Sinar matahari pagi menembus jendela, membuat Stella yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena merasakan silau matahari menyentuh wajahnya. Perlahan Stella mengerjapkan matanya beberapa kali. Menggeliat dan menguap. Saat Stella sudah membuka matanya, tampak kerutan di dahinya ketika menyadari pagi telah menyapa. Didetik selanjutnya, Stella mengalihkan pandangannya ke samping—sepasang iris mata abu-abunya menatap kecewa kala ranjang Sean sudah kosong. Stella mengedarkan pandangannya ke sekitarnya tetap tidak menemukan Sean. Hingga kemudian, tanpa sengaja tatapan Stella teralih pada sebuah note yang terletak di atas nakas. Kini Stella mengambil note itu dan langsung membacanya.*Aku berangkat lebih awal. Maaf tidak membangunkanmu. Aku tidak bisa membangunkanmu yang tertidur terlalu pulas. Pagi ini aku memiliki meeting penting—Your Husband, Sean. G.*Stella menghela napas panjang kala membaca pesan yang ditulis oleh Sean. Dia melirik jam dinding, waktu menunjukan pukul delapan pa
Malam kian larut. Deras hujan membasahi kota Jakarta. Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Beberapa kali terdengar suara petir yang cukup besar namun tak menghentikan laju mobil Sean. Tampak Sean yang begitu tenang seolah mengabaikan suara petir itu. Sesaat Sean melirik arlojinya, waktu menunjukan hampir pukul dua belas malam. Ya, kesibukan Sean hari ini membuatnya mau tidak mau harus pulang terlambat.Tak lama kemudian, Sean memebelokan mobilnya memasuki halaman parkir rumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya, Sean langsung turun dan melangkah masuk ke dalam rumah. Para pelayan dan penjaga yang melihat Sean datang, mereka langsung membungkukan badanya dan menyapa hormat pada Sean.“Apa istriku sudah tidur?” tanya Sean dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.“Sudah, Tuan. Tadi nyonya saya lihat sudah tidur,” jawab sang pelayan.Sean mengangguk singkat. Kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam, menuju kamarnya.Saat tiba di kamar, benar saja apa yang dikatakan o
Sean turun dari mobil, dia melempar kunci mobil ke pihak keamanan untuk memarkirkan mobilnya. Raut wajah dingin dan sorot mata tajam begitu terlihat jelas di iris mata cokelatnya. Bahkan saat banyak para karyawan yang menyapa saja diabaikan oleh Sean. Kini Sean melanjutkan langkahnya, menuju ruang kerjanya.“Tuan Sean.” Tomy, asisten Sean menundukan kepalanya. Menyapa dengan hormat kala Sean baru saja keluar dari lift pribadinya.“Di mana Aurora?” tanya Sean langsung tanpa basa basi. Sepasang mata tegas, layaknya mata elang yang begitu tajam.“Nona Aurora berada di ruang kerja anda, Tuan. Hari ini beliau datang lebih awal,” jawab Tomy.Tanpa lagi berucap, Sean melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang kerjanya. Raut wajahnya begitu menunjukan kemarahan yang tak lagi bisa tertahan.“Aurora!” Suara Sean berteriak begitu menggelegar memasuki ruang kerjanya.“Sean?” Aurora terkejut kala Sean membentaknya. “K-Kau kenapa, Sean?” tanyanya kala melihat Sean mendekat ke arahnya.Sean mengger
Sean melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Dia sedikit memijat tengkuk lehernya kala merasakan sedikit lelah. Sesaat Sean melirik arloji—waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Ya, dia masih belum pulang ke rumah karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya. Ketika Sean hendak membaca email masuk, tatapanya teralih pada dering ponsel. Sean langsung mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Di sana tertera nomor Marsha, Ibunya yang tengah menghubunginya. Tanpa menunggu, Sean langsung menggeser tombol hijau. Sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ada apa, Mom?” jawab Sean datar kala panggilan terhubung.“Sean, kenapa hari ini Mommy susah sekali menghubungimu?” seru Marsha kesal dari seberang sana.Sean mengembuskan napas kasar. “Maaf, hari ini aku sibuk dengan pekerjaanku. Aku baru saja kembali ke ruang kerjaku. Tadi ponsel aku tinggal di ruang kerjaku.”“Kau masih di kantor? Ini sudah malam, Sean!”“Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, Mom.”“Astaga, Sean. Ka
