"Bapak, manggil saya?" tanya Alya, begitu sampai di ruangan sang Direktur.Sebagai jawaban Rei, mengangguk lantas menatapnya dengan sekilas."Ada hal penting, yang perlu saya bicarakan," sahut Rei, sambil mengendurkan dasi yang terasa mencekik semenjak kedatangan Alya di hadapannya.Pandangan mereka kembali bersirobok, menyiratkan banyak cinta. Tapi sayangnya, cinta itu tak akan pernah bisa untuk disatukan seiring dengan berjalannya takdir."Tolong, jauhi Davin!" pinta Rei, masih menatap Alya.Permintaan Rei, membuat Alya terperangah. Seolah tak paham mengapa dirinya harus menjauhi Davin?"Memangnya kenapa Pak? Bukannya Davin, sudah pergi ke luar Negeri.""Kamu dan adik saya Davin, nggak cocok! Davin terlalu muda juga hampir sem
Pertikaian antara Rei juga Davin, tak bisa terelakan lagi. Amarah yang membuncah, membuat Davin seolah tak sadarkan diri. Hingga terus-menerus memukul sang Kakak, tanpa rasa belas kasihan.Dua keluarga, juga orang-orang di sekitar Bandara. Menatap ngeri memandang mereka, Wira dan Putra tak berhenti putus asa untuk memisahkan Kakak Adik, yang entah sedang dirundung masalah apa!Mey ikut tegang, tatkala pukulan demi pukulan terus Davin layangkan untuk sang tunangan. Ia sendiri tak bisa berbuat lebih, selain berteriak histeris meminta Davin berhenti melakukan aksinya."Davin ... Berhenti Nak! Kasian Kakakmu." Bu Vita, memohon sambil menangis tersedu.Permintaan itu jelas tak membuat Davin, berhenti begitu saja. Ia marah, kecewa, sekaligus merasa jika Kakaknya terlalu ikut campur!"Kamu gila! Sebenarn
Putra mendelik tajam, ke arah wanita yang kini tengah berdiri di hadapannya. Bagaimana mungkin jika Alyalah, wanita yang telah merebut hati Davin selama ini.Bohong jika ia tak kenal dengan Alya, calon pengantin yang sengaja Rei tinggal tepat di hari pernikahan mereka.Putra mengatur napasnya, berharap si bungsu Davin. Tak pernah tau perihal hubungan sang Kakak, dengan wanita yang kini menjadi tambatan hatinya.Senyum manis terus tercetak di bibir Davin, setelah susah payah membujuk si wanita untuk ikut ke rumah mewah milik keluarga Saputra."Hm, apa yang kamu punya? Sehingga berani menaruh hati pada anak saya, Davin," tanya Putra, menatap Alya dengan sinis.Mendengar hal itu, tentu saja Davin tak terima. Ayahnya terlalu lancang, padahal Alya belum memperkenalkan diri.
Pertemuan antara dua keluarga, dengan level sederajat. Kembali digelar, kali ini Putralah yang menjadi tuan rumah.Jangan tanya gimana perasaan Rei, berkali-kali ia mendengus kasar. Berharap pertemuan mereka segera berakhir!"Minggu depan, akan ada acara besar di rumah ini," tukas Putra, sambil bertukar pandang dengan si sulung.Enggan untuk bicara, Rei memilih bungkam. Sebab, ia pikir acara itu hanya pertemuan para pemegang saham."Acara apa itu?" Pertanyaan terlontar, justru bukan dari Rei.Davin merasa penasaran, rasanya sudah lama tak ada acara apa pun di rumah mewah milik mereka.Di sudut sana, seorang wanita cantik juga seksi. Terus mengulum senyum, kedua netranya tak pernah bosan tatkala memandang sang tunangan.Putra mengatur napasnya, sebelum menjaw
"Kamu, nggak risih makan di pinggir jalan?" tanya Alya, diam-diam mulai menyimpan rasa kagum terhadap sosok Davin.Pria muda berwajah tampan, hanya mengangkat bahu. Sambil asyik menyantap makan.Alya mengulum senyum, tak pernah menyangka jika mantan bosnya bisa sesederhana itu."Kamu belum makan? Kok, makannya lahap banget sih." Alya terkekeh pelan, mendapati pria yang begitu semangat menyantap makan.Davin mendongak, mengabaikan hidangan di depan mata, "Hem, sebenarnya aku udah makan sih. Cuma, belum kenyang aja."Davin kembali membuka mulut, semewah apa pun hidangan di rumah. Tetap rasanya berbeda, jika terus saja disuguhi dengan perdebatan juga ketegangan yang tak pernah berakhir."Kamu, lagi diet apa gimana? Nyampe nggak kenyang gitu?"
Sebuah undangan berwarna merah hati, cukup membuat Alya tercekat. Rasa bahagia yang tengah menyelimuti diri, perlahan sirna. Terlebih, yang memberikan undangan adalah si calon pengantin pria langsung.Rei menghela napas, masih tak percaya jika dirinya akan segera menikah dengan orang yang tak pernah ia cinta."Selamat Pak, In Syaa Allah. Saya dan teman-teman, akan menyempatkan diri untuk datang."Tenggorokan Alya, terasa kering. Berusaha tetap tegar, walau badai tengah menerjang hatinya.Rei menatap Alya dengan tatapan sendu, tak mau mendengar kata selamat atau apa pun. Yang berkenaan dengan pernikahannya."Ada yang perlu saya bicarakan, tolong nanti menghadap ke ruangan!" titah sang Direktur, lantas melenggang pergi.Santi, yang berada tidak jauh dari tempat Alya. Menemukan satu keganj
"Kamu, bisa 'kan menuruti segala permintaan kami?" tanya Vita, menunggu jawaban wanita ramping. Yang kini tengah duduk di hadapannya.Alya masih menimbang, keputusan apa yang akan dia ambil. Bahkan, mereka tidak memberi Alya waktu untuk berpikir lebih lama.Helaan napas terdengar berat, namun, baik Vita mau pun Putra tak peduli sama sekali. Mereka hanya ingin yang terbaik versi mereka, untuk kedua anaknya."Berapa pun yang kamu minta, akan kami beri. Asalkan, kamu segera meninggalkan Kantor juga Kota ini!" tukas Putra, yang sedari tadi menunjukkan ketidaksukaan.Sebuah amplop coklat, berukuran sedang. Teronggok membisu di tempat, menunggu seseorang membawanya.Alya menggeleng lemah, buliran bening jatuh tanpa diminta. Entah ada apa dengan hari ini? Kejadian tak mengenakan justru datang secara beruntun.&
Dua hari sudah, Davin mengurung diri di dalam kamar. Menolak untuk makan, hingga tubuhnya merasakan sakit luar biasa.Vita kehilangan ide untuk membujuk si bungsu, jangankan makan. Untuk menyentuhnya saja, Davin sudah tidak mau. Membuat seisi rumah dibuat kewalahan!Bagai anak kecil, pikir Vita. Bagaimana mungkin, diusianya yang sudah dewasa. Davin berkelakuan di luar dugaan, hanya karena cinta!Berkali-kali Putra mendengkus kasar, ikut repot mengurus Davin yang tak mau makan juga.Pernikahan sang Kakak, tinggal menghitung hari. Tapi, kondisi Davin malah semakin terpuruk.Helaan napas terdengar berat, sebagai seorang Ibu. Vita merasa kasihan, "Tak bisakah, kamu lupakan wanita itu Vin? Dia bukan yang terbaik, apalagi Alya adalah bekas Kakakmu. Emang kamu mau, dapet yang bekas?"