. Vina menarik napas kuat, menyiapkan mentalnya untuk menghadapi Sean.Sean menatap Vina yang berjalan ke arahnya. Terlihat seringai menyebalkan yang tercetak jelas di sebelah sudut bibirnya. Seperti Voldemort di film Harry Potter.Vina langsung meletakkan kopi itu ke depan Sean. Pria itu kembali mengukur suhu ko
Jika hidup penuh cobaan, maka cobaan terbesar bagi Vina adalah Sean. Sean Davichi!Vina menghela napas berulang kali, sudah hampir jam sebelas malam dan ia masih berkutat dengan laporan keuangan.Seandainya otaknya seencer Einstein, mungkin hanya hitungan menit Vina akan selesai mengerjakan semua hukuman ini.Akibat kecerobohannya, Vina harus lembur di hari pertama kerja sebagai sekretaris. Menyebalkan!Vina terus fokus pada angka di layar monitor, namun lama-kelamaan angka-angka itu jadi membelah diri. Vina memejamkan matanya, menggeleng cepat dan membuka mata selebar-lebarnya. Vina berusaha menepis rasa kantuk yang mulai mendominasi.Perlahan namun pasti mata itu kembali terpejam, bersamaan dengan kepalanya yang terjatuh ke atas tumpukan proposal di meja.Vina merasa rileks, tubuhnya seakan ringan, melayang di atas hamparan bunga di musim semi. Namun semua berubah jadi petaka, ketika suara bass menggelegar itu membuat matanya terbuka lebar."DAVINA AYUDYA!!!"Vina membuka matanya se
Ketika ekspetasi berbanding terbalik dengan realita~~•••~~"Selamat pagi tetangga baru."Mata Vina berkedut, rasanya ia ingin menangis. Sejauh mana pun Vina berada, kenapa selalu Sean yang muncul di hadapannya.TAKDIR MACAM APA INI?!Emosi Vina memuncak ke ubun-ubun, ia sudah muak dengan Sean. Namun semua emosinya seketika sirna, saat Sean memajukan wajahnya ke depan wajah Vina.Dengan jarak yang begitu dekat, Vina bisa melihat dengan jelas wajah tampan yang sempat ia kagumi. Rahang tegas dan hidung mancung, ditambah bola mata yang entah kenapa mampu membuatnya terpesona.Vina refleks menutup mulutnya, karena tiba-tiba ia cegukan. Vina tersadar, matanya melotot karena wajah Sean yang ada di depannya hanya berjarak sejengkal."Dasar mesum!!" teriak Vina saat tahu ke mana arah mata Sean memandang, ia mendorong wajah Sean dengan kasar.Sean jelas terkejut, mendapat reaksi Vina yang berlebihan. Sean sampai terdorong mundur dan Vina langsung masuk membanting pintu."Dasar cewek bar-bar!"
