Stella duduk di sofa kamar hotel seraya membaca majalah yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Tanpa terasa sudah satu minggu dia berada di Venice bersama dengan Sean. Selama ini banyak tempat yang Stella kunjungi. Semua tempat itu sangat indah serta menakjubkan.Stella tidak henti mengagumi keindahan kota Venice. Seumur hidup dia hanya pergi ke satu kota di luar Jakarta yaitu Bogor. Dia tidak pernah ke mana pun. Hidupnya sangat sempit. Mungkin ini alasan banyak orang menjuluki Stella dengan sebutan ‘Kurang Pergaulan.’ Namun, meski mendapatkan julukan itu, dia tidak memedulikannya.Jika ditanya apakah Stella bahagia atau tidak, tentu dia bahagia selama berbulan madu ini. Semua pikiran buruk dan ketakutan yang ada dibenaknya tidaklah terbukti. Entah karena Tuhan masih melindunginya atau karena memang Sean memiliki alasan tersendiri. Terpenting Stella bisa bernapas lega. Biasanya dia takut ketika memejamkan matanya. Bagaimana tidak? Dia harus tidur di ranjang yang sama dengan Sean. Itu
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju perusahaan cabang miliknya. Dia duduk di samping Sean, hanya bisa menundukkan kepalanya seraya memainkan kukunya menghilangkan kegugupan dalam dirinya. Sejak kejadian tadi baik Sean dan Stella mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Stella bahkan tidak berani bertatapan dengan Sean. Setiap kali melihat Sean, ingatannya berputar tentang apa yang terjadi saat itu. Keadaan yang mendukung, membuat keduanya terbawa suasana.Satu hal yang Stella membenci dirinya yaitu ketika tubuhnya lemah dengan sentuhan Sean. Sebuah sentuhan yang selama ini tidak pernah Stella dapatkan. Harusnya dia menolak dan marah, tapi kenyataanya? Tubuhnya seolah lumpuh dan tak berkutik.Mobil Sean mulai memasuki sebuah gedung perkantoran mewah dengan logo G yang menandakan gedung perkantoran itu milik keluarga pria tampan itu. Dia mengajak Stella turun dari mobil, dan membawa perempuan itu masuk ke dalam perusahaan.Saat Sean membawa Stella masuk, para karya
“Sean, aku mengantuk sekali. Besok kita pesawat pagi, kan? Apa boleh aku tidur duluan?” Stella bertanya seraya menguap. Matanya sudah memberat. Hari ini banyak mengunjungi tempat-tempat indah di Venice, hingga membuat tubuhnya begitu lelah. Namun meski lelah, tentu saja sangat membahagiakan. Pasalnya seumur hidup, dia baru pertama kali keluar negeri.“Tunggu. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Sean menahan lengan Stella, agar tidak langsung tidur. “Ada apa, Sean?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap Sean. Matanya sudah memerah, tak sanggup menahan rasa kantuk. Namun karena pria itu menahannya, mau tak mau dia harus mendengarkan dulu apa yang ditanyakan oleh suaminya itu.“Tadi kau terlihat cukup mengenal dekat Raynold Sanjaya,” ucap Sean dingin dengan tatapan penuh curiga. Dia sudah menahan diri untuk bertanya, tapi rupanya dia tidak bisa untuk menahan dirinya sendiri. Ini pertanyaan yang sudah dia ingin ajukan sejak tadi.Kening Stella berkerut dalam, mencerna maksud dari uc
Stella menggeliat, mengerjapkan matanya beberapa kali dan menguap. Sesaat kala perempuan itu mulai membuka matanya. Keningnya berkerut mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang bernuansa abu-abu—dan terlihat mewah meski tidak dalam ukuran kamar terlalu besar.Stella tampak berpikir, mengingat bagaimana bisa dia berada di kamar ini. Namun tunggu! Ingatan Stella berputar harusnya dia berada di mobil. Raut wajahnya berubah. Dia langsung melihat ke samping—sebuah jendela dan terlihat jelas awan putih. Buru-buru, Stella bangkit berdiri, dia berjalan cepat keluar kamar.“Good Afternoon, Mrs. Geovan.” Seorang pramuari cantik menundukkan kepalanya menyapa Stella dengan sopan.Stella tersenyum kaku. “Ah, Good afternoon. Do you know where my husband is?”“Mr. Geovan was there.” Sang pramugari menunjuk keberadaa Sean berada.“Thank you.” Stella kembali tersenyum merespon ucapan sang pramugari. Dalam hati, dia bersyukur tidak terlalu bodoh. Setidaknya percakapan standar dalam Bahasa Inggris,
