“Sean, kenapa kau belum berangkat bekerja? Apa hari ini kau berangkat siang?” Stella melangkah keluar dari walk-in closet. Tubuhnya kini sudah terbalut oleh dress berwarna biru laut lengan pendek dan rambut hitamnya yang digerai indah.Sean yang tengah fokus pada iPad di tangannya, dia mengalihkan pandangan saat Stella sudah duduk di sampingnya. “Aku berangkat sebentar lagi. Kau ingin pergi?”Stella mengangguk. “Iya, Sean. Aku ingin ke mall, Sean. Aku mau membeli buku tentang fashion designer.”“Kau mau aku antar?” tanya Sean menawarkan seraya menatap Stella.“Tidak perlu, aku berangkat dengan sopir saja. Apa hari ini kau akan pulang terlambat?” Stella kembali bertanya memastikan.“Mungkin iya. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum kita pergi Kanada,” jawab Sean sembari mengusap lembut pipi Stella. “Kau jangan pulang malam. Sebelum aku pulang kau sudah harus di rumah.”Stella mengangguk. “Iya, Sean.”Ya, Stella sudah tidak lagi les Bahasa Inggris. Karena terakhir dia sudah l
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Stella yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah.“Ada apa?” tanya Stella seraya menatap sang pelayan.“Nyonya, tadi Tuan Sean menelepon. Beliau bertanya kenapa ponsel Nyonya tidak aktif,” ujar sang pelayan dengan raut wajah sedikit cemas.Stella menghela napas dalam. “Ponsel dan dompetku hilang,” jawabnya dengan wajah yang mulai muram.Suara dering telepon rumah berbunyi. Dengan cepat sang pelayan langsung mengambil telepon tersebut dan menatap ke layar. Tertera nomor Sean di sana.“Nyonya, ini Tuan Sean menelepon lagi,” ujar sang pelayan seraya memberikan telepon pada Stella.“Kau pergilah. Biar aku yang menjawab telepon suamiku.” Stella berucap kala menerima telepon itu. Kini Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Stella.Stella mengatur napasnya sebentar, sebelum kemudian dia menerima telepon dan meletakannya ke telinganya.“Hallo, Sean?” sapa Stella saat panggilan terhubung.“Stella, kenapa ponselmu tidak ak
Pelupuk mata Stella bergerak kala merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Stella menggeliat, mengerjapkan mata beberapa kali. Sesaat Stella mengedarkan pandangannya kala pagi sudah menyapa. Rasanya dia tertidur begitu pulas hingga tak menyadari bahwa hari sudah berganti.CeklekSuara pintu terbuka. Stella mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Seketika senyum di bibir Stella terukir melihat Sean melangkah masuk ke dalam seraya membawa nampan yang berisikan sarapan.“Sean? Kau dari mana?” tanya Stella saat Sean sudah tiba di hadapannya.“Aku mengambilkan sarapan untukmu.” San memberikan segelas susu hangat pada Stella. Kemudian Stella pun menerima dan meminumnya perlahan. Saat susu yang dia minum sudah hampir habis, Stella meletakan gelas yang di tangannya ke atas meja.“Makanlah ini.” Sean memberikan sandwich pada Stella. Pun Stella menerima sandwich itu dan memakannya perlahan.“Kenapa hanya aku yang sarapan, Sean? Kenapa kau tidak sarapan?” tanya Stella dengan tatapan lekat pa
Stella memijat pelan tengkuk lehernya kala baru saja selesai mempelajari tentang Fashion Designer. Ya, tadi Diandra, designer langganan ibu mertuanya membantu dirinya dalam mengenal dunia Fashion Designer. Jujur Stella memang masih belum begitu memahami. Ditambah sudah lama Stella tidak menggambar. Namun, Stella akan terus belajar. Paling tidak banyak hal yang Diandra beritahu padanya tentang dunia Fashion Designer.“Nyonya,” sapa seorang pelayan kala berpapasan dengan Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nyonya, Tuan Sean sudah menunggu di ruang makan. Ini sudah jam makan siang, Nyonya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Sudah jam makan siang?” Stella langsung mengalihkan pandangannya ke jam dinding—benar saja waktu menunjukan pukul dua belas siang. Bahkan Stella pun lupa kalau Sean hari ini bekerja di rumah. Terlalu fokus dengan materi pelajaran tentang Fashion Designer, dia sampai lupa waktu makan siang dan lupa kalau suamin
