Malam kian larut, Stella yang tadinya tertidur pulas. Kini bergerak-gerak gelisah. Peluh keringat membasahi pelipis Stella. Bibirnya sejak tadi merancau dengan mata yang terus terpejam pertanda gadis itu tengah memimpikan sesuatu.“Ma, aku ingin ikut. Aku mohon bawa aku, Ma. Tidak ada yang menginginkanku di sini.” Stella mengigau dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipinya.Suara Stella membuat Sean langsung membuka kedua matanya terbuka. Sean berbalik, menatap Stella yang terus mengigau itu.“Stella? Stella?” Sean menyentuh bahu gadis itu agar terbangun, namun nyatanya Stella tetap mengigau.“Mama, bawa aku. Di dunia ini tidak ada yang menginginkanku.” Stella terisak dalam mimpinya. Sontak membuat Sean terdiam kala mendengar isak tangis pilu Stella.“Stella…” Sean berusaha kembali membangunkan Stella dengan menyentuh pipi gadis itu. Namun, tiba-tiba raut wajah Sean mulai berubah kala merasakan tubuh Stella demam. Dengan cepat Sean menyentuh kening Stella. Ya, benar saja gadi
Sean membawa Stella ke halaman belakang rumahnya. Benar saja, di sana sinar matahari pagi di tambah dengan tanaman hijau yang tertata rapi membuat cuasa pagi itu begitu tenang dan menyejukan. Stella dari tadi hanya diam, dan memilih menuruti kemana pun Sean pergi.“Setiap pagi kau bisa berjemur di sini. Sinar matahari pagi sangat baik untuk kesehatan,” ucap Sean mengingatkan Stella dengan nada dingin, dan raut wajah datar.Stella mengangguk. “Iya, Sean. Aku akan berjemur setiap paginya.”Stella mengembuskan napas kasar. “Ada hal yang ingin aku tanyakan.”“Apa, Sean?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap Sean.“Sejak kapan kau bisa bernyanyi? Dan kenapa Raynold tahu kau bisa bernyanyi?” Sean bertanya dengan nada penuh selidik yang terdengar dingin dan tampak mengendalikan dirinya.“Aku hanya bisa bernyanyi biasa saja, Sean. Tidak hebat. Dulu saat aku sering mengajak saudaraku di panti untuk bernyanyi. Saat itu, tidak sengaja Raynold datang ke panti. Dia melihatku bernyanyi bersama
“Sean? Stella?” Marsha langsung mengulas senyuman hangatnya kala melihat Sean dan Stella mendekat ke arahnya. Kemudian memeluk Sean dan Stella bergantian. Memberikan pelukan hangat dan penuh dengan kasih sayang.“Apa kabar, Mom?” sapa Stella dengan hangat seraya mengurai pelukannya. Tatapannya menatap lembut ibu mertuanya yang berdiri di hadapannya itu.“Baik, sayang.” Marsha membawa tangannya, mengelus pipi Stella. “Lama tidak melihatmu, kau sangat cantik, Stella. Pipimu jauh berisi. Apa kau sedang hamil?”Stella tersedak mendengar pertanyaan Marsha. Hamil? Astaga, tidak pernah terpikir olehnya ibu mertuanya akan menanyakan hal itu. Ya, tentu saja pipi Stella mulai berisi. Pasalnya selama tinggal dengan Sean, pria itu selalu memaksanya makan banyak.“Mom,” tegur Sean kesal mendengar pertanyaan ibunya itu.Marsha mendengkus tak suka. “Memangnya Mommy salah di mana? Mommy hanya bertanya saja apa Stella sedang hamil? Karena tubuh Stella lebih berisi dari sebelumnya.”“Aku memberikannya
Sean turun dari mobilnya, setelah dia memarkirkan mobilnya di halaman parkir rumah Aurora. Kini dia melangkah masuk ke dalam. Para penjaga dan pelayan tampak berderet membungkukan badan mereka menyapa dengan hormat Sean yang baru saja masuk ke dalam rumah.“Di mana Aurora?” tanya Sean dingin pada sang pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nona Aurora berada di kamarnya, Tuan,” jawab sang pelayan memberitahu.“Apa dokter sudah datang?” tanya Sean lagi dengan nada yang masih sama.“Sudah, Tuan. Dokter saat ini tengah memeriksa keadaan Nona Aurora,” jawab sang pelayan.Sean mengangguk singkat. Kemudian, Sean melanjutkan langkahnya menuju kamar Aurora. Ya, rumah Aurora ini tidak asing bagi Sean. Karena sudah lama Aurora membeli rumah di Jakarta. Namun, wanita itu hanya menempati rumah ini jika tengah berada di Jakarta saja. Itu pun bisa dikatakan Aurora sangat jarang berada di Jakarta. Hanya sesekali, dan tidaklah lama. Namun, entah sekarang Aurora masih menyukai menetap di Jakarta.Saat S
