Share

Bab 7. Tentang Stella Regina

“Tuan Sean.” Tommy, asisten pribadi Sean menundukkan kepalanya kala melihat Sean baru saja melangkah keluar dari kamar Stella.

“Kau di sini?” Sean menghentikan langkahnya, menatap dingin Tommy yang ada di hadapannya.

“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda inginkan tentang Nona Stella Regina,” ujar Tommy memberi tahu.

“Kita bicara di ruang kerjaku.” Sean melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya, bersama dengan Tommy yang mengikutinya dari belakang.

“Apa yang kau dapatkan tentang gadis itu?” tanya Sean dingin kala dia dan Tommy sudah tiba di ruang kerjnya. Pria tampan itu duduk di kursi kebesarannya seraya megambil wine yang ada di atas meja dan disesapnya perlahan.

Ya, beberapa hari lalu Sean meminta Tommy mencari tahu tentang Stella Regina. Lebih tepatnya dia hanya penasaran, kenapa gadis itu berbeda dengan penghuni panti lainnya. Mulai dari wajah yang memiliki darah campuran, dan serta keberanian gadis itu yang berani memohon padanya agar lahan panti asuhannya tidak digusur. Sementara yang lainnya, tidak ada yang memohon agar tidak menggusur panti asuhan itu.

“Nona Stella saat ini berusia 20 tahun. Beliau sudah tinggal di panti asuhan itu sejak berusia tiga tahun, saat Rendra, ayahnya, meninggal akibat kecelakaan. Saya juga mendapat informasi tentang Angie, Ibu Nona Stella, berasal dari Jerman. Ibu kandung Nona Stella meninggal saat melahirkan Nona Stella, Tuan,” ujar Tommy memberi tahu.

Sean meletakan gelas berkaki tinggi di tangannya ke atas meja. Sorot matanya memancarkan sebuah rasa penasaran yang besar. Dia mengetuk pelan meja kerjanya dengan jemarinya. “Apa dia tidak memiliki saudra?” tanya lagi penasaran.

“Tidak, Tuan. Rendra Wirawan, seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan Korea di Jakarta. Dia anak tunggal dan kedua orang tuanya juga sudah tidak ada. Angie Breit juga sudah lama meninggalkan Jerman dan memilih menetap di Jakarta. Kabar terakhir yang saya dengar Angie Breit juga sudah tidak memiliki saudara. Itu kenapa memilih memutuskan tinggal di Jakarta. Mengingat biaya hidup di Jakarta jauh lebih murah. Mungkin itu salah satu alasan kuat kenapa Angie Breit akhirnya tidak lagi kembali ke Jerman.” Tommy berucap menjelaskan informasi yang dia dapatkan.

Sean terdiam sejenak. Rasa penasarannya kini mulai lenyap. Tidak heran jika Stella hanya bisa berbahasa Indonesia, meski gadis itu memiliki darah campuran. Wajar saja karena Ibunya sudah meninggalkannya sejak lahir. Pun ayahnya meninggalkannya saat gadis itu masih sangat kecil.

“Kau boleh pergi sekarang. Besok aku tidak bisa ke kantor. Orang tuaku akan datang. Kau gantikan aku meeting,” ucap Sean dingin dengan sorot mata lurus ke depan.

“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Tommy menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean.

Sean menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya seraya mengetuk pelan mejanya dengan jemarinya. Pikirannya menerawang ke depan, dengan banyak hal yang muncul dalam benaknya. Gadis itu terlihat rapuh dan lemah. Alasan Sean memilih Stella salah satunya adalah karena gadis itu satu-satunya yang bisa tunduk dan tidak menuntut padanya.

Sejak dulu Sean tidak suka dijodohkan. Semua gadis yang dipilihkan kedua orang tuanya, tidak ada satu pun yang diinginkan Sean. Pasalnya, gadis-gadis itu begitu memujanya, mengejarnya, dan mereka selalu memaksa apa yang mereka inginkan. Itu yang membuat Sean muak pada para gadis yang dikenalkan oleh kedua orang tuanya itu.

***

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Stella berdiri di balkon kamar dengan raut wajah yang tampak muram. Tatapan gadis itu menatap langit yang cerah. Bintang dan bulan sebagai penghias langit malam. Sesaat dia memejamkan matanya, ketika embusan angin menyentuh kulitnya. Embusan angin itu membuat bulu kuduknya merinding. Namun udara cukup bersih, membuat rasa nyaman di dalam diri Stella muncul.

“Ini sudah malam, kenapa kau berada di sini?” Suara berat terdengar begitu dingin dan menusuk di indra pendengaran Stella.

Mendengar suara itu, Stella tersentak, menatap Sean muncul. Dia melangkah mundur kala Sean mendekat ke arahnya. Raut wajahnya menciut ketakutan tiap kali melihat Sean. Dia menunduk tidak berani kala Sean berada di hadapannya. Dia selalu takut jika berhadapan dengan Sean. Pria itu memiliki sepasang mata yang tajam bagaikan mata elang. Setiap kali dirinya menatap Sean, ketakutan menelusup dalam tubuhnya.

“T-Tuan Sean? Kau di sini?” Stella sedikit panik.

“Angkat wajahmu ketika berbicara denganku, Stella,” titah Sean tegas.

Stella menelan salivanya susah payah. Dia memberanikan diri mengangkat wajahnya, menatap iris mata cokelat Sean. Sesaat mereka saling menatap satu sama lain. Sebuah tatapan yang begitu dalam seolah berada di hutan luas.

