Stella duduk di kamar dengan wajah yang muram, dan pikiran yang menerawang ke depan. Sepasang iris mata abu-abunya tidak lagi terpancar seperti biasanya. Tampak Stella tengah memikirkan banyak hal yang membebani pikirannya.“Nyonya Stella,” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella seraya membawakan nampan yang berisikan makanan. Ya, sudah sejak saat pertengkarannya dengan Sean, Stella memilih mengurung diri di kamar. “Nyonya makan dulu, Nyonya. Anda belum makan,” ucap sang pelayan lagi kala berada di hadapan Stella.“Letakan saja di sana. Aku masih belum ingin makan,” jawab Stella seraya mengarahkan matanya pada meja di hadapannya itu.Sang pelayan menurut. Kemudian sang pelayan meletakan makanan yang dia bawa ke atas meja seraya berkata, “Nyonya, saya mohon jangan lupa untuk makan. Nanti Tuan Sean akan marah besar jika Nyonya belum makan.Stella hanya diam dan tidak merespon perkataan sang pelayan. Wajah Stella hanya bisa melamun.“Baiklah, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.” Sa
Sean duduk di kursi kebesarannya dengan punggung yang bersandar, dan pikiran yang tampak kacau. Banyak hal yang membebani pikirannya. Salah satu hal yang membebani pikirannya adalah tentang Stella. Ya, tadi malam Sean mendengar tangis Stella sepanjang malam. Ini adalah hal yang paling Sean benci dari Stella. Gadis itu begitu lemah dan sangat mudah menyerah dengan keadaan. Tidak ada yang bisa gadis itu lakukan jika mengalami masalah. Hanya menangis dan pasrah yang mampu dilakukan gadis itu.“Apa aku mengganggumu?” Kelvin menerobos masuk ke dalam ruang kerja Sean. Dengan santai, dia menarik kursi dan duduk di hadapan Sean. Sedangkan Sean yang melihat Kelvin duduk di hadapannya, dia langsung menghunuskan tatapan dinginnya.“Untuk apa kau ke sini?” tanya Sean dingin dan raut wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.Kelvin berdecak tak suka. “Kau ini memang tidak pernah menyambut kedatangan sepupumu dengan baik. Setidaknya kalau aku datang, kau langsung menyiapkan minuman atau paling tidak k
Stella menatap dua gaun yang kemarin baru saja diantar oleh designer. Jujur Stella sendiri bingung memilih yang mana. Dan designer pun meromendasikan dua gaun untuknya. Itu kenapa kini ada dua gaun indah di hadapannya. Warna gold di salah satu gaun itu menunjukan gaun itu sangat berkelas. Sedangkan warna hitam pada gaun yang lainnya menunjukan kesan anggun, dan angkuh seorang wanita yang memakai gaun itu. Sungguh, Stella masih belum tahu gaun apa yang akan dipilih untuknya.Undangan pesta yang bertema pesta topeng pun sudah membuat Stella bingung. Dia sampai harus mencari diinternet apa itu tema pesta topeng. Demi Tuhan, kepala Stella langsung pusing. Meski Sean sudah mengatur make up artis untuk merias wajahnya, tetap saja Stella tidak ingin membuat malu Sean dipesta nanti. Paling tidak, sedikit banyaknya Stella mengetahui tentang pesta topeng.“Nyonya, permisi..” Seorang pelayan melangkah masuk bersama dengan Diandra, sang make up artist yang diminta Sean untuk merias wajah Stella.