Keesokan hari, Stella duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Dia mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya hingga ke leher. Ya, sejak kejadian tadi malam Stella tidak bisa tidur tenang. Dia terus ketakutan dan menjadi gelisah. Bayangan apa yang terjadi dalam dirinya membuat Stella tidak bisa tidur sejak tadi malam.Sentuhan Sean, bibir Sean yang menyentuh tubuhnya, membuat Stella terus memikirkan itu. Bahkan Stella tidak berani menatap pantulan cermin. Pasalnya dadanya sudah penuh dengan bercak merah akibat ulah Sean. Meski pada akhirnya Sean mampu menguasai dirinya, tetap saja ketakutan Stella semakin menelusup ke dalam dirinya.Namun tidak bisa dipungkiri, jantung Stella selalu berpacu dengan cepat setiap kali berada di dekat Sean. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Tatapan mata tajam seperti mata elang, nyatanya mampu menyihir Stella. Sentuhan yang mendominasi, membuat hati Stella berdesir. Hanya saja, Stella tetap masih terus takut pada pria itu. Buk
Sean mengumpat kasar kala tidak ada jawaban dari nomor ponsel Stella. Berkali-kali Sean berusaha kembali menghubungi gadis kecil itu hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban. Sorot mata Sean begitu tajam. Rahangnya mengeras. Kilat kemarahan begitu terlihat jelas di sana.“Stella! Beraninya kau tidak menjawab teleponku!” geram Sean seraya mencengkram kuat ponsel di tangannya.“Tuann Sean,” Tomy, assistant Sean berjalan cepat masuk ke dalam ruang kerja Sean dengan begitu tergesa-gesa.“Ada apa, Tomy?” seru Sean dengan tatapan tajam kala Tomy berdiri di hadapannya.“M-Maaf, Tuan. Saya hanya ingin melaporkan sesuatu informasi yang saya dapatkan dari pengawal yang diam-diam mengikuti Nyonya,” jawab Tommy gugup dn takut.Sean mengembuskan napasn kasar. “Katakan, jangan berputar-putar jika memberi informasi.”“Tuan, Nona Stella hari ini pergi ke Mall untuk membeli beberapa novel-novel luar yang direkomendasikan oleh guru les Nona Stella. Tapi setelah Nona Stella membeli novel di Gramedia, dia
Stella duduk di kamar dengan wajah yang muram, dan pikiran yang menerawang ke depan. Sepasang iris mata abu-abunya tidak lagi terpancar seperti biasanya. Tampak Stella tengah memikirkan banyak hal yang membebani pikirannya.“Nyonya Stella,” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella seraya membawakan nampan yang berisikan makanan. Ya, sudah sejak saat pertengkarannya dengan Sean, Stella memilih mengurung diri di kamar. “Nyonya makan dulu, Nyonya. Anda belum makan,” ucap sang pelayan lagi kala berada di hadapan Stella.“Letakan saja di sana. Aku masih belum ingin makan,” jawab Stella seraya mengarahkan matanya pada meja di hadapannya itu.Sang pelayan menurut. Kemudian sang pelayan meletakan makanan yang dia bawa ke atas meja seraya berkata, “Nyonya, saya mohon jangan lupa untuk makan. Nanti Tuan Sean akan marah besar jika Nyonya belum makan.Stella hanya diam dan tidak merespon perkataan sang pelayan. Wajah Stella hanya bisa melamun.“Baiklah, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.” Sa
Sean duduk di kursi kebesarannya dengan punggung yang bersandar, dan pikiran yang tampak kacau. Banyak hal yang membebani pikirannya. Salah satu hal yang membebani pikirannya adalah tentang Stella. Ya, tadi malam Sean mendengar tangis Stella sepanjang malam. Ini adalah hal yang paling Sean benci dari Stella. Gadis itu begitu lemah dan sangat mudah menyerah dengan keadaan. Tidak ada yang bisa gadis itu lakukan jika mengalami masalah. Hanya menangis dan pasrah yang mampu dilakukan gadis itu.“Apa aku mengganggumu?” Kelvin menerobos masuk ke dalam ruang kerja Sean. Dengan santai, dia menarik kursi dan duduk di hadapan Sean. Sedangkan Sean yang melihat Kelvin duduk di hadapannya, dia langsung menghunuskan tatapan dinginnya.“Untuk apa kau ke sini?” tanya Sean dingin dan raut wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.Kelvin berdecak tak suka. “Kau ini memang tidak pernah menyambut kedatangan sepupumu dengan baik. Setidaknya kalau aku datang, kau langsung menyiapkan minuman atau paling tidak k