Stella menatap lirih koper di hadapannya dengan pikiran yang menerawang ke depan. Raut wajah yang tampak muram. Dia terus memikirkan apa yang telah dia putuskan. Stella berharap ini semua adalah mimpi.
Berkali-kali Stella meyakinkan ini tidak nyata. Namun tidak, ini semua kenyataan yang harus dia hadapi. Dia tidak menyangka dirinya berani mengambil keputusan itu. Sebuah keputusan yang pasti akan dia sesali seumur hidupnya. Dia tidak memiliki pilihan lain. Jika Stella egois, akan banyak saudaranya yang akan menderita.
“Aku tidak memiliki waktu berlama-lama di sini. Cepat keluar.” Sean berkata begitu dingin, dan menusuk di indra pendengaran Stella.
“Kau mau membawaku ke mana?” tanya Stella dengan suara pelan, dan lemah.
“Kau masih bertanya aku membawamu ke mana, setelah kau menyetujui apa penawaran yang aku ajukan?” Sebelah alis Sean terangkat, dia tersenyum misterius pada Stella. “Kau tidak memiliki hak untuk bertanya.”
Mata Stella sudah bengkak akibat terus menangis. Entah, dia tidak tahu bagaimana nasibnya. Dia hanya diminta mengemasi barang-barang. Dia tak mengerti ke mana Sean akan membawanya pergi. Akhirnya, yang dilakukan gadis itu hanya patuh. Tidak ada jalan untuk menoleh ke belakang.
“Kita pergi sekarang,” ucap Sean dingin dengan nada yang tidak ingin dibantah.
Stella mengangguk patuh merespon ucapan pria itu. Dia melangkah mengikuti Sean dari belakang. Tepat di kala Sean dan Stella hendak meninggalkan panti, langkah mereka terhenti kala melihat sosok wanita paruh baya menghampiri mereka dengan tergesa-gesa.
“Tuan Sean.” Ibu pengurus panti menunduk, menyapa Sean dengan sopan.
Sean menatap pengurus panti di hadapannya dengan raut wajah dingin, dan tanpa ekspresi. Sorot matanya sangat tegas. “Ada apa?”
“Maaf, Tuan Sean. Apa saya bisa berbicara berdua dengan Stella?” tanya Ibu pengurus panti itu dengan sopan.
Sean hanya mengganggukan kepalanya singkat sebagai jawaban dia menyetujui permintaan Ibu pengurus panti. Lantas, Ibu pengurus panti itu langsung menarik tangan Stella meninggalkan Sean.
“Bu, ada apa?” tanya Stella dengan wajah yang sedikit pucat ketika dia sudah keluar dari ruangan itu.
“Stella, Ibu tidak salah dengar, kan? Kau akan bekerja menjadi pelayan di rumah Tuan Sean?” Raut wajah pengurus panti itu tampak begitu bahagia kala menanyakan hal itu. Terlihat iris matanya, menatap bangga Stella.
Stella menganggukan kepalanya. “Iya, Bu. Aku akan ikut Tuan Sean. Aku akan bekerja dengannya.”
Tidak ada pilihan lain, Stella mengaku pada seluruh saudara di pantinya bekerja sebagai pelayan di rumah Sean. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada semua orang. Hanya dengan beralasan sebagai seorang pelayan yang bisa dia katakan.
Ibu pengurus panti meraih kedua bahu Stella. “Aku tidak tahu apa alasan Tuan Sean tidak jadi menggusur panti ini, tapi mendengar kabar kau bekerja pada pria kaya itu, membuatku sangat senang.”
Stella bingung harus mengatakan apa. Yang dia lakukan hanya tersenyum samar, seolah bahagia, padahal dia dilanda ketakutan hebat. Akan tetapi, dia sudah meneguhkan diri di hadapan ibu panti, dan saudara pantinya—dia akan terlihat tetap baik-baik saja.
“Stella, sebelum kau pergi. Kau harus ingat, sejak kau bayi kau tinggal di panti ini. Banyak uang yang aku keluarkan untukmu dan saudaramu di panti. Kau harus selalu mengirimkan uang pada kami. Kau pasti akan mendapatkan gaji besar. Jadi jangan lupa untuk selalu kirimkan uang.” Ibu panti itu meminta Stella untuk tak lupa padanya.
“Bu, tapi kan Tuan Sean sudah memberikan kompensasi dari panti asuhan ini. Bukankah itu jumlah uang besar?” ujar Stella pelan.
Tadi Stella ingat Sean mengatakan pada anak buahnya, bahwa pria itu tidak jadi menggusur panti asuhan ini, tetapi meski tak jadi—nyatanya tidak membuat Sean mengambil kembali uang kompensasi yang sudah pria itu berikan.
