“Sean, aku tidak mau belajar sepeda. Nanti aku jatuh, Sean. Dulu aku pernah jatuh naik sepeda masuk ke dalam selokan. Aku tidak mau lagi, Sean. Aku takut.” Stella berucap dengan bibir tertekuk menolak permintaan Sean yang memintanya untuk belajar sepeda. Bukannya tidak mau, tapi lebih tepatnya Stella tidak ingin kejadian saat dulu belajar sepeda harus terulang kembali.Sean menahan tawa mendengar Stella jatuh ke dalam selokan. Bayangannya memikirkan bagaimana wajah istri kecilnya itu yang terjatuh ke dalam selokan. Well, tentu saja sangat menggemaskan.“Sean, kau mentertawaiku, ya?” Stella menatap Sean kesal. Meski Sean menahan tawanya, dia sudah melihat ekspresi wajah sang suami yang ingin sekali tertawa.“Tidak.” Sean mengecup hidung Stella gemas. “Tujuanku mengajarimu belajar bersepeda karena aku ingin kau mampu menguasai segalanya.”Stella menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. “Tapi, Sean—”“Ini perintah, Stella. Bukan permintaan,” jawab Sean menekankan dan tidak suka dib
Pagi hari, Stella sudah bersiap-siap. Karena hari ini Sean akan mengajaknya ke Alberta. Sebuah kota di luar Toronto yang membutuhkan waktu kurang lebih empat jam penerbangan. Tentu saja Stella menyambut antusias liburannya kali ini. Pasalnya Kanada adalah negara yang benar-benar menyajikan keindahan alam. Kemarin, Stella pun mulai mencari-cari di internet tentang Alberta. Kota itu sangat indah. Banyak gunung dan danau yang mengagumkan di sana.“Nyonya,” seorang pelayan melangkah menghampiri Stella yang tengah bersiap-siap.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nyonya di depan ada Tuan Ken, sepupu Tuan Sean,” ucap sang pelayan memberitahu.“Ken?” Kening Stella berkerut, raut wajahnya tampak bingung. Dalam pikiran Stella berusaha mengingat nama sepupunya Sean. Pasalnya terakhir Sean mengatakan cukup memiliki banyak sepupu dekat. Dan Stella kerap kali lupa jika hanya bertemu satu kali saja. Satu-satunya yang Stella ingat adalah Kelvin, sepupu Sean yang sering seka
Tanpa terasa sudah satu minggu Sean dan Stella berada di Toronto. Besok waktunya Sean dan Stella untuk segera kembali ke Jakarta. Banyaknya pekerjaan Sean yang tidak bisa ditinggal membuat Sean tidak bisa berlama-lama meninggalkan Jakarta. Meski kantor pusat Geovan Group berada di Toronto tapi Sean memiliki banyak tanggung jawab di Jakarta. Beruntung dua hari lalu Sean sudah membawa Stella berbelanja. Paling tidak Stella sudah membelanjakan oleh-oleh untuk keluarganya di panti dan keluarga Sean yang ada di Jakarta.Tidak hanya itu, kemarin Sean juga sudah membawa Stella berkunjung ke rumah kedua orang tuanya. Dan sekarang waktunya Sean membawa Stella ke rumah kakek dan neneknya sebelum kembali ke Jakarta. Ya, Stella pun menyambut bahagia kala Sean mengatakan akan membawanya pada kakek dan nenek suaminya itu. Hari ini Stella khusus membuatkan cake buataannya sendiri untuk kakek dan nenek Sean. Jujur saja, Stella tidak tahu harus membawa apa. Karena Stella yakin kakek dan nenek Sean mem
Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandara Udara Internasional Halim Perdana Kusuma. Setelah perjalanan jauh akhirnya Sean dan Stella tiba di Jakarta. Tampak Stella yang begitu kelelahan. Bagaimana tidak? Selama di Toronto Sean dan Stella selalu berjalan-jalan. Wajar saja Stella begitu terlihat kelelahan. Terlebih jarak Jakarta ke Toronto tidaklah dekat.Kini Sean membawa Stella turun dari pesawat dan segera menuju sopir yang sudah menunggunya di lobby. Stella sejak tadi hanya terus memeluk lengan Sean, menyandarkan kepalanya di lengan sang suami. Ya, Stella ingin segera tiba di rumah dan beristirahat. Melakukan perjalanan jauh benar-benar membuatnya kelelahan.Di lobby, Sean dan Stella masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama sang sopir mulai melajukan mobilnya meninggalkan lobby bandara.“Sean, apa hari ini kau akan langsung ke perusahaan?” tanya Stella dengan mata yang terpejam. Dia menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami.“Tidak, aku akan ke perusahaa
