Menjelang keberangkatan ke Kanada, Stella disibukan dengan menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan di sana. Meski ada pelayan tapi tetap saja Stella tetap mempersiapkan barang-barangnya dan juga Sean. Ya, Stella sudah begitu menikmati hidupnya sebagai seorang istri. Setiap paginya bangun lebih awal, mempersiapkan segala keperluan Sean. Dan malam harinya Stella menunggu Sean pulang bekerja. Dulu Stella pikir, hidupnya bersam Sean akan seperti mayat hidup. Nyatanya Seanlah pria yang selalu membahagiakannya. Pria itu memiliki cara tersendiri membuat dirinya bahagia.“Nyonya Stella.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nyonya di depan ada Nyonya Besar Marsha datang,” ujar sang pelayan sontak membuat Stella terkejut.“Mommy Marsha datang?” ulang Stella memastikan.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Beliau sudah menunggu anda di depan.”Seketika senyum di bibir Stella terukir. “Baiklah, kau siapkan mi
Saat pagi menyapa, Stella sudah bangun dan memasukan barang-barang pribadinya dengan Sean ke dalam koper. Ya, hari ini adalah keberangkatannya ke Kanada. Pakaian pun sudah disiapkan oleh pelayan. Di Kanada sekarang tengah musim gugur. Perlengkapan jaket hangat sudah tersedia. Beberapa hari lalu, Stella sudah mencari tahu tentang suhu di Kanda lewat internet. Rupanya musim gugur di Kanada, membutuhkan jaket hangat karena cuaca akan dingin dengan suhu rata-rata sembilan derajat celcius. Bisa lebih, karena semua tergantung dengan keadaan cuaca.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Stella mengalihkan pandangannya dan langsung menginterupsi untuk masuk.“Nyonya.” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Stella seraya membawakan nampan yang berisikan makanan.Stella mengalihkan pandangannya, menatap pelayan. “Apa kau diminta oleh Sean untuk membawakanku sarapan?” tebaknya yang sudah menduga.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Tuan meminta saya membawakan makanan untuk anda, Nyonya.”
Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandar Udara Internasional Pearson Toronto. Stella yang tertidur di pesawat langsung membuka matanya kala merasakan getaran pesawat yang telah mendarat. Mata Stella masih sedikit mengantuk, tapi dia memilih menahan hingga nanti tiba di rumah Sean. Kini Sean menggenggam tangan Stella, membawanya keluar dari pesawat.Setibanya di lobby, Sean langsung merengkuh bahu Stella masuk ke dalam dekapannya masuk ke dalam mobil. Tampak beberapa media yang terang-terangan mengambil gambar Sean dan Stella. Raut wajah Stella menjadi sedikit pucat dan gugup. Di Jakarta, tidak sampai ada media yang terang-terangan mengambil gambarnya dengan Sean. Sedangkan saat tiba di Toronto, Sean sudah menjadi banyak incaran para media dengan rentetan pertanyaan. Para pengawal Sean pun dengan sigap menghadang para media yang hendak mewawancarai Sean.Hingga saat mobil yang membawa Sean dan Stella meninggalkan lobby bandara, Stella mulai bernapas lega. Sesaat St
Keesokan hari, Stella terbangun dari tidurnya kala mencium aroma makanan. Pelupuk matanya bergerak, dia mengerjap beberapa kali. Sesaat kening Stella berkerut menatap dua orang pelayan menyajikan makan ke atas meja.“Nyonya, maaf saya membuat anda terbangun,” ucap sang pelayan dengan sopan seraya menundukan kepalanya di hadapan Stella.“Ah, tidak apa-apa. Aku juga bangunnya terlambat,” jawab Stella serak suara khas baru bangun tidur. Didetik selanjutnya Stella menoleh ke samping, namun dia mendapati ranjang Sean sudah kosong. “Apa kau melihat suamiku?” tanyanya pada sang pelayan.“Nyonya, jam segini Tuan Sean sedang berolah raga,” ujar sang pelayan memberitahu.“Berolah raga?” Stella mengalihkan pandangannya pada jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Ya, Stella tidak menyangka Sean tidak sedang bekerja saja bangunnya di awal sekali.“Iya, Nyonya. Tuan Sean sedang berolah raga,” jawab sang pelayan lagi.Stella mengembuskan napas pelan. “Baiklah, nanti aku akan menyusulnya. Kau
