Stella masih bergeming di tempatnya, tak bergerak sama sekali. Entah kenapa perasaannya begitu merasakan ada sesuatu hal aneh—yang membuat dirinya sama sekali tidaklah nyaman. Namun, dia menyadari tidak bisa berbuat apa pun selain diam terpaku di tempatnya—melihat pemandangan yang membuatnya tak nyaman.“Well, sepertinya kalian saling melepas rindu.” Suara bariton menghampiri Sean yang tengah dipeluk oleh seorang wanita yang bernama Raissa.Sean menjauhkan tubuhnya, dari pelukan Raissa—mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tatapan mata dingin melihat temannya baru saja datang.“Welcome to Venice, Sean Geovan.” Pria itu menyungingkan senyuman ke arah Sean.Sean tersenyum tipis. “Aku pikir kau masih tidur dengan wanitamu, Chris.”Ya, Christopher Edzar. Rekan bisnis sekaligus teman Sean yang kini tinggal di Venice terkenal dengan wanita-wanita yang selalu berada di sekelingnya. Sean tidak lagi terkejut akan hal itu. Tentu tujuannya datang bertemu dengan Christ, karena dia suda
“Sean, bagaimana dengan project pembangunan hotel yang aku rencanakan di London? Apa konsepku menarik?” tanya Chris pada Sean yang tengah memegang berkas project perusahaanya.“Kau membawa Budaya Jepang bercampur dengan Budaya Amerika di London dalam pembangunan hotelmu. Ini sangat menarik. Jepang memiliki budaya yang indah. Kapan kau akan menjalani project ini?” balas Sean seraya membuka setiap halaman di berkas yang ada di tangannya.“Mungkin dua atau tiga bulan lagi,” jawab Chris dengan senyuman di wajahnya. “Dan seperti biasa, kau mau, kan menjadi investorku? Membangun hotel di sana membutuhkan uang yang tidak sedikit,” lanjutnya yang sengaja membujuk Sean.Sean tersenyum samar seraya menyesap wine di tangannya. Pantas saja Chris menunjukkan project-nya. Rupanya temannya itu ingin meminta bantuannya sebagai investor di perusahaan temannya itu.“Berikan aku proposalnya. Nanti aku akan pelajari,” balas Sean dingin dengan raut wajah datar.Chris tersenyum senang. “Thanks, kau memang
“Tuan Sean.” Salah seorang pengawal melangkah menghampiri Sean yang baru saja keluar dari kamar. Dia menunduk sopan di depan Tuannya itu. Raut wajah serius, menunjukkan ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan.“Kau sudah mendapatkan hasil rekaman CCTV di rumah Chris?” Sean duduk di salah satu ruangan di luar kamar utama hotelnya. Tatapannya menatap dingin pengawalnya itu. Sebuah tatapan terpancar tak sabar dengan apa yang dia perintahkan sebelumnya. Dia meminta pengawalnya itu mengambil rekaman CCTV tempat di mana Stella tercebur di kolam. Dia tidak mungkin hanya diam saja setelah hal buruk menimpa Stella. “Sudah, Tuan. Kebetuan Tuan Chris juga memberikan akses saya untuk mengambil rekaman CCTV dengan menggunakan suara,” ujar sang pengawal seraya menyerahkan iPad yang ada di tangannya pada Sean. “Semua hasil rekaman CCTV-nya, sudah saya salin, Tuan.”Sean terdiam sejenak ketika menerima iPad dari pengawalnya itu. Detik itu juga, dia memutar video, dan membesarkan volume suara. Namu
Stella menggeliat seraya merentangkan kedua tangannya di kala merasakan sinar matahari menembus jendela, menyentuh kulit wajahnya. Perlahan Stella mulai mengerjapkan mata beberapa kali, dan membuka matanya pelan.“Kau sudah bangun?” Suara Sean menegur, sontak membuat Stella terkejut.“Sean?” Stella menatap Sean yang tengah berkutat pada MacBook di tangannya.“Mandilah, hari ini aku akan menemanimu berbelanja. Bukannya kau ingin membelikan oleh-oleh untuk saudaramu di panti?” ucap Sean dingin tanpa mengalihkan pandangannya pada layar MacBook-nya.Stella mengukir senyuman manis di wajahnya. “Kita jadi berbelanja, Sean?”“Ya, cepatlah mandi. Jangan lama-lama. Aku tidak suka menunggu,” jawab Sean datar dan dingin.“Iya, Sean. Aku tidak akan lama.” Stella langsung beranjak dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya. Lantas dia elangkah masuk ke dalam kamar mandi. Beruntung demam Stella sudah turun. Kemarin malam Sean sudah memanggil dokter untuk Stella. Dia meminta Dokter menyuntikan vita