Vina berjalan gontai memasuki kafe milik Reyvan. Ia menjatuhkan diri ke atas sofa. Beruntung kafe sudah sepi karena Reyvan baru saja menutupnya."Lo kenapa? Tumben pulang malem banget? Lembur?" Reyvan meletakkan secangkir mochacino ke depan Vina."Reyvan." Vina merubah posisi duduknya menghadap Reyvan yang duduk di seberang. "Lo tahu harga mobil Ferrari F60 America?"Reyvan mengernyitkan dahi, tampak berpikir. "Kenapa? Lo mau beli?""Mahal gak? Semahal apa?" tanya Vina tampak penasaran. Reyvan mengotak atik ponselnya sejenak. Lalu menunjukkan layar ponselnya."Sekitar 2,5 juta USD setara 25,6 milyar. Mahal si, soalnya mobilnya juga keren," jelas Reyvan.Mata Vina membulat seketika, melihat harga mobil yang begitu fantastis."Rey, 25,6 milyar itu nolnya berapa?" Vina menjatuhkan wajahnya ke meja. Ia benar-benar frustasi.Dari mana Vina bisa dapatkan uang sebanyak itu dalam waktu semalam, ya kali Vina jaga lilin. Yang muter siapa?"Kenapa?" tanya Reyvan penasaran. "Lo mau beli? Emang
Menjelang subuh Sean sudah terbangun. Ia menatap semua ruangan di apartemennya, rapi dan bersih tentunya.Sean menyeringai, ia benar-benar merealisasikan ucapannya———menciptakan mimpi buruk bagi Davina.Lihat saja sekarang, Sean mengacak-ngacak ranjangnya. Mengeluarkan semua isi lemarinya, menyebar semua barang-barang yang sudah tertata rapi.Tak puas membuat kamarnya kacau balau, Sean berjalan menuju dapur. Menaburkan tepung ke mana-mana, layaknya anak kecil ia mengelurkan isi saus dan kecap. Lantai yang tadinya bersih seketika kotor, penuh dengan kecap dan saus."Perfect." Sean menepuk-nepuk tangannya, sembari tersenyum puas. "Selamat berjuang Davina."Waktu menunjukkan pukul 05.00, namun suara berisik itu sudah mengusik tidur Vina. Perasaan alarmnya ia setting jam 06.00. Tangannya terulur menggapai jam weker di nakas, dengan gerakan cepat melemparkannya.Ia kembali tidur, memeluk bantal guling. Namun suara ringtone itu masih terus berbunyi nyaring, Vina membuka sebelah matanya. Men
Apa yang ada dibayangan kalian tentang wewegombel?Wanita bertubuh tinggi besar, berambut panjang serta memiliki balon udara yang besar.Namun bagi Vina, definisi itu justru menggambarkan wanita yang baru saja mendorongnya. Menyebabkan pantat teposnya mencium lantai.Wanita itu berdiri di hadapannya, matanya melotot seperti banteng yang siap menyeruduknya. Deru napas yang menggebu, menandakan emosi yang memuncak ke ubun-ubun. Terlihat jelas dari sorot mata wanita itu.Siapa dia?Mungkinkah dia Ana-Ana itu?Di luar ekspetasi Vina. Apa Sean sudah tidak bisa memilih mangsanya dengan benar sekarang? Sungguh menggelikan."Bitch! Pelakor!"What? Pelakor?Sinting emang nih wanita! Pikir Vina, ia mendesis sambil meringis menahan sakit di pinggulnya. Encok dah gue."Kamu gak apa-apa?"Vina terkesiap, tatapannya tertuju pada Sean yang berlutut di depannya. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata, Sean terlihat sangat tampan.Wait. Ralat, Sean sama sekali tak terlihat tampan. Justru pemandanga
Embusan napas Sean menyapu wajahnya, membuat aliran darah berdesir dengan kejutan listrik di sekujur tubuhnya.Help me, please. Jerit Vina dalam hati."Lo pasti sengaja kan? Jawab!""Gak .... " Vina menggelengkan kepalanya di depan wajah Sean yang hanya berjarak sejengkal. "Gue ... ceguk!"Shit!Vina merutuki reaksi tubuhnya, kenapa ia harus cegukan disaat darurat seperti ini!!Siapa pun tolong gue.Sean memiringkan kepalanya, maju seperkian centi. Bau mint langsung menyeruak ke indera penciuman Vina.Vina memejamkan mata, dalam hati ia terus merapalkan doa. Termasuk doa pengusir Setan, berharap dalam hitungan detik Sean akan menghilang———melebur jadi asap. Wussss!Tapi nyatanya, itu hanya imajinasi Vina saja. Karena Vina merasakan deru napas Sean menyapu wajahnya, menandakan Sean masih di depannya dengan jarak yang semakin tipis."Bos, siang ini ...." Tiba-tiba pintu terbuka lebar, pria yang tengah memegang tablet itu tercekat melihat posisi bosnya dengan sang sekretaris. "Ups ... se
