Alya berdiri tegak. Tangan ia biarkan bergelayut manja pada pria di sampingnya, Rei Saputra. Siapa sangka, takdir akan mempertemukan mereka kembali pada kondisi berbeda.
Pesta megah. Dengan hingar-bingar musik, menjadi hal paling memuakan untuk Alya. Masih pantaskah ia cemburu? Wajarkah? Padahal, perceraian mereka belum lama. Jimmy berlaku seakan tak sabaran, ingin kembali mereguk indah seorang wanita.
"Iya dong, sayang. 'Kan Alya juga pernah jadi bagian kita," sahut Risma. Mengelus dada pujaan hati, yang akhirnya bisa ia dapatkan jua.
"Begitu, yasudahlah. Pastikan, pasangan khianat itu tidak berbuat kerusuhan." Ucapan Jimmy, cukup telak membuat hati Alya terkoyak bukan main.
"Lelah." Alya menghela napas panjang, menatap sekeliling rumah. Sepi, pastilah kedua orangtuanya sedang berada di luar.Rey ikut masuk, memejamkan mata akibat rasa lelah yang sama. Belum lagi untuk menghadapi kedua mempelai, amat mengesalkan."Eh, kamu kok, nggak pulang?" Alya bertanya, heran juga kesal."Santai dululah, aku juga capek. Bikinin minum atau apa kek!" Alya mendengkus, sikap bossynya muncul kembali. Meski begitu, ia tetap melangkah menuju dapur.Teringat akan Jimmy dan Risma, tampak serasi dilihat dari sisi manapun. Wajar jika ia cemburu, mereka belum lama bercerai. Terlebih dengan penolakan Laura, amat menikam hati."Nih," ujarnya. Meletakan segelas air putih, "Sorry, hanya ada itu."Rei tak peduli, menghabiskan minumannya dengan tandas. Begitu lega, bisa sedikit mengobati
"Oooh, jadi ... kamu dan Alya, clbk? Memanfaatkan situasi di saat aku nggak ada, bravo! Kalian memang pasangan serasi, dilihat dari sisi mana pun." Davin, mendelik tajam. Tak sangka, hari kedua akan kepulangannya justru disambut dengan kabar duka.Sang Mama, menatap nanar. Ia mengusap wajah, takut kedua putranya akan kembali berkelahi. Seperti yang sudah-sudah, hanya karena wanita miskin di depannya."Davin, maafkan Kakak. Bagaimana pun, yang namanya cinta nggak bisa dipaksa. Biarkan kami bahagia!" Rei, menekan tiap kata. Ia sudah berjanji, akan mempertahankan hubungannya dengan sang pujaan walau apa yang terjadi nanti.Davin tersenyum getir, "Bagaimana bisa, kalian kembali berhubungan? Bukankah Alya, sudah menikah?"Rei menarik napas, bersiap merangkai kata. Apa pun tanggapan Davin, ia sama sekali tak peduli!"Mer
Desas-desus tentang kabar akan datangnya si pemilik Perusahaan, membuat suasana Kantor begitu ramai. Bukannya sibuk bekerja, mereka malah asyik berbincang. Membuat Alya, merasa geram dibuatnya.Di ruangan itu rupanya hanya dia sendiri, yang tidak perduli dengan kedatangan si Tuan rumah. Bagi Alya, semua nampak biasa tak usah dibuat rusuh!"Dasar wanita dingin!" cecar Santi, sambil menepuk bahu sang teman. Yang tengah sibuk dengan beberapa dokumen di tangan."Apaan sih? Aku tuh lagi sibuk tau, nggak kayak kalian. Rusuh di pagi yang cerah ini," sahut Alya, tak mau kalah dari Santi."Hei, si empunya Perusahaan mau datang loh. Dan kabarnya, doi cakep. Mapan pula, emang kamu nggak tertarik gitu?" Santi bertanya, berharap sang teman mulai serius menanggapinya."Nggak perduli! Cakep doang mah percuma," timpal
