Share

Reuni

"Oh si buluk! Dia cuma bahan taruhan doang!"

"Lagian yang benar saja, seorang Sean suka sama Davina ... si gelap gulita! Bahkan wajahnya hampir mirip sama pantat panci punya mak gue!"

"Gak tau diri banget emang dia, berani-beraninya pacaran sama Sean. Muka udah kaya kilang minyak, bisa tuh buat goreng cireng!"

Vina terbangun dengan mata terbuka lebar. Napasnya memburu, dahinya sampai berkeringat. Mimpi buruk itu lagi, momok mengerikan sepanjang hidup Vina.

Vina segera bangun, mencari-cari keberadaan ponselnya yang terus berbunyi nyaring.

"Halo." Vina langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Teriakan nyaring di ujung telepon, hampir saja membuat gendang telinganya pecah. Vina mendengus saat melihat nama penelepon di layar ponsel.

"Gitaaa!!" teriak Vina di depan layar ponselnya. "Bisa gak si lo gak berisik, merusak suasana pagi gue yang syahdu ini." Vina berdecak saking kesalnya. Tak ingin mengambil resiko telinganya budek, Vina pun me-loudspeaker panggilan Gita.

"Syahdu dari Hongkong! Lo tahu ini jam berapa?" Vina melirik jam weker di atas nakas. "Lo hari ini ada interview, lo gak lupa kan?"

Vina menepuk jidatnya. Astaga! Bagaimana ia bisa lupa dengan interview penting. "Halo ... halo! Vina! Lo masih hidup kan? Vin ...!" Vina menatap layar ponselnya kembali.

"OTW!! Bye." Vina langsung loncat dari atas ranjang, berlari menuju kamar mandi.

Kini kecepatannya sedang diuji, mandi alakadarnya. Hanya bermodalkan chusion dan lipstick berwarna peach untuk menunjang tampilan wajahnya. Vina harap penampilannya tidak terlalu buruk, mengingat ini interview yang sangat penting.

Masa depannya tengah di pertaruhkan! Ya Tuhan. Tolong Vina, please.

Vina meremas ujung roknya, menyalurkan rasa gugup saat berhadapan dengan sekretaris CEO perusahaan.

"Jadi ... kamu sudah setahun kerja di sini? Sebagai karyawan magang?" Pria itu tengah membaca resume milik Vina.

"Iya Pak." Vina mengangguk. Jujur, ia begitu grogi berhadapan dengan sekretaris CEO perusahaanya.

Pak Bian, pria karismatik yang di gandrungi oleh banyak wanita di kantor. Penampilannya selalu membuat kaum hawa klepek-klepek, dari ujung rambut yang klimis sampai ujung sepatu yang mengkilap.

Astaga! Suami idaman pokoknya. Diumurnya yang sudah matang, pria itu masih betah mejomblo. Vina rela jadi istrinya meski umur mereka terpaut sepuluh tahun. Bulan ini Vina genap dua puluh lima tahun.

"Ekhem! Kamu dengar saya?"

Vina tersentak, ia mengerjapkan mata berulang kali. Tadi Pak Bian ngomong apa ya?

"Eh, iya Pak. Bisa diulang." Vina memejamkan mata, merutuki kelakuannya yang memalukan. Fokus Vina, fokus!

"Jadi kamu sudah siap untuk jadi sekretaris CEO yang baru?" Vina mengangguk dengan antusias. "Bagus, kamu bisa tanda tangani kontrak di bawah ini. Kamu baca dulu saja."

Vina menatap isi kontrak kerjanya. Matanya tiba-tiba sakit melihat tulisan yang kecil-kecil dan banyak itu. Ia memantapkan hati, tanpa membaca lebih seksama lagi. Vina langsung menanda tangani kontrak kerjanya.

"Sudah Pak."

Pak Bian mengambil proposal berisi kontrak kerja itu, ia bangkit dari duduknya. "Kamu dengar, mulai besok kamu harus datang sebelum pukul 07.00. Karena bos baru kita sangat menghargai yang namanya waktu."

"Baik Pak." Vina mengangguk, menyunggingkan senyum lebarnya.