Menjelang keberangkatan ke Kanada, Stella disibukan dengan menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan di sana. Meski ada pelayan tapi tetap saja Stella tetap mempersiapkan barang-barangnya dan juga Sean. Ya, Stella sudah begitu menikmati hidupnya sebagai seorang istri. Setiap paginya bangun lebih awal, mempersiapkan segala keperluan Sean. Dan malam harinya Stella menunggu Sean pulang bekerja. Dulu Stella pikir, hidupnya bersam Sean akan seperti mayat hidup. Nyatanya Seanlah pria yang selalu membahagiakannya. Pria itu memiliki cara tersendiri membuat dirinya bahagia.“Nyonya Stella.” Seorang pelayan melangkah menghampiri Stella.“Ya?” Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nyonya di depan ada Nyonya Besar Marsha datang,” ujar sang pelayan sontak membuat Stella terkejut.“Mommy Marsha datang?” ulang Stella memastikan.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Beliau sudah menunggu anda di depan.”Seketika senyum di bibir Stella terukir. “Baiklah, kau siapkan mi
Saat pagi menyapa, Stella sudah bangun dan memasukan barang-barang pribadinya dengan Sean ke dalam koper. Ya, hari ini adalah keberangkatannya ke Kanada. Pakaian pun sudah disiapkan oleh pelayan. Di Kanada sekarang tengah musim gugur. Perlengkapan jaket hangat sudah tersedia. Beberapa hari lalu, Stella sudah mencari tahu tentang suhu di Kanda lewat internet. Rupanya musim gugur di Kanada, membutuhkan jaket hangat karena cuaca akan dingin dengan suhu rata-rata sembilan derajat celcius. Bisa lebih, karena semua tergantung dengan keadaan cuaca.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Stella mengalihkan pandangannya dan langsung menginterupsi untuk masuk.“Nyonya.” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Stella seraya membawakan nampan yang berisikan makanan.Stella mengalihkan pandangannya, menatap pelayan. “Apa kau diminta oleh Sean untuk membawakanku sarapan?” tebaknya yang sudah menduga.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Tuan meminta saya membawakan makanan untuk anda, Nyonya.”
Pesawat yang membawa Sean dan Stella telah mendarat di Bandar Udara Internasional Pearson Toronto. Stella yang tertidur di pesawat langsung membuka matanya kala merasakan getaran pesawat yang telah mendarat. Mata Stella masih sedikit mengantuk, tapi dia memilih menahan hingga nanti tiba di rumah Sean. Kini Sean menggenggam tangan Stella, membawanya keluar dari pesawat.Setibanya di lobby, Sean langsung merengkuh bahu Stella masuk ke dalam dekapannya masuk ke dalam mobil. Tampak beberapa media yang terang-terangan mengambil gambar Sean dan Stella. Raut wajah Stella menjadi sedikit pucat dan gugup. Di Jakarta, tidak sampai ada media yang terang-terangan mengambil gambarnya dengan Sean. Sedangkan saat tiba di Toronto, Sean sudah menjadi banyak incaran para media dengan rentetan pertanyaan. Para pengawal Sean pun dengan sigap menghadang para media yang hendak mewawancarai Sean.Hingga saat mobil yang membawa Sean dan Stella meninggalkan lobby bandara, Stella mulai bernapas lega. Sesaat St
Keesokan hari, Stella terbangun dari tidurnya kala mencium aroma makanan. Pelupuk matanya bergerak, dia mengerjap beberapa kali. Sesaat kening Stella berkerut menatap dua orang pelayan menyajikan makan ke atas meja.“Nyonya, maaf saya membuat anda terbangun,” ucap sang pelayan dengan sopan seraya menundukan kepalanya di hadapan Stella.“Ah, tidak apa-apa. Aku juga bangunnya terlambat,” jawab Stella serak suara khas baru bangun tidur. Didetik selanjutnya Stella menoleh ke samping, namun dia mendapati ranjang Sean sudah kosong. “Apa kau melihat suamiku?” tanyanya pada sang pelayan.“Nyonya, jam segini Tuan Sean sedang berolah raga,” ujar sang pelayan memberitahu.“Berolah raga?” Stella mengalihkan pandangannya pada jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Ya, Stella tidak menyangka Sean tidak sedang bekerja saja bangunnya di awal sekali.“Iya, Nyonya. Tuan Sean sedang berolah raga,” jawab sang pelayan lagi.Stella mengembuskan napas pelan. “Baiklah, nanti aku akan menyusulnya. Kau