“Tuan Sean.” Tommy, asisten pribadi Sean menundukkan kepalanya kala melihat Sean baru saja melangkah keluar dari kamar Stella.
“Kau di sini?” Sean menghentikan langkahnya, menatap dingin Tommy yang ada di hadapannya.
“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda inginkan tentang Nona Stella Regina,” ujar Tommy memberi tahu.
“Kita bicara di ruang kerjaku.” Sean melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya, bersama dengan Tommy yang mengikutinya dari belakang.
“Apa yang kau dapatkan tentang gadis itu?” tanya Sean dingin kala dia dan Tommy sudah tiba di ruang kerjnya. Pria tampan itu duduk di kursi kebesarannya seraya megambil wine yang ada di atas meja dan disesapnya perlahan.
Ya, beberapa hari lalu Sean meminta Tommy mencari tahu tentang Stella Regina. Lebih tepatnya dia hanya penasaran, kenapa gadis itu berbeda dengan penghuni panti lainnya. Mulai dari wajah yang memiliki darah campuran, dan serta keberanian gadis itu yang berani memohon padanya agar lahan panti asuhannya tidak digusur. Sementara yang lainnya, tidak ada yang memohon agar tidak menggusur panti asuhan itu.
“Nona Stella saat ini berusia 20 tahun. Beliau sudah tinggal di panti asuhan itu sejak berusia tiga tahun, saat Rendra, ayahnya, meninggal akibat kecelakaan. Saya juga mendapat informasi tentang Angie, Ibu Nona Stella, berasal dari Jerman. Ibu kandung Nona Stella meninggal saat melahirkan Nona Stella, Tuan,” ujar Tommy memberi tahu.
Sean meletakan gelas berkaki tinggi di tangannya ke atas meja. Sorot matanya memancarkan sebuah rasa penasaran yang besar. Dia mengetuk pelan meja kerjanya dengan jemarinya. “Apa dia tidak memiliki saudra?” tanya lagi penasaran.
“Tidak, Tuan. Rendra Wirawan, seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan Korea di Jakarta. Dia anak tunggal dan kedua orang tuanya juga sudah tidak ada. Angie Breit juga sudah lama meninggalkan Jerman dan memilih menetap di Jakarta. Kabar terakhir yang saya dengar Angie Breit juga sudah tidak memiliki saudara. Itu kenapa memilih memutuskan tinggal di Jakarta. Mengingat biaya hidup di Jakarta jauh lebih murah. Mungkin itu salah satu alasan kuat kenapa Angie Breit akhirnya tidak lagi kembali ke Jerman.” Tommy berucap menjelaskan informasi yang dia dapatkan.
Sean terdiam sejenak. Rasa penasarannya kini mulai lenyap. Tidak heran jika Stella hanya bisa berbahasa Indonesia, meski gadis itu memiliki darah campuran. Wajar saja karena Ibunya sudah meninggalkannya sejak lahir. Pun ayahnya meninggalkannya saat gadis itu masih sangat kecil.
“Kau boleh pergi sekarang. Besok aku tidak bisa ke kantor. Orang tuaku akan datang. Kau gantikan aku meeting,” ucap Sean dingin dengan sorot mata lurus ke depan.
“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Tommy menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean.
Sean menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya seraya mengetuk pelan mejanya dengan jemarinya. Pikirannya menerawang ke depan, dengan banyak hal yang muncul dalam benaknya. Gadis itu terlihat rapuh dan lemah. Alasan Sean memilih Stella salah satunya adalah karena gadis itu satu-satunya yang bisa tunduk dan tidak menuntut padanya.
Sejak dulu Sean tidak suka dijodohkan. Semua gadis yang dipilihkan kedua orang tuanya, tidak ada satu pun yang diinginkan Sean. Pasalnya, gadis-gadis itu begitu memujanya, mengejarnya, dan mereka selalu memaksa apa yang mereka inginkan. Itu yang membuat Sean muak pada para gadis yang dikenalkan oleh kedua orang tuanya itu.
