Stella menatap jemari tangannya yang tersemat oleh cincin berlian yang begitu indah. Seumur hidup, ini pertama kali Stella melihat cincin berlian yang melingkar di jarinya. Jika semua perempuan akan bahagia mendapatkan berlian, berbeda dengan Stella yang tampak bingung. Ya, pernikahannya dengan Sean sudah di depan mata. Dia tidak menyangka akan menikah secepat ini. Tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan menikah dengan pria yang tidak pernah dia kenal.Dalam impian Stella, suatu saat dia akan menikah dengan sosok pangeran tampan yang memiliki hati baik, dan sangat mencintainya. Kenyataannya? Stella tidak mendapatkan itu. Bukan Sean tidak tampan, tentu pria itu memiliki wajah layaknya Dewa Yunani. Tampan dan berkuasa.Sean dikatakan pria yang menjadi impian seluruh wanita. Hanya saja, Stella bukan hanya menginginkan itu. Dia menginginkan sosok pria yang mencintainya dengan tulus dan bisa membahagiakannya. Terdengar klasik. Namun itu adalah impiannya.Stella tidak melihat sosok hangat
Berita pernikahan Sean dan Stella sudah terendus oleh media. Tidak tanggung-tanggung, banyak para media yang meminta keterangan dari Sean dan Stella. Namun, tentu saja Stella tidak pernah bisa berhadapan dengan para media. Jika ada kamera yang tersorot ke arahnya saja, Stella sering menunduk dan menjadi canggung. Itulah hal yang membuat Sean berkali-kali memarahi gadis polos itu.Menjelang hari pernikahan, Stella lebih banyak mengurung diri di dalam rumah. Hampir setiap hari, gadis itu menghabiskan waktunya hanya melamun berdiam diri di rumah. Seperti saat ini, Stella tengah duduk di tepi kolam renang dengan pikiran yang menerawang ke depan.“Nona Stella.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nona, ini ada telepon dari Ibu Erina pengurus panti.” Sang pelayan memberikan telepon pada Stella.“Ibu Erina?” Stella bertanya memastikan seraya menerima telepon itu.Sang pelayan mengganggukkan kepalanya. “Iya, Nona.”Stella
Kediaman mewah milik Sean tampak begitu ramai dengan banyaknya para keluarga yang datang. Beberapa pelayan sejak tadi mondar mandir menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Ya, hari ini adalah hari yang tidak pernah Stella sangka akan terjadi dalam hidupnya secepat ini. Menikah diusia yang masih terbilang muda tidak pernah muncul dalam benak Stella sebelumnya.Kegugupan, ketakutan, kecemasan melingkupi diri Stella. Ingin rasanya Stella berlari dari pernikahan ini, tapi dirinya terlalu lemah untuk melawan keinginan Sean. Ancaman pria itu mampu dengan mudahnya melumpuhkan niat Stella yang ingin melarikan diri. Hal yang membuat Stella sedikit lebih tenang adalah pernikahannya dengan Sean tidak begitu banyak mengundang para tamu. Pria itu khusus meminta pernikahannya diadakan dengan exlusive.Rekan bisnis yang datang pun hanya rekan bisnis pilihan. Media tidak sepenuhnya diizinkan oleh Sean untuk datang. Hanya beberapa yang boleh meliput pernikahannya. Paling tidak Stella lebih tenan
Stella melangkahkan kakinya memasuki kamar pengantin. Sebuah kamar pengantin yang megah dan telah didekorasi oleh taburan bunga mawar merah. Aroma parfume mahal menyeruak di indra penciuman Stella kala memasuki kamar pengantin ini.Raut wajah Stella tampak pucat. Iris mata abu-abu Stella dipenuhi dengan ketakutan dan kegugupan. Bayangan apa yang terjadi padanya malam ini muncul dalam benak perempuan itu. Terlebih perkataan Sean saat mengucapkan janji pernikahan, membuat jantung Stella ingin berhenti.Sean yang berdiri di samping Stella memperhatikan dengan lekat raut wajah perempuan kecil yang telah menjadi istrinya itu begitu gelisah dan takut. Pria tampan itu membuka tuxedonya, melepas dasi kupu-kupu yang sejak tadi mengikat lehernya itu dan meletakannya sembarangan di sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Apa kau hanya berdiam diri seperti patung?” tanya Sean dingin dengan iris mata cokelatnya yang begitu mengintimidasi ke arah Stella.“A-aku—” Stella menjadi salah tingkah.
