Share

Bab 6. Cara Licik

Sean menatap sang dokter dengan tatapan dingin dan tegas, yang tengah memeriksa Stella. Dia sedikit mendecakkan lidahnya kesal. Bisa-bisanya gadis bodoh itu pingsan hanya karena mendengar percakapan antara dirinya dan juga ayahnya.

“Bagaimana keadaannya?” Pertama kali ini yang Sean tanyakan, ketika sang dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Stella.

“Tuan, Nona Stella mengalami shock. Apa Anda memberi tahu kabar yang membuatnya terkejut, hingga jatuh pingsan?” Dokter balik bertanya.

Sean mengembuskan napas kasar. Benar dugaannya, bahwa Stella terkejut mendengar apa yang dia katakan pada sang ayah. “Ya, aku baru saja menyampaikan kabar yang membuatnya terkejut.”

Sang Dokter menggangguk paham dan mengerti. “Beliau masih muda. Detak jantungnya normal. Berita itu hanya membuatnya shock, tapi tidak membuat jantungnya lemah. Saya sudah memberikan obat dan vitamin. Habiskan obat yang saya resepkan. Begitu juga dengan vitamin, saya harap Nona Stella meminumnya setiap hari agar meningkatkan daya tahan tubuhnya.”

“Aku mengerti. Thanks.” Sean menjawab dengan singkat dan raut wajah datar.

“Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean.

“Menyusahkan.” Sean mengumpat kesal.

Sean mendekat ke arah Stella, melihat gadis itu masih belum sadarkan diri. Kekesalan dalam dirinya mulai meredup ketika melihat wajah polos Stella. Gadis itu memejamkan matanya seperti seorang anak kecil yang tertidur lelap. Bibir merah muda, hidung mancung mungil, bulu mata lentik, serta kulit putih pucat membuat Sean terpaku.

Sean mengakui gadis itu memiliki wajah yang sangat cantik. Meski gadis itu tidak pernah memakai riasan di wajahnya, tetap terlihat sangatlah cantik. Hal yang membuat Sean tertarik adalah rambut hitam legam gadis itu. Sebab kebanyakan gadis berasal di luar Asia memiliki rambut cokelat, merah ataupun pirang. Sementara rambut hitam identik dengan warna rambut yang dimiliki gadis Asia.

Sean duduk di tepi ranjang. Tatapannya terus menatap Stella yang masih menutup matanya. Entah kenapa Sean menyukai pemandangan ini. Gadis itu begitu lemah, mudah menangis, dan penakut. Dalam hidup, dia baru pertama kali bertemu gadis sepertinya.

Pelupuk mata Stella bergerak. Perlahan dia mulai membuka matanya. Mengerjap beberapa kali. Menatap dirinya berada di sebuah kamar bernuansa gold. Kamar yang tak asing di matanya. Tepat di kala dia membuka mata, tatapannya teralih pada Sean yang duduk di hadapannya.

“T-Tuan Sean?” Stella langsung bangkit, dan memundurkan tubuhnya seraya memijat pelan pelipisnya.

“Kau sudah sadar?” Sean menatap Stella dengan tatapan yang begitu dingin.

“Ada apa denganku?” gumam Stella seraya berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Namun, kepalanya begitu pusing, hingga membuatnya semakin sakit jika berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya.

“Kau tidak ingat?” Sebelah alis Sean terangkat, dia menyunggingkan senyuman misterius kala melihat wajah Stella yang tampak berusaha mengingat sesuatu.

Stella mengerutkan keningnya. Tiba-tiba, sekelebat ingatan Stella muncul. Raut wajahnya menegang dan terkejut. Pancaran dari iris mata abu-abunya meredup tergantikan dengan ketakutan yang menyelimuti dirinya.

“K-kau … K-kau… mengatakan pada ayahmu aku adalah calon istrimu, kan?” Stella memberanikan diri untuk bertanya. Dia menelan salivanya susah payah. Nadanya bergetar menahan rasa takut.

“Kau mengerti percakapanku dan ayahku?” Bukannya menjawab, Sean malah balik bertanya. Pasalnya, selama ini Sean berbicara dengan Stella menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan tadi saat dia berbicara dengan ayahnya, Sean menggunakan Bahasa Inggris. Sebab ayahnya bukan berasal dari Indonesia. Hanya sang ibu yang memiliki darah Indonesia. Namun, meski demikian, ayahnya itu mulai sedikit bisa mengerti Bahasa Indonesia meski tidak lancar.

“A-aku memang tidak pintar. T-tapi aku mengerti jika seseorang berbicara dengan Bahasa Inggris. Meski aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.” Stella berucap dengan gugup.

Sean terdiam sesaat mendengar jawaban Stella. Banyak hal yang mucul dalam benaknya. Wajah gadis di hadapannya ini terlihat berdarah campuran. Sangat aneh jika gadis di hadapanya ini tidak bisa menggunakan Bahasa Inggris.

“K-kau belum menjawabku. T-tadi kau mengatakan pada ayahmu aku adalah calon istrimu, kan?” Stella kembali bertanya dengan tatapan lekat pada Sean yang masih terdiam. Dia menunggu jawaban dari pria tampan itu.

“Jika kau sudah tahu, kenapa kau masih bertanya?” Sean menjawab dengan nada dingin, dan terdengar menusuk di indra pendengaran gadis itu.