“Besok orang tuaku akan datang. Kau jangan pernah memanggilku dengan sebutan Tuan. Kau bisa panggil namaku,” ucap Sean dingin dengan nada tidak ingin dibantah sedikit pun.

“Tapi, Tuan—”

“Apa kau lupa, kau dilarang membantahku?” Mata Sean terhunus begitu tajam.

Bahu Stella bergetar melihat tatapan tajam Sean. “B-Baik, Tuan—”

“M-maksudku, Sean.” Stella segera mengkoreksi ucapannya. Dia mengatur dirinya agar berusaha bersikap berani. Meski itu sangat sulit.  

Kegugupan melandanya. Stella merasa bahwa debar jantungnya ini sudah ingin berhenti. Tiba-tiba saja, pria tampan itu semakin mendekat ke arahnya. Mengikis jarak di antara mereka. Refleks, Stella memundurkan tubuhnya, hingga terbentur di dinding.

“Katakan padaku kenapa kau sangat takut setiap kali berbicara denganku?” Sean mengukung tubuh Stella, merapatkan tubuhnya pada tubuh gadis itu. Mengunci pergerakan gadis kecil itu. Napas Stella menjadi sesak. Aroma parfume maskulin Sean, menyeruak ke indra penciumannya. Dia menelan salivanya susah payah. Wajahnya pucat pasi kala jarak di antara keduanya begitu dekat.

“A-apa yang kau lakukan?” Stella bertanya dengan nada begetar.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa kau selalu takut setiap kali berbicara denganku?” Sean menuntut Stella untuk menjawab.

“K-kau selalu membuatku takut.” Stella menjawab dengan susah payah. Ini memang fakta, bahwa Sean memang selalu membuat dirinya ketakutan.

Sean tersenyum samar mendengar kata-kata Stella. Pria tampan itu menarik dagunya, mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu. Jarak mereka sangat dekat. Hanya satu kali gerakan saja, sudah membuat bibir mereka menempel.

“Mulai detik ini kau harus terbiasa berbicara denganku. Jika bicaramu gugup seperti ini bagaimana orang tuaku percaya kau adalah calon istriku?” bisik Sean serak.

Stella mengatur napasnya yang kesulitan bernapas. Dia berusaha untuk tidak takut, walaupun sangatlah sulit. Gadis itu mulai bertanya dengan nada pelan, “K-kenapa kau memintaku sebagai istrimu? Kau bahkan bisa memilih gadis yang pantas bersanding denganmu. Gadis yang pasti hebat. Tidak sepertiku.”

Banyak pertanyaan muncul di dalam pikiran Stella. Pria seperti Sean pastinya bisa memilih gadis yang jauh lebih hebat daripadanya. Kenapa malah pria itu memilihnya? Pertanyaan ini seakan tak bisa mendapatkan jawaban sama sekali.

Sean membawa tangannya menyentuh pipi Stella dengan sedikit kasar. “Bukan kau yang menentukan siapa yang pantas untuk diriku. Kau cukup hanya menuruti semua perkataanku. Jangan banyak bertanya!”

“Tapi aku tidak mencintaimu!” Mata Stella memanas. Bahunya kian bergetar kala mengatakan itu. Dia mati-matian mengumpulkan keberaniannya.

Sean menyunggingkan senyuman misterius. “Cinta? Kau pikir aku memilihmu sebagai istriku, karena aku mencintaimu? Stella Regina, kau harus banyak belajar tentang dunia ini. Jangan terlalu polos dengan apa yang ada di hadapanmu. Aku memintamu sebagai istriku, karena aku tidak ingin dijodohkan dengan gadis yang dipilihkan oleh orang tuaku. Jadi berhenti untuk berpikiran lebih!”

Bulir air mata Stella menetes, membasahi pipinya kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Perkataan Sean seolah menusuk hatinya dengan sebilah pisau yang tajam. Dia merasakan nyeri dan sakit luar biasa.

Sean menjauh dari gadis itu dan berucap dingin, “Aku tidak ingin melihat kau lemah di hadapan banyak orang. Termasuk di depan kedua orang tuaku. Angkat dagumu ketika berbicara dengan lawan bicaramu. Siapa pun itu. Kau bukan seorang pelayan di sini. Kau calon istriku. Aku tidak ingin orang tuaku tahu tentang dirimu.”

Setelah mengatakan itu, Sean berbalik dan hendak meninggalkan Stella. Namun tiba-tiba…

“Berapa lama aku harus menjadi istrimu? Kapan kau akan membebaskanku?” isak Stella sedikit keras sontak membuat Sean menghentikan langkahnya.

Sean terdiam sesaat mendengar pertanyaan Stella. Dia masih memunggungi gadis itu. Dia menoleh melihat Stella dari sudut matanya dan berucap tajam, “Tidak ada batasan kapan kau menjadi istriku. Aku rasa kau tidak lupa, kau sendiri yang menukarkan dirimu demi lahan panti asuhanmu itu. Mungkin suatu saat aku akan membuangmu dan mungkin juga tidak. Semua itu tergantung dengan apa yang aku putuskan nanti. Kau tidak berhak bertanya. Sepenuhnya yang ada didirimu adalah milikku.”

Sean melanjutkan langkahnya meninggalkan balkon kamar itu. Tangis Stella pecah kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, memeluk erat lututnya. Raut wajah Stella tampak begitu kacau.

“Kenapa ada pria sekejam dia di dunia ini?” isak Stella sesenggukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status