Mobil mewah yang membawa Sean dan Stella mulai memasuki lobby Hotel Indonesia Kempinski. Sang sopir lebih dulu turun, membukakan pintu mobil Sean dan Stella. Kini Sean dan Stella turun dari mobil. Terlihat sorot kamera terarah pada Sean dan Stella. Sesaat Stella yang terus disorot oleh kamera, dia berusaha untuk bersikap tenang. Sean pun sejak tadi terus melingkarkan tangannya di pinggang Stella. Jika saja Stella sedikit berani menunduk, maka Sean akan langsung mencubitnya, memberi peringatan agar mengangkat wajahnya.“Tunjukan jika kau istriku, bukan pelayanku,” bisik Sean tajam di telinga Stella. Nadanya penuh dengan peringatan pada gadis itu.Stella mengangguk cepat sebagai jawaban dia mematuhi ucapan Sean. Saat beberapa wartawan menyapa Stella, sebisa mungkin Stella mengukir senyuman hangat. Bahkan gadis itu merapatkan tubuhnya pada tubuh Sean. Berpura-pura sebagai pasangan yang sempurna di depan kamera.Kini Sean membawa Stella masuk ke dalam, menuju ballroom hotel. Stella mengat
Suara tepuk tangan terdengar memenuhi ballroom hotel itu kala alunan musik berhenti. Sean dan Auroa mengakiri dansa mereka. Tampak banyak mata yang mengagumi kedua pasangan dans aitu. Baik sang pria dan wanita membuat decakan kagum para tamu undangan. Pria yang begitu tampan dan gagah serta sang wanita yang anggun dan cantik. Sedangkan Stella yang melihat itu, dia hanya bisa berusaha tersenyum. Ya, bagaimana pun Stella tidak boleh marah. Dia harus tahu batasan dirinya sendiri.“Selamat malam semuanya, sebelum kita menakhiri pesta ini saya mengundang Tuan Raynold Sanjaya untuk naik ke podium.” Sang pembawa acara berucap, sontak membuat para tamu undangan lainnya ingin menyumbangkan sebuah lagu untuk Tuan Hans Winoto dan Istrinya, Nyonya Nasya Winoto.Stella yang mendengar Raynold akan menyumbangkan sebuah lagu, dia langsung bertepuk tangan. Dan mengulas senyuman hangat kala Raynold mulai berjalan maju ke podium.“Selamat malam, maaf sebelumnya membuat kalian menunggu. Aku khusus menyum
Malam kian larut, Stella yang tadinya tertidur pulas. Kini bergerak-gerak gelisah. Peluh keringat membasahi pelipis Stella. Bibirnya sejak tadi merancau dengan mata yang terus terpejam pertanda gadis itu tengah memimpikan sesuatu.“Ma, aku ingin ikut. Aku mohon bawa aku, Ma. Tidak ada yang menginginkanku di sini.” Stella mengigau dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipinya.Suara Stella membuat Sean langsung membuka kedua matanya terbuka. Sean berbalik, menatap Stella yang terus mengigau itu.“Stella? Stella?” Sean menyentuh bahu gadis itu agar terbangun, namun nyatanya Stella tetap mengigau.“Mama, bawa aku. Di dunia ini tidak ada yang menginginkanku.” Stella terisak dalam mimpinya. Sontak membuat Sean terdiam kala mendengar isak tangis pilu Stella.“Stella…” Sean berusaha kembali membangunkan Stella dengan menyentuh pipi gadis itu. Namun, tiba-tiba raut wajah Sean mulai berubah kala merasakan tubuh Stella demam. Dengan cepat Sean menyentuh kening Stella. Ya, benar saja gadi
Sean membawa Stella ke halaman belakang rumahnya. Benar saja, di sana sinar matahari pagi di tambah dengan tanaman hijau yang tertata rapi membuat cuasa pagi itu begitu tenang dan menyejukan. Stella dari tadi hanya diam, dan memilih menuruti kemana pun Sean pergi.“Setiap pagi kau bisa berjemur di sini. Sinar matahari pagi sangat baik untuk kesehatan,” ucap Sean mengingatkan Stella dengan nada dingin, dan raut wajah datar.Stella mengangguk. “Iya, Sean. Aku akan berjemur setiap paginya.”Stella mengembuskan napas kasar. “Ada hal yang ingin aku tanyakan.”“Apa, Sean?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap Sean.“Sejak kapan kau bisa bernyanyi? Dan kenapa Raynold tahu kau bisa bernyanyi?” Sean bertanya dengan nada penuh selidik yang terdengar dingin dan tampak mengendalikan dirinya.“Aku hanya bisa bernyanyi biasa saja, Sean. Tidak hebat. Dulu saat aku sering mengajak saudaraku di panti untuk bernyanyi. Saat itu, tidak sengaja Raynold datang ke panti. Dia melihatku bernyanyi bersama
“Sean? Stella?” Marsha langsung mengulas senyuman hangatnya kala melihat Sean dan Stella mendekat ke arahnya. Kemudian memeluk Sean dan Stella bergantian. Memberikan pelukan hangat dan penuh dengan kasih sayang.“Apa kabar, Mom?” sapa Stella dengan hangat seraya mengurai pelukannya. Tatapannya menatap lembut ibu mertuanya yang berdiri di hadapannya itu.“Baik, sayang.” Marsha membawa tangannya, mengelus pipi Stella. “Lama tidak melihatmu, kau sangat cantik, Stella. Pipimu jauh berisi. Apa kau sedang hamil?”Stella tersedak mendengar pertanyaan Marsha. Hamil? Astaga, tidak pernah terpikir olehnya ibu mertuanya akan menanyakan hal itu. Ya, tentu saja pipi Stella mulai berisi. Pasalnya selama tinggal dengan Sean, pria itu selalu memaksanya makan banyak.“Mom,” tegur Sean kesal mendengar pertanyaan ibunya itu.Marsha mendengkus tak suka. “Memangnya Mommy salah di mana? Mommy hanya bertanya saja apa Stella sedang hamil? Karena tubuh Stella lebih berisi dari sebelumnya.”“Aku memberikannya