Seorang gadis berlari mengejar mobil yang baru saja terparkir di area panti asuhannya. Raut wajah gadis itu sangat pucat, dan rambut yang sedikit berantakan. Akan tetapi, meski berpenampilan seperti itu, nyatanya tetap membuat gadis itu terlihat sangat antik. Gadis itu menghampiri seorang pria bersetelan jas mahal yang baru saja turun dari mobil.
“Tuan.” Gadis itu berucap dengan nada bergetar ketakutan pada pria di hadapannya.
Pria itu hanya melihat gadis itu sekilas, wajahnya yang arogan dan tatapan penuh intimidasi begitu terlihat di wajah tampan pria itu. Sorot mata tegas berhasil membuat gadis itu semakin ketakutan.
“Siapa kau?!” Pria itu bertanya dengan suara dingin dan terdengar menusuk ke indra pendengarannya.
“Tuan, saya—”
“Jika kau memiliki urusan, kau bisa berbicara dengan asistenku.” Pria itu memotong ucapannya dengan tegas. Lantas, melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu, tak memedulikan gadis yang menghampirinya.
“Tuan Sean, tunggu.” Gadis itu berteriak memanggil nama pria itu dengan cukup keras, hingga membuat langkah pria itu terhenti.
Pria itu terdiam, dan masih memunggungi gadis yang memanggil namanya. Didetik selanjutnya, pria itu berbalik, menatap dingin gadis itu. Aura wajah bengin dan kejam begitu terlihat jelas.
“Dari mana kau tahu namaku?” Sean bertanya dengan tatapan begitu dingin, menatap gadis yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu menghentikan langkahnya, karena cukup tersentak di kala gadis asing itu mengetahui namanya.
Bahu gadis itu sedikit bergetar akibat rasa takutnya. Akan tetapi, dia berusaha keras mengatasi kegugupan yang melanda dalam dirinya. “T-Tuan Sean. Nama saya Stella. Saya mohon, jangan menggusur panti asuhan ini, Tuan. Anda bisa mencari tempat lain. Kami sudah lama tinggal di sini, Tuan.” Gadis itu berucap lirih. Matanya mulai memerah, menatap Sean penuh dengan permohonan.
Sean terdiam sebentar mendengar permintaan gadis bernama Stella. Sepasang iris mata cokelatnya menatap penampilan gadis yang berdiri di hadapannya itu. Gadis itu berpenampilan sedikit berantakan. Kulitnya putih pucat dan iris mata abu-abu yang membuatnya menebak gadis itu memiliki darah campuran. Hanya saja cukup aneh, jika darah campuran tinggal di panti asuhan.
“Kau tinggal di panti asuhan ini?” Sean bertanya guna memastikan, tentang apa yang ada di pikirannya.
Stella mengangguk pelan dengan tatapan begitu memohon pada Sean. “Benar, Tuan. Saya tinggal di sini. Saya mohon, jangan menggusur panti asuhan ini. Anda bisa mencari tempat yang lainnya. Tapi tidak dengan panti asuhan ini, Tuan.”
Sean terus menatap dingin Stella. “Aku telah membayar dengan harga yang pantas untuk bangunan di panti asuhan ini. Dengan apa yang aku lakukan, itu artinya aku sudah melakukan kompensasi besar. Aku tidak mengusir kalian. Kau dan saudara pantimu, bisa mencari tempat yang lain dari uang yang aku berikan.”
Mata Stella memerah, akibat air mata yang sudah hampir berlinang. “Tuan, saya mohon. Anda memiliki segalanya. Anda pasti bisa mendapatkan lahan lain. Kami sudah lama menempati tempat ini, Tuan.”
Sean mengembuskan napas kasar mendengar permohonan Stella. Sekelebat ingatannya, teringat ketika mendengar gadis di hadapannya ini memohon padanya. Kala itu asistennya mengatakan ada seorang gadis yang pernah memaksa bertemu dengannya. Namun, tentu saja Sean tidak pernah mau bertemu dengan sembarang orang. Pria tampan itu yakin bahwa gadis yang ingin bertemunya pasti Stella.