Raut wajah Stella tampak begitu menunjukkan keterkejutannya. Tenggorokannya terasa tercekat. Lidahnya begitu kelu. Dia menggelengkan kepalanya, meyakinkan apa yang dia dengar ini salah. Namun tidak, semua yang dia dengar begitu jelas.

“K-kau sedang bercanda, kan?” seru Stella dengan mengumpulkan keberanian dalam dirinya, untuk kembali bertanya.

Sean tersenyum sinis. “Apa menurutmu aku pria yang suka bercanda?”

Stella bungkam, tentu dia tahu pria di hadapannya ini bukanlah pria yang suka bercanda atau main-main. Terlihat jelas wajah pria itu selalu serius. Bahkan rasanya meski pria di hadapannya itu tersenyum, tetap saja menunjukkan wajah dingin dan arogannya.

“A-aku tidak mungkin menikah denganmu. A-aku tidak mau!” Suara Stella terdengar begetar kala mengatakan hal itu. Napasnya tak beraturan. Manik mata abu-abunya menunjukan penolakan tegas dalam dirinya.

“Apa aku meminta persetujuan darimu, Stella Regina?” Sean menyunggingkan senyuman miring, dan terlihat mengejek ke arah gadis di hadapannya itu.

Wajah Stella memerah. Iris mata abu-abunya menggelap. Dengan berani Stella menjawab, “Kau tidak bisa bertindak sesukamu! Aku tidak mau menikah dengammu!”

Sean menarik dagu Stella seraya berdesis tajam, “Stella Regina, kau tidak lupa, bukan? Kau telah menukarkan dirimu demi lahan panti asuhan tempat kau dibesarkan. Kau tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perkataanku. Jika aku menginginkanmu menjadi pelayanku maka kau harus menurutinya. Termasuk, jika aku menginginkanmu menjadi istriku, maka kau juga harus menurutinya. Kau tidak memiliki hak sedikit pun untuk menolakku.”

Mata Stella memerah menahan air mata. Napasnya tak beraturan. Amarah dalam dirinya seolah ingin meledak. “Kau sudah tidak waras! Aku lebih baik menjadi pelayan dari pada istri seorang pria kejam dan tidak memiliki hati sepertimu! Aku tidak mau! Aku menolaknya!”

Kegilaan macam apa ini? Stella tak pernah tahu kalau dia akan dijadikan istri oleh Sean. Jika perempuan lain, pasti akan merasa sangat beruntung, tapi tidak dengan Stella. Sean adalah sosok pria yang kejam. Bagaimana hidupnya kalau dirinya menikah dengan pria itu?

Sean mengganggukkan kepalanya kala mendengar pernolakan dari Stella. Detik selanjutnya dia mengukir seringai di wajahnya dan berkata, “Baiklah. Bisa saja kau menolak permintaanku. Tapi jangan salahkan aku, jika aku mengusir paksa seluruh saudaramu di panti itu dengan cara yang kejam.”

Mata Stella melebar terkejut. Wajah Stella memucat. Keberanian dalam dirinya lenyap ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Nyali gadis itu langsung menciut akibat ancaman yang lolos di bibir Sean.

“K-kau mengancamku?” Stella menelan salivanya.

Sean mengangkat bahunya tak acuh. “Kita anggap begitu. Kau keras kepala, maka aku akan menggunakan kekuasaanku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan,” jawabnya dingin dan penuh ketegasan.

Mata Stella memanas. Air mata yang dia tahan tidak sanggup lagi tertahan. “Bagaimana ada pria yang kejam sepertimu? Apa kau tidak memiliki kasihan pada anak-anak di panti itu? Banyak anak kecil di sana. Kenapa kau begitu jahat?”

“Aku rasa aku pernah mengatakan padamu, dalam dunia bisnis menjadi kejam itu perlu. Lagi pula, aku hanya menagih apa yang telah kau berikan. Kau telah memberikan dirimu padaku. Maka sepenuhnya aku berhak atas dirimu.” Sean bangkit berdiri, dia mengabaikan tangis Stella. “Besok, orang tuaku akan datang. Mereka akan bertemu denganmu dan membahas tentang pernikahan kita. Tadi ayahku harus menyelesaikan pekerjaannya. Itu kenapa ayahku tidak bisa menunggu sampai kau sadar.” Sean menjeda sebentar, melukiskan senyuman penuh maksud. Pun tatapan penuh ancaman. “Kau tidak perlu khawatir, ibuku bisa Berbahasa Indonesia. Jadi kau akan bebas bicara dengannya. Tapi ingat, jika kau mengatakan alasan kenapa kau bisa ada di sini, maka aku akan pastikan tidak akan pernah memberikan belas kasihanku padamu atau pun saudaramu yang ada di panti.”

Sean berbalik dan meninggalkan Stella yang sejak tadi tidak henti menangis.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mau menikah dengan pria kejam itu.” Tangis Stella semakin keras. Bahunya bergetar menahan pilu dan sesak. Dia merutuki kesialan yang hadir dalam hidupnya. Di sisi lain dia ingin memberontak, namun jika dia melakukan itu, maka pasti saudaranya yang ada di panti akan masuk dalam jurang penderitaan pria kejam itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status