"Maaf ya, Sean. Aku kayaknya nggak bisa sama kamu lagi.""Hah?""Maksud kamu apa, Vin? Nggak usah aneh-aneh deh!""Ternyata aku nggak benar-benar cinta sama kamu.""Nggak cinta?" Sean mengernyit, nggak habis pikir Vina yang baru seminggu jadi istrinya justru bilang seperti itu. "Vin, beneran nggak lucu ya. Kita baru seminggu loh nikah, terus kita lagi honeymoon. Bisa-bisanya kamu bilang begini? Kamu ngerusak suasana!""Maaf." Vina meminta maaf, tapi raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. "Tapi aku tetep pengen pisah dari kamu.""Vin, seriously?" Sean meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya ke bawah. "Padahal kita baru saja—""Justru karena itu aku pengen pisah sama kamu," potong Vina, beranjak dari ranjang membiarkan selimut yang menutupi separuh tubuhnya merosot. Ia berdiri di dekat ranjang dengan hanya memakai pakaian dalam, menatap Sean dan kembali berkata, "aku merasa di-prank sama kamu. Kirain gede, tahunya mini-mini."What the hel
Setalah cuti kerja hampir dua minggu paska acarapernikahan dan honeymoon. Kini Sean kembali ke rutinitas, bekerja di perusahaan orangtuanya. Meski rasanya berat harus berpisah dengan istrinya, mengingat Vina sudah tidak diperbolehkan lagi jadi sekretarisnya oleh sang mama, dengan alasan agar Vina tidak kecapekan dan bisa segera memberi beliau cucu.Itu kenapa Sean terlihat nggak semangat di hari pertama kerja setelah cuti. Ia terlihat ogah-ogahan bangun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar saat tak menemukan keberadaan istrinya. Aroma lezat masakan, menggiring langkah Sean menuju dapur. Seperti yang Sean duga, istrinya sudah menyibukkan diri di dapur.Sean terdiam di dekat bar kitchen, memandangi siluet tubuh istrinya yang tampak sibuk di depan kompor. Sean menelan ludah, bohong kalau ia tidak tergoda melihat penampilan Vina saat ini.Rambut panjang yang dicepol tinggi, memperlihatkan leher mulus yang mengundang Sean untuk menciumnya. Bahu yang terbuka, karena Vina hanya memakai t
Pernahkah kalian jatuh cinta?Pasti menyenangkan, serasa ada kupu-kupu beterbangan di dalam dada. Seperti itulah yang Davina Ayudia rasakan. Seminggu setelah resmi menyandang gelar pacar, Vina selalu bangun lebih pagi untuk menyambut mentari yang masih malu-malu menampakkan diri.Vina masih tak menyangka, jika dirinya berpacaran dengan Sean Davichi. Seniornya, cowok yang selalu di idolakan setiap cewek di sekolahnya.Meski rasanya aneh, jika Sean memilih dirinya ketimbang cewek-cewek di sekolahan yang jauh lebih cantik dan menarik. Tapi, bukankah cinta itu soal hati bukan fisik. Jadi, bisa saja Sean mencintainya karena hati dan tak mempermasalahkan fisik Vina.Dengan senyum semringah, Vina melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Ia tak sabar ingin bertemu dengan Sean pagi ini. Vina berjalan menelusuri koridor kelas XII, ia terus memandangi kotak bekal di tangannya."Kak Sean pasti seneng deh aku buatin sushi." Vina tersenyum lebar, mengingat Sean sangat menyukai makanan khas Je
"Oh si buluk! Dia cuma bahan taruhan doang!""Lagian yang benar saja, seorang Sean suka sama Davina ... si gelap gulita! Bahkan wajahnya hampir mirip sama pantat panci punya mak gue!""Gak tau diri banget emang dia, berani-beraninya pacaran sama Sean. Muka udah kaya kilang minyak, bisa tuh buat goreng cireng!"Vina terbangun dengan mata terbuka lebar. Napasnya memburu, dahinya sampai berkeringat. Mimpi buruk itu lagi, momok mengerikan sepanjang hidup Vina.Vina segera bangun, mencari-cari keberadaan ponselnya yang terus berbunyi nyaring."Halo." Vina langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Teriakan nyaring di ujung telepon, hampir saja membuat gendang telinganya pecah. Vina mendengus saat melihat nama penelepon di layar ponsel."Gitaaa!!" teriak Vina di depan layar ponselnya. "Bisa gak si lo gak berisik, merusak suasana pagi gue yang syahdu ini." Vina berdecak saking kesalnya. Tak ingin mengambil resiko telinganya budek, Vina pun me-loudspeaker panggilan Gita."Syahdu dari Hongkon
