Sean membawa Stella ke halaman belakang rumahnya. Benar saja, di sana sinar matahari pagi di tambah dengan tanaman hijau yang tertata rapi membuat cuasa pagi itu begitu tenang dan menyejukan. Stella dari tadi hanya diam, dan memilih menuruti kemana pun Sean pergi.“Setiap pagi kau bisa berjemur di sini. Sinar matahari pagi sangat baik untuk kesehatan,” ucap Sean mengingatkan Stella dengan nada dingin, dan raut wajah datar.Stella mengangguk. “Iya, Sean. Aku akan berjemur setiap paginya.”Stella mengembuskan napas kasar. “Ada hal yang ingin aku tanyakan.”“Apa, Sean?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap Sean.“Sejak kapan kau bisa bernyanyi? Dan kenapa Raynold tahu kau bisa bernyanyi?” Sean bertanya dengan nada penuh selidik yang terdengar dingin dan tampak mengendalikan dirinya.“Aku hanya bisa bernyanyi biasa saja, Sean. Tidak hebat. Dulu saat aku sering mengajak saudaraku di panti untuk bernyanyi. Saat itu, tidak sengaja Raynold datang ke panti. Dia melihatku bernyanyi bersama
“Sean? Stella?” Marsha langsung mengulas senyuman hangatnya kala melihat Sean dan Stella mendekat ke arahnya. Kemudian memeluk Sean dan Stella bergantian. Memberikan pelukan hangat dan penuh dengan kasih sayang.“Apa kabar, Mom?” sapa Stella dengan hangat seraya mengurai pelukannya. Tatapannya menatap lembut ibu mertuanya yang berdiri di hadapannya itu.“Baik, sayang.” Marsha membawa tangannya, mengelus pipi Stella. “Lama tidak melihatmu, kau sangat cantik, Stella. Pipimu jauh berisi. Apa kau sedang hamil?”Stella tersedak mendengar pertanyaan Marsha. Hamil? Astaga, tidak pernah terpikir olehnya ibu mertuanya akan menanyakan hal itu. Ya, tentu saja pipi Stella mulai berisi. Pasalnya selama tinggal dengan Sean, pria itu selalu memaksanya makan banyak.“Mom,” tegur Sean kesal mendengar pertanyaan ibunya itu.Marsha mendengkus tak suka. “Memangnya Mommy salah di mana? Mommy hanya bertanya saja apa Stella sedang hamil? Karena tubuh Stella lebih berisi dari sebelumnya.”“Aku memberikannya
Sean turun dari mobilnya, setelah dia memarkirkan mobilnya di halaman parkir rumah Aurora. Kini dia melangkah masuk ke dalam. Para penjaga dan pelayan tampak berderet membungkukan badan mereka menyapa dengan hormat Sean yang baru saja masuk ke dalam rumah.“Di mana Aurora?” tanya Sean dingin pada sang pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nona Aurora berada di kamarnya, Tuan,” jawab sang pelayan memberitahu.“Apa dokter sudah datang?” tanya Sean lagi dengan nada yang masih sama.“Sudah, Tuan. Dokter saat ini tengah memeriksa keadaan Nona Aurora,” jawab sang pelayan.Sean mengangguk singkat. Kemudian, Sean melanjutkan langkahnya menuju kamar Aurora. Ya, rumah Aurora ini tidak asing bagi Sean. Karena sudah lama Aurora membeli rumah di Jakarta. Namun, wanita itu hanya menempati rumah ini jika tengah berada di Jakarta saja. Itu pun bisa dikatakan Aurora sangat jarang berada di Jakarta. Hanya sesekali, dan tidaklah lama. Namun, entah sekarang Aurora masih menyukai menetap di Jakarta.Saat S
Sinar matahari menembus jendela, menyentuh kulit wajah Stella. Perlahan pelupuk mata Stella bergerak. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dnan menggeliat. Saat Stella telah benar-benar membuka matanya, Stella menyipitkan pandangan ke sekitar. Seketika kening Stella berkerut mendapati tubuhnya terbaring di ranjang. Padahal harusnya tadi malam Stella tertidur di sofa, bukan di ranjang. Namun, kenapa sekarang dia sudah di ranjang?“Apa tadi malam aku pindah sendiri, ya? Tapi kapan? Apa mungkin aku tidur sambil berjalan untuk pindah ke ranjang?” gumam Stella bingung.Stella menghela napas panjang, memutuskan untuk tidak lagi memikirkan bagaimana dia bisa pindah ke ranjang. Stella mengalihkan pandangannya ke samping, melihat ke ranjang Sean—raut wajah Stella berubah menjadi muram ketika ranjang Sean kosong.“Sepertinya Sean tidak pulang.” Stella kembali bergumam pelan. “Mungkin Aurora sakitnya sedikit parah sampai Sean harus menginap di sana.”Pancaran mata Stella meredup, tergantikan d