"Ah, saya lupa. Kamu harus mempelajari banyak hal, karena bos yang satu ini sangat berbeda. Nanti proposalnya saya titipkan Gita." Vina kembali mengangguk. "Kalau begitu kamu boleh pulang." Pak Bian melangkah pergi dari ruangan.

Vina melebarkan senyumnya, setelah memastikan pak Bian keluar Vina berjingkrak-jingkrak kegirangan. "Sepuluh jeti, sepuluh jeti. Shopping, shopping, shopping!!" jerit Vina penuh semangat.

Vina tak sabar menunggu akhir bulan, ketika uang gajiannya masuk ke rekening. Gaji menjadi sekretaris berkali-lipat dari gajinya saat ini. Jadi, wajar saja Vina sampai kegirangan.

Vina menghampiri Gita, tak sabar ingin memberitahunya. "Gita!!"

"Omeygot, omeywow!! Ayam geprek!!"

Vina mendengus, memutar bola matanya. "Latah lo makin hari makin ambigu!" celetuk Vina, ia duduk di meja kerja Gita.

"Lo bisa gak, jangan ngagetin gue. Kasian bayi dalam perut gue, kalau kaget terus mbrojol keluar bisa berabe!" gerutu Gita.

"Lah, bagus dong. Lo gak perlu susah-susah ke rumah sakit apalagi pake dukun beranak." Vina terkekeh. Mengingat mertua Gita yang kolot, mertuanya selalu merekomendasikan dukun bayi untuk kelahiran cucunya.

Gita mendengus, Vina selalu membuat mood-nya ambyar. "Gimana hasil interview lo?" tanya Gita, mengalihkan topik pembicaraan.

"Sukses dong, lo tahu berapa gaji yang ditawarkan?" Gita menoleh, tampak penasaran. "Sepuluh jeti, gila." Vina menunjukkan sepuluh jarinya ke depan muka Gita.

"What? Sumpeh lo! Gak tipu-tipu!" pekik Gita. Vina menggeleng, tersenyum lebar. "Nyesel deh gue tolak tawaran itu, kalau aja gue gak cuti." Gita mendengus, meratapi gaji sepuluh juta.

"Jangan sedih dong, gue traktir bakso yuk." Vina merangkul bahu Gita.

"Bakso?" Gita menaikkan sebelah alisnya. "Gue rekomendasiin lo jadi sekretaris bos dan gue cuma ditraktir bakso?" Gita berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Emang bener-bener pelit lo mendarah daging, kaya mak Erot!!"

"Huss, ibu kos gue itu." Vina menyambar ucapan Gita.

"Bodo!"

"Jangan ngambek dong, ntar bayi lo kaya cupatkay mau lo." Vina tertawa geli, membayangkan wajah cupatkay di film kera sakti.

"Idih, alemong. Jangan sampe deh, amit-amit jabang bayi."

"Yaudin jangan ngambek, ayok ah gue laper. Ntar kalau gue udah gajian, janji gue traktir di MCD." Vina menyeret Gita keluar dari kubikelnya.

Gita hanya bisa pasrah mengikuti langkah Vina.

------

Vina masuk ke sebuah cafe, ia duduk di depan meja bar sembari bertopang dagu.

"Ada apa? Dateng-dateng muka kaya kanebo kering." Pria itu duduk di samping Vina.

"Gue kesel sama bos baru gue!" Vina memanyunkan bibirnya.

"Kenapa?"

"Bayangin aja, gue disuruh ngapalin kebiasaan dia." Vina mengeluarkan buku besar mirip kamus. "Gimana gue gak gila, sampe makanan yang gak disukai aja harus gue hapalin. Emang gue mau jadi babysitter dia apa?"

Mood Vina benar-benar kacau gara-gara biodata milik bos barunya. Mana mungkin ia menghapalkan semua itu dalam semalam. Bukunya saja setebal kamus Inggris-Indonesia-Arab.

"Yaudah, lo bisa hapalin dikit-dikit. Gimana kalau es mochachino, cocok banget sama cuacanya." Vina mengangguk.

Vina memang tidak salah tempat. Disaat mood-nya tidak baik, pria itu selalu bisa mencairkan kembali suasana hatinya.

"Rey," panggil Vina, membuat pria itu refleks berbalik. "Makasih." Vina tersenyum lebar.

