Malam kian larut. Deras hujan membasahi kota Jakarta. Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Beberapa kali terdengar suara petir yang cukup besar namun tak menghentikan laju mobil Sean. Tampak Sean yang begitu tenang seolah mengabaikan suara petir itu. Sesaat Sean melirik arlojinya, waktu menunjukan hampir pukul dua belas malam. Ya, kesibukan Sean hari ini membuatnya mau tidak mau harus pulang terlambat.Tak lama kemudian, Sean memebelokan mobilnya memasuki halaman parkir rumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya, Sean langsung turun dan melangkah masuk ke dalam rumah. Para pelayan dan penjaga yang melihat Sean datang, mereka langsung membungkukan badanya dan menyapa hormat pada Sean.“Apa istriku sudah tidur?” tanya Sean dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.“Sudah, Tuan. Tadi nyonya saya lihat sudah tidur,” jawab sang pelayan.Sean mengangguk singkat. Kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam, menuju kamarnya.Saat tiba di kamar, benar saja apa yang dikatakan o
Sean turun dari mobil, dia melempar kunci mobil ke pihak keamanan untuk memarkirkan mobilnya. Raut wajah dingin dan sorot mata tajam begitu terlihat jelas di iris mata cokelatnya. Bahkan saat banyak para karyawan yang menyapa saja diabaikan oleh Sean. Kini Sean melanjutkan langkahnya, menuju ruang kerjanya.“Tuan Sean.” Tomy, asisten Sean menundukan kepalanya. Menyapa dengan hormat kala Sean baru saja keluar dari lift pribadinya.“Di mana Aurora?” tanya Sean langsung tanpa basa basi. Sepasang mata tegas, layaknya mata elang yang begitu tajam.“Nona Aurora berada di ruang kerja anda, Tuan. Hari ini beliau datang lebih awal,” jawab Tomy.Tanpa lagi berucap, Sean melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang kerjanya. Raut wajahnya begitu menunjukan kemarahan yang tak lagi bisa tertahan.“Aurora!” Suara Sean berteriak begitu menggelegar memasuki ruang kerjanya.“Sean?” Aurora terkejut kala Sean membentaknya. “K-Kau kenapa, Sean?” tanyanya kala melihat Sean mendekat ke arahnya.Sean mengger
Sean melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Dia sedikit memijat tengkuk lehernya kala merasakan sedikit lelah. Sesaat Sean melirik arloji—waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Ya, dia masih belum pulang ke rumah karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya. Ketika Sean hendak membaca email masuk, tatapanya teralih pada dering ponsel. Sean langsung mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Di sana tertera nomor Marsha, Ibunya yang tengah menghubunginya. Tanpa menunggu, Sean langsung menggeser tombol hijau. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ada apa, Mom?” jawab Sean datar kala panggilan terhubung.“Sean, kenapa hari ini Mommy susah sekali menghubungimu?” seru Marsha kesal dari seberang sana.Sean mengembuskan napas kasar. “Maaf, hari ini aku sibuk dengan pekerjaanku. Aku baru saja kembali ke ruang kerjaku. Tadi ponsel aku tinggal di ruang kerjaku.”“Kau masih di kantor? Ini sudah malam, Sean!”“Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, Mom.”“Astaga, Sean. Ka
Stella melangkah keluar dari kamar mandi, kini tubuhnya masih terbalut oleh bathrobe dan rambut yang masih dililit oleh handuk. Sesaat Stella mengedarkan pandanganya ke sekeliling, mencari keberadaan Sean. Namun, dia tidak menemukan suaminya itu.“Sean di mana?” guman Stella dengan nada sedikit kesal. Ya, hari ini Sean mengatakan akan menemaninya melihat kampus. Tidak mungkin suaminya itu berangkat ke kantor. Tapi jika bukan ke kantor, lalu Sean ke mana?“Sudahlah aku mengganti pakaianku lebih dulu saja.” Stella melangkah masuk menuju walk-in closetnya. Lebih baik baginya untuk bersiap-siap. Lagi pula Sean sudah berjanji akan menemaninya ke kampus. Tidak mungkin Sean mengingkari janjinya sendiri.Saat tiba di walk-in closet, Stella membuka lemari pakaiannya. Tampak berderet dress-dress indah tertata rapi di sana. Sungguh, tiap kali Stella berada di walk-in closetnya rasanya dia tidak percaya akan memiliki banyak barang mewah. Dulu, jika Stella ingin memiliki pakaian baru biasanya Stel
