Sean menatap sang dokter dengan tatapan dingin dan tegas, yang tengah memeriksa Stella. Dia sedikit mendecakkan lidahnya kesal. Bisa-bisanya gadis bodoh itu pingsan hanya karena mendengar percakapan antara dirinya dan juga ayahnya.
“Bagaimana keadaannya?” Pertama kali ini yang Sean tanyakan, ketika sang dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Stella.
“Tuan, Nona Stella mengalami shock. Apa Anda memberi tahu kabar yang membuatnya terkejut, hingga jatuh pingsan?” Dokter balik bertanya.
Sean mengembuskan napas kasar. Benar dugaannya, bahwa Stella terkejut mendengar apa yang dia katakan pada sang ayah. “Ya, aku baru saja menyampaikan kabar yang membuatnya terkejut.”
Sang Dokter menggangguk paham dan mengerti. “Beliau masih muda. Detak jantungnya normal. Berita itu hanya membuatnya shock, tapi tidak membuat jantungnya lemah. Saya sudah memberikan obat dan vitamin. Habiskan obat yang saya resepkan. Begitu juga dengan vitamin, saya harap Nona Stella meminumnya setiap hari agar meningkatkan daya tahan tubuhnya.”
“Aku mengerti. Thanks.” Sean menjawab dengan singkat dan raut wajah datar.
“Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean.
“Menyusahkan.” Sean mengumpat kesal.
Sean mendekat ke arah Stella, melihat gadis itu masih belum sadarkan diri. Kekesalan dalam dirinya mulai meredup ketika melihat wajah polos Stella. Gadis itu memejamkan matanya seperti seorang anak kecil yang tertidur lelap. Bibir merah muda, hidung mancung mungil, bulu mata lentik, serta kulit putih pucat membuat Sean terpaku.
Sean mengakui gadis itu memiliki wajah yang sangat cantik. Meski gadis itu tidak pernah memakai riasan di wajahnya, tetap terlihat sangatlah cantik. Hal yang membuat Sean tertarik adalah rambut hitam legam gadis itu. Sebab kebanyakan gadis berasal di luar Asia memiliki rambut cokelat, merah ataupun pirang. Sementara rambut hitam identik dengan warna rambut yang dimiliki gadis Asia.
Sean duduk di tepi ranjang. Tatapannya terus menatap Stella yang masih menutup matanya. Entah kenapa Sean menyukai pemandangan ini. Gadis itu begitu lemah, mudah menangis, dan penakut. Dalam hidup, dia baru pertama kali bertemu gadis sepertinya.
Pelupuk mata Stella bergerak. Perlahan dia mulai membuka matanya. Mengerjap beberapa kali. Menatap dirinya berada di sebuah kamar bernuansa gold. Kamar yang tak asing di matanya. Tepat di kala dia membuka mata, tatapannya teralih pada Sean yang duduk di hadapannya.
“T-Tuan Sean?” Stella langsung bangkit, dan memundurkan tubuhnya seraya memijat pelan pelipisnya.
“Kau sudah sadar?” Sean menatap Stella dengan tatapan yang begitu dingin.
“Ada apa denganku?” gumam Stella seraya berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Namun, kepalanya begitu pusing, hingga membuatnya semakin sakit jika berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya.
“Kau tidak ingat?” Sebelah alis Sean terangkat, dia menyunggingkan senyuman misterius kala melihat wajah Stella yang tampak berusaha mengingat sesuatu.
Stella mengerutkan keningnya. Tiba-tiba, sekelebat ingatan Stella muncul. Raut wajahnya menegang dan terkejut. Pancaran dari iris mata abu-abunya meredup tergantikan dengan ketakutan yang menyelimuti dirinya.
“K-kau … K-kau… mengatakan pada ayahmu aku adalah calon istrimu, kan?” Stella memberanikan diri untuk bertanya. Dia menelan salivanya susah payah. Nadanya bergetar menahan rasa takut.
