“Tidurlah duluan, aku akan keluar sebentar.” Kalimat lolos di bibir Sean, di kala sudah tiba di kamar hotel. Pria tampan itu meminta Stella untuk tidur duluan, karena dia mengatakan akan pergi keluar sebentar.“Kau ingin ke mana, Sean?” tanya Stella pelan.“Ada yang harus aku urus. Kau tidurlah. Hari ini melelahkan bagimu. Kau butuh istirahat,” ucap Sean dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.Stella mengangguk patuh merespon ucapan Sean. Detik selanjutnya, Sean melangkah meninggalkan Stella yang tidak bergeming dari tempatnya. Tepat di saat Sean sudah pergi—perempuan itu langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.“Astaga, apa yang sudah aku lakukan?” Stella bergumam kala pikirannya membayangkan apa yang tadi dia lakukan dengan Sean. Tadi Stella merasakan bibir hangat Sean yang menyapu bibirnya. Bahkan untuk pertama kali Stella membalas dan tidak hanya diam.Sungguh Stella ingin sekali berlari pergi menjauh dari Sean. Dia tidak memiliki muka lagi bertemu dengan pria itu. Sean
“Sean? Kau mau membawaku ke mana?” Stella bertanya seraya menatap Sean yang sedang melajukan mobil. Pagi ini Sean tiba-tiba mengatakan akan mengajaknya ke suatu tempat. Namun, Sean tidak memberi tahu ke mana mereka akan pergi.“Diamlah, nanti kau akan tahu.” Sean menjawab tanpa mengalihkan pandangannya ke depan. Pria itu terus fokus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah Kota Venice.Stella menghela napas panjang. Meski sebenarnya Stella ingin tahu ke mana Sean akan membawanya, tapi dia tidak bisa memaksa pria itu untuk menjawab. Perempuan itu memilih mengalihkan pandangannya, keluar jendela menatap keindahan musim semi di Kota Venice. Sebuah kota yang indah. Bahkan Stella banyak melihat pasangan yang berjalan mesra di jalan. Stella tersenyum kala melihat pasangan yang tidak malu menunjukkan kemesraan mereka di muka umum.Tak berselang lama mobil Sean terparkir tidak jauh dari kanal-kanal kecil di Venice dengan deretan gondola di sana. Raut wajah Stella tampak bingung ke
Sean menatap Stella yang sedang tertidur begitu pulas. Sepertinya jalan-jalan kemarin telah membuat perempuan itu kelelahan. Bahkan hingga detik ini Stella tak kunjung bangun. Padahal biasanya Stella selalu bangun lebih awal.Sean memilih untuk tidak membangunkan Stella. Yang dia lakukan saat lebih dulu terbangun adalah menatap perempuan polos itu. Hal yang dia sukai dari Stella adalah tidak seperti perempuan yang dia kenal yang selalu memakai riasan tebal, perhiasan berlebihan, serta tampil dengan seksi. Itu bukanlah Stella.Perempuan di hadapannya ini hanya memakai riasan tipis. Bibir merah jambunya hanya memakai lip balm atau lip gloss. Terkadang Stella memakai riasan sedikit tebal tapi itu hanya jika ingin ke pesta saja. Jika tidak, maka Stella lebih menggunakan riasan tipis.Sean tentu lebih menyukai seorang perempuan tampil natural, daripada harus make-up berlebihan. Harus dia akui, gadis kecil polos yang menjadi istrinya itu memiliki kecantikan natural. Kecantikannya tidaklah b
Stella masih bergeming di tempatnya, tak bergerak sama sekali. Entah kenapa perasaannya begitu merasakan ada sesuatu hal aneh—yang membuat dirinya sama sekali tidaklah nyaman. Namun, dia menyadari tidak bisa berbuat apa pun selain diam terpaku di tempatnya—melihat pemandangan yang membuatnya tak nyaman.“Well, sepertinya kalian saling melepas rindu.” Suara bariton menghampiri Sean yang tengah dipeluk oleh seorang wanita yang bernama Raissa.Sean menjauhkan tubuhnya, dari pelukan Raissa—mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tatapan mata dingin melihat temannya baru saja datang.“Welcome to Venice, Sean Geovan.” Pria itu menyungingkan senyuman ke arah Sean.Sean tersenyum tipis. “Aku pikir kau masih tidur dengan wanitamu, Chris.”Ya, Christopher Edzar. Rekan bisnis sekaligus teman Sean yang kini tinggal di Venice terkenal dengan wanita-wanita yang selalu berada di sekelingnya. Sean tidak lagi terkejut akan hal itu. Tentu tujuannya datang bertemu dengan Christ, karena dia suda
