“Tuan Sean.” Seorang pelayan menundukan kepalanya, menyapa kala Sean baru saja keluar dari ruang kerjanya.“Ada apa?” tanya Sean dingin pada sang pelayan yang berdiri di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Tomy sudah menunggu anda,” jawab sang pelayan memberitahu.Ya, hari ini adalah weekend. Sean harusnya masih memiliki meeting namun dia memilih membatalkanya dan mengganti di hari biasa. Meski tidak jadi menghadiri meeting tetap saja Sean memeriksakan pekerjaannya di ruang kerja pribadinya yang ada di rumah.Sean mengembuskan napas kasar. “Kenapa dia datang? Aku sudah mengatakan untuk tidak mengganggunya,” decaknya kesal.Sang pelayan hanya menundukan kepalanya kala melihat wajah kesal Sean. Dia tampak tak berani menatap Sean yang tengah marah itu.“Apa kau tahu di mana istriku?” Sean bertanya dengan nada dingin dan raut wajah tanpa ekpresi.“Nyonya sedang di taman, Tuan,” jawab sang pelayan dengan sopan.Sean melirik arloji sekilas. Pantas saja Stella berada di taman. Karena memang
“Sean, hari ini weekend. Apa kau sibuk?” tanya Stella seraya melangkah mendekat ke arah Sean yang duduk di sofa dan fokus pada iPad di tangannya.“Kenapaa?” Sean bertanya tanpa mengalihkan pandanganya. Dia tengah fokus membaca laporan yang baru saja dikirimkan oleh sang sekretaris.“Hm, apa kau mau menemaniku berjalan-jalan? Aku bosan di rumah, Sean. Aku ingin ke super market membeli bahan-bahan makanan,” ujar Stella dengan bibir yang tertekuk. Kini dia duduk di samping Sean, dan mengamati pria itu dengan seksama. Tampak Sean yang begitu sibuk. Namun, ini adalah weekend. Tidak ada salahnya Sean meluangkan waktu sedikit untuknya. Lagi pula weekend-weekend sebelumnya Sean sudah disibukan dengan pekerjaan yang tak pernah berhenti.Sean yang tahu Stella duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya ke atas meja. Kemudian, menarik tangan Stella membawa tubuh istri kecilnya itu terduduk di pangkuannya. Reflek, Stella merapatkan tubuhnya pada tubuh Sean seraya mengai
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah raut wajah Sean tampak begitu dingin dan sorot mata yang tajam. Bahkan beberapa kali Stella mengajak Sean berbicara, namun sayangnya pria itu meresponnya hanya singkat. Seperti enggan untuk berbicara dengan Stella. Ya, sejak bertemu dengan Raynold banyak yang berubah dari Sean. Stella melihat jelas suaminya itu bertambah dingin padanya. Tadi saja saat berbelanja, Stella seperti membawa robot. Sean tidak banyak bicara. Malah Stella yang aktif bertanya hingga lelah karena jawaban Sean hanya ‘Ambil saja sesukamu.’ Well, Sean memang tidak memusingkan tentang berapa banyak barang-barang yang diambil Stella. Karena berapa pun uang yang dikeluarkan Sean, tidaklah penting bagi Sean.Setibanya di rumah, Sean lebih dulu turun dari mobil. Reflek, Stella pun langsung turun dan menyusul Sean yang berjalan menuju kamar. Sebelumnya, Stella sudah meminta pada para pelayan untuk membawa masuk barang belanjaannya. Kali ini mau tidak mau Stella harus mengajak Sean be
Sinar matahari pagi menembus jendela, membuat Stella yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Perlahan Stella mengerjapkan matanya beberapa kali. Menggeliat dan menguap. Saat Stella sudah membuka matanya, tampak kerutan di dahinya ketika menyadari pagi telah menyapa. Didetik selanjutnya, Stella mengalihkan pandangannya ke samping—sepasang iris mata abu-abunya menatap kecewa kala ranjang Sean sudah kosong. Stella mengedarkan pandangannya ke sekitarnya tetap tidak menemukan Sean. Hingga kemudian, tanpa sengaja tatapan Stella teralih pada sebuah note yang terletak di atas nakas. Kini Stella mengambil note itu dan langsung membacanya.*Aku berangkat lebih awal. Maaf tidak membangunkanmu. Aku tidak bisa membangunkanmu yang tertidur terlalu pulas. Pagi ini aku memiliki meeting penting—Your Husband, Sean. G.*Stella menghela napas panjang kala membaca pesan yang ditulis oleh Sean. Dia melirik jam dinding, waktu menunjukan pukul delapan pa
