Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandara Udara Internasional Halim Perdana Kusuma. Setelah perjalanan jauh akhirnya Sean dan Stella tiba di Jakarta. Tampak Stella yang begitu kelelahan. Bagaimana tidak? Selama di Toronto Sean dan Stella selalu berjalan-jalan. Wajar saja Stella begitu terlihat kelelahan. Terlebih jarak Jakarta ke Toronto tidaklah dekat.Kini Sean membawa Stella turun dari pesawat dan segera menuju sopir yang sudah menunggunya di lobby. Stella sejak tadi hanya terus memeluk lengan Sean, menyandarkan kepalanya di lengan sang suami. Ya, Stella ingin segera tiba di rumah dan beristirahat. Melakukan perjalanan jauh benar-benar membuatnya kelelahan.Di lobby, Sean dan Stella masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama sang sopir mulai melajukan mobilnya meninggalkan lobby bandara.“Sean, apa hari ini kau akan langsung ke perusahaan?” tanya Stella dengan mata yang terpejam. Dia menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami.“Tidak, aku akan ke perusahaa
Saat pagi menyapa, Stella sudah bersiap-siap dengan wajah yang sumiringah bahagia. Ya, hari ini adalah hati pertamanya kuliah. Tentu saja Stella begitu antusias. Sejak dulu menjadi seorang Fashion Designer adalah impiannya. Sungguh, Stella tidak pernah menyangka akan bisa melanjutkan kuliah. Benar apa yang dikatakan oleh Sean. Stella masih mengingat jelas saat Sean mengatakan untuk jangan pernah takut bermimpi. Banyak hal yang Sean ajarkan pada Stella. Termasuk untuk tidak menyerah. Nyatanya semesta mendukung apa yang menjadi mimpi Stella. Bukan hanya mimpi menjadi seorang Fashion Designer tapi mimpi memiliki sosok pria yang mencintainya layaknya kisah cinta di negeri dongeng.“Buku sudah.”“Ponsel sudah.”“Sketchbook.”“Dompet sudah.”“Sepertinya sudah semua.” Stella bergumam kala memastikan barang-barang yang dibutuhkan sudah semuanya masuk ke dalam tas.“Masih ada yang tertinggal. Kau belum membawa semua barang-barang kau butuhkan.” Suara Sean saat memasuki kamar. Reflek, Stella me
“R-Raynold?”Tenggorokan Stella tercekat. Lidahnya begitu kelu. Terlebih saat melihat Raynold kini berdiri di podium. Ya, pria itu pun melihat dirinya. Mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan Stella mengisyaratkan bahwa dirinya terkejut. Pasalnya, Raynold tidak memberitahu akan membeli saham di Raffles Design Institute. Kepala Stella menjadi pusing, kalau sampai Sean tahu ini sama saja akan menjadi masalah baru di antara mereka.“Stella, kau mengenal pemilik saham terbaru di Raffles Group?” bisik Alika yang menyadari Stella terus menatap Raynold.“Ya, aku mengenalnya,” jawab Stella datar.“Selamat pagi, maaf membuat kalian harus berkumpul di sini. Perkenalkan aku Raynold Sanjaya. Aku salah satu pemegang saham baru di Raffles Group. Tujuanku memanggil kalian di sini, hanya ingin menyapa kalian. Mengenal para mahasiswa dan mahasiswi dari Raffles Design Institute. Bagi mahasiswa dan mahasiwi baru selamat datang di Raffles Design Institute. Besar harapannya kalian lulus dan menjadi
Stella duduk di sofa kamar, dia mengambil remote televisi dan menghidupkannya. Ya, merasa bosan di rumah seperti biasa Stella akan memilih menonton drama kesukannya. Sesaat Stella melirik jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh malam. Namun Sean masih belum juga pulang ke rumah. Sebenarnya Stella ingin sekali menghubungi sang suami menanyakan kapan suaminya itu pulang. Tapi Stella tidak ingin egois. Stella tahu Sean masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Satu minggu di Kanada tentu saja membuat Sean banyak menunda pekerjaan. Padahal tujuan Sean mengajak Stella ke Kanada hanya karena ingin merayakan ulang tahun dirinya. Sungguh, jika mengingat itu Stella benar-benar terharu dengan apa yang dilakukan sang suami.“Nyonya,” Seorang pelayan membawakan nampan berisikan makanan.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Ini saya membuat chocolate cake, Nyonya. Apa anda ingin mencobanya?” tawar sang pelayan dnegan sopan.Stella tersenyum. “Tentu, aku ingin mencobanya. Le