"Se-Sean!" Bibir Vina bergetar, sekujur tubuhnya tiba-tiba menggigil. Pria yang selama ini selalu ia hindari, kini muncul di depan matanya. Manusia yang selalu ingin Vina lenyapkan dari muka bumi.Seandainya pembunuhan dilegalkan. Mungkin saat ini Sean hanya tinggal nama.Vina meremas dress-nya, menyalurkan rasa benci yang begitu menggebu di dalam sanubarinya. Setelah hampir tujuh tahun berlalu, kini Vina bertemu kembali dengan manusia kampret macam Sean."Dunia memang sempit ya, gak nyangka kita ketemu lagi. Atau mungkin emang kita berjo ... shit!" Sean berdiri, mengusap wajahnya yang baru saja disiram segelas sirup oleh Vina.Vina berdecih, apa Sean pikir dirinya masih gadis lugu yang tidak bisa berontak saat bertemu si kampret sialan. Salah, Vina yang sekarang bukanlah Vina tujuh tahun yang lalu.Gadis berseragam SMA yang duduk gemetar karena dipermalukan oleh sang mantan, di acara reuni seniornya. See, kini semua berbanding terbalik dengan tujuh tahun lalu. Bukan Vina yang menangg
Jodoh itu kadang seperti jaelangkung. Datang tak diundang, muncul tiba-tiba. Tak terduga! .... Mobil Mercedes Benz C-Class Sedan melaju di jalanan ibukota. Pagi ini keadaan jalan raya cukup padat merayap.Sean duduk di bangku penumpang, membaca proposal secara seksama. Hari ini merupakan hari pertama Sean menjabat jadi CEO baru di perusahaan papanya. Sehingga banyak hal yang harus ia persiapkan untuk meeting nanti."Pak Bian, soal kontrak kerja untuk sekretaris baru sudah selesai ditandatangani?" tanya Sean tanpa mengalihkan pandangannya dari proposal."Sudah Pak." Pak Bian melirik sekilas bosnya lewat kaca spion."Apa ada masalah?""Tidak. Pegawai itu langsung menandatanganinya."Sean mengangguk. Sesuai dugaannya, wanita itu memang ceroboh dan masih saja ceroboh. Lihat saja, kejutan apa yang akan dia dapatkan. Sean menyeringai, membuat pak Bian bergidik ngeri saat tak sengaja melirik ke arah spion di atasnya.Sean pikir bekerja di kantor papanya akan sangat membosankan, tapi ter
Vina menghela napas berulang kali, mengembuskannya dengan kasar. Rasa gondok masih bercokol di hati, emosinya semakin mencuat ke ubun-ubun.Vina tak berhenti merutuki diri, menyumpah serapah Sean. Bagaimana bisa, manusia kampret itu memanfaatkan sikap cerobohnya. Menjebak Vina, menjerumuskan nya ke jurang penyesalan. Harusnya Vina memang tidak menandatangani perjanjian terkutuk itu, apa jadinya jika ia harus selalu menempel seperti perangko pada Sean? Sungguh konyol! Gak sudi!"Aaawww!" Vina meringis ketika kopi yang tengah diaduk menumpahi tangannya.Vina mengembuskan napas panjang. Lelah. Ini kopi ketiga, setelah kopi sebelumnya ditolak dengan berbagai alasan tak masuk akal. Vina menarik napas kuat, menyiapkan mentalnya untuk menghadapi Sean.Sean menatap Vina yang berjalan ke arahnya. Terlihat seringai menyebalkan yang tercetak jelas di sebelah sudut bibirnya. Seperti Voldemort di film Harry Potter.Vina langsung meletakkan kopi itu ke depan Sean. Pria itu kembali mengukur suhu ko
Jika hidup penuh cobaan, maka cobaan terbesar bagi Vina adalah Sean. Sean Davichi!Vina menghela napas berulang kali, sudah hampir jam sebelas malam dan ia masih berkutat dengan laporan keuangan.Seandainya otaknya seencer Einstein, mungkin hanya hitungan menit Vina akan selesai mengerjakan semua hukuman ini.Akibat kecerobohannya, Vina harus lembur di hari pertama kerja sebagai sekretaris. Menyebalkan!Vina terus fokus pada angka di layar monitor, namun lama-kelamaan angka-angka itu jadi membelah diri. Vina memejamkan matanya, menggeleng cepat dan membuka mata selebar-lebarnya. Vina berusaha menepis rasa kantuk yang mulai mendominasi.Perlahan namun pasti mata itu kembali terpejam, bersamaan dengan kepalanya yang terjatuh ke atas tumpukan proposal di meja.Vina merasa rileks, tubuhnya seakan ringan, melayang di atas hamparan bunga di musim semi. Namun semua berubah jadi petaka, ketika suara bass menggelegar itu membuat matanya terbuka lebar."DAVINA AYUDYA!!!"Vina membuka matanya se