Pelupuk mata Stella bergerak kala merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Stella menggeliat, mengerjapkan mata beberapa kali. Sesaat Stella mengedarkan pandangannya kala pagi sudah menyapa. Rasanya dia tertidur begitu pulas hingga tak menyadari bahwa hari sudah berganti.CeklekSuara pintu terbuka. Stella mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Seketika senyum di bibir Stella terukir melihat Sean melangkah masuk ke dalam seraya membawa nampan yang berisikan sarapan.“Sean? Kau dari mana?” tanya Stella saat Sean sudah tiba di hadapannya.“Aku mengambilkan sarapan untukmu.” San memberikan segelas susu hangat pada Stella. Kemudian Stella pun menerima dan meminumnya perlahan. Saat susu yang dia minum sudah hampir habis, Stella meletakan gelas yang di tangannya ke atas meja.“Makanlah ini.” Sean memberikan sandwich pada Stella. Pun Stella menerima sandwich itu dan memakannya perlahan.“Kenapa hanya aku yang sarapan, Sean? Kenapa kau tidak sarapan?” tanya Stella dengan tatapan lekat pa
Stella memijat pelan tengkuk lehernya kala baru saja selesai mempelajari tentang Fashion Designer. Ya, tadi Diandra, designer langganan ibu mertuanya membantu dirinya dalam mengenal dunia Fashion Designer. Jujur Stella memang masih belum begitu memahami. Ditambah sudah lama Stella tidak menggambar. Namun, Stella akan terus belajar. Paling tidak banyak hal yang Diandra beritahu padanya tentang dunia Fashion Designer.“Nyonya,” sapa seorang pelayan kala berpapasan dengan Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nyonya, Tuan Sean sudah menunggu di ruang makan. Ini sudah jam makan siang, Nyonya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Sudah jam makan siang?” Stella langsung mengalihkan pandangannya ke jam dinding—benar saja waktu menunjukan pukul dua belas siang. Bahkan Stella pun lupa kalau Sean hari ini bekerja di rumah. Terlalu fokus dengan materi pelajaran tentang Fashion Designer, dia sampai lupa waktu makan siang dan lupa kalau suamin
Menjelang keberangkatan ke Kanada, Stella disibukan dengan menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan di sana. Meski ada pelayan tapi tetap saja Stella tetap mempersiapkan barang-barangnya dan juga Sean. Ya, Stella sudah begitu menikmati hidupnya sebagai seorang istri. Setiap paginya bangun lebih awal, mempersiapkan segala keperluan Sean. Dan malam harinya Stella menunggu Sean pulang bekerja. Dulu Stella pikir, hidupnya bersam Sean akan seperti mayat hidup. Nyatanya Seanlah pria yang selalu membahagiakannya. Pria itu memiliki cara tersendiri membuat dirinya bahagia.“Nyonya Stella.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nyonya di depan ada Nyonya Besar Marsha datang,” ujar sang pelayan sontak membuat Stella terkejut.“Mommy Marsha datang?” ulang Stella memastikan.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Beliau sudah menunggu anda di depan.”Seketika senyum di bibir Stella terukir. “Baiklah, kau siapkan mi
Saat pagi menyapa, Stella sudah bangun dan memasukan barang-barang pribadinya dengan Sean ke dalam koper. Ya, hari ini adalah keberangkatannya ke Kanada. Pakaian pun sudah disiapkan oleh pelayan. Di Kanada sekarang tengah musim gugur. Perlengkapan jaket hangat sudah tersedia. Beberapa hari lalu, Stella sudah mencari tahu tentang suhu di Kanda lewat internet. Rupanya musim gugur di Kanada, membutuhkan jaket hangat karena cuaca akan dingin dengan suhu rata-rata sembilan derajat celcius. Bisa lebih, karena semua tergantung dengan keadaan cuaca.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Stella mengalihkan pandangannya dan langsung menginterupsi untuk masuk.“Nyonya.” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Stella seraya membawakan nampan yang berisikan makanan.Stella mengalihkan pandangannya, menatap pelayan. “Apa kau diminta oleh Sean untuk membawakanku sarapan?” tebaknya yang sudah menduga.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Tuan meminta saya membawakan makanan untuk anda, Nyonya.”
Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandar Udara Internasional Pearson Toronto. Stella yang tertidur di pesawat langsung membuka matanya kala merasakan getaran pesawat yang telah mendarat. Mata Stella masih sedikit mengantuk, tapi dia memilih menahan hingga nanti tiba di rumah Sean. Kini Sean menggenggam tangan Stella, membawanya keluar dari pesawat.Setibanya di lobby, Sean langsung merengkuh bahu Stella masuk ke dalam dekapannya masuk ke dalam mobil. Tampak beberapa media yang terang-terangan mengambil gambar Sean dan Stella. Raut wajah Stella menjadi sedikit pucat dan gugup. Di Jakarta, tidak sampai ada media yang terang-terangan mengambil gambarnya dengan Sean. Sedangkan saat tiba di Toronto, Sean sudah menjadi banyak incaran para media dengan rentetan pertanyaan. Para pengawal Sean pun dengan sigap menghadang para media yang hendak mewawancarai Sean.Hingga saat mobil yang membawa Sean dan Stella meninggalkan lobby bandara, Stella mulai bernapas lega. Sesaat St
Keesokan hari, Stella terbangun dari tidurnya kala mencium aroma makanan. Pelupuk matanya bergerak, dia mengerjap beberapa kali. Sesaat kening Stella berkerut menatap dua orang pelayan menyajikan makan ke atas meja.“Nyonya, maaf saya membuat anda terbangun,” ucap sang pelayan dengan sopan seraya menundukan kepalanya di hadapan Stella.“Ah, tidak apa-apa. Aku juga bangunnya terlambat,” jawab Stella serak suara khas baru bangun tidur. Didetik selanjutnya Stella menoleh ke samping, namun dia mendapati ranjang Sean sudah kosong. “Apa kau melihat suamiku?” tanyanya pada sang pelayan.“Nyonya, jam segini Tuan Sean sedang berolah raga,” ujar sang pelayan memberitahu.“Berolah raga?” Stella mengalihkan pandangannya pada jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Ya, Stella tidak menyangka Sean tidak sedang bekerja saja bangunnya di awal sekali.“Iya, Nyonya. Tuan Sean sedang berolah raga,” jawab sang pelayan lagi.Stella mengembuskan napas pelan. “Baiklah, nanti aku akan menyusulnya. Kau
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lampu jalanan menghiasi di setiap sudut kota Toronto membuat suasana malam hari begitu indah. Ya, terlebih Kanada adalah negara kedua yang terkenal dengan keindahan alamnya. Membuat semua orang yang terutama yang menyukai keindahan alam sangat terpana dengan keindahan negara ini.Sepanjang perjalanan, Stella tak henti menatap keluar jendela. Membandingkan dengan Jakarta yang terkenal padat. Sedangkan Toronto sama seperti saat Stella berlibur di Venice. Namun, meski Jakarta terkenal dengan macet dan tingkat penduduk yang tinggi tetap saja Stella menyukai tinggal di Kota di mana dia lahir dan dibesarkan.Sesekali Stella menatap Sean yang tengah fokus melajukan mobil. Stella ingin sekali bertanya ke mana Sean akan membawanya. Namun, pasti suaminya itu akan menjawab nanti dirinya akan tahu. Itu sama saja lebih baik tidak perlu bertanya. Mau tidak mau Stella sekarang menunggu sampai dirinya tiba di tempat Sean akan membawanya.“Stella,” pang
Stella menatap cermin dengan wajah yang sumringah bahagia melihat kalung dengan liontin berlian berukiran “S” yang terpasang di lehernya. Dalam hidup, ini pertama kali Stella mendapatkan hadiah ulang tahun. Dulu, setiap ada yang bertanya tentang ulang tahunnya maka Stella akan memilih menghindar dari pertanyaan itu. Bahkan jika saja Sean bertanya kapan ulang tahunnya, maka Stella pun akan memilih menghindar. Kenyataannya Sean tanpa harus bertanya, pria itu sudah tahu kapan ulang tahunnya. Sungguh, Stella tidak menyangka akan mendapatkan hadiah ulang tahun dari Sean yang begitu romantis.Tadi, Stella pun makan malam di taman dengan diiringi alunan musik instrument yang membuat hatinya menghangat. Ya, ini adalah perayaan ulang tahun pertama sekaligus terbaik. Tidak ada yang Stella inginkan diulang tahunnya. Hanya satu yang Stella harapkan yaitu dirinya selalu berada di sisi Sean, pria yang begitu dicintai olehnya.Sean berdiri di ambang pintu, tatapannya terus menatap Stella yang tengah
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al