“Sean, apa hari ini kau akan ke kantor?” tanya Stella seraya menatap Sean yang tengah mengganti kaos yang basah akibat tumpahan minuman oleh seorang wanita tadi.“Aku harus ke kantor karena hari ini aku memiliki meeting dengan Hans Winoto dan Alesya Richards,” jawab Sean datar.“Alesya Richards?” ulang Stella yang tak asing dengan nama ‘Richards’“Mulai sekarang aku tidak lagi meeting dengan Aurora. Aku sudah meminta project kerja sama ini diurus oleh Alesya Richards. Adik kandung Aurora.” Sean menghidupkan mobil, lalu menginjak gas. Kemudian melajukan mobilnya meninggalkan halaman parkir Raffles Design Institute.Ya, sejak pertemuan terakhirnya dengan Aurora. Sean memutuskan untuk segera meminta Aurora tidak menangani project kerja sama. Ke depannya, Sean harus bertemu dengan Alesya, adik kandung Aurora. Sean tidak mau lagi berurusan membahas kerja sama dengan Aurora yang tidak bisa menyingkirkan masalah pribadi.Raut wajah Stella tampak bingung mendengar apa yang dikatakan oleh Sean
“Selesai.” Stella tersenyum senang melihat masakan yang dia buat sudah tertata di atas meja makan. Ya, khusus hari ini Stella memasak cumi saos tiram dan udang bakar madu untuk Sean. Bahkan Stella tidak mengizinkan pelayan untuk membantunya dalam mengelola masakan. Pasalnya Stella ingin semua masakan dibuat oleh dirinya. Tanpa adanya bantuan dari siapa pun.Jujur, sebenarnya Stella tidak tahu apa makanan kesukaan Sean. Setiap hari Sean hanya memakan hidangan Italia, Perancis, atau barat yang disajikan pelayan. Hanya sesekali Sean dihidangkan masakan Indonesia. Yang Stella tahu, Sean cukup menyukai makanan pedas. Namun, pria itu tidak bisa memakan makanan yang terlalu pedas. Itu kenapa Stella memasak seafod dengan bumbu yang tidaklah pedas. Hanya menggunakan sambal matah yang dipadukan dengan udang bakar madu.“Nyonya,” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Stella seraya membungkukan tubuhnya.“Ya? Ada apa?” Stella mengalihkan pandangannya pada pelayan yang berdiri di sampingnya.
“Sean, kenapa kau belum berangkat bekerja? Apa hari ini kau berangkat siang?” Stella melangkah keluar dari walk-in closet. Tubuhnya kini sudah terbalut oleh dress berwarna biru laut lengan pendek dan rambut hitamnya yang digerai indah.Sean yang tengah fokus pada iPad di tangannya, dia mengalihkan pandangan saat Stella sudah duduk di sampingnya. “Aku berangkat sebentar lagi. Kau ingin pergi?”Stella mengangguk. “Iya, Sean. Aku ingin ke mall, Sean. Aku mau membeli buku tentang fashion designer.”“Kau mau aku antar?” tanya Sean menawarkan seraya menatap Stella.“Tidak perlu, aku berangkat dengan sopir saja. Apa hari ini kau akan pulang terlambat?” Stella kembali bertanya memastikan.“Mungkin iya. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum kita pergi Kanada,” jawab Sean sembari mengusap lembut pipi Stella. “Kau jangan pulang malam. Sebelum aku pulang kau sudah harus di rumah.”Stella mengangguk. “Iya, Sean.”Ya, Stella sudah tidak lagi les Bahasa Inggris. Karena terakhir dia sudah l
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Stella yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah.“Ada apa?” tanya Stella seraya menatap sang pelayan.“Nyonya, tadi Tuan Sean menelepon. Beliau bertanya kenapa ponsel Nyonya tidak aktif,” ujar sang pelayan dengan raut wajah sedikit cemas.Stella menghela napas dalam. “Ponsel dan dompetku hilang,” jawabnya dengan wajah yang mulai muram.Suara dering telepon rumah berbunyi. Dengan cepat sang pelayan langsung mengambil telepon tersebut dan menatap ke layar. Tertera nomor Sean di sana.“Nyonya, ini Tuan Sean menelepon lagi,” ujar sang pelayan seraya memberikan telepon pada Stella.“Kau pergilah. Biar aku yang menjawab telepon suamiku.” Stella berucap kala menerima telepon itu. Kini Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Stella.Stella mengatur napasnya sebentar, sebelum kemudian dia menerima telepon dan meletakannya ke telinganya.“Hallo, Sean?” sapa Stella saat panggilan terhubung.“Stella, kenapa ponselmu tidak ak
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al