Pertikaian antara Rei juga Davin, tak bisa terelakan lagi. Amarah yang membuncah, membuat Davin seolah tak sadarkan diri. Hingga terus-menerus memukul sang Kakak, tanpa rasa belas kasihan.Dua keluarga, juga orang-orang di sekitar Bandara. Menatap ngeri memandang mereka, Wira dan Putra tak berhenti putus asa untuk memisahkan Kakak Adik, yang entah sedang dirundung masalah apa!Mey ikut tegang, tatkala pukulan demi pukulan terus Davin layangkan untuk sang tunangan. Ia sendiri tak bisa berbuat lebih, selain berteriak histeris meminta Davin berhenti melakukan aksinya."Davin ... Berhenti Nak! Kasian Kakakmu." Bu Vita, memohon sambil menangis tersedu.Permintaan itu jelas tak membuat Davin, berhenti begitu saja. Ia marah, kecewa, sekaligus merasa jika Kakaknya terlalu ikut campur!"Kamu gila! Sebenarn
Putra mendelik tajam, ke arah wanita yang kini tengah berdiri di hadapannya. Bagaimana mungkin jika Alyalah, wanita yang telah merebut hati Davin selama ini.Bohong jika ia tak kenal dengan Alya, calon pengantin yang sengaja Rei tinggal tepat di hari pernikahan mereka.Putra mengatur napasnya, berharap si bungsu Davin. Tak pernah tau perihal hubungan sang Kakak, dengan wanita yang kini menjadi tambatan hatinya.Senyum manis terus tercetak di bibir Davin, setelah susah payah membujuk si wanita untuk ikut ke rumah mewah milik keluarga Saputra."Hm, apa yang kamu punya? Sehingga berani menaruh hati pada anak saya, Davin," tanya Putra, menatap Alya dengan sinis.Mendengar hal itu, tentu saja Davin tak terima. Ayahnya terlalu lancang, padahal Alya belum memperkenalkan diri.
Pertemuan antara dua keluarga, dengan level sederajat. Kembali digelar, kali ini Putralah yang menjadi tuan rumah.Jangan tanya gimana perasaan Rei, berkali-kali ia mendengus kasar. Berharap pertemuan mereka segera berakhir!"Minggu depan, akan ada acara besar di rumah ini," tukas Putra, sambil bertukar pandang dengan si sulung.Enggan untuk bicara, Rei memilih bungkam. Sebab, ia pikir acara itu hanya pertemuan para pemegang saham."Acara apa itu?" Pertanyaan terlontar, justru bukan dari Rei.Davin merasa penasaran, rasanya sudah lama tak ada acara apa pun di rumah mewah milik mereka.Di sudut sana, seorang wanita cantik juga seksi. Terus mengulum senyum, kedua netranya tak pernah bosan tatkala memandang sang tunangan.Putra mengatur napasnya, sebelum menjaw
"Kamu, nggak risih makan di pinggir jalan?" tanya Alya, diam-diam mulai menyimpan rasa kagum terhadap sosok Davin.Pria muda berwajah tampan, hanya mengangkat bahu. Sambil asyik menyantap makan.Alya mengulum senyum, tak pernah menyangka jika mantan bosnya bisa sesederhana itu."Kamu belum makan? Kok, makannya lahap banget sih." Alya terkekeh pelan, mendapati pria yang begitu semangat menyantap makan.Davin mendongak, mengabaikan hidangan di depan mata, "Hem, sebenarnya aku udah makan sih. Cuma, belum kenyang aja."Davin kembali membuka mulut, semewah apa pun hidangan di rumah. Tetap rasanya berbeda, jika terus saja disuguhi dengan perdebatan juga ketegangan yang tak pernah berakhir."Kamu, lagi diet apa gimana? Nyampe nggak kenyang gitu?"