“Kau mengerti percakapanku dan ayahku?” Bukannya menjawab, Sean malah balik bertanya. Pasalnya, selama ini Sean berbicara dengan Stella menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan tadi saat dia berbicara dengan ayahnya, Sean menggunakan Bahasa Inggris. Sebab ayahnya bukan berasal dari Indonesia. Hanya sang ibu yang memiliki darah Indonesia. Namun, meski demikian, ayahnya itu mulai sedikit bisa mengerti Bahasa Indonesia meski tidak lancar.
“A-aku memang tidak pintar. T-tapi aku mengerti jika seseorang berbicara dengan Bahasa Inggris. Meski aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.” Stella berucap dengan gugup.
Sean terdiam sesaat mendengar jawaban Stella. Banyak hal yang mucul dalam benaknya. Wajah gadis di hadapannya ini terlihat berdarah campuran. Sangat aneh jika gadis di hadapanya ini tidak bisa menggunakan Bahasa Inggris.
“K-kau belum menjawabku. T-tadi kau mengatakan pada ayahmu aku adalah calon istrimu, kan?” Stella kembali bertanya dengan tatapan lekat pada Sean yang masih terdiam. Dia menunggu jawaban dari pria tampan itu.
“Jika kau sudah tahu, kenapa kau masih bertanya?” Sean menjawab dengan nada dingin, dan terdengar menusuk di indra pendengaran gadis itu.
Raut wajah Stella tampak begitu menunjukkan keterkejutannya. Tenggorokannya terasa tercekat. Lidahnya begitu kelu. Dia menggelengkan kepalanya, meyakinkan apa yang dia dengar ini salah. Namun tidak, semua yang dia dengar begitu jelas.
“K-kau sedang bercanda, kan?” seru Stella dengan mengumpulkan keberanian dalam dirinya, untuk kembali bertanya.
Sean tersenyum sinis. “Apa menurutmu aku pria yang suka bercanda?”
Stella bungkam, tentu dia tahu pria di hadapannya ini bukanlah pria yang suka bercanda atau main-main. Terlihat jelas wajah pria itu selalu serius. Bahkan rasanya meski pria di hadapannya itu tersenyum, tetap saja menunjukkan wajah dingin dan arogannya.
“A-aku tidak mungkin menikah denganmu. A-aku tidak mau!” Suara Stella terdengar begetar kala mengatakan hal itu. Napasnya tak beraturan. Manik mata abu-abunya menunjukan penolakan tegas dalam dirinya.
“Apa aku meminta persetujuan darimu, Stella Regina?” Sean menyunggingkan senyuman miring, dan terlihat mengejek ke arah gadis di hadapannya itu.
Wajah Stella memerah. Iris mata abu-abunya menggelap. Dengan berani Stella menjawab, “Kau tidak bisa bertindak sesukamu! Aku tidak mau menikah dengammu!”
Sean menarik dagu Stella seraya berdesis tajam, “Stella Regina, kau tidak lupa, bukan? Kau telah menukarkan dirimu demi lahan panti asuhan tempat kau dibesarkan. Kau tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perkataanku. Jika aku menginginkanmu menjadi pelayanku maka kau harus menurutinya. Termasuk, jika aku menginginkanmu menjadi istriku, maka kau juga harus menurutinya. Kau tidak memiliki hak sedikit pun untuk menolakku.”
Mata Stella memerah menahan air mata. Napasnya tak beraturan. Amarah dalam dirinya seolah ingin meledak. “Kau sudah tidak waras! Aku lebih baik menjadi pelayan dari pada istri seorang pria kejam dan tidak memiliki hati sepertimu! Aku tidak mau! Aku menolaknya!”
Kegilaan macam apa ini? Stella tak pernah tahu kalau dia akan dijadikan istri oleh Sean. Jika perempuan lain, pasti akan merasa sangat beruntung, tapi tidak dengan Stella. Sean adalah sosok pria yang kejam. Bagaimana hidupnya kalau dirinya menikah dengan pria itu?