***
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Stella berdiri di balkon kamar dengan raut wajah yang tampak muram. Tatapan gadis itu menatap langit yang cerah. Bintang dan bulan sebagai penghias langit malam. Sesaat dia memejamkan matanya, ketika embusan angin menyentuh kulitnya. Embusan angin itu membuat bulu kuduknya merinding. Namun udara cukup bersih, membuat rasa nyaman di dalam diri Stella muncul.
“Ini sudah malam, kenapa kau berada di sini?” Suara berat terdengar begitu dingin dan menusuk di indra pendengaran Stella.
Mendengar suara itu, Stella tersentak, menatap Sean muncul. Dia melangkah mundur kala Sean mendekat ke arahnya. Raut wajahnya menciut ketakutan tiap kali melihat Sean. Dia menunduk tidak berani kala Sean berada di hadapannya. Dia selalu takut jika berhadapan dengan Sean. Pria itu memiliki sepasang mata yang tajam bagaikan mata elang. Setiap kali dirinya menatap Sean, ketakutan menelusup dalam tubuhnya.
“T-Tuan Sean? Kau di sini?” Stella sedikit panik.
“Angkat wajahmu ketika berbicara denganku, Stella,” titah Sean tegas.
Stella menelan salivanya susah payah. Dia memberanikan diri mengangkat wajahnya, menatap iris mata cokelat Sean. Sesaat mereka saling menatap satu sama lain. Sebuah tatapan yang begitu dalam seolah berada di hutan luas.
“Besok orang tuaku akan datang. Kau jangan pernah memanggilku dengan sebutan Tuan. Kau bisa panggil namaku,” ucap Sean dingin dengan nada tidak ingin dibantah sedikit pun.
“Tapi, Tuan—”
“Apa kau lupa, kau dilarang membantahku?” Mata Sean terhunus begitu tajam.
Bahu Stella bergetar melihat tatapan tajam Sean. “B-Baik, Tuan—”
“M-maksudku, Sean.” Stella segera mengkoreksi ucapannya. Dia mengatur dirinya agar berusaha bersikap berani. Meski itu sangat sulit.
Kegugupan melandanya. Stella merasa bahwa debar jantungnya ini sudah ingin berhenti. Tiba-tiba saja, pria tampan itu semakin mendekat ke arahnya. Mengikis jarak di antara mereka. Refleks, Stella memundurkan tubuhnya, hingga terbentur di dinding.
“Katakan padaku kenapa kau sangat takut setiap kali berbicara denganku?” Sean mengukung tubuh Stella, merapatkan tubuhnya pada tubuh gadis itu. Mengunci pergerakan gadis kecil itu. Napas Stella menjadi sesak. Aroma parfume maskulin Sean, menyeruak ke indra penciumannya. Dia menelan salivanya susah payah. Wajahnya pucat pasi kala jarak di antara keduanya begitu dekat.
“A-apa yang kau lakukan?” Stella bertanya dengan nada begetar.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa kau selalu takut setiap kali berbicara denganku?” Sean menuntut Stella untuk menjawab.
“K-kau selalu membuatku takut.” Stella menjawab dengan susah payah. Ini memang fakta, bahwa Sean memang selalu membuat dirinya ketakutan.
Sean tersenyum samar mendengar kata-kata Stella. Pria tampan itu menarik dagunya, mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu. Jarak mereka sangat dekat. Hanya satu kali gerakan saja, sudah membuat bibir mereka menempel.
“Mulai detik ini kau harus terbiasa berbicara denganku. Jika bicaramu gugup seperti ini bagaimana orang tuaku percaya kau adalah calon istriku?” bisik Sean serak.
Stella mengatur napasnya yang kesulitan bernapas. Dia berusaha untuk tidak takut, walaupun sangatlah sulit. Gadis itu mulai bertanya dengan nada pelan, “K-kenapa kau memintaku sebagai istrimu? Kau bahkan bisa memilih gadis yang pantas bersanding denganmu. Gadis yang pasti hebat. Tidak sepertiku.”