Sebuah undangan berwarna merah hati, cukup membuat Alya tercekat. Rasa bahagia yang tengah menyelimuti diri, perlahan sirna. Terlebih, yang memberikan undangan adalah si calon pengantin pria langsung.Rei menghela napas, masih tak percaya jika dirinya akan segera menikah dengan orang yang tak pernah ia cinta."Selamat Pak, In Syaa Allah. Saya dan teman-teman, akan menyempatkan diri untuk datang."Tenggorokan Alya, terasa kering. Berusaha tetap tegar, walau badai tengah menerjang hatinya.Rei menatap Alya dengan tatapan sendu, tak mau mendengar kata selamat atau apa pun. Yang berkenaan dengan pernikahannya."Ada yang perlu saya bicarakan, tolong nanti menghadap ke ruangan!" titah sang Direktur, lantas melenggang pergi.Santi, yang berada tidak jauh dari tempat Alya. Menemukan satu keganj
"Kamu, bisa 'kan menuruti segala permintaan kami?" tanya Vita, menunggu jawaban wanita ramping. Yang kini tengah duduk di hadapannya.Alya masih menimbang, keputusan apa yang akan dia ambil. Bahkan, mereka tidak memberi Alya waktu untuk berpikir lebih lama.Helaan napas terdengar berat, namun, baik Vita mau pun Putra tak peduli sama sekali. Mereka hanya ingin yang terbaik versi mereka, untuk kedua anaknya."Berapa pun yang kamu minta, akan kami beri. Asalkan, kamu segera meninggalkan Kantor juga Kota ini!" tukas Putra, yang sedari tadi menunjukkan ketidaksukaan.Sebuah amplop coklat, berukuran sedang. Teronggok membisu di tempat, menunggu seseorang membawanya.Alya menggeleng lemah, buliran bening jatuh tanpa diminta. Entah ada apa dengan hari ini? Kejadian tak mengenakan justru datang secara beruntun.&
Dua hari sudah, Davin mengurung diri di dalam kamar. Menolak untuk makan, hingga tubuhnya merasakan sakit luar biasa.Vita kehilangan ide untuk membujuk si bungsu, jangankan makan. Untuk menyentuhnya saja, Davin sudah tidak mau. Membuat seisi rumah dibuat kewalahan!Bagai anak kecil, pikir Vita. Bagaimana mungkin, diusianya yang sudah dewasa. Davin berkelakuan di luar dugaan, hanya karena cinta!Berkali-kali Putra mendengkus kasar, ikut repot mengurus Davin yang tak mau makan juga.Pernikahan sang Kakak, tinggal menghitung hari. Tapi, kondisi Davin malah semakin terpuruk.Helaan napas terdengar berat, sebagai seorang Ibu. Vita merasa kasihan, "Tak bisakah, kamu lupakan wanita itu Vin? Dia bukan yang terbaik, apalagi Alya adalah bekas Kakakmu. Emang kamu mau, dapet yang bekas?"
Pelukan hangat, terasa menjalar dalam tubuh Alya. Menangis sesenggukan, seolah tak ada hari esok untuk bisa bernapas dengan lega.Santi ikut terbawa suasana, mereka terus berpelukan. Tatkala para hadirin berucap kata 'sah'. Untuk pernikahan sang mantan, bersama wanita lain.Untuk masuk ke dalam rumah mewah milik Putra, tentu saja bukan perkara mudah. Banyak perjuangan, hingga Al dan Santi rela berpura-pura menjadi seorang pelayan.Santi melepas pelukan, menghapus air mata dengan kasar, "Pulang yuk? Aku nggak kuat ah, lihat kamu melow begini."Alya tertawa, namun, air mata tetap menggenang di pelupuk mata. Seolah sulit untuk disingkirkan!"Dasar wanita sok tegar! Ngapain coba kita ke sini? Hanya untuk, melihat Rei nikah dengan orang lain. Hati kamu terbuat dari apa sih?" desis Santi, sa