“Ck! Uang itu pasti akan segera habis. Kau pikir kau memiliki saudara panti sedikit?!” sembur ibu panti kesal.
Stella menggigit bibir bawahnya pelan. “B-baik, Bu.”
“Sudah kau pergi sekarang. Tuan Sean sudah menunggumu di luar. Ingat apa yang ibu katakan tadi. Setiap bulan kau harus mengirimkan uang pada kami! Jangan lupakan tempat di mana kau berasal!” seru ibu panti mengingatkan.
Stella mengangguk dengan raut wajah muram. Detik selanjutnya, ibu panti itu kembali membawa Stella pada Sean—yang sudah menunggunya di depan. Neraka kehidupan Stella bermula di sini.
***
Sean membawa Stella ke rumahnya. Raut wajah gadis itu kian memucat kala memasuki rumah yang begitu besar dan tampak sepi. Malam yang sudah larut, membuat Stella takut. Pasalnya, jika sudah malam seperti ini para pelayan akan masuk ke dalam bungalow.
“Tuan, apa kau tinggal di sini sendiri?” Stella bertanya dengan suara pelan. Rumah besar itu tampak gelap, dan menakutkan. Ditambah banyak lukisan-lukisan yang menyeramkan, membua nyali Stella menciut.
“Menurutmu?” Sean menatap dingin Stella, membalikkan pertanyaan gadis itu.
“A-apa Anda tidak tinggal dengan orang tua Anda?” Stella menelen salivanya susah payah. Dia bahkan tidak bisa berpikir, bagaimana tinggal di rumah sebesar ini seorang diri. Hanya banyak penjaga di depan rumah.
“Di ujung sebelah kiri, itu kamarmu.” Sean menunjuk kamar yang dimaksud, tanpa menjawab pertanyaan Stella.
Stella hanya menggangguk dan melangkah masuk ke dalam kamar itu. Saat dia memasuki kamar itu, dia tampak kagum melihat kamar begitu besar dengan ranjang yang empuk. Selama ini Stella selalu tidur bersama-sama dengan saudara pantinya. Gadis itu belum pernah memiliki kamar sendiri.
Saat Stella tengah menyentuh setiap pajangan yang ada di kamar itu, tenggorokannya mulai mengering. Dia hendak mengambil teko yang ada di atas meja, tapi teko itu kosong. Tidak ada air di dalam teko.
Stella terpaksa keluar kamar, dia menuruni tangga mencari dapur. Dia ingin sekali memanggil Sean, tapi dia lupa bertanya di mana kamar pria itu. Sementara sekarang dia tidak menemukan satu pelayan pun ada di rumah ini.
Stella berjalan mengendap-endap mencari dapur. Dia ingin menghidupkan lampu, tapi dia bingung di mana letak saklar lampu. Udara malam yang dingin menelusup ke tubuh Stella, membuat gadis itu merinding ketakutan. Jika bukan karena dirinya sangat haus, Stella lebih baik memilih mengunci diri di kamar.
“Dapur ada di sebelah mana?” guman Stella dengan wajah yang memucat karena ketakutannya.
“Lebih baik aku kembali saja.” Wajah Stella memucat, rumah ini begitu menyeramkan. Dia langsung berbalik, dan tiba-tiba…
Brukkk
“Akhh—” Stella menjerit keras kala dia seperti menabrak seseorang. Dia menutup mata dan tidak berani membukanya. Bahunya gemetar ketakutan.
“Buka matamu, Stella.” Suara berat yang Stella kenali, membuat ketakutannya sedikit mereda.
“Tuan Sean?” Napas Stella mulai beraturan melihat Sean yang berdiri di hadapannya. Sungguh, rumah ini benar-benar membuat ketakutan begitu melanda dirinya. Nuansa hitam berkombinasi abu-abu, ditambah dengan banyak lukisan yang terlihat menyeramkan. Stella tidak mengerti, kenapa pria di hadapannya itu mengoleksi lukisan menyeramkan itu.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Sean bertanya dengan nada dingin, dan tatapan lekat pada Stella.
“A-aku haus. Aku ingin mengambil minum.” Stella berucap dengan nada gugup. Dia menunduk, tidak berani menatap Sean.
“Angkat wajahmu ketika bicara denganku, Stella,” titah Sean tegas, tak suka di kala Stella selalu menunduk ketika berbicara padanya.
Stella menelan salivanya susah payah, dia memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Sean. Hal yang membuat Stella tidak berani menatap pria yang berdiri di hadapannya itu karena pria itu memiliki sepasang mata yang tegas seperti burung elang—yang membuat nyali Stella menciut setiap kali melihatnya.
“Kau takut dengan gelap?” tanya Sean dingin.
Stella menggeleng cepat. “Tidak, aku tidak takut. Aku hanya terkejut saja.”