“Lebih baik kau dan saudaramu yang ada di panti segera berkemas, dan meninggalkan panti itu.” Sean menegaskan kembali keputusannya, dia melanjutkan langkahnya, mengabaikan permintaan gadis itu. Nadanya acuh, dan tidak peduli.
Bulir air mata Stella mulai menetes jatuh membasahi pipinya. Namun, itu tidak akan membuat dirinya menyerah. Gadis itu kembali mengejar Sean. Saat dia hendak menyentuh lengan Sean, seorang pengawal bertubuh besar menghadangnya. Pengawal itu mendorong tubuh Stella, tingga tersungkur di lantai.
“Awww—” Stella menjerit kesakitan. Dress yang dipakainya robek, akibat terkena batu. Paha putih mulusnya terekspos. Bahkan Stella harus menutupi pahanya itu dengan tangannya.
Sean berbalik, menatap Stella yang tersungkur di lantai. Tatapannya, menatap tegas dan lekat kaki wanita itu yang terluka. Ya, tentu saja gadis itu terluka. Tanah disekitar panti asuhan ini sangat buruk. Masih banyak batu-batu di sekitarnya. Ditambah pakaian yang dipakai gadis itu adalah dress yang memiliki bahan tipis.
Sean mengibaskan tangannya, meminta anak buahnya untuk segera mundur dan menghilang dari pandangannya. Pria itu mendekat, dan mengulurkan tangannya membantu gadis itu berdiri. Awalnya Stella ragu untuk menerima uluran tangan Sean, namun Stella pun tidak memiliki pilihan. Kakinya terluka, Stella tidak bisa berdiri sendiri.
“Terima kasih, Tuan.” Stella menerima uluran tangan Sean, dia bangkit berdiri dengan lutut yang kini dipenuhi oleh darah.
“Ikut aku.” Sean berucap dingin. Lantas, pria itu melangkah menuju salah satu ruangan kosong—yang biasa dia pakai jika berkunjung ke panti asuhan ini.
Stella mengerjap beberapa kali, sedikit terkejut dengan apa yang diucapkan Sean. Tepat ketika Sean sudah lebih dulu meninggalkannya—Stella langsung berjalan cepat seraya menahan sakit pada lututnya yang terluka, menyusul Sean.
“Duduk,” titah Sean kala dia dan Stella sudah berada di sebuah ruangan.
Stella menurut, dan duduk di sofa dengan pelan. Raut wajahnya semakin ketakutan saat berada di dalam sebuah ruangan berdua dengan Sean. Entah kenapa, jantungnya berdebar tak karuan, seakan ingin lompat dari tempatnya.
“Siapa tadi namamu?” Sean bertanya seraya menghunuskan tatapan dingin di sorot mata arogannya.
“Stella. Namaku Stella Regina.” Stella menelan salivanya ketika menyebutkan namanya. Harusnya Stella tidak takut, tapi nyatanya tatapan mata tajam Sean, membuat nyalinya menciut.
“Kau memiliki nama yang indah.” Sean memuji namanya. Nada bicaranya menunjukkan kearogannya. Pria itu tak lepas memberikan tatapan yang begitu lekat, mengamati seksama gadis itu.
Stella tersenyum gugup. “Terima kasih, Tuan.”
“Kenapa kau masih bersikeras berbicara denganku?”
“Karena aku dan saudaraku di panti, tidak ingin pindah dari panti asuhan ini, Tuan. Panti asuhan ini rumah kami. Banyak kenangan yang kami miliki di sini.”
“Kau bisa mencari tempat baru, membuat kenangan baru di sana.”
Stella memberanikan diri menatap Sean. “Tempat baru, tetap tidak akan sama dengan tempat lama, Tuan. Kami dibesarkan di sini. Hati kami berada di sini.”
Sean terdiam sebentar, memberikan tatapan tajam dan menusuk pada Stella. “Sayangnya, melakukan permohonan padaku hanyalah percuma. Keputusan yang aku ambil, tidak ada satu pun yang bisa mengubahnya.”