Saat pagi menyapa, Stella sudah bersiap-siap dengan wajah yang sumiringah bahagia. Ya, hari ini adalah hati pertamanya kuliah. Tentu saja Stella begitu antusias. Sejak dulu menjadi seorang Fashion Designer adalah impiannya. Sungguh, Stella tidak pernah menyangka akan bisa melanjutkan kuliah. Benar apa yang dikatakan oleh Sean. Stella masih mengingat jelas saat Sean mengatakan untuk jangan pernah takut bermimpi. Banyak hal yang Sean ajarkan pada Stella. Termasuk untuk tidak menyerah. Nyatanya semesta mendukung apa yang menjadi mimpi Stella. Bukan hanya mimpi menjadi seorang Fashion Designer tapi mimpi memiliki sosok pria yang mencintainya layaknya kisah cinta di negeri dongeng.“Buku sudah.”“Ponsel sudah.”“Sketchbook.”“Dompet sudah.”“Sepertinya sudah semua.” Stella bergumam kala memastikan barang-barang yang dibutuhkan sudah semuanya masuk ke dalam tas.“Masih ada yang tertinggal. Kau belum membawa semua barang-barang kau butuhkan.” Suara Sean saat memasuki kamar. Reflek, Stella me
“R-Raynold?”Tenggorokan Stella tercekat. Lidahnya begitu kelu. Terlebih saat melihat Raynold kini berdiri di podium. Ya, pria itu pun melihat dirinya. Mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan Stella mengisyaratkan bahwa dirinya terkejut. Pasalnya, Raynold tidak memberitahu akan membeli saham di Raffles Design Institute. Kepala Stella menjadi pusing, kalau sampai Sean tahu ini sama saja akan menjadi masalah baru di antara mereka.“Stella, kau mengenal pemilik saham terbaru di Raffles Group?” bisik Alika yang menyadari Stella terus menatap Raynold.“Ya, aku mengenalnya,” jawab Stella datar.“Selamat pagi, maaf membuat kalian harus berkumpul di sini. Perkenalkan aku Raynold Sanjaya. Aku salah satu pemegang saham baru di Raffles Group. Tujuanku memanggil kalian di sini, hanya ingin menyapa kalian. Mengenal para mahasiswa dan mahasiswi dari Raffles Design Institute. Bagi mahasiswa dan mahasiwi baru selamat datang di Raffles Design Institute. Besar harapannya kalian lulus dan menjadi
Stella duduk di sofa kamar, dia mengambil remote televisi dan menghidupkannya. Ya, merasa bosan di rumah seperti biasa Stella akan memilih menonton drama kesukannya. Sesaat Stella melirik jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh malam. Namun Sean masih belum juga pulang ke rumah. Sebenarnya Stella ingin sekali menghubungi sang suami menanyakan kapan suaminya itu pulang. Tapi Stella tidak ingin egois. Stella tahu Sean masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Satu minggu di Kanada tentu saja membuat Sean banyak menunda pekerjaan. Padahal tujuan Sean mengajak Stella ke Kanada hanya karena ingin merayakan ulang tahun dirinya. Sungguh, jika mengingat itu Stella benar-benar terharu dengan apa yang dilakukan sang suami.“Nyonya,” Seorang pelayan membawakan nampan berisikan makanan.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Ini saya membuat chocolate cake, Nyonya. Apa anda ingin mencobanya?” tawar sang pelayan dnegan sopan.Stella tersenyum. “Tentu, aku ingin mencobanya. Le
“Sean, hari ini apa kau akan pulang terlambat?” tanya Stella seraya membantu Sean memasang dasi. Ya, pagi ini Stella tentu bangun lebih awal dari Sean. Sebelum berangkat ke kampus Stela harus menyiapkan segala kebutuhan sang suami. Dia tidak mungkin membiarkan Sean dibantu oleh pelayan. Meski sebenarnya Sean tidak pernah ingin mengganggu Stella. Namun, sebagai seorang istri Stella tentu tahu apa saja yang menjadi tugasnya.“Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku memiliki meeting hari ini. Mungkin aku akan pulang malam. Kau jangan menungguku. Tidurlah duluan.” Sean mengecup bibir Stella singkat. “Pagi ini kau berangkat denganku saja. Aku masih memiliki waktu untuk mengantarmu.”“Kau yakin, Sean? Aku tidak mau mengganggumu. Aku bisa diantar sopir saja,” ujar Stella yang tidak mau mengganggu waktu suaminya.“Tidak mungkin kau menggangguku. Lagi pula aku masih memiliki waktu. Meeting di kantorku satu jam lagi,” jawab Sean seraya mengelus pipi Stella. “Yasudah kita berangkat sekar
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al