"Pah, bodyguard yang ini terlalu tua! Ga nyambung kalau diajak ngobrol."
Anton memijat kepalanya pusing. Sudah 3 kali dalam seminggu ini ia harus mencari bodyguard yang cocok untuk anaknya. Seperti sekarang, gadis itu berdiri di pintu ruang kerjanya sambil memeluk boneka panda."Kara mau yang kayak gimana lagi? "tanya Anton.Kara berpikir sejenak. Ia masuk ke ruang kerja ayahnya lalu duduk disofa."Yang muda, jangan terlalu tua,"Anton menaikkan alis nya sebelah."Itu aja? "Kara mengangguk. Ia melihat ke sekeliling ruang kerja Anton. Rak-rak yang penuh dengan buku, karena dia gemar membaca.Mata Kara tertuju pada sebuah buku bersampul hitam. Ia berdiri lalu mengambilnya. Itu adalah buku tentang misteri dunia."Kara pinjam ini ya, Pah? "tanya Kara yang dibalas anggukan oleh Anton.Ia memeluk buku dan boneka panda sekaligus lalu berjalan keluar. Tepat di pintu, Kara berhenti lalu menoleh ke arah ayahnya."Inget ya, jangan yang tua. Kara gak suka!"Anton tersenyum simpul dan mengangguk pelan. "Iya, sayang, ". Kara keluar dan menutup pintu, sementara Anton mengambil ponsel dan menelpon seseorang."Ganti, cari yang lain," ucap Anton pada seseorang ditelepon. "Yang masih muda."***Kara duduk di pinggiran kolam sembari membaca buku yang ia pinjam dari Anton tadi. Tak jauh darinya berdiri seorang lelaki 40 tahunan yang mengawasinya. Dia bodyguard Kara yang sebentar lagi akan digantikan.Kara sebenarnya tidak suka di tatap dan diawasi seperti itu. Tapi ini adalah aturan dari ayahnya demi keselamatan dirinya juga. Tapi bukankah ini berlebihan? Ini di rumah. Tidak akan ada yang berbuat macam-macam kepadanya."Pak Dante bisa pergi aja gak? Kara mau baca buku dengan tenang. Kalau di awasi kayak gitu jadi gak nyaman, "ucap Kara pada lelaki berpakaian serba hitam yang mengawasinya dari tadi."Tidak bisa nona, ini tugas saya. "Kara menghela nafas. Ia bangkit lalu berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamar. Percuma menyuruh bodyguard nya untuk pergi, jadi dia mengalah dan memilih masuk kamar saja. Hanya di kamar Kara merasa nyaman karena tidak ada yang mengawasi dan menatap nya terus menerus seperti bodyguardnya.Gadis itu merebahkan badannya ke kasur. Meletakkan buku ke atas nakas lalu memejamkan matanya. Ia lelah dan bosan dengan kondisi rumahnya seperti ini. Kara ingin bermain keluar dan berbaur dengan teman sebayanya. Bukan berdiam diri dikurung di dalam rumah seperti rapunzel.Kara tidak di ijinkan keluar rumah. Dari umur 8 tahun dia dikurung di dalam rumah seperti ini. Semua kegiatan ia lakukan dirumah, seperti sekolah. Kara home schooling. Anton sangat melarang Kara keluar rumah, dia tidak ingin sesuatu terjadi padanya. Ia tak mau kejadian yang dialami Erlan, abang Kara terjadi lagi.Erlan tewas dibunuh oleh saingan bisnis ayahnya. Saat itu usianya baru 15 tahun sedangkan Kara masih 8 tahun, itu yang membuat Anton sangat protektif kepada Kara karena hanya dia yang Anton punya. Setelah Erlan pergi ibunya juga ikut pergi menyusulnya karena terkena serangan jantung.Kara tidur telentang di kasur sambil menatap langit-langit kamar."Bosen, Kara pengen main, "Sebenarnya Kara punya banyak mainan di kamarnya. Kebanyakan adalah mainan perempuan seperti boneka barbie, puzzle, monopoli, mainan masak-masakan dan masih banyak lagi. Umumnya mainan itu sudah tidak cocok dimainkan oleh perempuan 16 tahun seperti Kara. Tapi Anton masih menganggapnya anak kecil dan tidak mengajarkan hal sesuai usia Kara. Jadi Kara bertingkah seperti anak kecil.