Pria itu membalas senyuman Vina. "Gak usah sungkan, kan gak gratis." Ia terkekeh saat wajah Vina berubah masam.

"Nyebelin lo!" Vina bertopang dagu, tak lagi menggubrisnya.

Vina memilih menatap sekeliling ruangan kafe. Ruangan yang elegan, bahkan tempat ini dilengkapi berbagai buku-buku yang terpajang rapi di rak.

Mengingat sahabatnya itu penulis novel terkenal.

"Vin."

Vina menoleh pada Reyvan yang kembali duduk di sampingnya. "Iya."

"Lo gak lupa kan sama janji lo kan?"

Vina mengerutkan kening. Janji? Memangnya ia ada janji apa? Vina kembali menatap Reyvan dengan bingung.

Terdengar helaan napas panjang dari Reyvan. "Otak lo perlu di upgrade kayanya." Vina memekik karena Reyvan menoyor jidatnya. "Lo janji nanti malam bakal temenin gue ke acara reuni SMA."

Vina terdiam, tatapannya berubah datar. Reuni? SMA? Bahkan Vina tak pernah datang ke reuni SMA sejak saat itu.

"Harus banget ya." Vina menatap sayu Reyvan.

"Udah gak usah pasang muka melas, pokoknya ntar malem gue tunggu jam tujuh titik gak pake koma." Setelah itu Reyvan pergi dari hadapan Vina.

"Rey!!" teriak Vina.

Tapi percuma saja, Reyvan tak akan mau mendengarkan alasan Vina.

Dan di sinilah Vina saat ini. Di sebuah kafe terkenal di Jakarta.

"Rey, pulang aja yok." Vina mengamati sekitar, ia tidak terbiasa berada di tempat seperti ini.

"Belum juga masuk, yang penting setor muka aja dulu. Oke." Rey menggandeng lengan Vina, keduanya masuk ke kafe.

Sedari tadi Reyvan tak bisa fokus karena kecantikan Vina yang paripurna. Vina begitu anggun dengan dress merah muda. Meski rambutnya pendek, tak mengurangi sedikit pun kecantikannya.

"Rey, kok pada ngeliatin si. Gue risih," bisik Vina.

"Karena lo cantik."

"Hah?" Vina berhenti, menatap Rey dengan mata melotot.

"Apa? Emang bener kan gue ganteng."

Vina memutar bola matanya, mendesis karena Rey selalu mengalihkan pembicaraan. Reyvan menghampiri teman-temannya. Jujur Vina seperti orang bodoh berada di sini. Tak ada satu pun yang ia kenal.

Vina celingukan, ia begitu mencemaskan sesuatu. Vina tampak gelisah. Ia terus memastikan jika orang itu tidak datang. Entah apa yang akan Vina lakukan jika bertemu dengannya.

"Rey, nyanyi dong."

"Iya Rey, nyanyilah."

Vina tak begitu fokus, ia hanya duduk dengan pandangannya yang terus bergerak liar memperhatikan segala arah.

"Vin, gue tinggal dulu gak papa?" Vina mengangguk.

"It's okay." Vina tersenyum lebar.

Vina tertegun saat suara Reyvan terdengar, mengalihkan perhatiannya. Reyvan bernyanyi, diiringi petikan gitar yang dimainkannya. Banyak wanita yang menjerit histeris, wajar saja karena Reyvan yang begitu tampan dan terlihat sangat keren.

Vina terlalu asyik memperhatikan Reyvan sampai tak sadar dengan pria yang duduk di depannya.

"Hai."

Vina menoleh, menatap pria yang duduk tanpa permisi di depannya. Saat matanya bertemu dengan mata pria itu, seketika Vina terdiam. Bibirnya kelu, degup jantungnya tak beraturan. Seolah nyawanya tengah digantung di ujung pohon toge.

"Gak nyangka kita ketemu lagi, Davina Ayudia." Pria itu menyeringai. Wajahnya begitu menyebalkan!

"Se-Sean!" Bibir Vina bergetar, sekujur tubuhnya tiba-tiba menggigil. Pria yang selama ini selalu ia hindari, kini muncul di depan matanya. Manusia yang selalu ingin Vina lenyapkan dari muka bumi.

Seandainya pembunuhan dilegalkan. Mungkin saat ini Sean hanya tinggal nama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status