Setelah resmi menikah, Sean kembali membawa Stella ke rumahnya. Tidak ada pembahasan apa pun. Perempuan itu hanya menurut kala Sean kembali membawanya ke rumah. Jika sebelum menikah Stella tidur di kamar yang terpisah dengan Sean, kali ini Sean meminta pelayan memindahkan pakaian Stella ke dalam kamarnya.Stella hendak menolak, tapi dia menyadari posisinya saat ini adalah istri Sean. Dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti perintah pria itu. Meski sebenarnya ketakutan kembali muncul dalam dirinya jika harus tidur dengan Sean.Stella tak tahu yang akan terjadi pada dirinya nanti. Bisa dipastikan dia tidak akan pernah bisa tertidur nyenyak setiap malamnya karena hanya ketakutan yang selalu muncul dalam benak perempuan itu.“Aku harus ke kantor. Ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan,” ucap Sean dingin seraya menatap Stella dengan lekat.Stella mengganggukkan kepalanya. “Apa kau akan pulang terlambat hari ini, Sean?”“Aku belum tahu. Semua tergantung dengan jadwalku hari i
Stella meringis kala sang pelayan mengompreskan es batu ke luka lebam di wajahnya. Entah bagaimana nasib Stella jika tidak ada pengawal yang membantunya, dia pasti sudah babak belur dipukul oleh Erina. Stella tidak menyangka akan kembali bertemu dengan Erina. Dia pikir setelah Erina tidak lagi mengurus panti asuhan—tempat di mana dia dibesarkan—wanita paruh baya itu akan meninggalkan Jakarta. Namun kenyataannya salah, Erina tetap menetap di Jakarta. Bahkan menaruh dendam padanya.“Nyonya, apa sakit sekali? Apa saya harus panggilkan Dokter?” tanya sang pelayan dengan cemas dan takut.“Tidak perlu. Ini hanya luka lebam saja. Lagi pula tidak ada luka yang harus dijahit. Hanya dengan kompres dan bantuan salep memar, aku yakin akan segera sembuh.” Stella berucap seraya tersenyum ke arah pelayan.“Stella…” Suara berat terdengar keras memanggil Stella, memasuki kamar.Raut wajah Stella menjadi pucat kala menatap Sean yang datang.“Tuan.” Sang pelayan langsung menundukkan kepala, kala melihat
Sinar matahari menembus jendala, menyentuh rambut hitam tebal Stella yang indah—membuat sang pemilik rambut menjadi berkilau akibat cahaya matahari yang telah menyorot menyentuh rambut indahnya.Stella mematut cermin sedikit berias. Dia Memoles bibirnya yang sedikit kering dengan lip balm. Lantas, tatapannya teralih pada jam dinding—waktu menunjukkan pukul tujuh pagi—dan Sean sudah tidak ada di ranjang.Stella tak tahu ke mana Sean pergi. Biasanya pria itu akan berangkat bekerja pada pukul sembilan pagi. Rasa penasaran sudah mengumpul dalam dirinya menjadi satu, pada akhirnya Stella memilih untuk mengabaikan rasa penasaran di dalam dirinya.Stella bangkit berdiri dari kursi meja riasnya, menyisir rambut panjang dan indahnya—yang baru saja dia berikan vitamin. Bisa dikatakan memang Sean menyiapkan keperluan pribadi Stella. Termasuk produk perawatan kulit.“Selamat pagi, Nyonya Stella.” Sang pelayan menyapa dengan sopan kala Stella yang baru saja keluar dari kamar.Stella tersenyum lemb
“Ya, Tuhan. Bagaimana ini?” Stella bergumam seraya menggigit kukunya. Sejak tadi dia mondar-mandir gelisah. Pikirannya terus memikirkan tentang perkataan Sean tadi malam. Sebuah kalimat yang lolos dari pria itu, membuatnya terus terngiang dalam benaknya. Imajinasinya berkeliaran akibat perkataan Sean itu.“Bagaimana kalau itu sampai terjadi?” Stella menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Tidak-tidak, itu tidak mungkin. Itu tidak boleh terjadi.” Perempuan itu menggelengkan kepalanya, mengatur napasnya agar tenang. Rasa takut menyerang dan menggrogoti dirinya. “Nyonya, barang-barang yang Anda butuhkan sudah dimasukan ke dalam koper,” ujar sang pelayan sontak membuat Stella terkejut. Pasalnya perempuan itu tidak menyadari kalau pelayan sudah berada di hadapannya.“Ah, kau sudah merapikan semuanya?” tanya Stella menjadi canggung.Sang pelayan mengangguk. “Sudah, Nyonya. Saya sudah merapikan semuanya. Apa ada lagi yang Anda butuhkan?”“Hm, t-tidak ada. Terima kasih.” Stella te