Venice Marco Polo International, Airport. Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandara Internasional Marco Polo Venice. Setelah menepuh perjalanan panjang akhirnya pesawat telah tiba dengan selamat. Beruntung Stella sudah terbangun. Tadi, ketika perempuan itu tertidur di pesawat, Sean memindahkan tubuhnya ke dalam kamar.“Sean, kita turun, ya?” tanya Stella pelan. Dia sudah terbangun dari tidur pulas. Pun pesawat telah mendarat sempurna di bandara.“Jika pesawat sudah mendarat di bandara, kau mau kita tetap berada di pesawat?” Alih-alih menjawab, malah Sean membalikan pertanyaan konyol Stella.“Aku kan hanya bertanya saja, Sean.” Bibir Stella menekuk dalam. ‘Dia galak sekali,’ batinnya yang tak terucapkan.Tak banyak berkata, Sean melingkarkan tangannya ke pinggang Stella, melangkah turun dari pesawat. Pilot dan pramugari tersenyum sopan di kala Sean dan Stella sudah turun dari pesawat. Tentu Stella membalas senyuman itu. Hanya Sean yang memasang wajah dingin dan ta
Stella meringis merasakan perih akibat tamparan keras di wajahnya yang disebabkan oleh wanita yang berdiri di hadapannya itu. Sudut bibir Stella mengeluarkan darah. Namun dengan cepat Stella menyentuhnya, menghentikan darah yang keluar dari sudut bibirnya.“Damn it! You ruined my dress!” seru wanita itu meninggikan suaranya, tatapannya menatap tajam Stella yang masih tersungkur di lantai.“Nona, Anda bisa selesaikan ini secara baik-baik.” Sang pelayan yang tadi ditabrak oleh Stella, berusaha meredakan amarah wanita itu.“Diam kau! Jangan berani kau berbicara denganku! Kau hanya pelayan rendahan!” bentak wanita itu kasar.Perlahan Stella berusaha bangkit berdiri, dibantu oleh sang pelayan. Raut wajah Stella tampak bingung kala wanita di hadapannya ini mengucapkan Bahasa Inggris. Pasalnya, Stella hanya bisa mengerti dan memahami, tapi dia tidak bisa menjawab dengan lancar. Akan tetapi, tentu Stella tetap harus meminta maaf. Ini semua terjadi karena kesalahannya. “M-Miss, I’m sorry.” S
“Tidurlah duluan, aku akan keluar sebentar.” Kalimat lolos di bibir Sean, di kala sudah tiba di kamar hotel. Pria tampan itu meminta Stella untuk tidur duluan, karena dia mengatakan akan pergi keluar sebentar.“Kau ingin ke mana, Sean?” tanya Stella pelan.“Ada yang harus aku urus. Kau tidurlah. Hari ini melelahkan bagimu. Kau butuh istirahat,” ucap Sean dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.Stella mengangguk patuh merespon ucapan Sean. Detik selanjutnya, Sean melangkah meninggalkan Stella yang tidak bergeming dari tempatnya. Tepat di saat Sean sudah pergi—perempuan itu langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.“Astaga, apa yang sudah aku lakukan?” Stella bergumam kala pikirannya membayangkan apa yang tadi dia lakukan dengan Sean. Tadi Stella merasakan bibir hangat Sean yang menyapu bibirnya. Bahkan untuk pertama kali Stella membalas dan tidak hanya diam.Sungguh Stella ingin sekali berlari pergi menjauh dari Sean. Dia tidak memiliki muka lagi bertemu dengan pria itu. Sean
“Sean? Kau mau membawaku ke mana?” Stella bertanya seraya menatap Sean yang sedang melajukan mobil. Pagi ini Sean tiba-tiba mengatakan akan mengajaknya ke suatu tempat. Namun, Sean tidak memberi tahu ke mana mereka akan pergi.“Diamlah, nanti kau akan tahu.” Sean menjawab tanpa mengalihkan pandangannya ke depan. Pria itu terus fokus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah Kota Venice.Stella menghela napas panjang. Meski sebenarnya Stella ingin tahu ke mana Sean akan membawanya, tapi dia tidak bisa memaksa pria itu untuk menjawab. Perempuan itu memilih mengalihkan pandangannya, keluar jendela menatap keindahan musim semi di Kota Venice. Sebuah kota yang indah. Bahkan Stella banyak melihat pasangan yang berjalan mesra di jalan. Stella tersenyum kala melihat pasangan yang tidak malu menunjukkan kemesraan mereka di muka umum.Tak berselang lama mobil Sean terparkir tidak jauh dari kanal-kanal kecil di Venice dengan deretan gondola di sana. Raut wajah Stella tampak bingung ke