***"Jadi bodyguard, mau? "Kaisar menatap lelaki paruh baya di depannya ini dengan tatapan malas."Gak," ucap Kaisar lalu fokus menonton televisi. Heru menghela nafas kasar. Ponakannya ini sudah berbulan-bulan menganggur. Setiap hari hanya bermalas malasan dan main. Padahal usianya sudah 25 tahun."Yang kamu jaga ini gadis. Anak pengusaha terkenal, Anton Raharja." Heru melanjutkan. "Kalau kamu mau kerja disana ya bayarannya banyak, yakin gak mau?"Kaisar masih belum menoleh. "Anton nyari yang muda, gagah dan bisa beladiri. Kamu sesuai dengan kriteria nya. Gajinya juga ga main-main, Kai. Dua digit bisa masuk ke rekeningmu, "ucap Heru meyakinkan lelaki itu.Kaisar menoleh, ia mulai tertarik."Om serius kan? "Heru mengangguk. "Serius lah, kalau kamu mau om bisa langsung hubunginsekarang, "Kaisar setuju, Ia juga sedang butuh uang. Pekerjaan ini cukup menggiurkan. Heru tersenyum lalu menepuk bahu ponakannya itu."Yasudah om keluar dulu. Nanti om kabarin kapan kamu bisa mulai kerja, "Heru keluar dari kamar Kaisar. Saat sampai di pintu, lelaki itu menoleh lagi ke arah Kaisar."Rumah Anton di luar kota. Kamu mau kan pindah? "Kaisar mengangguk dengan malas."Kamu tinggal di rumahnya, jadi gak usah nyari kos-kosan."Sekali lagi Kaisar hanya membalas dengan deheman. Heru keluar dan menutup pintu.Kaisar menghela nafas kasar, di satu sisi ia senang karena mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tapi di satu sisi dia juga merasa sedikit sedih karena harus pergi keluar kota dan meninggalkan semuanya disini, termasuk Grita pacarnya.Kaisar mengambil ponsel nya dan menghubungi seseorang."Siap-siap, nanti gue jemput."Di sebrang sana Grita bingung dengan ajakan Kaisar yang mendadak."Mau kemana? Mendadak banget, ""Ga usah buru-buru. 1 jam lagi gue ke rumah, "ucap Kaisar."Iya, aku mandi dulu, ""Hm, "Panggilan terputus. Kaisar ingin mengajak gadis itu pergi jalan-jalan untuk yang terakhir kali sebelum ia pergi ke luar kota. Ia tahu, setelah bekerja dia tidak akan bisa lagi pergi dengan Grita. Jadi ia akan menghabiskan hari ini bersama Grita.Kaisar tidak langsung bersiap-siap, masih ada waktu 1 jam lagi sebelum ia menjemput Grita. Ia masih bisa bermalas-malasan.Pukul 2 siang Kaisar sudah sampai di apartement Grita. Gadis itu keluar dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Grita tampak cantik dengan wide leg pants putih dan kaos putih bergambar serta platform sandal. Sedangkan Kaisar hanya memakai jeans hitam dan hoodie abu-abu.Kaisar menatap gadis itu sambil tersenyum."Hai, cantik."Grita tertawa. Ia memukul lengan Kaisar."Apasih, "Kaisar memberikan helm ke Grita dan langsung diambil oleh gadis itu. Kaisar mengulurkan tangannya sebagai pegangan agar gadis itu bisa naik ke motornya. Lelaki itu mengendarai honda cbr250 rr."Pegangan yang erat nanti lo terbang, "ucap Kaisar sambil tertawa. Gadis itu memukul bahu Kaisar kesal."Kaisar ngeselin! "Grita memeluk Kaisar, motornya pun melaju dengan kecepatan sedang menuju jalanan. Kaisar tidak tahu kemana ia akan membawa gadis ini pergi, ia tidak punya tujuan. Kaisar hanya ingin menghabiskan waktu dengan Grita hari ini.Di penghujung sore Kaisar mengajak Grita ke danau, tempat favorit mereka. Disana mereka sering bercerita sambil melihat matahari terbenam."Kamu tumben hari ini baik banget, kenapa? "Kaisar menoleh ke Grita sebentar lalu tertawa kecil, matanya kembali menghadap ke depan."Salah? "Grita menggelengkan kepala."Enggak. Tapi cuma heran aja sama