Sean turun dari mobilnya, setelah dia memarkirkan mobilnya di halaman parkir rumah Aurora. Kini dia melangkah masuk ke dalam. Para penjaga dan pelayan tampak berderet membungkukan badan mereka menyapa dengan hormat Sean yang baru saja masuk ke dalam rumah.“Di mana Aurora?” tanya Sean dingin pada sang pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nona Aurora berada di kamarnya, Tuan,” jawab sang pelayan memberitahu.“Apa dokter sudah datang?” tanya Sean lagi dengan nada yang masih sama.“Sudah, Tuan. Dokter saat ini tengah memeriksa keadaan Nona Aurora,” jawab sang pelayan.Sean mengangguk singkat. Kemudian, Sean melanjutkan langkahnya menuju kamar Aurora. Ya, rumah Aurora ini tidak asing bagi Sean. Karena sudah lama Aurora membeli rumah di Jakarta. Namun, wanita itu hanya menempati rumah ini jika tengah berada di Jakarta saja. Itu pun bisa dikatakan Aurora sangat jarang berada di Jakarta. Hanya sesekali, dan tidaklah lama. Namun, entah sekarang Aurora masih menyukai menetap di Jakarta.Saat S
Sinar matahari menembus jendela, menyentuh kulit wajah Stella. Perlahan pelupuk mata Stella bergerak. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dnan menggeliat. Saat Stella telah benar-benar membuka matanya, Stella menyipitkan pandangan ke sekitar. Seketika kening Stella berkerut mendapati tubuhnya terbaring di ranjang. Padahal harusnya tadi malam Stella tertidur di sofa, bukan di ranjang. Namun, kenapa sekarang dia sudah di ranjang?“Apa tadi malam aku pindah sendiri, ya? Tapi kapan? Apa mungkin aku tidur sambil berjalan untuk pindah ke ranjang?” gumam Stella bingung.Stella menghela napas panjang, memutuskan untuk tidak lagi memikirkan bagaimana dia bisa pindah ke ranjang. Stella mengalihkan pandangannya ke samping, melihat ke ranjang Sean—raut wajah Stella berubah menjadi muram ketika ranjang Sean kosong.“Sepertinya Sean tidak pulang.” Stella kembali bergumam pelan. “Mungkin Aurora sakitnya sedikit parah sampai Sean harus menginap di sana.”Pancaran mata Stella meredup, tergantikan d
“Aw..” Stella meringis kesakitan kala Sean menarik kasar tangan Stella, menjauh dari Raynold. Bahkan Sean menyingkirkan tangan Aurora yang sejak tadi melingkar di tangannya. Sedangkan Aurora yang melihat Sean menarik tangan Stella, raut wajah Aurora langsung berubah menjadi dingin dan sorot mata menunjukan ketidak sukaannya.“Sean, sakit,” ucap Stella pelan agar tidak ada yang mendengarnya.“Kenapa kau bisa ada di sini, Stella?” geram Sean dengan tatapan begitu tajam dan penuh peringatan pada Stella.“Sean, aku—”“Kita pulang sekarang!”Sean tidak mau mendengarkan penjelasan Stella. Dia langsung menarik kasar tangan Stella, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, saat Sean hendak meninggalkan restoran itu—tiba-tiba, tangan Raynold menahan lengan Sean.“Tuan Sean, apa anda tidak melihat Stella meringis kesakitan? Anda melukai Stella, Tuan,” ujar Raynold dengan nada yang masih sopan, dan tatapan yang menatap Sean penuh peringatan.“Jangan ikut campur urusanku dengan istriku.” Dengan waja
“S-Sean… Apa yang mau kau lakukan?” Stella menelan salivanya susah payah kala melihat Sean melangkah mendekat ke arahnya. Dress yang dipakai Stella sedikit terangkat, membuat pahanya yang mulus itu terkespos.“Aku akan memberikan kesan pertamamu yang tidak akan pernah terlupakan.”Sean melepas ikat pinggangnya. Reflek membuat jantung Stella berdegup kencang seolah akan melompat dari tempatnya. Ditambah dengan Sean yang membuka kancing kemeja yang dipakainya. Dada bidang, lengan kekar, serta otot perut pria itu membuat napas Stella hampir putus. Tubuh gagah ditambah dengan tato di lengan Sean membuat semua wanita yang melihatnya berdesir. Darah yang mengalir di tubuh Stella seperti berhenti di kepalanya. Pasalnya kepalanya mulai sedikit pusing melihat apa yang di hadapannya ini. Sungguh, jika biasanya Stella ketakutan kali ini bukan takut, melainkan imajinasi liar yang muncul dalam benaknya.“Sean—”Perkataan Stella terpotong kala Sean sudah naik ke atas tubuhnya. Membuat tubuh Stella