Sean mengganggukkan kepalanya kala mendengar pernolakan dari Stella. Detik selanjutnya dia mengukir seringai di wajahnya dan berkata, “Baiklah. Bisa saja kau menolak permintaanku. Tapi jangan salahkan aku, jika aku mengusir paksa seluruh saudaramu di panti itu dengan cara yang kejam.”
Mata Stella melebar terkejut. Wajah Stella memucat. Keberanian dalam dirinya lenyap ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Nyali gadis itu langsung menciut akibat ancaman yang lolos di bibir Sean.
“K-kau mengancamku?” Stella menelan salivanya.
Sean mengangkat bahunya tak acuh. “Kita anggap begitu. Kau keras kepala, maka aku akan menggunakan kekuasaanku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan,” jawabnya dingin dan penuh ketegasan.
Mata Stella memanas. Air mata yang dia tahan tidak sanggup lagi tertahan. “Bagaimana ada pria yang kejam sepertimu? Apa kau tidak memiliki kasihan pada anak-anak di panti itu? Banyak anak kecil di sana. Kenapa kau begitu jahat?”
“Aku rasa aku pernah mengatakan padamu, dalam dunia bisnis menjadi kejam itu perlu. Lagi pula, aku hanya menagih apa yang telah kau berikan. Kau telah memberikan dirimu padaku. Maka sepenuhnya aku berhak atas dirimu.” Sean bangkit berdiri, dia mengabaikan tangis Stella. “Besok, orang tuaku akan datang. Mereka akan bertemu denganmu dan membahas tentang pernikahan kita. Tadi ayahku harus menyelesaikan pekerjaannya. Itu kenapa ayahku tidak bisa menunggu sampai kau sadar.” Sean menjeda sebentar, melukiskan senyuman penuh maksud. Pun tatapan penuh ancaman. “Kau tidak perlu khawatir, ibuku bisa Berbahasa Indonesia. Jadi kau akan bebas bicara dengannya. Tapi ingat, jika kau mengatakan alasan kenapa kau bisa ada di sini, maka aku akan pastikan tidak akan pernah memberikan belas kasihanku padamu atau pun saudaramu yang ada di panti.”
Sean berbalik dan meninggalkan Stella yang sejak tadi tidak henti menangis.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mau menikah dengan pria kejam itu.” Tangis Stella semakin keras. Bahunya bergetar menahan pilu dan sesak. Dia merutuki kesialan yang hadir dalam hidupnya. Di sisi lain dia ingin memberontak, namun jika dia melakukan itu, maka pasti saudaranya yang ada di panti akan masuk dalam jurang penderitaan pria kejam itu.
