“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Seorang gadis berlari mengejar mobil yang baru saja terparkir di area panti asuhannya. Raut wajah gadis itu sangat pucat, dan rambut yang sedikit berantakan. Akan tetapi, meski berpenampilan seperti itu, nyatanya tetap membuat gadis itu terlihat sangat antik. Gadis itu menghampiri seorang pria bersetelan jas mahal yang baru saja turun dari mobil.“Tuan.” Gadis itu berucap dengan nada bergetar ketakutan pada pria di hadapannya.Pria itu hanya melihat gadis itu sekilas, wajahnya yang arogan dan tatapan penuh intimidasi begitu terlihat di wajah tampan pria itu. Sorot mata tegas berhasil membuat gadis itu semakin ketakutan.“Siapa kau?!” Pria itu bertanya dengan suara dingin dan terdengar menusuk ke indra pendengarannya.“Tuan, saya—”“Jika kau memiliki urusan, kau bisa berbicara dengan asistenku.” Pria itu memotong ucapannya dengan tegas. Lantas, melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu, tak memedulikan gadis yang menghampirinya.“Tuan Sean, tunggu.” Gadis itu berteriak memanggil n
Raut wajah Stella memucat mendengar pertanyaan Sean. Bulu kuduknya langsung merinding akibat rasa takut yang menyerang dirinya. Dia menunduk dan bahunya bergetar ketakutan. Terlebih Sean mendekat ke arahnya.Pria itu menatapnya bagaikan singa kelaparan. Begitu tajam, dingin dan seolah akan menerkam mangsanya. Sepasang mata tajam yang terus terarah padanya, membuat Stella bagaikan seekor kucing yang menciut ketika diburu.“Kenapa kau hanya diam?” Sean menatap gadis itu yang duduk di hadapannya. “Angkat wajahmu ketika lawan bicaramu berbicara. Aku rasa kau pasti diajarkan bagaimana menjaga sopan santunmu, bukan?” lanjutnya dengan sarkas.Stella menelan salivanya susah payah. Dia memberanikan mengangkat wajahnya, menatap wajah Sean. Tatapan mata pria itu sangat tajam, akan tetapi memiliki pesona yang luar biasa kuat. Sean memiliki tubuh tegap, tinggi, dan gagah membuat Stella mendongakkan wajahnya ke atas.Stella mengakui pria di hadapannya ini sangat tampan. Matanya yang tajam bagaikan
Stella menatap lirih koper di hadapannya dengan pikiran yang menerawang ke depan. Raut wajah yang tampak muram. Dia terus memikirkan apa yang telah dia putuskan. Stella berharap ini semua adalah mimpi.Berkali-kali Stella meyakinkan ini tidak nyata. Namun tidak, ini semua kenyataan yang harus dia hadapi. Dia tidak menyangka dirinya berani mengambil keputusan itu. Sebuah keputusan yang pasti akan dia sesali seumur hidupnya. Dia tidak memiliki pilihan lain. Jika Stella egois, akan banyak saudaranya yang akan menderita.“Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini. Cepat keluar.” Sean berkata begitu dingin, dan menusuk di indra pendengaran Stella.“Kau mau membawaku ke mana?” tanya Stella dengan suara pelan, dan lemah.“Kau masih bertanya aku membawamu ke mana, setelah kau menyetujui apa penawaran yang aku ajukan?” Sebelah alis Sean terangkat, dia tersenyum misterius pada Stella. “Kau tidak memiliki hak untuk bertanya.”Mata Stella sudah bengkak akibat terus menangis. Entah, dia tidak
Stella menggeliat, saat merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, dan mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Beberapa saat, Stella masih tampak asing berada di dalam kamar barunya. Jika biasanya Stella terbangun dengan banyaknya saudara-saudra di panti, kali ini dia terbangun di sebuah kamar megah, dan ranjang yang empuk.Stella terdiam sejenak mengingat kejadian kemarin. Kejadian di mana dirinya telah menyerahkan hidupnya pada pria kaya yang baru saja dia kenal. Stella telah berada di dalam sangkar emasnya. Stella mengatur napasnya, berusaha untuk menenangkan diri. Dia telah meneguhkan apa yang telah menjadi pilihannya. Perlahan, dia bangkit dari ranjang, dan langsung membersihkan diri, melangkahkan kakinya keluar kamar.“Selamat pagi, Nona.” Suara pelayan menyapa, sontak membuat Stella yang baru saja keluar kamar terkejut.“Maaf, Nona jika saya mengejutkan Anda.” Sang pelayan menundukkan kepalanya.“T-tidak. Kau tidak perlu meminta maaf
“Masuklah ke kamarmu. Lain kali, jika kau ingin berkeliling rumah, minta pelayan untuk menemanimu. Jangan lagi pergi sendiri berkeliling. Aku tidak bisa menjamin kau selamat kalau kau bertemu lagi dengan hewan peliharaanku yang lainnya.” Sean berucap dengan nada tegas. Pria itu seolah sengaja mengatakan itu agar gadis di hadapannya tidak berkeliling sendiri. Mengingat gadis kecil di hadapannya ini adalah gadis penakut.Wajah Stella memucat kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Pikirannya memikirkan kalimat Sean yang mengatakan tidak bisa menjamin dirinya selamat kalau bertemu lagi dengan hewan peliharaan pria itu. Nyali Stella menciut, sungguh Stella tidak tahu siapa sebenarnya pria yang ada di hadapannya ini.“K-kau m-memiliki hewan peliharaan lain?” Stella memberanikan diri bertanya. Meski takut, tapi rasa penasaran dalam dirinya, sangatlah berkobar. Terlebih dia tinggal bersama dengan pria itu.“Menurutmu?” Sean menyunggingkan senyuman misterius, dan mencemooh pada gadis pen