“Ah—” Stella meringis kesakitan merasakan tubuhnya begitu remuk. Stella mulai membuka matanya perlahan. Dia mengerjap beberapa kali. Hingga saat mata Stella benar-benar terbuka sempurna, Stella merasakan inti tubuh bagian bawahnya perih.“Sudah bangun, hm?” Suara bariton menegur Stella, membuat Stella langsung mengalihkan pandagannya dengan cepat. Tiba-tiba raut wajah Stella berubah melihat Sean dengan bertelanjang dada, tidur di sampingnya. Sekelebat ingatan Stella mengingat apa dia dan Sean lakukan. Wajah Stella langsung berubah menjadi malu. Bahkan rasanya Stella tidak memiliki muka untuk bertemu dengan Sean.“S-Sean? K-Kau sudah bangun?” Stelle menjadi gugup dan malu melihat ke arah Sean. Namun didetik selanjutnya, Sean menarik tangan Stella, membawanya masuk ke dalam dekapannya. Reflek Stella memekik terkejut kala Sean menarik tangannya.“Masih malu, hm?” Sean menarik dagu Stella, mencium lembut bibir istrinya itu. “Kenapa harus malu? Sekarang kau lihatlah tubuhmu masih belum mem
Sean membaca dokumen yang ada di hadapannya. Setelah memastikan semua isi dokumen tersebut adalah benar, dia langsung mendatanganinya. Kemudian memberikan dokumen itu pada Tomy, asistennya yang sejak tadi menunggu.“Apa jadwalku hari ini?” tanya Sean dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Tuan, anda memiliki jadwal bertemu dengan Tuan Hans Winoto membahas kerja sama. Kemarin Tuan Hans tidak terlalu banyak membahas kerja sama dengan Nona Aurora. Beliau lebih suka membahas kerja sama langsung dengan anda, Tuan,” ujar Tomy melaporkan.Sean mengembuskan napas kasar. “Tunda pertemuanku dengan Tuan Hans Winoto. Atur ulang pertemuanku dengannya minggu depan. Katakan padanya aku masih sibuk.”Tomy mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”“Tomy, apa Nayra sudah memberitahu tentang perkembangan istriku?” tanya Sean dingin dengan tatapan tak lepas menatap Tomy.Tomy mengerutkan keningnya kala mendengar pertanyaan Sean. Ya, pasalnya ini pertama kali Tomu mendengar Tuannya itu mengucapkan kata ‘Istriku’
“Tuan Sean.” Seorang pelayan menundukan kepalanya, menyapa kala Sean baru saja keluar dari ruang kerjanya.“Ada apa?” tanya Sean dingin pada sang pelayan yang berdiri di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Tomy sudah menunggu anda,” jawab sang pelayan memberitahu.Ya, hari ini adalah weekend. Sean harusnya masih memiliki meeting namun dia memilih membatalkanya dan mengganti di hari biasa. Meski tidak jadi menghadiri meeting tetap saja Sean memeriksakan pekerjaannya di ruang kerja pribadinya yang ada di rumah.Sean mengembuskan napas kasar. “Kenapa dia datang? Aku sudah mengatakan untuk tidak mengganggunya,” decaknya kesal.Sang pelayan hanya menundukan kepalanya kala melihat wajah kesal Sean. Dia tampak tak berani menatap Sean yang tengah marah itu.“Apa kau tahu di mana istriku?” Sean bertanya dengan nada dingin dan raut wajah tanpa ekpresi.“Nyonya sedang di taman, Tuan,” jawab sang pelayan dengan sopan.Sean melirik arloji sekilas. Pantas saja Stella berada di taman. Karena memang
“Sean, hari ini weekend. Apa kau sibuk?” tanya Stella seraya melangkah mendekat ke arah Sean yang duduk di sofa dan fokus pada iPad di tangannya.“Kenapaa?” Sean bertanya tanpa mengalihkan pandanganya. Dia tengah fokus membaca laporan yang baru saja dikirimkan oleh sang sekretaris.“Hm, apa kau mau menemaniku berjalan-jalan? Aku bosan di rumah, Sean. Aku ingin ke super market membeli bahan-bahan makanan,” ujar Stella dengan bibir yang tertekuk. Kini dia duduk di samping Sean, dan mengamati pria itu dengan seksama. Tampak Sean yang begitu sibuk. Namun, ini adalah weekend. Tidak ada salahnya Sean meluangkan waktu sedikit untuknya. Lagi pula weekend-weekend sebelumnya Sean sudah disibukan dengan pekerjaan yang tak pernah berhenti.Sean yang tahu Stella duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya ke atas meja. Kemudian, menarik tangan Stella membawa tubuh istri kecilnya itu terduduk di pangkuannya. Reflek, Stella merapatkan tubuhnya pada tubuh Sean seraya mengai