Sean menatap Stella yang sedang tertidur begitu pulas. Sepertinya jalan-jalan kemarin telah membuat perempuan itu kelelahan. Bahkan hingga detik ini Stella tak kunjung bangun. Padahal biasanya Stella selalu bangun lebih awal.Sean memilih untuk tidak membangunkan Stella. Yang dia lakukan saat lebih dulu terbangun adalah menatap perempuan polos itu. Hal yang dia sukai dari Stella adalah tidak seperti perempuan yang dia kenal yang selalu memakai riasan tebal, perhiasan berlebihan, serta tampil dengan seksi. Itu bukanlah Stella.Perempuan di hadapannya ini hanya memakai riasan tipis. Bibir merah jambunya hanya memakai lip balm atau lip gloss. Terkadang Stella memakai riasan sedikit tebal tapi itu hanya jika ingin ke pesta saja. Jika tidak, maka Stella lebih menggunakan riasan tipis.Sean tentu lebih menyukai seorang perempuan tampil natural, daripada harus make-up berlebihan. Harus dia akui, gadis kecil polos yang menjadi istrinya itu memiliki kecantikan natural. Kecantikannya tidaklah b
Stella masih bergeming di tempatnya, tak bergerak sama sekali. Entah kenapa perasaannya begitu merasakan ada sesuatu hal aneh—yang membuat dirinya sama sekali tidaklah nyaman. Namun, dia menyadari tidak bisa berbuat apa pun selain diam terpaku di tempatnya—melihat pemandangan yang membuatnya tak nyaman.“Well, sepertinya kalian saling melepas rindu.” Suara bariton menghampiri Sean yang tengah dipeluk oleh seorang wanita yang bernama Raissa.Sean menjauhkan tubuhnya, dari pelukan Raissa—mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tatapan mata dingin melihat temannya baru saja datang.“Welcome to Venice, Sean Geovan.” Pria itu menyungingkan senyuman ke arah Sean.Sean tersenyum tipis. “Aku pikir kau masih tidur dengan wanitamu, Chris.”Ya, Christopher Edzar. Rekan bisnis sekaligus teman Sean yang kini tinggal di Venice terkenal dengan wanita-wanita yang selalu berada di sekelingnya. Sean tidak lagi terkejut akan hal itu. Tentu tujuannya datang bertemu dengan Christ, karena dia suda
“Sean, bagaimana dengan project pembangunan hotel yang aku rencanakan di London? Apa konsepku menarik?” tanya Chris pada Sean yang tengah memegang berkas project perusahaanya.“Kau membawa Budaya Jepang bercampur dengan Budaya Amerika di London dalam pembangunan hotelmu. Ini sangat menarik. Jepang memiliki budaya yang indah. Kapan kau akan menjalani project ini?” balas Sean seraya membuka setiap halaman di berkas yang ada di tangannya.“Mungkin dua atau tiga bulan lagi,” jawab Chris dengan senyuman di wajahnya. “Dan seperti biasa, kau mau, kan menjadi investorku? Membangun hotel di sana membutuhkan uang yang tidak sedikit,” lanjutnya yang sengaja membujuk Sean.Sean tersenyum samar seraya menyesap wine di tangannya. Pantas saja Chris menunjukkan project-nya. Rupanya temannya itu ingin meminta bantuannya sebagai investor di perusahaan temannya itu.“Berikan aku proposalnya. Nanti aku akan pelajari,” balas Sean dingin dengan raut wajah datar.Chris tersenyum senang. “Thanks, kau memang
“Tuan Sean.” Salah seorang pengawal melangkah menghampiri Sean yang baru saja keluar dari kamar. Dia menunduk sopan di depan Tuannya itu. Raut wajah serius, menunjukkan ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan.“Kau sudah mendapatkan hasil rekaman CCTV di rumah Chris?” Sean duduk di salah satu ruangan di luar kamar utama hotelnya. Tatapannya menatap dingin pengawalnya itu. Sebuah tatapan terpancar tak sabar dengan apa yang dia perintahkan sebelumnya. Dia meminta pengawalnya itu mengambil rekaman CCTV tempat di mana Stella tercebur di kolam. Dia tidak mungkin hanya diam saja setelah hal buruk menimpa Stella. “Sudah, Tuan. Kebetuan Tuan Chris juga memberikan akses saya untuk mengambil rekaman CCTV dengan menggunakan suara,” ujar sang pengawal seraya menyerahkan iPad yang ada di tangannya pada Sean. “Semua hasil rekaman CCTV-nya, sudah saya salin, Tuan.”Sean terdiam sejenak ketika menerima iPad dari pengawalnya itu. Detik itu juga, dia memutar video, dan membesarkan volume suara. Namu
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al