sikap kamu hari ini. Tiba-tiba ngajak jalan seharian,"Hening sesaat."Gue dapet kerja, Ta"ucap Kaisar memecah keheningan.Grita tersenyum. "Bagus dong, "Kaisar menatap gadis di sampingnya ini. "Iya bagus, tapi kerjaannya di luar kota, "Senyum di wajah gadis itu perlahan hilang."Jauh ya?"Kaisar mengangguk. "Kemungkinan gue balik cuma 2 bulan sekali,"Grita menunduk. Ia sekarang tahu kenapa Kaisar menghabiskan waktu dengannya seharian ini, karena dia akan pergi jauh."Jadi ini alasannya kamu baik banget hari ini? Karena kamu mau pergi?""Iya, "Air mata Grita jatuh. Buru-buru ia mengusapnya. Tapi Kaisar sudah mengetahuinya."Kok nangis? " Kaisar menyentuh dagu gadis itu agar mendongak dan melihat wajahnya."Kalo kangen kan bisa telfon, gausah nangis ya?" ucap Kaisar sambil mengusap air mata yang turun di pipi Grita."Cantiknya Kaisar ga boleh nangis, paham? " Grita mengangguk pelan.Kaisar tersenyum miring. "Good girl, " ucap Kaisar sambil mengusap rambut Grita.***"Saya Kaisar, bodyguard anda mulai sekarang, Nona Kara. "Kara menatap lelaki di hadapannya ini. Muda, tinggi, dan berperawakan gagah.Kara akui jika ia terpesona dengan lelaki yang menjadi bodyguardnya ini. Anton memegang bahu Kara. "Sesuai kan sama yang kamu mau?" Kara mengangguk. Kara memuji kecepatan Anton dalam mencari pengganti Dante yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Baru kemarin ia mengatakan keinginannya dan siang ini hal itu sudah terjadi. "Kaisar juga bisa jadi teman kamu, kan? "tanya Anton sambil menoleh ke Kaisar. Kaisar mengangguk. "Tentu, Pak. "Anton lalu pergi meninggalkan Kara dan Kaisar berdua karena akan melanjutkan pekerjaannya di kantor. Suasana menjadi hening dan canggung seketika. Keduanya tidak ada yang memulai percakapan. Kara tidak suka suasana seperti ini tapi lelaki dihadapannya benar-benar membuatnya gugup. "Uhm, Kaisar mau main masak-masakan gak? "***Disinilah Kara dan Kaisar berada, duduk lesehan di halaman belakang yang asri. Kara b
Setelah mengantar Kara ke kamarnya, Kaisar juga bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat. Setelah membersihkan tubuh, Kaisar menuju ke kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Baru saja ia hendak menutup mata, ponsel nya berbunyi. Ada telepon yang masuk. "Hm? " Kaisar menjawab dengan malas. "Kamu udah selesai kerja?"Itu Grita, pacar Kaisar. "Udah," "Langsung istirahat, jangan begadang. "Kaisar membalas dengan deheman. Lelaki itu mengantuk. "Kita bisa ketemu kapan, Kai?""Ga tau. Ga ada cuti."Terdengar helaan nafas dari Grita. "Segitunya? Kamu kerja apa sih?"Kaisar memang tidak memberitahukan pekerjaannya kepada siapapun, termasuk Grita. Ia hanya mengatakan bahwa ia bekerja di luar kota. Itu saja dan Grita sudah percaya. "Ga perlu tau. Udah dulu, gue mau tidur, " ucap Kaisar malas. "Iya. Good night, Kai. " Kaisar mematikan telepon. Ia meletakkan ponsel ke atas nakas. Pikirannya masih tertuju pada ucapan tadi saat bersama Kara. Tentang ia yang mengajukan diri untuk menemani