"Rei Saputra, betul itu nama kamu?" Alya bertanya, berharap pria itu mengakui. Bahkan ingat akan kejadian dua tahun yang lalu, antara dia dan dirinya.Pria jangkung bertubuh tegap, menatap Alya dengan lekat. Lantas mengernyit, seolah tidak paham dengan apa yang barusan didengar."Betul, memangnya kenapa?"Ditanya balik membuat hati Alya tercabik, hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin, pria itu masih bertanya kenapa? Apa dia lupa, sudah menorehkan luka yang teramat dalam pada Alya?"Ap-apa kamu lupa, dengan kejadian dua tahun yang lalu Rei?" Alya masih menatap Rei, bohong jika dirinya sudah tak cinta. Sebab, hingga kini belum ada satu pun pria yang mampu mengganti nama Rei di hati. Meski telah disakiti bahkan dicampakan!Pria itu masih terdiam, semua terjadi begitu saja. Tak
Dua keluarga dengan level sederajat tengah asyik, menikmati hidangan dari si empunya rumah. Semua tampak bahagia, kecuali Rei Saputra yang ingin segera mengakhiri pertemuan yang menurutnya tak pernah penting!Duduk berdampingan dengan wanita yang tak pernah dicinta, membuatnya begitu muak! Pertunangan yang digelar dihari pernikahannya dengan Alya, mau tidak mau terjadi jua lantaran perintah sang Ayah.Mey terus bergelayut manja di samping pria jangkung bertubuh tegap, pakaian seksi yang membalut tubuhnya sama sekali tak membuat si tunangan tertarik. Ia lebih menyukai Alya, apa adanya dan tidak dibuat-buat.Rei mendengus kasar, lantas berbisik pada sang Ayah, "Rei udah kenyang, Yah. Kapan kita bisa pulang?"Mendengar pertanyaan Rei, tentu saja membuat Ayahnya menatap penuh kesal."Tolon
"Bapak, manggil saya?" tanya Alya, begitu sampai di ruangan sang Direktur.Sebagai jawaban Rei, mengangguk lantas menatapnya dengan sekilas."Ada hal penting, yang perlu saya bicarakan," sahut Rei, sambil mengendurkan dasi yang terasa mencekik semenjak kedatangan Alya di hadapannya.Pandangan mereka kembali bersirobok, menyiratkan banyak cinta. Tapi sayangnya, cinta itu tak akan pernah bisa untuk disatukan seiring dengan berjalannya takdir."Tolong, jauhi Davin!" pinta Rei, masih menatap Alya.Permintaan Rei, membuat Alya terperangah. Seolah tak paham mengapa dirinya harus menjauhi Davin?"Memangnya kenapa Pak? Bukannya Davin, sudah pergi ke luar Negeri.""Kamu dan adik saya Davin, nggak cocok! Davin terlalu muda juga hampir sem
Pertikaian antara Rei juga Davin, tak bisa terelakan lagi. Amarah yang membuncah, membuat Davin seolah tak sadarkan diri. Hingga terus-menerus memukul sang Kakak, tanpa rasa belas kasihan.Dua keluarga, juga orang-orang di sekitar Bandara. Menatap ngeri memandang mereka, Wira dan Putra tak berhenti putus asa untuk memisahkan Kakak Adik, yang entah sedang dirundung masalah apa!Mey ikut tegang, tatkala pukulan demi pukulan terus Davin layangkan untuk sang tunangan. Ia sendiri tak bisa berbuat lebih, selain berteriak histeris meminta Davin berhenti melakukan aksinya."Davin ... Berhenti Nak! Kasian Kakakmu." Bu Vita, memohon sambil menangis tersedu.Permintaan itu jelas tak membuat Davin, berhenti begitu saja. Ia marah, kecewa, sekaligus merasa jika Kakaknya terlalu ikut campur!"Kamu gila! Sebenarn
Putra mendelik tajam, ke arah wanita yang kini tengah berdiri di hadapannya. Bagaimana mungkin jika Alyalah, wanita yang telah merebut hati Davin selama ini.Bohong jika ia tak kenal dengan Alya, calon pengantin yang sengaja Rei tinggal tepat di hari pernikahan mereka.Putra mengatur napasnya, berharap si bungsu Davin. Tak pernah tau perihal hubungan sang Kakak, dengan wanita yang kini menjadi tambatan hatinya.Senyum manis terus tercetak di bibir Davin, setelah susah payah membujuk si wanita untuk ikut ke rumah mewah milik keluarga Saputra."Hm, apa yang kamu punya? Sehingga berani menaruh hati pada anak saya, Davin," tanya Putra, menatap Alya dengan sinis.Mendengar hal itu, tentu saja Davin tak terima. Ayahnya terlalu lancang, padahal Alya belum memperkenalkan diri.