Banyak pertanyaan muncul di dalam pikiran Stella. Pria seperti Sean pastinya bisa memilih gadis yang jauh lebih hebat daripadanya. Kenapa malah pria itu memilihnya? Pertanyaan ini seakan tak bisa mendapatkan jawaban sama sekali.
Sean membawa tangannya menyentuh pipi Stella dengan sedikit kasar. “Bukan kau yang menentukan siapa yang pantas untuk diriku. Kau cukup hanya menuruti semua perkataanku. Jangan banyak bertanya!”
“Tapi aku tidak mencintaimu!” Mata Stella memanas. Bahunya kian bergetar kala mengatakan itu. Dia mati-matian mengumpulkan keberaniannya.
Sean menyunggingkan senyuman misterius. “Cinta? Kau pikir aku memilihmu sebagai istriku, karena aku mencintaimu? Stella Regina, kau harus banyak belajar tentang dunia ini. Jangan terlalu polos dengan apa yang ada di hadapanmu. Aku memintamu sebagai istriku, karena aku tidak ingin dijodohkan dengan gadis yang dipilihkan oleh orang tuaku. Jadi berhenti untuk berpikiran lebih!”
Bulir air mata Stella menetes, membasahi pipinya kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Perkataan Sean seolah menusuk hatinya dengan sebilah pisau yang tajam. Dia merasakan nyeri dan sakit luar biasa.
Sean menjauh dari gadis itu dan berucap dingin, “Aku tidak ingin melihat kau lemah di hadapan banyak orang. Termasuk di depan kedua orang tuaku. Angkat dagumu ketika berbicara dengan lawan bicaramu. Siapa pun itu. Kau bukan seorang pelayan di sini. Kau calon istriku. Aku tidak ingin orang tuaku tahu tentang dirimu.”
Setelah mengatakan itu, Sean berbalik dan hendak meninggalkan Stella. Namun tiba-tiba…
“Berapa lama aku harus menjadi istrimu? Kapan kau akan membebaskanku?” isak Stella sedikit keras sontak membuat Sean menghentikan langkahnya.
Sean terdiam sesaat mendengar pertanyaan Stella. Dia masih memunggungi gadis itu. Dia menoleh melihat Stella dari sudut matanya dan berucap tajam, “Tidak ada batasan kapan kau menjadi istriku. Aku rasa kau tidak lupa, kau sendiri yang menukarkan dirimu demi lahan panti asuhanmu itu. Mungkin suatu saat aku akan membuangmu dan mungkin juga tidak. Semua itu tergantung dengan apa yang aku putuskan nanti. Kau tidak berhak bertanya. Sepenuhnya yang ada didirimu adalah milikku.”
Sean melanjutkan langkahnya meninggalkan balkon kamar itu. Tangis Stella pecah kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, memeluk erat lututnya. Raut wajah Stella tampak begitu kacau.
“Kenapa ada pria sekejam dia di dunia ini?” isak Stella sesenggukan.
