Stella meringis kala sang pelayan mengompreskan es batu ke luka lebam di wajahnya. Entah bagaimana nasib Stella jika tidak ada pengawal yang membantunya, dia pasti sudah babak belur dipukul oleh Erina. Stella tidak menyangka akan kembali bertemu dengan Erina. Dia pikir setelah Erina tidak lagi mengurus panti asuhan—tempat di mana dia dibesarkan—wanita paruh baya itu akan meninggalkan Jakarta. Namun kenyataannya salah, Erina tetap menetap di Jakarta. Bahkan menaruh dendam padanya.“Nyonya, apa sakit sekali? Apa saya harus panggilkan Dokter?” tanya sang pelayan dengan cemas dan takut.“Tidak perlu. Ini hanya luka lebam saja. Lagi pula tidak ada luka yang harus dijahit. Hanya dengan kompres dan bantuan salep memar, aku yakin akan segera sembuh.” Stella berucap seraya tersenyum ke arah pelayan.“Stella…” Suara berat terdengar keras memanggil Stella, memasuki kamar.Raut wajah Stella menjadi pucat kala menatap Sean yang datang.“Tuan.” Sang pelayan langsung menundukkan kepala, kala melihat
Sinar matahari menembus jendala, menyentuh rambut hitam tebal Stella yang indah—membuat sang pemilik rambut menjadi berkilau akibat cahaya matahari yang telah menyorot menyentuh rambut indahnya.Stella mematut cermin sedikit berias. Dia Memoles bibirnya yang sedikit kering dengan lip balm. Lantas, tatapannya teralih pada jam dinding—waktu menunjukkan pukul tujuh pagi—dan Sean sudah tidak ada di ranjang.Stella tak tahu ke mana Sean pergi. Biasanya pria itu akan berangkat bekerja pada pukul sembilan pagi. Rasa penasaran sudah mengumpul dalam dirinya menjadi satu, pada akhirnya Stella memilih untuk mengabaikan rasa penasaran di dalam dirinya.Stella bangkit berdiri dari kursi meja riasnya, menyisir rambut panjang dan indahnya—yang baru saja dia berikan vitamin. Bisa dikatakan memang Sean menyiapkan keperluan pribadi Stella. Termasuk produk perawatan kulit.“Selamat pagi, Nyonya Stella.” Sang pelayan menyapa dengan sopan kala Stella yang baru saja keluar dari kamar.Stella tersenyum lemb
“Ya, Tuhan. Bagaimana ini?” Stella bergumam seraya menggigit kukunya. Sejak tadi dia mondar-mandir gelisah. Pikirannya terus memikirkan tentang perkataan Sean tadi malam. Sebuah kalimat yang lolos dari pria itu, membuatnya terus terngiang dalam benaknya. Imajinasinya berkeliaran akibat perkataan Sean itu.“Bagaimana kalau itu sampai terjadi?” Stella menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Tidak-tidak, itu tidak mungkin. Itu tidak boleh terjadi.” Perempuan itu menggelengkan kepalanya, mengatur napasnya agar tenang. Rasa takut menyerang dan menggrogoti dirinya. “Nyonya, barang-barang yang Anda butuhkan sudah dimasukan ke dalam koper,” ujar sang pelayan sontak membuat Stella terkejut. Pasalnya perempuan itu tidak menyadari kalau pelayan sudah berada di hadapannya.“Ah, kau sudah merapikan semuanya?” tanya Stella menjadi canggung.Sang pelayan mengangguk. “Sudah, Nyonya. Saya sudah merapikan semuanya. Apa ada lagi yang Anda butuhkan?”“Hm, t-tidak ada. Terima kasih.” Stella te
Venice Marco Polo International, Airport. Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandara Internasional Marco Polo Venice. Setelah menepuh perjalanan panjang akhirnya pesawat telah tiba dengan selamat. Beruntung Stella sudah terbangun. Tadi, ketika perempuan itu tertidur di pesawat, Sean memindahkan tubuhnya ke dalam kamar.“Sean, kita turun, ya?” tanya Stella pelan. Dia sudah terbangun dari tidur pulas. Pun pesawat telah mendarat sempurna di bandara.“Jika pesawat sudah mendarat di bandara, kau mau kita tetap berada di pesawat?” Alih-alih menjawab, malah Sean membalikan pertanyaan konyol Stella.“Aku kan hanya bertanya saja, Sean.” Bibir Stella menekuk dalam. ‘Dia galak sekali,’ batinnya yang tak terucapkan.Tak banyak berkata, Sean melingkarkan tangannya ke pinggang Stella, melangkah turun dari pesawat. Pilot dan pramugari tersenyum sopan di kala Sean dan Stella sudah turun dari pesawat. Tentu Stella membalas senyuman itu. Hanya Sean yang memasang wajah dingin dan ta