“Aw..” Stella meringis kesakitan kala Sean menarik kasar tangan Stella, menjauh dari Raynold. Bahkan Sean menyingkirkan tangan Aurora yang sejak tadi melingkar di tangannya. Sedangkan Aurora yang melihat Sean menarik tangan Stella, raut wajah Aurora langsung berubah menjadi dingin dan sorot mata menunjukan ketidak sukaannya.“Sean, sakit,” ucap Stella pelan agar tidak ada yang mendengarnya.“Kenapa kau bisa ada di sini, Stella?” geram Sean dengan tatapan begitu tajam dan penuh peringatan pada Stella.“Sean, aku—”“Kita pulang sekarang!”Sean tidak mau mendengarkan penjelasan Stella. Dia langsung menarik kasar tangan Stella, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, saat Sean hendak meninggalkan restoran itu—tiba-tiba, tangan Raynold menahan lengan Sean.“Tuan Sean, apa anda tidak melihat Stella meringis kesakitan? Anda melukai Stella, Tuan,” ujar Raynold dengan nada yang masih sopan, dan tatapan yang menatap Sean penuh peringatan.“Jangan ikut campur urusanku dengan istriku.” Dengan waja
“S-Sean… Apa yang mau kau lakukan?” Stella menelan salivanya susah payah kala melihat Sean melangkah mendekat ke arahnya. Dress yang dipakai Stella sedikit terangkat, membuat pahanya yang mulus itu terkespos.“Aku akan memberikan kesan pertamamu yang tidak akan pernah terlupakan.”Sean melepas ikat pinggangnya. Reflek membuat jantung Stella berdegup kencang seolah akan melompat dari tempatnya. Ditambah dengan Sean yang membuka kancing kemeja yang dipakainya. Dada bidang, lengan kekar, serta otot perut pria itu membuat napas Stella hampir putus. Tubuh gagah ditambah dengan tato di lengan Sean membuat semua wanita yang melihatnya berdesir. Darah yang mengalir di tubuh Stella seperti berhenti di kepalanya. Pasalnya kepalanya mulai sedikit pusing melihat apa yang di hadapannya ini. Sungguh, jika biasanya Stella ketakutan kali ini bukan takut, melainkan imajinasi liar yang muncul dalam benaknya.“Sean—”Perkataan Stella terpotong kala Sean sudah naik ke atas tubuhnya. Membuat tubuh Stella
“Ah—” Stella meringis kesakitan merasakan tubuhnya begitu remuk. Stella mulai membuka matanya perlahan. Dia mengerjap beberapa kali. Hingga saat mata Stella benar-benar terbuka sempurna, Stella merasakan inti tubuh bagian bawahnya perih.“Sudah bangun, hm?” Suara bariton menegur Stella, membuat Stella langsung mengalihkan pandagannya dengan cepat. Tiba-tiba raut wajah Stella berubah melihat Sean dengan bertelanjang dada, tidur di sampingnya. Sekelebat ingatan Stella mengingat apa dia dan Sean lakukan. Wajah Stella langsung berubah menjadi malu. Bahkan rasanya Stella tidak memiliki muka untuk bertemu dengan Sean.“S-Sean? K-Kau sudah bangun?” Stelle menjadi gugup dan malu melihat ke arah Sean. Namun didetik selanjutnya, Sean menarik tangan Stella, membawanya masuk ke dalam dekapannya. Reflek Stella memekik terkejut kala Sean menarik tangannya.“Masih malu, hm?” Sean menarik dagu Stella, mencium lembut bibir istrinya itu. “Kenapa harus malu? Sekarang kau lihatlah tubuhmu masih belum mem
Sean membaca dokumen yang ada di hadapannya. Setelah memastikan semua isi dokumen tersebut adalah benar, dia langsung mendatanganinya. Kemudian memberikan dokumen itu pada Tomy, asistennya yang sejak tadi menunggu.“Apa jadwalku hari ini?” tanya Sean dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Tuan, anda memiliki jadwal bertemu dengan Tuan Hans Winoto membahas kerja sama. Kemarin Tuan Hans tidak terlalu banyak membahas kerja sama dengan Nona Aurora. Beliau lebih suka membahas kerja sama langsung dengan anda, Tuan,” ujar Tomy melaporkan.Sean mengembuskan napas kasar. “Tunda pertemuanku dengan Tuan Hans Winoto. Atur ulang pertemuanku dengannya minggu depan. Katakan padanya aku masih sibuk.”Tomy mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”“Tomy, apa Nayra sudah memberitahu tentang perkembangan istriku?” tanya Sean dingin dengan tatapan tak lepas menatap Tomy.Tomy mengerutkan keningnya kala mendengar pertanyaan Sean. Ya, pasalnya ini pertama kali Tomu mendengar Tuannya itu mengucapkan kata ‘Istriku’