Stella duduk di sofa kamar hotel seraya membaca majalah yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Tanpa terasa sudah satu minggu dia berada di Venice bersama dengan Sean. Selama ini banyak tempat yang Stella kunjungi. Semua tempat itu sangat indah serta menakjubkan.Stella tidak henti mengagumi keindahan kota Venice. Seumur hidup dia hanya pergi ke satu kota di luar Jakarta yaitu Bogor. Dia tidak pernah ke mana pun. Hidupnya sangat sempit. Mungkin ini alasan banyak orang menjuluki Stella dengan sebutan ‘Kurang Pergaulan.’ Namun, meski mendapatkan julukan itu, dia tidak memedulikannya.Jika ditanya apakah Stella bahagia atau tidak, tentu dia bahagia selama berbulan madu ini. Semua pikiran buruk dan ketakutan yang ada dibenaknya tidaklah terbukti. Entah karena Tuhan masih melindunginya atau karena memang Sean memiliki alasan tersendiri. Terpenting Stella bisa bernapas lega. Biasanya dia takut ketika memejamkan matanya. Bagaimana tidak? Dia harus tidur di ranjang yang sama dengan Sean. Itu
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju perusahaan cabang miliknya. Dia duduk di samping Sean, hanya bisa menundukkan kepalanya seraya memainkan kukunya menghilangkan kegugupan dalam dirinya. Sejak kejadian tadi baik Sean dan Stella mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Stella bahkan tidak berani bertatapan dengan Sean. Setiap kali melihat Sean, ingatannya berputar tentang apa yang terjadi saat itu. Keadaan yang mendukung, membuat keduanya terbawa suasana.Satu hal yang Stella membenci dirinya yaitu ketika tubuhnya lemah dengan sentuhan Sean. Sebuah sentuhan yang selama ini tidak pernah Stella dapatkan. Harusnya dia menolak dan marah, tapi kenyataanya? Tubuhnya seolah lumpuh dan tak berkutik.Mobil Sean mulai memasuki sebuah gedung perkantoran mewah dengan logo G yang menandakan gedung perkantoran itu milik keluarga pria tampan itu. Dia mengajak Stella turun dari mobil, dan membawa perempuan itu masuk ke dalam perusahaan.Saat Sean membawa Stella masuk, para karya
“Sean, aku mengantuk sekali. Besok kita pesawat pagi, kan? Apa boleh aku tidur duluan?” Stella bertanya seraya menguap. Matanya sudah memberat. Hari ini banyak mengunjungi tempat-tempat indah di Venice, hingga membuat tubuhnya begitu lelah. Namun meski lelah, tentu saja sangat membahagiakan. Pasalnya seumur hidup, dia baru pertama kali keluar negeri.“Tunggu. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Sean menahan lengan Stella, agar tidak langsung tidur. “Ada apa, Sean?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap Sean. Matanya sudah memerah, tak sanggup menahan rasa kantuk. Namun karena pria itu menahannya, mau tak mau dia harus mendengarkan dulu apa yang ditanyakan oleh suaminya itu.“Tadi kau terlihat cukup mengenal dekat Raynold Sanjaya,” ucap Sean dingin dengan tatapan penuh curiga. Dia sudah menahan diri untuk bertanya, tapi rupanya dia tidak bisa untuk menahan dirinya sendiri. Ini pertanyaan yang sudah dia ingin ajukan sejak tadi.Kening Stella berkerut dalam, mencerna maksud dari uc
Stella menggeliat, mengerjapkan matanya beberapa kali dan menguap. Sesaat kala perempuan itu mulai membuka matanya. Keningnya berkerut mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang bernuansa abu-abu—dan terlihat mewah meski tidak dalam ukuran kamar terlalu besar.Stella tampak berpikir, mengingat bagaimana bisa dia berada di kamar ini. Namun tunggu! Ingatan Stella berputar harusnya dia berada di mobil. Raut wajahnya berubah. Dia langsung melihat ke samping—sebuah jendela dan terlihat jelas awan putih. Buru-buru, Stella bangkit berdiri, dia berjalan cepat keluar kamar.“Good Afternoon, Mrs. Geovan.” Seorang pramuari cantik menundukkan kepalanya menyapa Stella dengan sopan.Stella tersenyum kaku. “Ah, Good afternoon. Do you know where my husband is?”“Mr. Geovan was there.” Sang pramugari menunjuk keberadaa Sean berada.“Thank you.” Stella kembali tersenyum merespon ucapan sang pramugari. Dalam hati, dia bersyukur tidak terlalu bodoh. Setidaknya percakapan standar dalam Bahasa Inggris,