"Oooh, jadi ... kamu dan Alya, clbk? Memanfaatkan situasi di saat aku nggak ada, bravo! Kalian memang pasangan serasi, dilihat dari sisi mana pun." Davin, mendelik tajam. Tak sangka, hari kedua akan kepulangannya justru disambut dengan kabar duka.Sang Mama, menatap nanar. Ia mengusap wajah, takut kedua putranya akan kembali berkelahi. Seperti yang sudah-sudah, hanya karena wanita miskin di depannya."Davin, maafkan Kakak. Bagaimana pun, yang namanya cinta nggak bisa dipaksa. Biarkan kami bahagia!" Rei, menekan tiap kata. Ia sudah berjanji, akan mempertahankan hubungannya dengan sang pujaan walau apa yang terjadi nanti.Davin tersenyum getir, "Bagaimana bisa, kalian kembali berhubungan? Bukankah Alya, sudah menikah?"Rei menarik napas, bersiap merangkai kata. Apa pun tanggapan Davin, ia sama sekali tak peduli!"Mer
"Lelah." Alya menghela napas panjang, menatap sekeliling rumah. Sepi, pastilah kedua orangtuanya sedang berada di luar.Rey ikut masuk, memejamkan mata akibat rasa lelah yang sama. Belum lagi untuk menghadapi kedua mempelai, amat mengesalkan."Eh, kamu kok, nggak pulang?" Alya bertanya, heran juga kesal."Santai dululah, aku juga capek. Bikinin minum atau apa kek!" Alya mendengkus, sikap bossynya muncul kembali. Meski begitu, ia tetap melangkah menuju dapur.Teringat akan Jimmy dan Risma, tampak serasi dilihat dari sisi manapun. Wajar jika ia cemburu, mereka belum lama bercerai. Terlebih dengan penolakan Laura, amat menikam hati."Nih," ujarnya. Meletakan segelas air putih, "Sorry, hanya ada itu."Rei tak peduli, menghabiskan minumannya dengan tandas. Begitu lega, bisa sedikit mengobati
"Loh, kamu ... Ada undang mereka, sayang?" Jimmy bertanya, menatap Risma. Istri barunya, menuntut jawaban dengan rasa tak sabar.Alya berdiri tegak. Tangan ia biarkan bergelayut manja pada pria di sampingnya, Rei Saputra. Siapa sangka, takdir akan mempertemukan mereka kembali pada kondisi berbeda.Pesta megah. Dengan hingar-bingar musik, menjadi hal paling memuakan untuk Alya. Masih pantaskah ia cemburu? Wajarkah? Padahal, perceraian mereka belum lama. Jimmy berlaku seakan tak sabaran, ingin kembali mereguk indah seorang wanita."Iya dong, sayang. 'Kan Alya juga pernah jadi bagian kita," sahut Risma. Mengelus dada pujaan hati, yang akhirnya bisa ia dapatkan jua."Begitu, yasudahlah. Pastikan, pasangan khianat itu tidak berbuat kerusuhan." Ucapan Jimmy, cukup telak membuat hati Alya terkoyak bukan main.
"Masih pagi, dan kamu ... Udah rajin banget buat datang ke sini? Ck!" Alya mendengkus sebal, terpaksa menyambut sang tamu yang tak diundang itu.Pria di depannya mengendikan bahu, cuek. Lantas meletakan dua plastik, yang berisi makanan dan minuman. Ia belum sarapan, itu sengaja dilakukan demi melakukan pendekatan.Tanpa malu, Rei menyantap sekotak makanan untuk dirinya. Mengabaikan tatapan tidak suka dari wanita, di depannya."Duduklah, temani aku makan!" titahnya, mendongak demi melihat sang pujaan.Alya memejam, merasa takdir amat kejam. Ia yang terus mencoba move on, justru terus-menerus dipertemukan dengan si tersangka utama."Aku nggak laper!" sahutnya, terpaksa duduk. Dengan mulut yang sesekali menguap."Yakin?" Rei bertanya, lantas membuka bungkusan plastik.