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lampu jalanan menghiasi di setiap sudut kota Toronto membuat suasana malam hari begitu indah. Ya, terlebih Kanada adalah negara kedua yang terkenal dengan keindahan alamnya. Membuat semua orang yang terutama yang menyukai keindahan alam sangat terpana dengan keindahan negara ini.Sepanjang perjalanan, Stella tak henti menatap keluar jendela. Membandingkan dengan Jakarta yang terkenal padat. Sedangkan Toronto sama seperti saat Stella berlibur di Venice. Namun, meski Jakarta terkenal dengan macet dan tingkat penduduk yang tinggi tetap saja Stella menyukai tinggal di Kota di mana dia lahir dan dibesarkan.Sesekali Stella menatap Sean yang tengah fokus melajukan mobil. Stella ingin sekali bertanya ke mana Sean akan membawanya. Namun, pasti suaminya itu akan menjawab nanti dirinya akan tahu. Itu sama saja lebih baik tidak perlu bertanya. Mau tidak mau Stella sekarang menunggu sampai dirinya tiba di tempat Sean akan membawanya.“Stella,” pang
Stella menatap cermin dengan wajah yang sumringah bahagia melihat kalung dengan liontin berlian berukiran “S” yang terpasang di lehernya. Dalam hidup, ini pertama kali Stella mendapatkan hadiah ulang tahun. Dulu, setiap ada yang bertanya tentang ulang tahunnya maka Stella akan memilih menghindar dari pertanyaan itu. Bahkan jika saja Sean bertanya kapan ulang tahunnya, maka Stella pun akan memilih menghindar. Kenyataannya Sean tanpa harus bertanya, pria itu sudah tahu kapan ulang tahunnya. Sungguh, Stella tidak menyangka akan mendapatkan hadiah ulang tahun dari Sean yang begitu romantis.Tadi, Stella pun makan malam di taman dengan diiringi alunan musik instrument yang membuat hatinya menghangat. Ya, ini adalah perayaan ulang tahun pertama sekaligus terbaik. Tidak ada yang Stella inginkan diulang tahunnya. Hanya satu yang Stella harapkan yaitu dirinya selalu berada di sisi Sean, pria yang begitu dicintai olehnya.Sean berdiri di ambang pintu, tatapannya terus menatap Stella yang tengah
“Sean, hari ini kita akan pergi ke mana? Tidak mungkin hanya di rumah saja, kan? Aku ingin tahu banyak tentang Toronto seperti aku tahu tentang Venice, Sean,” ujar Stella nada yang manja, melangkah menghampiri Sean yang tengah membaca koran. Stella duduk di samping sang suami dan langsung menyandarkan kepalanya di lengan sang suami.Sean yang melihat Stella bergelayut manja di lengannya, dia langsung melipat koran dan meletakannya ke atas meja. “Kau ingin pergi ke suatu tempat?” tanyanya sambil mengusap puncak kepala Stella.Stella mengangguk dengan bibir tertekuk. Kemudian menatap Sean. “Iya, aku ingin jalan-jalan, Sean.”“Alright, aku akan membawamu ke suatu tempat. Kau bersiaplah. Kita akan naik fery. Ini adalah salah satu tempat yang aku sukai sejak kecil.” Sean berucap seraya mengecupi kening Stella.“Naik fery? Kenapa harus menyeberang lautan, Sean? Kenapa tidak yang dekat saja?” Stella mengerutkan keningnya, menatap bingung Sean.“Karena aku ingin menunjukan padamu salah satu t
“Sean, aku tidak mau belajar sepeda. Nanti aku jatuh, Sean. Dulu aku pernah jatuh naik sepeda masuk ke dalam selokan. Aku tidak mau lagi, Sean. Aku takut.” Stella berucap dengan bibir tertekuk menolak permintaan Sean yang memintanya untuk belajar sepeda. Bukannya tidak mau, tapi lebih tepatnya Stella tidak ingin kejadian saat dulu belajar sepeda harus terulang kembali.Sean menahan tawa mendengar Stella jatuh ke dalam selokan. Bayangannya memikirkan bagaimana wajah istri kecilnya itu yang terjatuh ke dalam selokan. Well, tentu saja sangat menggemaskan.“Sean, kau mentertawaiku, ya?” Stella menatap Sean kesal. Meski Sean menahan tawanya, dia sudah melihat ekspresi wajah sang suami yang ingin sekali tertawa.“Tidak.” Sean mengecup hidung Stella gemas. “Tujuanku mengajarimu belajar bersepeda karena aku ingin kau mampu menguasai segalanya.”Stella menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. “Tapi, Sean—”“Ini perintah, Stella. Bukan permintaan,” jawab Sean menekankan dan tidak suka dib