Sean mengusap kasar wajahnya, langkah kakinya terasa berat. Atmosfir rumah orangtuanya begitu menyesakkan, seolah Sean tahu apa maksud sang mama menyuruhnya pulang.Sean berhenti di ambang pintu, menatap datar pada mereka yang berada di meja makan. Sesuai dugaannya, pertemuan ini bukan sekedar makan malam biasa. Pasti ada udang dibalik bakwan. Betapa liciknya sang mama, menjebaknya pada pertemuan antar keluarga."Malam," sapa Sean, memaksakan senyum tipisnya. Ia duduk di hadapan Kimmy yang sejak tadi memandang takjub dirinya."Apa kabar, Sean? Makin sibuk aja kayanya udah jadi bos." Sean hanya tersenyum tipis mendengar calon mertuanya membual. Rasanya muak!Sean hanya menanggapi seadanya, tak banyak bicara. Ia sama sekali tak berminat. Hingga percakapan itu sampai di babak paling penting. Sean melongo mendengar pernyataan sepihak sang mama."Jadi, pertunangan kalian bakal diadain minggu depan. Mama juga udah urus semuanya."Bukan hanya terkejut, rasanya Sean seperti dihempas dari lang
Setalah cuti kerja hampir dua minggu paska acarapernikahan dan honeymoon. Kini Sean kembali ke rutinitas, bekerja di perusahaan orangtuanya. Meski rasanya berat harus berpisah dengan istrinya, mengingat Vina sudah tidak diperbolehkan lagi jadi sekretarisnya oleh sang mama, dengan alasan agar Vina tidak kecapekan dan bisa segera memberi beliau cucu.Itu kenapa Sean terlihat nggak semangat di hari pertama kerja setelah cuti. Ia terlihat ogah-ogahan bangun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar saat tak menemukan keberadaan istrinya. Aroma lezat masakan, menggiring langkah Sean menuju dapur. Seperti yang Sean duga, istrinya sudah menyibukkan diri di dapur.Sean terdiam di dekat bar kitchen, memandangi siluet tubuh istrinya yang tampak sibuk di depan kompor. Sean menelan ludah, bohong kalau ia tidak tergoda melihat penampilan Vina saat ini.Rambut panjang yang dicepol tinggi, memperlihatkan leher mulus yang mengundang Sean untuk menciumnya. Bahu yang terbuka, karena Vina hanya memakai t
"Maaf ya, Sean. Aku kayaknya nggak bisa sama kamu lagi.""Hah?""Maksud kamu apa, Vin? Nggak usah aneh-aneh deh!""Ternyata aku nggak benar-benar cinta sama kamu.""Nggak cinta?" Sean mengernyit, nggak habis pikir Vina yang baru seminggu jadi istrinya justru bilang seperti itu. "Vin, beneran nggak lucu ya. Kita baru seminggu loh nikah, terus kita lagi honeymoon. Bisa-bisanya kamu bilang begini? Kamu ngerusak suasana!""Maaf." Vina meminta maaf, tapi raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. "Tapi aku tetep pengen pisah dari kamu.""Vin, seriously?" Sean meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya ke bawah. "Padahal kita baru saja—""Justru karena itu aku pengen pisah sama kamu," potong Vina, beranjak dari ranjang membiarkan selimut yang menutupi separuh tubuhnya merosot. Ia berdiri di dekat ranjang dengan hanya memakai pakaian dalam, menatap Sean dan kembali berkata, "aku merasa di-prank sama kamu. Kirain gede, tahunya mini-mini."What the hel