Stella melangkah keluar dari kamar mandi, kini tubuhnya masih terbalut oleh bathrobe dan rambut yang masih dililit oleh handuk. Sesaat Stella mengedarkan pandanganya ke sekeliling, mencari keberadaan Sean. Namun, dia tidak menemukan suaminya itu.“Sean di mana?” guman Stella dengan nada sedikit kesal. Ya, hari ini Sean mengatakan akan menemaninya melihat kampus. Tidak mungkin suaminya itu berangkat ke kantor. Tapi jika bukan ke kantor, lalu Sean ke mana?“Sudahlah aku mengganti pakaianku lebih dulu saja.” Stella melangkah masuk menuju walk-in closetnya. Lebih baik baginya untuk bersiap-siap. Lagi pula Sean sudah berjanji akan menemaninya ke kampus. Tidak mungkin Sean mengingkari janjinya sendiri.Saat tiba di walk-in closet, Stella membuka lemari pakaiannya. Tampak berderet dress-dress indah tertata rapi di sana. Sungguh, tiap kali Stella berada di walk-in closetnya rasanya dia tidak percaya akan memiliki banyak barang mewah. Dulu, jika Stella ingin memiliki pakaian baru biasanya Stel
“Sean, apa hari ini kau akan ke kantor?” tanya Stella seraya menatap Sean yang tengah mengganti kaos yang basah akibat tumpahan minuman oleh seorang wanita tadi.“Aku harus ke kantor karena hari ini aku memiliki meeting dengan Hans Winoto dan Alesya Richards,” jawab Sean datar.“Alesya Richards?” ulang Stella yang tak asing dengan nama ‘Richards’“Mulai sekarang aku tidak lagi meeting dengan Aurora. Aku sudah meminta project kerja sama ini diurus oleh Alesya Richards. Adik kandung Aurora.” Sean menghidupkan mobil, lalu menginjak gas. Kemudian melajukan mobilnya meninggalkan halaman parkir Raffles Design Institute.Ya, sejak pertemuan terakhirnya dengan Aurora. Sean memutuskan untuk segera meminta Aurora tidak menangani project kerja sama. Ke depannya, Sean harus bertemu dengan Alesya, adik kandung Aurora. Sean tidak mau lagi berurusan membahas kerja sama dengan Aurora yang tidak bisa menyingkirkan masalah pribadi.Raut wajah Stella tampak bingung mendengar apa yang dikatakan oleh Sean
“Selesai.” Stella tersenyum senang melihat masakan yang dia buat sudah tertata di atas meja makan. Ya, khusus hari ini Stella memasak cumi saos tiram dan udang bakar madu untuk Sean. Bahkan Stella tidak mengizinkan pelayan untuk membantunya dalam mengelola masakan. Pasalnya Stella ingin semua masakan dibuat oleh dirinya. Tanpa adanya bantuan dari siapa pun.Jujur, sebenarnya Stella tidak tahu apa makanan kesukaan Sean. Setiap hari Sean hanya memakan hidangan Italia, Perancis, atau barat yang disajikan pelayan. Hanya sesekali Sean dihidangkan masakan Indonesia. Yang Stella tahu, Sean cukup menyukai makanan pedas. Namun, pria itu tidak bisa memakan makanan yang terlalu pedas. Itu kenapa Stella memasak seafod dengan bumbu yang tidaklah pedas. Hanya menggunakan sambal matah yang dipadukan dengan udang bakar madu.“Nyonya,” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Stella seraya membungkukan tubuhnya.“Ya? Ada apa?” Stella mengalihkan pandangannya pada pelayan yang berdiri di sampingnya.
“Sean, kenapa kau belum berangkat bekerja? Apa hari ini kau berangkat siang?” Stella melangkah keluar dari walk-in closet. Tubuhnya kini sudah terbalut oleh dress berwarna biru laut lengan pendek dan rambut hitamnya yang digerai indah.Sean yang tengah fokus pada iPad di tangannya, dia mengalihkan pandangan saat Stella sudah duduk di sampingnya. “Aku berangkat sebentar lagi. Kau ingin pergi?”Stella mengangguk. “Iya, Sean. Aku ingin ke mall, Sean. Aku mau membeli buku tentang fashion designer.”“Kau mau aku antar?” tanya Sean menawarkan seraya menatap Stella.“Tidak perlu, aku berangkat dengan sopir saja. Apa hari ini kau akan pulang terlambat?” Stella kembali bertanya memastikan.“Mungkin iya. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum kita pergi Kanada,” jawab Sean sembari mengusap lembut pipi Stella. “Kau jangan pulang malam. Sebelum aku pulang kau sudah harus di rumah.”Stella mengangguk. “Iya, Sean.”Ya, Stella sudah tidak lagi les Bahasa Inggris. Karena terakhir dia sudah l