Keluarga Mey masih berduka. Pria asing yang tak mereka sukai, bahkan memilih untuk tidak menunjukan diri. Demi menghindari pertikaian, apalagi Rei dan keluarganya selalu ada. Meski benci, kecewa, mereka tetap hadir karena ikatan yang masih jelas terukir.Air mata, menjadi satu-satunya bukti. Bahwa telah kehilangan orang yang dicinta, dan Mey. Amat menyesal, sempat memutukan kabur demi keegoisannya sendiri.Ia tahu betul, penyesalan tak akan bisa membuat sang Papa kembali. Kini, hanya untaian doa dan kata maaf. Untuk semua hal yang pernah terjadi, meski berat tetap harus dijalani bukan?"Setelah ini, apa rencanamu selanjutnya Rei?" tanya sang Mama, mendesah resah. Menatap anak, yang selalu ia kekang selama hidup."Entahlah, Ma. Kita pikirkan nanti, setelah duka ini berjalan lama." Ia hendak melangkah. Namun, dicegah Papanya yang heran a
Tiga bulan pencarian, akhirnya Mey ditemukan dalam keadaan mengkhawatirkan. Dengan hanya mengenakan daster lusuh, ia duduk di rumah besar sang suami. Justru seperti orang asing, mereka yang menatap wanita itu seakan tak percaya akan perubahan tersebut.Bahkan, Mama Rei. Sempat berteriak histeris, meski akhirnya ia memeluk menantu tersayang. Menghujaninya dengan permintaan maaf, sebab mengabaikan segala kesakitan yang telah dirasa oleh seorang Mey."Cepat katakan, Mey. Siapa dia?" tunjuk sang suami sah, pada pria asing di sampingnya.Kini, semua tatapan memandang lekat pada pria yang disinyalir membawa Mey kabur. Mereka membenci, bahkan mengutuk!Mey, merasa tenggorokannya makin tercekat. Mimpi buruk saat anak buah Rei, bisa mempertemukan tempat persembunyiannya.Tubuhnya makin me
"Ini ... Bukti resmi, bahwa kita sudah bercerai!" Jimmy berucap, mengabaikan rasa sakit yang berkecamuk pada Alya. Wanita yang dulu setengah mati ia puja!Kedatangannya tak hanya sendiri, melainkan bersama Risma. Wanita yang kerap kali ikut ke manapun, Jimmy melangkah.Ibu dan Bapak Alya. Tampak kecewa, menyesal sebab telah menitipkan sang anak pada pria yang salah. Kini, nasi sudah menjadi bubur. Kenyataan yang ada, mau tidak mau kudu diterima!"Saya pulangkan Alya, anak Ibu dan Bapak. Maaf, sebab tidak bisa mempertahankan rumah tangga ini." Setetes air mata jatuh, tanpa sadar Alya meremas surat perceraian mereka. Ada rasa tidak rela, meski tak bisa berbuat apa-apa."Bapak pikir, kamu akan tetap membersamai Alya. Ternyata Bapak salah," ungkap pria itu. Dengan sesak di dada, tak pernah menyangka anaknya akan menjadi seorang jan
"Apa yang kamu lihat, itu nggak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranmu!" ucap Alya, tegas. Netranya menerawang jauh, tak memaksa pria di sampingnya untuk percaya.Jimmy memandang wanita, yang masih jadi istrinya. Rasa cemburu saat melihatnya bersama sang mantan, membuat pikirannya tak menentu.Mereka bicara hanya berdua, dengan Risma yang berlalu entah ke mana. Wanita itu terpaksa mengalah, sebab Jimmy sendiri yang meminta."Bisa jadi, kalian berdua janjian. Untuk merayakan pertemuan, atau hal indah lainnya. Aku, bukan pria yang bisa kamu bodohi!" Alya menarik napas panjang, ia tahu akan sulit menjelaskan kesalahpahaman ini.Kini ia pasrah, tak mau membuang waktu untuk orang yang sudah tak mempercayainya lagi."Aku ... Bicara jujur apa adanya, please jangan buat lebih r
Hari keempat, Alya berada di kota di mana orangtuanya berada. Memutuskan untuk pergi seorang diri, menghabiskan waktu di dalam Mall sambil sesekali menikmati makanan ringan jua minuman yang membuat tenggorokan terasa segar.Ia melirik ponsel, yang tergeletak di atas meja. Selama kepergiaanya, Jimmy sama sekali tidak berniat untuk menghubunginya. Ahh, masih pantaskah ia berharap? Usai kabur, tanpa kata.Hingar-bingar musik, membuat kepalanya sesekali bergoyang. Entah kenapa pikirannya justru makin semrawut, berada di tempat ramai. Tapi, hatinya terasa sepi. Bagai tak bertuan, rindukah hatinya akan Jimmy?Di sudut lain, ada beberapa orang berbadan besar. Tengah menjadi bodyguard sang boss, tujuan mereka apalagi kalau bukan untuk mencari Mey.Pria tampan dengan kacamata hitam, berjalan santai dengan netra menatap ke sana-ke mari.