Stella menundukkan kepalanya. Dia sudah tahu ini akan terjadi. Sudah sejak satu minggu yang lalu, Stella berusaha bertemu dengan Sean. Akan tetapi, tentu saja tidak mudah baginya untuk menemui pria itu.
Setiap kali Stella berusaha untuk bertemu dengan Sean, maka anak buah pria itu akan menghadang. Hari ini, Stella begitu beruntung bisa bertemu dengan Sean. Stella menunggu hingga tiga jam lamanya di dekat area parkiran. Itu kenapa saat Stella melihat mobil Sean, dia langsung berlari menghampiri pria itu.
Keinginan Stella hanya satu memperjuangkan rumahnya. Dia tidak ingin saudara pantinya mengalami kesedihan, karena kehilangan kenangan di panti asuhan ini. Sungguh, sejak awal sudah Stella bertekad untuk tetap memperjuangkan panti asuhannya. Dia akan terus berusaha agar panti asuhannya tidak tergusur.
Stella berusaha tenang dibalik kerapuhannya. Gadis itu sedikit mengangkat dagunya, memberanikan diri menatap Sean kembali. “Tuan, apa Anda tidak memiliki rasa kasihan sedikit pun? Banyak anak-anak yang tinggal di panti asuhan itu. Kenangan indah kami berada di sini, Tuan. Anda bisa memilih lahan yang lain. Tidak dengan lahan kami.”
“Lahan kalian?” Alis Sean terangkat, menatap gadis itu dengan mencemooh. “Kalian mendirikan bangunan di atas lahan milik orang lain. Lahan ini bukan lahan milik kalian. Harusnya kalian bersyukur aku masih mau memberikan uang. Tidak mengusir secara paksa.”
Panti asuhan di mana Stella tinggal itu berdiri, di lahan milik Sean Geovan—billionaire muda dan terkenal itu, merupakan anak sulung dari Geovan Group—yang merupakan salah satu perusahaan berpengaruh di dunia.
Sean Geovan masih cukup baik, tetap memberikan uang kompensasi pada pemilik panti asuhan. Padahal seharusnya menggusur tanpa memberikan uang, tetap bisa. Terbukti pria itu masih memiliki sedikit hati nurani.
“Tapi kami sudah lama tinggal di sini, Tuan. Anda berniat mendirikan mall di lahan ini. Sementara masih banyak lahan lain yang Anda bisa dapatkan. Kenapa Anda tidak memiliki rasa kasihan sedikit pun pada kami?” Suara Stella terdengar sedikit keras dan bergetar kala mengatakan itu pada Sean.
Sean menyunggingkan senyuman misterius. Tatapannya, melihat penampilan Stella. Gadis itu memiliki tubuh yang mungil, dan terlihat masih sangat muda. Kulit putih pucat, rambut hitam khas orang Asia, membuat sedikit menarik di mata Sean.
“Apa yang bisa kau tawarkan jika aku mengabulkan permintaanmu?” tanya Sean dengan serigai di wajahnya. Tatapanya tak lepas menatap Stella yang tampak terkejut.