Stella mematut cermin kala sang perias memoles wajahnya dengan make up. Ya, pagi ini Sean khusus meminta seorang make-up artist untuk merias Stella, karena akan bertemu dengan orang tua pria itu. Sebenarnya Stella tidak menyukai dirias, tapi dia bisa apa? Stella tidak mungkin membantah perkataan Sean.“Nona Stella, kau memiliki wajah yang sangat cantik. Matamu sangat indah. Apa ayah atau ibumu berasal dari luar Indonesia?” tanya sang make-up artist, memuji mata Stella yang indah.“Ibuku berasal dari Jerman. Tapi Ibuku sudah meninggal saat melahirkanku,” jawab Stella dengan suara pelan. Raut wajahnya langsung berubah jika dirinya membahas tentang Ibunya. Sejak dulu, dia akan sedih jika ada orang yang bertanya tentang kedua orang tuanya. Sebab selama ini dia tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya seperti yang orang lain rasakan.“Ah, Maafkan aku, Nona. Aku tidak tahu,” ucap sang make-up artist yang merasa tidak enak.Stella tersenyum ramah. “Tidak apa-apa.”“Sekarang lih
Sean tidak pernah main-main dengan perkataannya akan menikah dengan Stella. Pria itu langsung meminta asistennya untuk mempersiapkan pernikahannya dengan gadis polos itu. Meski sebenarnya Sean mendapatkan banyak ribuan pertanyaan dari kedua orang tuanya tentang Stella—namun Sean menjelaskan tentang identitas Stella yang tidak lagi memiliki keluarga.Sean terbilang beruntung karena kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan status sosial seseorang yang telah dipilih olehnya. Sebab kedua orang tua Sean, menyerahkan semua keputusan pada Sean dengan siapa wanita yang dia akan pilih menjadi istrinya.Alasan kuat Sean mempercepat pernikahan, karena dia lelah harus berdebat dengan ayahnya yang terus mendesaknya menikah. Bukan hanya itu, tapi Sean pun berkali-kali menolak dijodohkan dengan gadis yang dipilihkan ayahnya.Sean memilih Stella, gadis polos yang pastinya akan selalu tunduk di bawah kakinya. Dia membenci jika ada yang mengaturnya. Dia tidak menyukai memiliki istri yang mengatur diri
Stella menatap jemari tangannya yang tersemat oleh cincin berlian yang begitu indah. Seumur hidup, ini pertama kali Stella melihat cincin berlian yang melingkar di jarinya. Jika semua perempuan akan bahagia mendapatkan berlian, berbeda dengan Stella yang tampak bingung. Ya, pernikahannya dengan Sean sudah di depan mata. Dia tidak menyangka akan menikah secepat ini. Tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan menikah dengan pria yang tidak pernah dia kenal.Dalam impian Stella, suatu saat dia akan menikah dengan sosok pangeran tampan yang memiliki hati baik, dan sangat mencintainya. Kenyataannya? Stella tidak mendapatkan itu. Bukan Sean tidak tampan, tentu pria itu memiliki wajah layaknya Dewa Yunani. Tampan dan berkuasa.Sean dikatakan pria yang menjadi impian seluruh wanita. Hanya saja, Stella bukan hanya menginginkan itu. Dia menginginkan sosok pria yang mencintainya dengan tulus dan bisa membahagiakannya. Terdengar klasik. Namun itu adalah impiannya.Stella tidak melihat sosok hangat
Berita pernikahan Sean dan Stella sudah terendus oleh media. Tidak tanggung-tanggung, banyak para media yang meminta keterangan dari Sean dan Stella. Namun, tentu saja Stella tidak pernah bisa berhadapan dengan para media. Jika ada kamera yang tersorot ke arahnya saja, Stella sering menunduk dan menjadi canggung. Itulah hal yang membuat Sean berkali-kali memarahi gadis polos itu.Menjelang hari pernikahan, Stella lebih banyak mengurung diri di dalam rumah. Hampir setiap hari, gadis itu menghabiskan waktunya hanya melamun berdiam diri di rumah. Seperti saat ini, Stella tengah duduk di tepi kolam renang dengan pikiran yang menerawang ke depan.“Nona Stella.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nona, ini ada telepon dari Ibu Erina pengurus panti.” Sang pelayan memberikan telepon pada Stella.“Ibu Erina?” Stella bertanya memastikan seraya menerima telepon itu.Sang pelayan mengganggukkan kepalanya. “Iya, Nona.”Stella