Malam kian larut. Deras hujan membasahi kota Jakarta. Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Beberapa kali terdengar suara petir yang cukup besar namun tak menghentikan laju mobil Sean. Tampak Sean yang begitu tenang seolah mengabaikan suara petir itu. Sesaat Sean melirik arlojinya, waktu menunjukan hampir pukul dua belas malam. Ya, kesibukan Sean hari ini membuatnya mau tidak mau harus pulang terlambat.Tak lama kemudian, Sean memebelokan mobilnya memasuki halaman parkir rumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya, Sean langsung turun dan melangkah masuk ke dalam rumah. Para pelayan dan penjaga yang melihat Sean datang, mereka langsung membungkukan badanya dan menyapa hormat pada Sean.“Apa istriku sudah tidur?” tanya Sean dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.“Sudah, Tuan. Tadi nyonya saya lihat sudah tidur,” jawab sang pelayan.Sean mengangguk singkat. Kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam, menuju kamarnya.Saat tiba di kamar, benar saja apa yang dikatakan o
Sean turun dari mobil, dia melempar kunci mobil ke pihak keamanan untuk memarkirkan mobilnya. Raut wajah dingin dan sorot mata tajam begitu terlihat jelas di iris mata cokelatnya. Bahkan saat banyak para karyawan yang menyapa saja diabaikan oleh Sean. Kini Sean melanjutkan langkahnya, menuju ruang kerjanya.“Tuan Sean.” Tomy, asisten Sean menundukan kepalanya. Menyapa dengan hormat kala Sean baru saja keluar dari lift pribadinya.“Di mana Aurora?” tanya Sean langsung tanpa basa basi. Sepasang mata tegas, layaknya mata elang yang begitu tajam.“Nona Aurora berada di ruang kerja anda, Tuan. Hari ini beliau datang lebih awal,” jawab Tomy.Tanpa lagi berucap, Sean melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang kerjanya. Raut wajahnya begitu menunjukan kemarahan yang tak lagi bisa tertahan.“Aurora!” Suara Sean berteriak begitu menggelegar memasuki ruang kerjanya.“Sean?” Aurora terkejut kala Sean membentaknya. “K-Kau kenapa, Sean?” tanyanya kala melihat Sean mendekat ke arahnya.Sean mengger
Sean melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Dia sedikit memijat tengkuk lehernya kala merasakan sedikit lelah. Sesaat Sean melirik arloji—waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Ya, dia masih belum pulang ke rumah karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya. Ketika Sean hendak membaca email masuk, tatapanya teralih pada dering ponsel. Sean langsung mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Di sana tertera nomor Marsha, Ibunya yang tengah menghubunginya. Tanpa menunggu, Sean langsung menggeser tombol hijau. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ada apa, Mom?” jawab Sean datar kala panggilan terhubung.“Sean, kenapa hari ini Mommy susah sekali menghubungimu?” seru Marsha kesal dari seberang sana.Sean mengembuskan napas kasar. “Maaf, hari ini aku sibuk dengan pekerjaanku. Aku baru saja kembali ke ruang kerjaku. Tadi ponsel aku tinggal di ruang kerjaku.”“Kau masih di kantor? Ini sudah malam, Sean!”“Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, Mom.”“Astaga, Sean. Ka
Stella melangkah keluar dari kamar mandi, kini tubuhnya masih terbalut oleh bathrobe dan rambut yang masih dililit oleh handuk. Sesaat Stella mengedarkan pandanganya ke sekeliling, mencari keberadaan Sean. Namun, dia tidak menemukan suaminya itu.“Sean di mana?” guman Stella dengan nada sedikit kesal. Ya, hari ini Sean mengatakan akan menemaninya melihat kampus. Tidak mungkin suaminya itu berangkat ke kantor. Tapi jika bukan ke kantor, lalu Sean ke mana?“Sudahlah aku mengganti pakaianku lebih dulu saja.” Stella melangkah masuk menuju walk-in closetnya. Lebih baik baginya untuk bersiap-siap. Lagi pula Sean sudah berjanji akan menemaninya ke kampus. Tidak mungkin Sean mengingkari janjinya sendiri.Saat tiba di walk-in closet, Stella membuka lemari pakaiannya. Tampak berderet dress-dress indah tertata rapi di sana. Sungguh, tiap kali Stella berada di walk-in closetnya rasanya dia tidak percaya akan memiliki banyak barang mewah. Dulu, jika Stella ingin memiliki pakaian baru biasanya Stel