“Tuan Sean.” Tommy, asisten pribadi Sean menundukkan kepalanya kala melihat Sean baru saja melangkah keluar dari kamar Stella.“Kau di sini?” Sean menghentikan langkahnya, menatap dingin Tommy yang ada di hadapannya.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda inginkan tentang Nona Stella Regina,” ujar Tommy memberi tahu.“Kita bicara di ruang kerjaku.” Sean melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya, bersama dengan Tommy yang mengikutinya dari belakang.“Apa yang kau dapatkan tentang gadis itu?” tanya Sean dingin kala dia dan Tommy sudah tiba di ruang kerjnya. Pria tampan itu duduk di kursi kebesarannya seraya megambil wine yang ada di atas meja dan disesapnya perlahan.Ya, beberapa hari lalu Sean meminta Tommy mencari tahu tentang Stella Regina. Lebih tepatnya dia hanya penasaran, kenapa gadis itu berbeda dengan penghuni panti lainnya. Mulai dari wajah yang memiliki darah campuran, dan serta keberanian gadis itu yang berani memohon padanya agar lahan pant
Stella mematut cermin kala sang perias memoles wajahnya dengan make up. Ya, pagi ini Sean khusus meminta seorang make-up artist untuk merias Stella, karena akan bertemu dengan orang tua pria itu. Sebenarnya Stella tidak menyukai dirias, tapi dia bisa apa? Stella tidak mungkin membantah perkataan Sean.“Nona Stella, kau memiliki wajah yang sangat cantik. Matamu sangat indah. Apa ayah atau ibumu berasal dari luar Indonesia?” tanya sang make-up artist, memuji mata Stella yang indah.“Ibuku berasal dari Jerman. Tapi Ibuku sudah meninggal saat melahirkanku,” jawab Stella dengan suara pelan. Raut wajahnya langsung berubah jika dirinya membahas tentang Ibunya. Sejak dulu, dia akan sedih jika ada orang yang bertanya tentang kedua orang tuanya. Sebab selama ini dia tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya seperti yang orang lain rasakan.“Ah, Maafkan aku, Nona. Aku tidak tahu,” ucap sang make-up artist yang merasa tidak enak.Stella tersenyum ramah. “Tidak apa-apa.”“Sekarang lih
Sean tidak pernah main-main dengan perkataannya akan menikah dengan Stella. Pria itu langsung meminta asistennya untuk mempersiapkan pernikahannya dengan gadis polos itu. Meski sebenarnya Sean mendapatkan banyak ribuan pertanyaan dari kedua orang tuanya tentang Stella—namun Sean menjelaskan tentang identitas Stella yang tidak lagi memiliki keluarga.Sean terbilang beruntung karena kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan status sosial seseorang yang telah dipilih olehnya. Sebab kedua orang tua Sean, menyerahkan semua keputusan pada Sean dengan siapa wanita yang dia akan pilih menjadi istrinya.Alasan kuat Sean mempercepat pernikahan, karena dia lelah harus berdebat dengan ayahnya yang terus mendesaknya menikah. Bukan hanya itu, tapi Sean pun berkali-kali menolak dijodohkan dengan gadis yang dipilihkan ayahnya.Sean memilih Stella, gadis polos yang pastinya akan selalu tunduk di bawah kakinya. Dia membenci jika ada yang mengaturnya. Dia tidak menyukai memiliki istri yang mengatur diri
Stella menatap jemari tangannya yang tersemat oleh cincin berlian yang begitu indah. Seumur hidup, ini pertama kali Stella melihat cincin berlian yang melingkar di jarinya. Jika semua perempuan akan bahagia mendapatkan berlian, berbeda dengan Stella yang tampak bingung. Ya, pernikahannya dengan Sean sudah di depan mata. Dia tidak menyangka akan menikah secepat ini. Tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan menikah dengan pria yang tidak pernah dia kenal.Dalam impian Stella, suatu saat dia akan menikah dengan sosok pangeran tampan yang memiliki hati baik, dan sangat mencintainya. Kenyataannya? Stella tidak mendapatkan itu. Bukan Sean tidak tampan, tentu pria itu memiliki wajah layaknya Dewa Yunani. Tampan dan berkuasa.Sean dikatakan pria yang menjadi impian seluruh wanita. Hanya saja, Stella bukan hanya menginginkan itu. Dia menginginkan sosok pria yang mencintainya dengan tulus dan bisa membahagiakannya. Terdengar klasik. Namun itu adalah impiannya.Stella tidak melihat sosok hangat