"Oooh, jadi ... kamu dan Alya, clbk? Memanfaatkan situasi di saat aku nggak ada, bravo! Kalian memang pasangan serasi, dilihat dari sisi mana pun." Davin, mendelik tajam. Tak sangka, hari kedua akan kepulangannya justru disambut dengan kabar duka.Sang Mama, menatap nanar. Ia mengusap wajah, takut kedua putranya akan kembali berkelahi. Seperti yang sudah-sudah, hanya karena wanita miskin di depannya."Davin, maafkan Kakak. Bagaimana pun, yang namanya cinta nggak bisa dipaksa. Biarkan kami bahagia!" Rei, menekan tiap kata. Ia sudah berjanji, akan mempertahankan hubungannya dengan sang pujaan walau apa yang terjadi nanti.Davin tersenyum getir, "Bagaimana bisa, kalian kembali berhubungan? Bukankah Alya, sudah menikah?"Rei menarik napas, bersiap merangkai kata. Apa pun tanggapan Davin, ia sama sekali tak peduli!"Mer
"Lelah." Alya menghela napas panjang, menatap sekeliling rumah. Sepi, pastilah kedua orangtuanya sedang berada di luar.Rey ikut masuk, memejamkan mata akibat rasa lelah yang sama. Belum lagi untuk menghadapi kedua mempelai, amat mengesalkan."Eh, kamu kok, nggak pulang?" Alya bertanya, heran juga kesal."Santai dululah, aku juga capek. Bikinin minum atau apa kek!" Alya mendengkus, sikap bossynya muncul kembali. Meski begitu, ia tetap melangkah menuju dapur.Teringat akan Jimmy dan Risma, tampak serasi dilihat dari sisi manapun. Wajar jika ia cemburu, mereka belum lama bercerai. Terlebih dengan penolakan Laura, amat menikam hati."Nih," ujarnya. Meletakan segelas air putih, "Sorry, hanya ada itu."Rei tak peduli, menghabiskan minumannya dengan tandas. Begitu lega, bisa sedikit mengobati
"Loh, kamu ... Ada undang mereka, sayang?" Jimmy bertanya, menatap Risma. Istri barunya, menuntut jawaban dengan rasa tak sabar.Alya berdiri tegak. Tangan ia biarkan bergelayut manja pada pria di sampingnya, Rei Saputra. Siapa sangka, takdir akan mempertemukan mereka kembali pada kondisi berbeda.Pesta megah. Dengan hingar-bingar musik, menjadi hal paling memuakan untuk Alya. Masih pantaskah ia cemburu? Wajarkah? Padahal, perceraian mereka belum lama. Jimmy berlaku seakan tak sabaran, ingin kembali mereguk indah seorang wanita."Iya dong, sayang. 'Kan Alya juga pernah jadi bagian kita," sahut Risma. Mengelus dada pujaan hati, yang akhirnya bisa ia dapatkan jua."Begitu, yasudahlah. Pastikan, pasangan khianat itu tidak berbuat kerusuhan." Ucapan Jimmy, cukup telak membuat hati Alya terkoyak bukan main.
"Masih pagi, dan kamu ... Udah rajin banget buat datang ke sini? Ck!" Alya mendengkus sebal, terpaksa menyambut sang tamu yang tak diundang itu.Pria di depannya mengendikan bahu, cuek. Lantas meletakan dua plastik, yang berisi makanan dan minuman. Ia belum sarapan, itu sengaja dilakukan demi melakukan pendekatan.Tanpa malu, Rei menyantap sekotak makanan untuk dirinya. Mengabaikan tatapan tidak suka dari wanita, di depannya."Duduklah, temani aku makan!" titahnya, mendongak demi melihat sang pujaan.Alya memejam, merasa takdir amat kejam. Ia yang terus mencoba move on, justru terus-menerus dipertemukan dengan si tersangka utama."Aku nggak laper!" sahutnya, terpaksa duduk. Dengan mulut yang sesekali menguap."Yakin?" Rei bertanya, lantas membuka bungkusan plastik.