Sinar matahari menembus jendela, menyentuh kulit wajah Stella. Perlahan pelupuk mata Stella bergerak. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dnan menggeliat. Saat Stella telah benar-benar membuka matanya, Stella menyipitkan pandangan ke sekitar. Seketika kening Stella berkerut mendapati tubuhnya terbaring di ranjang. Padahal harusnya tadi malam Stella tertidur di sofa, bukan di ranjang. Namun, kenapa sekarang dia sudah di ranjang?“Apa tadi malam aku pindah sendiri, ya? Tapi kapan? Apa mungkin aku tidur sambil berjalan untuk pindah ke ranjang?” gumam Stella bingung.Stella menghela napas panjang, memutuskan untuk tidak lagi memikirkan bagaimana dia bisa pindah ke ranjang. Stella mengalihkan pandangannya ke samping, melihat ke ranjang Sean—raut wajah Stella berubah menjadi muram ketika ranjang Sean kosong.“Sepertinya Sean tidak pulang.” Stella kembali bergumam pelan. “Mungkin Aurora sakitnya sedikit parah sampai Sean harus menginap di sana.”Pancaran mata Stella meredup, tergantikan d
“Aw..” Stella meringis kesakitan kala Sean menarik kasar tangan Stella, menjauh dari Raynold. Bahkan Sean menyingkirkan tangan Aurora yang sejak tadi melingkar di tangannya. Sedangkan Aurora yang melihat Sean menarik tangan Stella, raut wajah Aurora langsung berubah menjadi dingin dan sorot mata menunjukan ketidak sukaannya.“Sean, sakit,” ucap Stella pelan agar tidak ada yang mendengarnya.“Kenapa kau bisa ada di sini, Stella?” geram Sean dengan tatapan begitu tajam dan penuh peringatan pada Stella.“Sean, aku—”“Kita pulang sekarang!”Sean tidak mau mendengarkan penjelasan Stella. Dia langsung menarik kasar tangan Stella, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, saat Sean hendak meninggalkan restoran itu—tiba-tiba, tangan Raynold menahan lengan Sean.“Tuan Sean, apa anda tidak melihat Stella meringis kesakitan? Anda melukai Stella, Tuan,” ujar Raynold dengan nada yang masih sopan, dan tatapan yang menatap Sean penuh peringatan.“Jangan ikut campur urusanku dengan istriku.” Dengan waja
“S-Sean… Apa yang mau kau lakukan?” Stella menelan salivanya susah payah kala melihat Sean melangkah mendekat ke arahnya. Dress yang dipakai Stella sedikit terangkat, membuat pahanya yang mulus itu terkespos.“Aku akan memberikan kesan pertamamu yang tidak akan pernah terlupakan.”Sean melepas ikat pinggangnya. Reflek membuat jantung Stella berdegup kencang seolah akan melompat dari tempatnya. Ditambah dengan Sean yang membuka kancing kemeja yang dipakainya. Dada bidang, lengan kekar, serta otot perut pria itu membuat napas Stella hampir putus. Tubuh gagah ditambah dengan tato di lengan Sean membuat semua wanita yang melihatnya berdesir. Darah yang mengalir di tubuh Stella seperti berhenti di kepalanya. Pasalnya kepalanya mulai sedikit pusing melihat apa yang di hadapannya ini. Sungguh, jika biasanya Stella ketakutan kali ini bukan takut, melainkan imajinasi liar yang muncul dalam benaknya.“Sean—”Perkataan Stella terpotong kala Sean sudah naik ke atas tubuhnya. Membuat tubuh Stella
“Ah—” Stella meringis kesakitan merasakan tubuhnya begitu remuk. Stella mulai membuka matanya perlahan. Dia mengerjap beberapa kali. Hingga saat mata Stella benar-benar terbuka sempurna, Stella merasakan inti tubuh bagian bawahnya perih.“Sudah bangun, hm?” Suara bariton menegur Stella, membuat Stella langsung mengalihkan pandagannya dengan cepat. Tiba-tiba raut wajah Stella berubah melihat Sean dengan bertelanjang dada, tidur di sampingnya. Sekelebat ingatan Stella mengingat apa dia dan Sean lakukan. Wajah Stella langsung berubah menjadi malu. Bahkan rasanya Stella tidak memiliki muka untuk bertemu dengan Sean.“S-Sean? K-Kau sudah bangun?” Stelle menjadi gugup dan malu melihat ke arah Sean. Namun didetik selanjutnya, Sean menarik tangan Stella, membawanya masuk ke dalam dekapannya. Reflek Stella memekik terkejut kala Sean menarik tangannya.“Masih malu, hm?” Sean menarik dagu Stella, mencium lembut bibir istrinya itu. “Kenapa harus malu? Sekarang kau lihatlah tubuhmu masih belum mem
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al