Raut wajah Stella memucat mendengar pertanyaan Sean. Bulu kuduknya langsung merinding akibat rasa takut yang menyerang dirinya. Dia menunduk dan bahunya bergetar ketakutan. Terlebih Sean mendekat ke arahnya.Pria itu menatapnya bagaikan singa kelaparan. Begitu tajam, dingin dan seolah akan menerkam mangsanya. Sepasang mata tajam yang terus terarah padanya, membuat Stella bagaikan seekor kucing yang menciut ketika diburu.“Kenapa kau hanya diam?” Sean menatap gadis itu yang duduk di hadapannya. “Angkat wajahmu ketika lawan bicaramu berbicara. Aku rasa kau pasti diajarkan bagaimana menjaga sopan santunmu, bukan?” lanjutnya dengan sarkas.Stella menelan salivanya susah payah. Dia memberanikan mengangkat wajahnya, menatap wajah Sean. Tatapan mata pria itu sangat tajam, akan tetapi memiliki pesona yang luar biasa kuat. Sean memiliki tubuh tegap, tinggi, dan gagah membuat Stella mendongakkan wajahnya ke atas.Stella mengakui pria di hadapannya ini sangat tampan. Matanya yang tajam bagaikan
Stella menatap lirih koper di hadapannya dengan pikiran yang menerawang ke depan. Raut wajah yang tampak muram. Dia terus memikirkan apa yang telah dia putuskan. Stella berharap ini semua adalah mimpi.Berkali-kali Stella meyakinkan ini tidak nyata. Namun tidak, ini semua kenyataan yang harus dia hadapi. Dia tidak menyangka dirinya berani mengambil keputusan itu. Sebuah keputusan yang pasti akan dia sesali seumur hidupnya. Dia tidak memiliki pilihan lain. Jika Stella egois, akan banyak saudaranya yang akan menderita.“Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini. Cepat keluar.” Sean berkata begitu dingin, dan menusuk di indra pendengaran Stella.“Kau mau membawaku ke mana?” tanya Stella dengan suara pelan, dan lemah.“Kau masih bertanya aku membawamu ke mana, setelah kau menyetujui apa penawaran yang aku ajukan?” Sebelah alis Sean terangkat, dia tersenyum misterius pada Stella. “Kau tidak memiliki hak untuk bertanya.”Mata Stella sudah bengkak akibat terus menangis. Entah, dia tidak
Stella menggeliat, saat merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, dan mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Beberapa saat, Stella masih tampak asing berada di dalam kamar barunya. Jika biasanya Stella terbangun dengan banyaknya saudara-saudra di panti, kali ini dia terbangun di sebuah kamar megah, dan ranjang yang empuk.Stella terdiam sejenak mengingat kejadian kemarin. Kejadian di mana dirinya telah menyerahkan hidupnya pada pria kaya yang baru saja dia kenal. Stella telah berada di dalam sangkar emasnya. Stella mengatur napasnya, berusaha untuk menenangkan diri. Dia telah meneguhkan apa yang telah menjadi pilihannya. Perlahan, dia bangkit dari ranjang, dan langsung membersihkan diri, melangkahkan kakinya keluar kamar.“Selamat pagi, Nona.” Suara pelayan menyapa, sontak membuat Stella yang baru saja keluar kamar terkejut.“Maaf, Nona jika saya mengejutkan Anda.” Sang pelayan menundukkan kepalanya.“T-tidak. Kau tidak perlu meminta maaf
“Masuklah ke kamarmu. Lain kali, jika kau ingin berkeliling rumah, minta pelayan untuk menemanimu. Jangan lagi pergi sendiri berkeliling. Aku tidak bisa menjamin kau selamat kalau kau bertemu lagi dengan hewan peliharaanku yang lainnya.” Sean berucap dengan nada tegas. Pria itu seolah sengaja mengatakan itu agar gadis di hadapannya tidak berkeliling sendiri. Mengingat gadis kecil di hadapannya ini adalah gadis penakut.Wajah Stella memucat kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Pikirannya memikirkan kalimat Sean yang mengatakan tidak bisa menjamin dirinya selamat kalau bertemu lagi dengan hewan peliharaan pria itu. Nyali Stella menciut, sungguh Stella tidak tahu siapa sebenarnya pria yang ada di hadapannya ini.“K-kau m-memiliki hewan peliharaan lain?” Stella memberanikan diri bertanya. Meski takut, tapi rasa penasaran dalam dirinya, sangatlah berkobar. Terlebih dia tinggal bersama dengan pria itu.“Menurutmu?” Sean menyunggingkan senyuman misterius, dan mencemooh pada gadis pen