“Benarkah?” Alis Sean terangkat, menatap penuh curiga.
“Iya, aku tidak takut.” Stella menjawab berusaha tidak gugup.
Sean menyeringai dengan senyuman mengejek. Dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Stella. Sesaat, dia menatap wajah Stella yang memucat. Anak rambut gadis itu, menutupi wajahnya.
Sean menarik dagu Stella, menatap manik mata abu-abu gadis itu dengan lekat dan penuh intimidasi. “Sayangnya aku tahu, kau adalah gadis penakut.”
Stella menggeliat, saat merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, dan mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Beberapa saat, Stella masih tampak asing berada di dalam kamar barunya. Jika biasanya Stella terbangun dengan banyaknya saudara-saudra di panti, kali ini dia terbangun di sebuah kamar megah, dan ranjang yang empuk.Stella terdiam sejenak mengingat kejadian kemarin. Kejadian di mana dirinya telah menyerahkan hidupnya pada pria kaya yang baru saja dia kenal. Stella telah berada di dalam sangkar emasnya. Stella mengatur napasnya, berusaha untuk menenangkan diri. Dia telah meneguhkan apa yang telah menjadi pilihannya. Perlahan, dia bangkit dari ranjang, dan langsung membersihkan diri, melangkahkan kakinya keluar kamar.“Selamat pagi, Nona.” Suara pelayan menyapa, sontak membuat Stella yang baru saja keluar kamar terkejut.“Maaf, Nona jika saya mengejutkan Anda.” Sang pelayan menundukkan kepalanya.“T-tidak. Kau tidak perlu meminta maaf
“Masuklah ke kamarmu. Lain kali, jika kau ingin berkeliling rumah, minta pelayan untuk menemanimu. Jangan lagi pergi sendiri berkeliling. Aku tidak bisa menjamin kau selamat kalau kau bertemu lagi dengan hewan peliharaanku yang lainnya.” Sean berucap dengan nada tegas. Pria itu seolah sengaja mengatakan itu agar gadis di hadapannya tidak berkeliling sendiri. Mengingat gadis kecil di hadapannya ini adalah gadis penakut.Wajah Stella memucat kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Pikirannya memikirkan kalimat Sean yang mengatakan tidak bisa menjamin dirinya selamat kalau bertemu lagi dengan hewan peliharaan pria itu. Nyali Stella menciut, sungguh Stella tidak tahu siapa sebenarnya pria yang ada di hadapannya ini.“K-kau m-memiliki hewan peliharaan lain?” Stella memberanikan diri bertanya. Meski takut, tapi rasa penasaran dalam dirinya, sangatlah berkobar. Terlebih dia tinggal bersama dengan pria itu.“Menurutmu?” Sean menyunggingkan senyuman misterius, dan mencemooh pada gadis pen
Sean menatap sang dokter dengan tatapan dingin dan tegas, yang tengah memeriksa Stella. Dia sedikit mendecakkan lidahnya kesal. Bisa-bisanya gadis bodoh itu pingsan hanya karena mendengar percakapan antara dirinya dan juga ayahnya.“Bagaimana keadaannya?” Pertama kali ini yang Sean tanyakan, ketika sang dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Stella.“Tuan, Nona Stella mengalami shock. Apa Anda memberi tahu kabar yang membuatnya terkejut, hingga jatuh pingsan?” Dokter balik bertanya.Sean mengembuskan napas kasar. Benar dugaannya, bahwa Stella terkejut mendengar apa yang dia katakan pada sang ayah. “Ya, aku baru saja menyampaikan kabar yang membuatnya terkejut.”Sang Dokter menggangguk paham dan mengerti. “Beliau masih muda. Detak jantungnya normal. Berita itu hanya membuatnya shock, tapi tidak membuat jantungnya lemah. Saya sudah memberikan obat dan vitamin. Habiskan obat yang saya resepkan. Begitu juga dengan vitamin, saya harap Nona Stella meminumnya setiap hari agar meningkatka
“Tuan Sean.” Tommy, asisten pribadi Sean menundukkan kepalanya kala melihat Sean baru saja melangkah keluar dari kamar Stella.“Kau di sini?” Sean menghentikan langkahnya, menatap dingin Tommy yang ada di hadapannya.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda inginkan tentang Nona Stella Regina,” ujar Tommy memberi tahu.“Kita bicara di ruang kerjaku.” Sean melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya, bersama dengan Tommy yang mengikutinya dari belakang.“Apa yang kau dapatkan tentang gadis itu?” tanya Sean dingin kala dia dan Tommy sudah tiba di ruang kerjnya. Pria tampan itu duduk di kursi kebesarannya seraya megambil wine yang ada di atas meja dan disesapnya perlahan.Ya, beberapa hari lalu Sean meminta Tommy mencari tahu tentang Stella Regina. Lebih tepatnya dia hanya penasaran, kenapa gadis itu berbeda dengan penghuni panti lainnya. Mulai dari wajah yang memiliki darah campuran, dan serta keberanian gadis itu yang berani memohon padanya agar lahan pant