Kediaman mewah milik Sean tampak begitu ramai dengan banyaknya para keluarga yang datang. Beberapa pelayan sejak tadi mondar mandir menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Ya, hari ini adalah hari yang tidak pernah Stella sangka akan terjadi dalam hidupnya secepat ini. Menikah diusia yang masih terbilang muda tidak pernah muncul dalam benak Stella sebelumnya.Kegugupan, ketakutan, kecemasan melingkupi diri Stella. Ingin rasanya Stella berlari dari pernikahan ini, tapi dirinya terlalu lemah untuk melawan keinginan Sean. Ancaman pria itu mampu dengan mudahnya melumpuhkan niat Stella yang ingin melarikan diri. Hal yang membuat Stella sedikit lebih tenang adalah pernikahannya dengan Sean tidak begitu banyak mengundang para tamu. Pria itu khusus meminta pernikahannya diadakan dengan exlusive.Rekan bisnis yang datang pun hanya rekan bisnis pilihan. Media tidak sepenuhnya diizinkan oleh Sean untuk datang. Hanya beberapa yang boleh meliput pernikahannya. Paling tidak Stella lebih tenan
Stella melangkahkan kakinya memasuki kamar pengantin. Sebuah kamar pengantin yang megah dan telah didekorasi oleh taburan bunga mawar merah. Aroma parfume mahal menyeruak di indra penciuman Stella kala memasuki kamar pengantin ini.Raut wajah Stella tampak pucat. Iris mata abu-abu Stella dipenuhi dengan ketakutan dan kegugupan. Bayangan apa yang terjadi padanya malam ini muncul dalam benak perempuan itu. Terlebih perkataan Sean saat mengucapkan janji pernikahan, membuat jantung Stella ingin berhenti.Sean yang berdiri di samping Stella memperhatikan dengan lekat raut wajah perempuan kecil yang telah menjadi istrinya itu begitu gelisah dan takut. Pria tampan itu membuka tuxedonya, melepas dasi kupu-kupu yang sejak tadi mengikat lehernya itu dan meletakannya sembarangan di sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.“Apa kau hanya berdiam diri seperti patung?” tanya Sean dingin dengan iris mata cokelatnya yang begitu mengintimidasi ke arah Stella.“A-aku—” Stella menjadi salah tingkah.
Setelah resmi menikah, Sean kembali membawa Stella ke rumahnya. Tidak ada pembahasan apa pun. Perempuan itu hanya menurut kala Sean kembali membawanya ke rumah. Jika sebelum menikah Stella tidur di kamar yang terpisah dengan Sean, kali ini Sean meminta pelayan memindahkan pakaian Stella ke dalam kamarnya.Stella hendak menolak, tapi dia menyadari posisinya saat ini adalah istri Sean. Dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti perintah pria itu. Meski sebenarnya ketakutan kembali muncul dalam dirinya jika harus tidur dengan Sean.Stella tak tahu yang akan terjadi pada dirinya nanti. Bisa dipastikan dia tidak akan pernah bisa tertidur nyenyak setiap malamnya karena hanya ketakutan yang selalu muncul dalam benak perempuan itu.“Aku harus ke kantor. Ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan,” ucap Sean dingin seraya menatap Stella dengan lekat.Stella mengganggukkan kepalanya. “Apa kau akan pulang terlambat hari ini, Sean?”“Aku belum tahu. Semua tergantung dengan jadwalku hari i
Stella meringis kala sang pelayan mengompreskan es batu ke luka lebam di wajahnya. Entah bagaimana nasib Stella jika tidak ada pengawal yang membantunya, dia pasti sudah babak belur dipukul oleh Erina. Stella tidak menyangka akan kembali bertemu dengan Erina. Dia pikir setelah Erina tidak lagi mengurus panti asuhan—tempat di mana dia dibesarkan—wanita paruh baya itu akan meninggalkan Jakarta. Namun kenyataannya salah, Erina tetap menetap di Jakarta. Bahkan menaruh dendam padanya.“Nyonya, apa sakit sekali? Apa saya harus panggilkan Dokter?” tanya sang pelayan dengan cemas dan takut.“Tidak perlu. Ini hanya luka lebam saja. Lagi pula tidak ada luka yang harus dijahit. Hanya dengan kompres dan bantuan salep memar, aku yakin akan segera sembuh.” Stella berucap seraya tersenyum ke arah pelayan.“Stella…” Suara berat terdengar keras memanggil Stella, memasuki kamar.Raut wajah Stella menjadi pucat kala menatap Sean yang datang.“Tuan.” Sang pelayan langsung menundukkan kepala, kala melihat