Sean menatap sang dokter dengan tatapan dingin dan tegas, yang tengah memeriksa Stella. Dia sedikit mendecakkan lidahnya kesal. Bisa-bisanya gadis bodoh itu pingsan hanya karena mendengar percakapan antara dirinya dan juga ayahnya.“Bagaimana keadaannya?” Pertama kali ini yang Sean tanyakan, ketika sang dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Stella.“Tuan, Nona Stella mengalami shock. Apa Anda memberi tahu kabar yang membuatnya terkejut, hingga jatuh pingsan?” Dokter balik bertanya.Sean mengembuskan napas kasar. Benar dugaannya, bahwa Stella terkejut mendengar apa yang dia katakan pada sang ayah. “Ya, aku baru saja menyampaikan kabar yang membuatnya terkejut.”Sang Dokter menggangguk paham dan mengerti. “Beliau masih muda. Detak jantungnya normal. Berita itu hanya membuatnya shock, tapi tidak membuat jantungnya lemah. Saya sudah memberikan obat dan vitamin. Habiskan obat yang saya resepkan. Begitu juga dengan vitamin, saya harap Nona Stella meminumnya setiap hari agar meningkatka
“Tuan Sean.” Tommy, asisten pribadi Sean menundukkan kepalanya kala melihat Sean baru saja melangkah keluar dari kamar Stella.“Kau di sini?” Sean menghentikan langkahnya, menatap dingin Tommy yang ada di hadapannya.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda inginkan tentang Nona Stella Regina,” ujar Tommy memberi tahu.“Kita bicara di ruang kerjaku.” Sean melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya, bersama dengan Tommy yang mengikutinya dari belakang.“Apa yang kau dapatkan tentang gadis itu?” tanya Sean dingin kala dia dan Tommy sudah tiba di ruang kerjnya. Pria tampan itu duduk di kursi kebesarannya seraya megambil wine yang ada di atas meja dan disesapnya perlahan.Ya, beberapa hari lalu Sean meminta Tommy mencari tahu tentang Stella Regina. Lebih tepatnya dia hanya penasaran, kenapa gadis itu berbeda dengan penghuni panti lainnya. Mulai dari wajah yang memiliki darah campuran, dan serta keberanian gadis itu yang berani memohon padanya agar lahan pant
Stella mematut cermin kala sang perias memoles wajahnya dengan make up. Ya, pagi ini Sean khusus meminta seorang make-up artist untuk merias Stella, karena akan bertemu dengan orang tua pria itu. Sebenarnya Stella tidak menyukai dirias, tapi dia bisa apa? Stella tidak mungkin membantah perkataan Sean.“Nona Stella, kau memiliki wajah yang sangat cantik. Matamu sangat indah. Apa ayah atau ibumu berasal dari luar Indonesia?” tanya sang make-up artist, memuji mata Stella yang indah.“Ibuku berasal dari Jerman. Tapi Ibuku sudah meninggal saat melahirkanku,” jawab Stella dengan suara pelan. Raut wajahnya langsung berubah jika dirinya membahas tentang Ibunya. Sejak dulu, dia akan sedih jika ada orang yang bertanya tentang kedua orang tuanya. Sebab selama ini dia tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya seperti yang orang lain rasakan.“Ah, Maafkan aku, Nona. Aku tidak tahu,” ucap sang make-up artist yang merasa tidak enak.Stella tersenyum ramah. “Tidak apa-apa.”“Sekarang lih
Sean tidak pernah main-main dengan perkataannya akan menikah dengan Stella. Pria itu langsung meminta asistennya untuk mempersiapkan pernikahannya dengan gadis polos itu. Meski sebenarnya Sean mendapatkan banyak ribuan pertanyaan dari kedua orang tuanya tentang Stella—namun Sean menjelaskan tentang identitas Stella yang tidak lagi memiliki keluarga.Sean terbilang beruntung karena kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan status sosial seseorang yang telah dipilih olehnya. Sebab kedua orang tua Sean, menyerahkan semua keputusan pada Sean dengan siapa wanita yang dia akan pilih menjadi istrinya.Alasan kuat Sean mempercepat pernikahan, karena dia lelah harus berdebat dengan ayahnya yang terus mendesaknya menikah. Bukan hanya itu, tapi Sean pun berkali-kali menolak dijodohkan dengan gadis yang dipilihkan ayahnya.Sean memilih Stella, gadis polos yang pastinya akan selalu tunduk di bawah kakinya. Dia membenci jika ada yang mengaturnya. Dia tidak menyukai memiliki istri yang mengatur diri
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al