Berita pernikahan Sean dan Stella sudah terendus oleh media. Tidak tanggung-tanggung, banyak para media yang meminta keterangan dari Sean dan Stella. Namun, tentu saja Stella tidak pernah bisa berhadapan dengan para media. Jika ada kamera yang tersorot ke arahnya saja, Stella sering menunduk dan menjadi canggung. Itulah hal yang membuat Sean berkali-kali memarahi gadis polos itu.Menjelang hari pernikahan, Stella lebih banyak mengurung diri di dalam rumah. Hampir setiap hari, gadis itu menghabiskan waktunya hanya melamun berdiam diri di rumah. Seperti saat ini, Stella tengah duduk di tepi kolam renang dengan pikiran yang menerawang ke depan.“Nona Stella.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nona, ini ada telepon dari Ibu Erina pengurus panti.” Sang pelayan memberikan telepon pada Stella.“Ibu Erina?” Stella bertanya memastikan seraya menerima telepon itu.Sang pelayan mengganggukkan kepalanya. “Iya, Nona.”Stella
Kediaman mewah milik Sean tampak begitu ramai dengan banyaknya para keluarga yang datang. Beberapa pelayan sejak tadi mondar mandir menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Ya, hari ini adalah hari yang tidak pernah Stella sangka akan terjadi dalam hidupnya secepat ini. Menikah diusia yang masih terbilang muda tidak pernah muncul dalam benak Stella sebelumnya.Kegugupan, ketakutan, kecemasan melingkupi diri Stella. Ingin rasanya Stella berlari dari pernikahan ini, tapi dirinya terlalu lemah untuk melawan keinginan Sean. Ancaman pria itu mampu dengan mudahnya melumpuhkan niat Stella yang ingin melarikan diri. Hal yang membuat Stella sedikit lebih tenang adalah pernikahannya dengan Sean tidak begitu banyak mengundang para tamu. Pria itu khusus meminta pernikahannya diadakan dengan exlusive.Rekan bisnis yang datang pun hanya rekan bisnis pilihan. Media tidak sepenuhnya diizinkan oleh Sean untuk datang. Hanya beberapa yang boleh meliput pernikahannya. Paling tidak Stella lebih tenan
Stella melangkahkan kakinya memasuki kamar pengantin. Sebuah kamar pengantin yang megah dan telah didekorasi oleh taburan bunga mawar merah. Aroma parfume mahal menyeruak di indra penciuman Stella kala memasuki kamar pengantin ini.Raut wajah Stella tampak pucat. Iris mata abu-abu Stella dipenuhi dengan ketakutan dan kegugupan. Bayangan apa yang terjadi padanya malam ini muncul dalam benak perempuan itu. Terlebih perkataan Sean saat mengucapkan janji pernikahan, membuat jantung Stella ingin berhenti.Sean yang berdiri di samping Stella memperhatikan dengan lekat raut wajah perempuan kecil yang telah menjadi istrinya itu begitu gelisah dan takut. Pria tampan itu membuka tuxedonya, melepas dasi kupu-kupu yang sejak tadi mengikat lehernya itu dan meletakannya sembarangan di sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Apa kau hanya berdiam diri seperti patung?” tanya Sean dingin dengan iris mata cokelatnya yang begitu mengintimidasi ke arah Stella.“A-aku—” Stella menjadi salah tingkah.
Setelah resmi menikah, Sean kembali membawa Stella ke rumahnya. Tidak ada pembahasan apa pun. Perempuan itu hanya menurut kala Sean kembali membawanya ke rumah. Jika sebelum menikah Stella tidur di kamar yang terpisah dengan Sean, kali ini Sean meminta pelayan memindahkan pakaian Stella ke dalam kamarnya.Stella hendak menolak, tapi dia menyadari posisinya saat ini adalah istri Sean. Dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti perintah pria itu. Meski sebenarnya ketakutan kembali muncul dalam dirinya jika harus tidur dengan Sean.Stella tak tahu yang akan terjadi pada dirinya nanti. Bisa dipastikan dia tidak akan pernah bisa tertidur nyenyak setiap malamnya karena hanya ketakutan yang selalu muncul dalam benak perempuan itu.“Aku harus ke kantor. Ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan,” ucap Sean dingin seraya menatap Stella dengan lekat.Stella mengganggukkan kepalanya. “Apa kau akan pulang terlambat hari ini, Sean?”“Aku belum tahu. Semua tergantung dengan jadwalku hari i
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al