“Sean, hari ini apa kau akan pulang terlambat?” tanya Stella seraya membantu Sean memasang dasi. Ya, pagi ini Stella tentu bangun lebih awal dari Sean. Sebelum berangkat ke kampus Stela harus menyiapkan segala kebutuhan sang suami. Dia tidak mungkin membiarkan Sean dibantu oleh pelayan. Meski sebenarnya Sean tidak pernah ingin mengganggu Stella. Namun, sebagai seorang istri Stella tentu tahu apa saja yang menjadi tugasnya.“Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku memiliki meeting hari ini. Mungkin aku akan pulang malam. Kau jangan menungguku. Tidurlah duluan.” Sean mengecup bibir Stella singkat. “Pagi ini kau berangkat denganku saja. Aku masih memiliki waktu untuk mengantarmu.”“Kau yakin, Sean? Aku tidak mau mengganggumu. Aku bisa diantar sopir saja,” ujar Stella yang tidak mau mengganggu waktu suaminya.“Tidak mungkin kau menggangguku. Lagi pula aku masih memiliki waktu. Meeting di kantorku satu jam lagi,” jawab Sean seraya mengelus pipi Stella. “Yasudah kita berangkat sekar
“Tuan Raynold.” Wade, asisten Raynold menyapa kala Raynold baru saja keluar dari lift dan hendak menuju ruang kerjanya.“Ada apa?” Raynold mengalihkan pandangannya, menatap asistennya yang berdiri di hadapannya.“Ada yang ingin saya sampaikan pada anda, Tuan,” ujar Wade memberitahu.“Kita bicara di ruang kerjaku,” ucap Raynold dingin.Wade menganggukan kepalanya. “Baik, Tuan.”Kini Raynold melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang kerjanya, diikuti oleh Wade dari belakang.“Katakan ada apa?” tanya Raynold kala tiba di ruang kerjanya. Dia duduk di kursi kebesarannya seraya menyandarkan punggungnya.“Saya baru mendapatkan informasi besok Raffles Design Institute akan kedatangan salah satu perancang busana terkenal dari Italia. Beliau akan mengadakan seminar. Dan nantinya seluruh mahasiwa lama maupun mahasiswa baru turut hadir dalam acara seminar itu. Tujuan saya memberitahu anda karena pihak mereka menginginkan anda turut hadir dalam acar seminar itu, Tuan,” ujar Wade memberitahu tuju
“Stella, aku tidak bisa mengantarmu pagi ini. Kau diantar oleh sopir, ya? Mungkin malam ini aku juga akan pulang telat. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan.” Sean melangkah mendekat ke arah Stella yang tengah sarapan. Ya, pagi ini Sean meminta pelayan membawakan sarapan ke dalam kamar mereka. Sean malas untuk sarapan di ruang makan.“Apa kau langsung ingin berangkat sekarang?” tanya Stella sambil menatap Sean yang berdiri di hadapannya.“Ya, aku harus berangkat sekarang.” Sean mengecup kening Stella, dia mengambil kunci mobil yang ada di atas meja dan melanjutkan ucapannya, “Kirim pesan padaku jika kau sudah selesai seminar.”Stella mengangguk. “Iya, Sean.”Kini Sean melangkah keluar kamar, meninggalkan Stella yang masih menikmati sarapannya. Saat Sean baru saja keluar, dering ponsel Stella berbunyi. Stella langsung mengambil ponselnya itu, dan menatap ke layar. Stella terdiam sesaat melihat nomor telepon Raynold muncul di layar ponselnya. Stella tidak langung menjawab, hingga be
“Meeting selesai. Selanjutnya aku harap tidak ada lagi anggaran dana yang berubah. Ini menunjukan tidak mampu bekerja professional jika menentukan anggaran saja salah,” ucap Sean dingin dengan sorot mata tegas pada Direktur anggaran di perusahaannya. Para jajaran direktur langsung menundukan kepala mereka, tak berani menatap Sean yang tengah marah.Sean tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun, dia langsung berjalan meninggalkan ruang meeting. Para jajaran Direktur langsung bangkit berdiri, membungkukan tubuhnya menghormati Sean yang keluar dari ruang meeting.“Tuan Sean.” Tomy berlari cepat menghampiri Sean dengan raut wajah yang panik dan tergesa-gesa.“Ada apa kau berlari seperti itu?” tanya Sean dingin seraya menautkan alisnya.“T-Tuan, apa anda sudah melihat berita pagi ini?” Tomy berkata dengan begitu gelisah dan panik.“Berita apa?” Raut wajah Sean berubah, tatapan tajamnya menuntut agar Tomy segera menjelaskan padanya.Tomy menelan salivanya susah payah. “Ini berita tentang Nyo