Alarm terus berbunyi, memenuhi ruangan. Suaranya yang nyaring memekakkan telinga, sangat mengganggu.Sean melenguh, tangannya terulur mematikan alarm. Ia perlahan membuka mata saat merasakan pergerakan di dadanya. Sean tersenyum tipis melihat siapa pelakunya.Sean bergerak hendak bangun, tapi tangan mungil itu melingkar di perutnya. Memeluknya semakin erat, bahkan sesekali mengerang dengan mata masih terpejam."Do not leave me alone," gumamnya."Baby I want to go to the toilet." Sean menangkup pipi Vina yang begitu menggemaskan.Vina menggeleng, menyembunyikan wajahnya di dada telanjang Sean. "Stay with me."Sean mendengus geli karena tingkah Vina yang seperti anak kecil, ia menyentil kening Vina sampai perempuan itu memekik."Oppa!! Sakit," rengek Vina mengusap keningnya, bibirnya mengerucut ke depan."Makanya jangan nonton drakor mulu, halu kan." Sean terkekeh geli. "Ayo bangun katanya mau lihat sunrise."Sunrise?"Ya ampun, jam berapa sekarang?" Vina mencari-cari keberadaan ponseln
Selepas acara akad nikah di Bandung, keesokan harinya dilanjutkan acara resepsi di Jakarta. Orangtua Sean menggelar acara resepsi pernikahan di ballroom hotel bintang lima di Jakarta.Davin memasuki ruangan, berjalan tertatih dengan bantuan tongkat dan teman-temannya."Hati-hati," kata Devan."Gue gak papa," tukas Davin yang enggan dibantu."Dasar keras kepala!" gerutu Andra, dibalas dengusan Davin.Mereka bertiga berjalan menghampiri sang mempelai pengantin yang ada di singgasananya. Senyum lebar menghiasi wajah Sean saat menyambut ketiga sahabatnya."Akhirnya Sean nikah, gak jadi karatan," seru Devan dengan kekehannya yang terdengar garing."Sial, lo kira gue besi tua," gerutu Sean."Emang, lo kan jomblo tua," balas Devan. "Tapi, selamat Bro. Gue ikut seneng akhirnya lo bisa menyelesaikan cinta lama lo yang belum kelar," ucap Devan sembari memeluk hangat Sean."Thank's Bro. Jadi kapan lo nyusul, gak baik nyebar benih di kloset." Sean terkekeh geli karena Devan langsung melepas peluk
Kimmy menggerutu sepanjang jalan, jika bukan karena Reyvan yang menyuruhnya ke butik maka ia tak akan mengalami kejadian naas seperti tadi.Arrggghhh!!!Bahkan Kimmy semakin kesal saat bayangan itu terus melintas, berseliweran di otaknya yang tiba-tiba dungu."Udahan?"Kimmy masuk ke kafe dan mengabaikan pertanyaan sang pemilik kafe. Ia langsung menuju sofa paling ujung, merebahkan diri di sana. Kimmy tak peduli jika keadaan kafe sedang ramai, mengingat ini jam makan siang."Arggg!! Sial!" erang Kimmy tiba-tiba. Ia sudah muak dengan bayang-bayang yang mengotori matanya, membuat hatinya terus merongrong untuk mengamuk.Waras Kimmy! Waras!Kimmy terus meneriaki dirinya sendiri."Move on, move on, move on." Kimmy terus merapalkan kata-kata sakral itu sampai tak sadar seseorang duduk di hadapannya."Mochachino?"Kimmy membuka matanya dan mendapati Reyvan sudah duduk di hadapannya. Pria itu menunjuk gelas besar di atas meja dengan dagunya."Cuacanya emang panas, cocok buat dinginin pikiran
Sean pikir acara lamarannya akan berakhir berantakan karena kedatangan Davin. Bahkan ia sudah sangat cemas melihat pria itu nekad melamar Vina. Tapi jawaban Vina memupuskan kegusaran Sean."Maaf Davin, aku tidak bisa. Aku sudah menentukan pilihanku dan pilihanku itu Sean."Jawaban Vina bagai pukulan telak untuk Davin. Kata-kata Vina seperti belati yang menusuk hati, menorehkan luka menganga di dalam sana."Tapi Vin ...," lirih Davin. "Apa tidak ada sedikit pun kesempatan untuk aku?" Davin melihat Vina dengan tatapan sayu, seakan memohon.Sean sudah muak melihat drama tengik buatan Davin, ia sudah akan menerjang Davin. Beruntung sang mama menahan dirinya, membuat Sean urung melakukan tindakan gilanya. Sean hanya bisa mengepalkan kedua tangan, menyalurkan kekesalannya pada manusia tidak tahu diri macam Davin."Gak." Vina menggeleng dengan cepat. "Dari dulu cuma Sean yang aku cinta. Kamu tahu itu."Terdengar helaan napas berat Davin, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Haruskah ia berhent