Stella mematut cermin kala sang perias memoles wajahnya dengan make up. Ya, pagi ini Sean khusus meminta seorang make-up artist untuk merias Stella, karena akan bertemu dengan orang tua pria itu. Sebenarnya Stella tidak menyukai dirias, tapi dia bisa apa? Stella tidak mungkin membantah perkataan Sean.“Nona Stella, kau memiliki wajah yang sangat cantik. Matamu sangat indah. Apa ayah atau ibumu berasal dari luar Indonesia?” tanya sang make-up artist, memuji mata Stella yang indah.“Ibuku berasal dari Jerman. Tapi Ibuku sudah meninggal saat melahirkanku,” jawab Stella dengan suara pelan. Raut wajahnya langsung berubah jika dirinya membahas tentang Ibunya. Sejak dulu, dia akan sedih jika ada orang yang bertanya tentang kedua orang tuanya. Sebab selama ini dia tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya seperti yang orang lain rasakan.“Ah, Maafkan aku, Nona. Aku tidak tahu,” ucap sang make-up artist yang merasa tidak enak.Stella tersenyum ramah. “Tidak apa-apa.”“Sekarang lih
Sean tidak pernah main-main dengan perkataannya akan menikah dengan Stella. Pria itu langsung meminta asistennya untuk mempersiapkan pernikahannya dengan gadis polos itu. Meski sebenarnya Sean mendapatkan banyak ribuan pertanyaan dari kedua orang tuanya tentang Stella—namun Sean menjelaskan tentang identitas Stella yang tidak lagi memiliki keluarga.Sean terbilang beruntung karena kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan status sosial seseorang yang telah dipilih olehnya. Sebab kedua orang tua Sean, menyerahkan semua keputusan pada Sean dengan siapa wanita yang dia akan pilih menjadi istrinya.Alasan kuat Sean mempercepat pernikahan, karena dia lelah harus berdebat dengan ayahnya yang terus mendesaknya menikah. Bukan hanya itu, tapi Sean pun berkali-kali menolak dijodohkan dengan gadis yang dipilihkan ayahnya.Sean memilih Stella, gadis polos yang pastinya akan selalu tunduk di bawah kakinya. Dia membenci jika ada yang mengaturnya. Dia tidak menyukai memiliki istri yang mengatur diri
Stella menatap jemari tangannya yang tersemat oleh cincin berlian yang begitu indah. Seumur hidup, ini pertama kali Stella melihat cincin berlian yang melingkar di jarinya. Jika semua perempuan akan bahagia mendapatkan berlian, berbeda dengan Stella yang tampak bingung. Ya, pernikahannya dengan Sean sudah di depan mata. Dia tidak menyangka akan menikah secepat ini. Tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan menikah dengan pria yang tidak pernah dia kenal.Dalam impian Stella, suatu saat dia akan menikah dengan sosok pangeran tampan yang memiliki hati baik, dan sangat mencintainya. Kenyataannya? Stella tidak mendapatkan itu. Bukan Sean tidak tampan, tentu pria itu memiliki wajah layaknya Dewa Yunani. Tampan dan berkuasa.Sean dikatakan pria yang menjadi impian seluruh wanita. Hanya saja, Stella bukan hanya menginginkan itu. Dia menginginkan sosok pria yang mencintainya dengan tulus dan bisa membahagiakannya. Terdengar klasik. Namun itu adalah impiannya.Stella tidak melihat sosok hangat
Berita pernikahan Sean dan Stella sudah terendus oleh media. Tidak tanggung-tanggung, banyak para media yang meminta keterangan dari Sean dan Stella. Namun, tentu saja Stella tidak pernah bisa berhadapan dengan para media. Jika ada kamera yang tersorot ke arahnya saja, Stella sering menunduk dan menjadi canggung. Itulah hal yang membuat Sean berkali-kali memarahi gadis polos itu.Menjelang hari pernikahan, Stella lebih banyak mengurung diri di dalam rumah. Hampir setiap hari, gadis itu menghabiskan waktunya hanya melamun berdiam diri di rumah. Seperti saat ini, Stella tengah duduk di tepi kolam renang dengan pikiran yang menerawang ke depan.“Nona Stella.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nona, ini ada telepon dari Ibu Erina pengurus panti.” Sang pelayan memberikan telepon pada Stella.“Ibu Erina?” Stella bertanya memastikan seraya menerima telepon itu.Sang pelayan mengganggukkan kepalanya. “Iya, Nona.”Stella
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al