Stella menatap cermin dengan wajah yang sumringah bahagia melihat kalung dengan liontin berlian berukiran “S” yang terpasang di lehernya. Dalam hidup, ini pertama kali Stella mendapatkan hadiah ulang tahun. Dulu, setiap ada yang bertanya tentang ulang tahunnya maka Stella akan memilih menghindar dari pertanyaan itu. Bahkan jika saja Sean bertanya kapan ulang tahunnya, maka Stella pun akan memilih menghindar. Kenyataannya Sean tanpa harus bertanya, pria itu sudah tahu kapan ulang tahunnya. Sungguh, Stella tidak menyangka akan mendapatkan hadiah ulang tahun dari Sean yang begitu romantis.Tadi, Stella pun makan malam di taman dengan diiringi alunan musik instrument yang membuat hatinya menghangat. Ya, ini adalah perayaan ulang tahun pertama sekaligus terbaik. Tidak ada yang Stella inginkan diulang tahunnya. Hanya satu yang Stella harapkan yaitu dirinya selalu berada di sisi Sean, pria yang begitu dicintai olehnya.Sean berdiri di ambang pintu, tatapannya terus menatap Stella yang tengah
“Sean, hari ini kita akan pergi ke mana? Tidak mungkin hanya di rumah saja, kan? Aku ingin tahu banyak tentang Toronto seperti aku tahu tentang Venice, Sean,” ujar Stella nada yang manja, melangkah menghampiri Sean yang tengah membaca koran. Stella duduk di samping sang suami dan langsung menyandarkan kepalanya di lengan sang suami.Sean yang melihat Stella bergelayut manja di lengannya, dia langsung melipat koran dan meletakannya ke atas meja. “Kau ingin pergi ke suatu tempat?” tanyanya sambil mengusap puncak kepala Stella.Stella mengangguk dengan bibir tertekuk. Kemudian menatap Sean. “Iya, aku ingin jalan-jalan, Sean.”“Alright, aku akan membawamu ke suatu tempat. Kau bersiaplah. Kita akan naik fery. Ini adalah salah satu tempat yang aku sukai sejak kecil.” Sean berucap seraya mengecupi kening Stella.“Naik fery? Kenapa harus menyeberang lautan, Sean? Kenapa tidak yang dekat saja?” Stella mengerutkan keningnya, menatap bingung Sean.“Karena aku ingin menunjukan padamu salah satu t
“Sean, aku tidak mau belajar sepeda. Nanti aku jatuh, Sean. Dulu aku pernah jatuh naik sepeda masuk ke dalam selokan. Aku tidak mau lagi, Sean. Aku takut.” Stella berucap dengan bibir tertekuk menolak permintaan Sean yang memintanya untuk belajar sepeda. Bukannya tidak mau, tapi lebih tepatnya Stella tidak ingin kejadian saat dulu belajar sepeda harus terulang kembali.Sean menahan tawa mendengar Stella jatuh ke dalam selokan. Bayangannya memikirkan bagaimana wajah istri kecilnya itu yang terjatuh ke dalam selokan. Well, tentu saja sangat menggemaskan.“Sean, kau mentertawaiku, ya?” Stella menatap Sean kesal. Meski Sean menahan tawanya, dia sudah melihat ekspresi wajah sang suami yang ingin sekali tertawa.“Tidak.” Sean mengecup hidung Stella gemas. “Tujuanku mengajarimu belajar bersepeda karena aku ingin kau mampu menguasai segalanya.”Stella menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. “Tapi, Sean—”“Ini perintah, Stella. Bukan permintaan,” jawab Sean menekankan dan tidak suka dib
Pagi hari, Stella sudah bersiap-siap. Karena hari ini Sean akan mengajaknya ke Alberta. Sebuah kota di luar Toronto yang membutuhkan waktu kurang lebih empat jam penerbangan. Tentu saja Stella menyambut antusias liburannya kali ini. Pasalnya Kanada adalah negara yang benar-benar menyajikan keindahan alam. Kemarin, Stella pun mulai mencari-cari di internet tentang Alberta. Kota itu sangat indah. Banyak gunung dan danau yang mengagumkan di sana.“Nyonya,” seorang pelayan melangkah menghampiri Stella yang tengah bersiap-siap.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nyonya di depan ada Tuan Ken, sepupu Tuan Sean,” ucap sang pelayan memberitahu.“Ken?” Kening Stella berkerut, raut wajahnya tampak bingung. Dalam pikiran Stella berusaha mengingat nama sepupunya Sean. Pasalnya terakhir Sean mengatakan cukup memiliki banyak sepupu dekat. Dan Stella kerap kali lupa jika hanya bertemu satu kali saja. Satu-satunya yang Stella ingat adalah Kelvin, sepupu Sean yang sering seka