Vina berkali-kali menelan ludah, rasa gugup dan takut mendominasi. Langkah kakinya semakin berat, genggaman tangan Sean pun kian erat. Meski ragu keduanya tetap melangkah menuju kamar mama Sean.Walaupun sudah larut malam, Sean tetap nekad ingin menemui mamanya. Sean tak bisa jika harus menunggu sampai besok, apa pun yang terjadi Sean sudah mantap dengan pilihannya."Sean." Vina berhenti melangkah, membuat Sean otomatis berbalik menghadapnya. "Besok saja ya. Aku takut," cicit Vina, nyaris tak terdengar."Gak. Pokoknya kita harus ketemu mama sekarang. Apa pun yang terjadi, aku harus dapetin restu mama malam ini." Sean meraih kedua tangan Vina, mengusapnya dengan ibu jari. "Kamu percaya sama aku 'kan?"Vina mengangguk, ia sangat percaya dengan Sean. Tapi ... keraguannya juga sama besar. Vina ragu mama Sean akan merestuinya, mengingat sikap mama Sean yang selalu sinis padanya."Ayo." Suara Sean menginterupsi, genggaman di tangan menariknya kembali melangkah menuju kamar mamanya.Vina ter
"Will you marry me."Kata-kata Davin terus berputar di otak Vina yang tiba-tiba tumpul sesaat. Terlalu mengejutkan hingga Vina tak tahu harus bereaksi seperti apa.Will you marry me?Mungkin jika itu Sean dengan senang hati tanpa ragu lagi, Vina akan bilang 'yes, i will'. Tapi ini Davin! Orang yang tak pernah Vina bayangkan. Meskipun sang ayah sempat ingin menjodohkannya, tetap saja itu hal yang sangat tidak mungkin.Vina masih melongo, bibirnya terlalu kelu untuk berucap, bahkan telinga Vina serasa berdengung tak mampu mendengarkan apa pun kecuali kalimat tadi.Ini lebih horor dari putusan pengadilan soal kawin gantung. Emang ada ya?Oh, shit!Apa otaknya sudah tidak bisa berfungsi dengan benar. Semuanya jadi tidak masuk akal. Seandainya Vina bisa membelah lantai kafe, maka ia akan dengan senang hati menenggelamkan diri saat ini juga."Berengsek!"Vina tersentak, ketika suara lantang berbaur pekikan orang-orang di sekitarnya menginterupsi. Hal pertama yang Vina lihat, Davin sudah ter
Akibat insiden semalam, aura di rumah ini begitu mencekam. Vina yang baru turun hanya mendapati dua PRT yang sedang menyiapkan sarapan. Padahal biasanya ada mama Sean yang bawel menberikan interuksi pada keduanya."Pagi Bi," sapa Vina."Pagi Non," balas kedua PRT itu bebarengan."Yang lain belum pada turun ya Bi?" tanya Vina."Belum Non," jawab salah seorang yang lebih tua.Vina hanya mengangguk, ia duduk termenung memandangi meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Pikiran Vina berkecamuk, memikirkan kejadian semalam.Apa ini semua karena kehadiran dirinya?Hal itu sangat mengganggu dalam benaknya. Jika iya, sebaiknya Vina mundur saja."Pagi Cinta."Vina tersentak saat merasakan kecupan di pipinya. Ia langsung menoleh dan mendapati wajah Sean yang menyebalkan."Sean!" pekik Vina, memukul pelan bahu pria itu.Sean terkekeh, menertawakan wajah Vina yang begitu lucu dan menggemaskan. Apalagi rona merah di pipinya, mirip Jeng Kelin."Papa sama Mama lo mana?" tanya Vina."Kamu," ralat