“Sean, bagaimana dengan project pembangunan hotel yang aku rencanakan di London? Apa konsepku menarik?” tanya Chris pada Sean yang tengah memegang berkas project perusahaanya.“Kau membawa Budaya Jepang bercampur dengan Budaya Amerika di London dalam pembangunan hotelmu. Ini sangat menarik. Jepang memiliki budaya yang indah. Kapan kau akan menjalani project ini?” balas Sean seraya membuka setiap halaman di berkas yang ada di tangannya.“Mungkin dua atau tiga bulan lagi,” jawab Chris dengan senyuman di wajahnya. “Dan seperti biasa, kau mau, kan menjadi investorku? Membangun hotel di sana membutuhkan uang yang tidak sedikit,” lanjutnya yang sengaja membujuk Sean.Sean tersenyum samar seraya menyesap wine di tangannya. Pantas saja Chris menunjukkan project-nya. Rupanya temannya itu ingin meminta bantuannya sebagai investor di perusahaan temannya itu.“Berikan aku proposalnya. Nanti aku akan pelajari,” balas Sean dingin dengan raut wajah datar.Chris tersenyum senang. “Thanks, kau memang
“Tuan Sean.” Salah seorang pengawal melangkah menghampiri Sean yang baru saja keluar dari kamar. Dia menunduk sopan di depan Tuannya itu. Raut wajah serius, menunjukkan ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan.“Kau sudah mendapatkan hasil rekaman CCTV di rumah Chris?” Sean duduk di salah satu ruangan di luar kamar utama hotelnya. Tatapannya menatap dingin pengawalnya itu. Sebuah tatapan terpancar tak sabar dengan apa yang dia perintahkan sebelumnya. Dia meminta pengawalnya itu mengambil rekaman CCTV tempat di mana Stella tercebur di kolam. Dia tidak mungkin hanya diam saja setelah hal buruk menimpa Stella. “Sudah, Tuan. Kebetuan Tuan Chris juga memberikan akses saya untuk mengambil rekaman CCTV dengan menggunakan suara,” ujar sang pengawal seraya menyerahkan iPad yang ada di tangannya pada Sean. “Semua hasil rekaman CCTV-nya, sudah saya salin, Tuan.”Sean terdiam sejenak ketika menerima iPad dari pengawalnya itu. Detik itu juga, dia memutar video, dan membesarkan volume suara. Namu
Stella menggeliat seraya merentangkan kedua tangannya di kala merasakan sinar matahari menembus jendela, menyentuh kulit wajahnya. Perlahan Stella mulai mengerjapkan mata beberapa kali, dan membuka matanya pelan.“Kau sudah bangun?” Suara Sean menegur, sontak membuat Stella terkejut.“Sean?” Stella menatap Sean yang tengah berkutat pada MacBook di tangannya.“Mandilah, hari ini aku akan menemanimu berbelanja. Bukannya kau ingin membelikan oleh-oleh untuk saudaramu di panti?” ucap Sean dingin tanpa mengalihkan pandangannya pada layar MacBook-nya.Stella mengukir senyuman manis di wajahnya. “Kita jadi berbelanja, Sean?”“Ya, cepatlah mandi. Jangan lama-lama. Aku tidak suka menunggu,” jawab Sean datar dan dingin.“Iya, Sean. Aku tidak akan lama.” Stella langsung beranjak dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya. Lantas dia elangkah masuk ke dalam kamar mandi. Beruntung demam Stella sudah turun. Kemarin malam Sean sudah memanggil dokter untuk Stella. Dia meminta Dokter menyuntikan vita
Stella duduk di sofa kamar hotel seraya membaca majalah yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Tanpa terasa sudah satu minggu dia berada di Venice bersama dengan Sean. Selama ini banyak tempat yang Stella kunjungi. Semua tempat itu sangat indah serta menakjubkan.Stella tidak henti mengagumi keindahan kota Venice. Seumur hidup dia hanya pergi ke satu kota di luar Jakarta yaitu Bogor. Dia tidak pernah ke mana pun. Hidupnya sangat sempit. Mungkin ini alasan banyak orang menjuluki Stella dengan sebutan ‘Kurang Pergaulan.’ Namun, meski mendapatkan julukan itu, dia tidak memedulikannya.Jika ditanya apakah Stella bahagia atau tidak, tentu dia bahagia selama berbulan madu ini. Semua pikiran buruk dan ketakutan yang ada dibenaknya tidaklah terbukti. Entah karena Tuhan masih melindunginya atau karena memang Sean memiliki alasan tersendiri. Terpenting Stella bisa bernapas lega. Biasanya dia takut ketika memejamkan matanya. Bagaimana tidak? Dia harus tidur di ranjang yang sama dengan Sean. Itu