Stella meringis merasakan perih akibat tamparan keras di wajahnya yang disebabkan oleh wanita yang berdiri di hadapannya itu. Sudut bibir Stella mengeluarkan darah. Namun dengan cepat Stella menyentuhnya, menghentikan darah yang keluar dari sudut bibirnya.“Damn it! You ruined my dress!” seru wanita itu meninggikan suaranya, tatapannya menatap tajam Stella yang masih tersungkur di lantai.“Nona, Anda bisa selesaikan ini secara baik-baik.” Sang pelayan yang tadi ditabrak oleh Stella, berusaha meredakan amarah wanita itu.“Diam kau! Jangan berani kau berbicara denganku! Kau hanya pelayan rendahan!” bentak wanita itu kasar.Perlahan Stella berusaha bangkit berdiri, dibantu oleh sang pelayan. Raut wajah Stella tampak bingung kala wanita di hadapannya ini mengucapkan Bahasa Inggris. Pasalnya, Stella hanya bisa mengerti dan memahami, tapi dia tidak bisa menjawab dengan lancar. Akan tetapi, tentu Stella tetap harus meminta maaf. Ini semua terjadi karena kesalahannya. “M-Miss, I’m sorry.” S
“Tidurlah duluan, aku akan keluar sebentar.” Kalimat lolos di bibir Sean, di kala sudah tiba di kamar hotel. Pria tampan itu meminta Stella untuk tidur duluan, karena dia mengatakan akan pergi keluar sebentar.“Kau ingin ke mana, Sean?” tanya Stella pelan.“Ada yang harus aku urus. Kau tidurlah. Hari ini melelahkan bagimu. Kau butuh istirahat,” ucap Sean dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.Stella mengangguk patuh merespon ucapan Sean. Detik selanjutnya, Sean melangkah meninggalkan Stella yang tidak bergeming dari tempatnya. Tepat di saat Sean sudah pergi—perempuan itu langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya.“Astaga, apa yang sudah aku lakukan?” Stella bergumam kala pikirannya membayangkan apa yang tadi dia lakukan dengan Sean. Tadi Stella merasakan bibir hangat Sean yang menyapu bibirnya. Bahkan untuk pertama kali Stella membalas dan tidak hanya diam.Sungguh Stella ingin sekali berlari pergi menjauh dari Sean. Dia tidak memiliki muka lagi bertemu dengan pria itu. Sean
“Sean? Kau mau membawaku ke mana?” Stella bertanya seraya menatap Sean yang sedang melajukan mobil. Pagi ini Sean tiba-tiba mengatakan akan mengajaknya ke suatu tempat. Namun, Sean tidak memberi tahu ke mana mereka akan pergi.“Diamlah, nanti kau akan tahu.” Sean menjawab tanpa mengalihkan pandangannya ke depan. Pria itu terus fokus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah Kota Venice.Stella menghela napas panjang. Meski sebenarnya Stella ingin tahu ke mana Sean akan membawanya, tapi dia tidak bisa memaksa pria itu untuk menjawab. Perempuan itu memilih mengalihkan pandangannya, keluar jendela menatap keindahan musim semi di Kota Venice. Sebuah kota yang indah. Bahkan Stella banyak melihat pasangan yang berjalan mesra di jalan. Stella tersenyum kala melihat pasangan yang tidak malu menunjukkan kemesraan mereka di muka umum.Tak berselang lama mobil Sean terparkir tidak jauh dari kanal-kanal kecil di Venice dengan deretan gondola di sana. Raut wajah Stella tampak bingung ke
Sean menatap Stella yang sedang tertidur begitu pulas. Sepertinya jalan-jalan kemarin telah membuat perempuan itu kelelahan. Bahkan hingga detik ini Stella tak kunjung bangun. Padahal biasanya Stella selalu bangun lebih awal.Sean memilih untuk tidak membangunkan Stella. Yang dia lakukan saat lebih dulu terbangun adalah menatap perempuan polos itu. Hal yang dia sukai dari Stella adalah tidak seperti perempuan yang dia kenal yang selalu memakai riasan tebal, perhiasan berlebihan, serta tampil dengan seksi. Itu bukanlah Stella.Perempuan di hadapannya ini hanya memakai riasan tipis. Bibir merah jambunya hanya memakai lip balm atau lip gloss. Terkadang Stella memakai riasan sedikit tebal tapi itu hanya jika ingin ke pesta saja. Jika tidak, maka Stella lebih menggunakan riasan tipis.Sean tentu lebih menyukai seorang perempuan tampil natural, daripada harus make-up berlebihan. Harus dia akui, gadis kecil polos yang menjadi istrinya itu memiliki kecantikan natural. Kecantikannya tidaklah b