Tanpa terasa sudah satu minggu Sean dan Stella berada di Toronto. Besok waktunya Sean dan Stella untuk segera kembali ke Jakarta. Banyaknya pekerjaan Sean yang tidak bisa ditinggal membuat Sean tidak bisa berlama-lama meninggalkan Jakarta. Meski kantor pusat Geovan Group berada di Toronto tapi Sean memiliki banyak tanggung jawab di Jakarta. Beruntung dua hari lalu Sean sudah membawa Stella berbelanja. Paling tidak Stella sudah membelanjakan oleh-oleh untuk keluarganya di panti dan keluarga Sean yang ada di Jakarta.Tidak hanya itu, kemarin Sean juga sudah membawa Stella berkunjung ke rumah kedua orang tuanya. Dan sekarang waktunya Sean membawa Stella ke rumah kakek dan neneknya sebelum kembali ke Jakarta. Ya, Stella pun menyambut bahagia kala Sean mengatakan akan membawanya pada kakek dan nenek suaminya itu. Hari ini Stella khusus membuatkan cake buataannya sendiri untuk kakek dan nenek Sean. Jujur saja, Stella tidak tahu harus membawa apa. Karena Stella yakin kakek dan nenek Sean mem
Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandara Udara Internasional Halim Perdana Kusuma. Setelah perjalanan jauh akhirnya Sean dan Stella tiba di Jakarta. Tampak Stella yang begitu kelelahan. Bagaimana tidak? Selama di Toronto Sean dan Stella selalu berjalan-jalan. Wajar saja Stella begitu terlihat kelelahan. Terlebih jarak Jakarta ke Toronto tidaklah dekat.Kini Sean membawa Stella turun dari pesawat dan segera menuju sopir yang sudah menunggunya di lobby. Stella sejak tadi hanya terus memeluk lengan Sean, menyandarkan kepalanya di lengan sang suami. Ya, Stella ingin segera tiba di rumah dan beristirahat. Melakukan perjalanan jauh benar-benar membuatnya kelelahan.Di lobby, Sean dan Stella masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama sang sopir mulai melajukan mobilnya meninggalkan lobby bandara.“Sean, apa hari ini kau akan langsung ke perusahaan?” tanya Stella dengan mata yang terpejam. Dia menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami.“Tidak, aku akan ke perusahaa
Saat pagi menyapa, Stella sudah bersiap-siap dengan wajah yang sumiringah bahagia. Ya, hari ini adalah hati pertamanya kuliah. Tentu saja Stella begitu antusias. Sejak dulu menjadi seorang Fashion Designer adalah impiannya. Sungguh, Stella tidak pernah menyangka akan bisa melanjutkan kuliah. Benar apa yang dikatakan oleh Sean. Stella masih mengingat jelas saat Sean mengatakan untuk jangan pernah takut bermimpi. Banyak hal yang Sean ajarkan pada Stella. Termasuk untuk tidak menyerah. Nyatanya semesta mendukung apa yang menjadi mimpi Stella. Bukan hanya mimpi menjadi seorang Fashion Designer tapi mimpi memiliki sosok pria yang mencintainya layaknya kisah cinta di negeri dongeng.“Buku sudah.”“Ponsel sudah.”“Sketchbook.”“Dompet sudah.”“Sepertinya sudah semua.” Stella bergumam kala memastikan barang-barang yang dibutuhkan sudah semuanya masuk ke dalam tas.“Masih ada yang tertinggal. Kau belum membawa semua barang-barang kau butuhkan.” Suara Sean saat memasuki kamar. Reflek, Stella me
“R-Raynold?”Tenggorokan Stella tercekat. Lidahnya begitu kelu. Terlebih saat melihat Raynold kini berdiri di podium. Ya, pria itu pun melihat dirinya. Mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan Stella mengisyaratkan bahwa dirinya terkejut. Pasalnya, Raynold tidak memberitahu akan membeli saham di Raffles Design Institute. Kepala Stella menjadi pusing, kalau sampai Sean tahu ini sama saja akan menjadi masalah baru di antara mereka.“Stella, kau mengenal pemilik saham terbaru di Raffles Group?” bisik Alika yang menyadari Stella terus menatap Raynold.“Ya, aku mengenalnya,” jawab Stella datar.“Selamat pagi, maaf membuat kalian harus berkumpul di sini. Perkenalkan aku Raynold Sanjaya. Aku salah satu pemegang saham baru di Raffles Group. Tujuanku memanggil kalian di sini, hanya ingin menyapa kalian. Mengenal para mahasiswa dan mahasiswi dari Raffles Design Institute. Bagi mahasiswa dan mahasiwi baru selamat datang di Raffles Design Institute. Besar harapannya kalian lulus dan menjadi