Keluarga Mey masih berduka. Pria asing yang tak mereka sukai, bahkan memilih untuk tidak menunjukan diri. Demi menghindari pertikaian, apalagi Rei dan keluarganya selalu ada. Meski benci, kecewa, mereka tetap hadir karena ikatan yang masih jelas terukir.Air mata, menjadi satu-satunya bukti. Bahwa telah kehilangan orang yang dicinta, dan Mey. Amat menyesal, sempat memutukan kabur demi keegoisannya sendiri.Ia tahu betul, penyesalan tak akan bisa membuat sang Papa kembali. Kini, hanya untaian doa dan kata maaf. Untuk semua hal yang pernah terjadi, meski berat tetap harus dijalani bukan?"Setelah ini, apa rencanamu selanjutnya Rei?" tanya sang Mama, mendesah resah. Menatap anak, yang selalu ia kekang selama hidup."Entahlah, Ma. Kita pikirkan nanti, setelah duka ini berjalan lama." Ia hendak melangkah. Namun, dicegah Papanya yang heran a
Tiga bulan pencarian, akhirnya Mey ditemukan dalam keadaan mengkhawatirkan. Dengan hanya mengenakan daster lusuh, ia duduk di rumah besar sang suami. Justru seperti orang asing, mereka yang menatap wanita itu seakan tak percaya akan perubahan tersebut.Bahkan, Mama Rei. Sempat berteriak histeris, meski akhirnya ia memeluk menantu tersayang. Menghujaninya dengan permintaan maaf, sebab mengabaikan segala kesakitan yang telah dirasa oleh seorang Mey."Cepat katakan, Mey. Siapa dia?" tunjuk sang suami sah, pada pria asing di sampingnya.Kini, semua tatapan memandang lekat pada pria yang disinyalir membawa Mey kabur. Mereka membenci, bahkan mengutuk!Mey, merasa tenggorokannya makin tercekat. Mimpi buruk saat anak buah Rei, bisa mempertemukan tempat persembunyiannya.Tubuhnya makin me
"Ini ... Bukti resmi, bahwa kita sudah bercerai!" Jimmy berucap, mengabaikan rasa sakit yang berkecamuk pada Alya. Wanita yang dulu setengah mati ia puja!Kedatangannya tak hanya sendiri, melainkan bersama Risma. Wanita yang kerap kali ikut ke manapun, Jimmy melangkah.Ibu dan Bapak Alya. Tampak kecewa, menyesal sebab telah menitipkan sang anak pada pria yang salah. Kini, nasi sudah menjadi bubur. Kenyataan yang ada, mau tidak mau kudu diterima!"Saya pulangkan Alya, anak Ibu dan Bapak. Maaf, sebab tidak bisa mempertahankan rumah tangga ini." Setetes air mata jatuh, tanpa sadar Alya meremas surat perceraian mereka. Ada rasa tidak rela, meski tak bisa berbuat apa-apa."Bapak pikir, kamu akan tetap membersamai Alya. Ternyata Bapak salah," ungkap pria itu. Dengan sesak di dada, tak pernah menyangka anaknya akan menjadi seorang jan
"Apa yang kamu lihat, itu nggak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranmu!" ucap Alya, tegas. Netranya menerawang jauh, tak memaksa pria di sampingnya untuk percaya.Jimmy memandang wanita, yang masih jadi istrinya. Rasa cemburu saat melihatnya bersama sang mantan, membuat pikirannya tak menentu.Mereka bicara hanya berdua, dengan Risma yang berlalu entah ke mana. Wanita itu terpaksa mengalah, sebab Jimmy sendiri yang meminta."Bisa jadi, kalian berdua janjian. Untuk merayakan pertemuan, atau hal indah lainnya. Aku, bukan pria yang bisa kamu bodohi!" Alya menarik napas panjang, ia tahu akan sulit menjelaskan kesalahpahaman ini.Kini ia pasrah, tak mau membuang waktu untuk orang yang sudah tak mempercayainya lagi."Aku ... Bicara jujur apa adanya, please jangan buat lebih r
Hari keempat, Alya berada di kota di mana orangtuanya berada. Memutuskan untuk pergi seorang diri, menghabiskan waktu di dalam Mall sambil sesekali menikmati makanan ringan jua minuman yang membuat tenggorokan terasa segar.Ia melirik ponsel, yang tergeletak di atas meja. Selama kepergiaanya, Jimmy sama sekali tidak berniat untuk menghubunginya. Ahh, masih pantaskah ia berharap? Usai kabur, tanpa kata.Hingar-bingar musik, membuat kepalanya sesekali bergoyang. Entah kenapa pikirannya justru makin semrawut, berada di tempat ramai. Tapi, hatinya terasa sepi. Bagai tak bertuan, rindukah hatinya akan Jimmy?Di sudut lain, ada beberapa orang berbadan besar. Tengah menjadi bodyguard sang boss, tujuan mereka apalagi kalau bukan untuk mencari Mey.Pria tampan dengan kacamata hitam, berjalan santai dengan netra menatap ke sana-ke mari.