"Abang Kai! "Kaisar menoleh ke sumber suara. Ia melihat Kara tengah tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya. Kaisar terkejut, masih tak percaya dengan ucapan Kara. "Ya, nona? ""Nanti ikut aku ke suatu tempat, mau ya?"ajak Kara. "Kemana?"tanya Kaisar. "Ada deh. Nanti juga tahu, " ucap Kara. Kaisar tidak langsung mengiyakan permintaan gadis itu. "Tuan Anton tidak mengijinkan Nona pergi keluar rumah, "ucap Kaisar tegas. Kara menghela nafas kasar. "Nanti aku bujuk papah, "ucap Kara. "Tidak bisa. Tetap di rumah, ini demi keselamatan Nona, " ucap Kaisar tegas. Ia sebisa mungkin bekerja secara profesional. Anton pernah mengatakan padanya bahwa sebisa mungkin untuk memastikan Kara untuk tetap di dalam rumah. Walaupun sudah punya bodyguard yang bisa menjaga Kara, Anton tetap tidak mengijinkan gadis itu pergi dari rumah. Hanya tadi pagi Kara keluar rumah untuk jogging. Itu pun tanpa persetujuan dari Anton. Karena Kara tahu jika ia meminta ijin, Anton tidak akan memperbolehkannya. Kai
Grita berdecak kesal. Kaisar tidak menjawab telepon darinya, tidak seperti biasanya. "Apa Kaisar udah kerja ya? "Grita memaklumi, mungkin saja Kaisar sudah bekerja dan tidak membawa ponsel.Gadis itu sudah siap untuk pergi bekerja. Setelah sarapan roti dan susu, Grita pergi menggunakan ojek online menuju kantornya. Perusahaan tempat Grita bekerja letaknya tidak terlalu jauh dari apartementnya. Hanya memakan waktu 10 menit. Seperti biasa Grita akan tersenyum dan menyapa orang-orang di kantor. Entah ia mengenalnya atau tidak, yang terpenting adalah menjadi pribadi yang ramah. "Pagi, Ta."Perempuan berambut pendek sebahu muncul dan menyapa Grita. Itu adalah Luna, rekan kerja Grita. Grita tersenyum. "Pagi. Nanti makan siang di luar lagi ya, Lun? " Luna setuju. Mereka lalu berpisah karena ruang kerja mereka berbeda. Ruang kerja Luna ada di lantai dasar sedangkan Grita ada di lantai 3, itu artinya Grita harus menaiki lift untuk sampai di ruang kerjanya. Grita menunggu lift turun. Tiba
Kara kesepian, sungguh. Cuma dia satu satunya perempuan muda di rumah ini. Kara ingin merasakan punya banyak teman, bermain bersama, dan melakukan apapun bersama teman juga. Kara pasti punya banyak teman andaikan dia bersekolah. Ramah, murah senyum, pintar dan cantik siapa memangnya yang tidak mau berteman dengan Kara? Dia pasti menjadi primadona sekolah, andaikan saja. "Non, jangan ngelamun. Nanti kesambet setan lho!"Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja Bi Ina sudah ada di samping Kara. Mereka berada di ruang keluarga, Kara duduk di sofa sementara Bi Ina duduk di bawah. Gadis itu sudah berulang kali meminta wanita itu untuk duduk diatas, tapi Bi Ina mengatakan bahwa itu tidak pantas dilakukannya karena ia hanya seorang pembantu. "Mikirin apa, Non cantik? "tanya Bi Ina. Kara tersenyum. Ia mau menceritakan semua keluh kesahnya ke Bi Ina. Karena hanya dia lah satu-satunya orang yang bisa ia ajak mengobrol dan curhat di rumah ini."Kara bingung. Kenapa papah gak ngebolehin aku bu
Sepertinya tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain pekerjaan Kaisar. Saat Heru menawarkan pekerjaan ini kepada Kaisar, terlintas di pikirannya bahwa bekerja sebagai bodyguard identik dengan berkelahi dengan musuh, kehidupan yang gelap, serta ancaman musuh. Tapi prediksi Kaisar salah, ia dipekerjakan untuk menjadi teman bermain. Ya, teman bermain. Di satu sisi Kaisar merasa senang karena pekerjaan nya mudah tapi gajinya besar. Tapi di lain sisi ia merasa aneh dan kurang nyaman jika bermain seperti anak kecil dengan Kara. Dia sudah dewasa, 25 tahun sudah tidak cocok untuk bermain masak-masakan dan monopoli, 'kan? Bodyguard juga identik dengan jas hitam serta kacamata hitam. Tapi Kaisar hanya memakai kaos biasa. Lelaki itu tidak terlihat seperti sedang bekerja, ia nampak seperti orang biasa yang kerjaannya cuma di rumah saja. Memang dari awal Anton mengatakan padanya untuk bersikap seperti orang biasa saja atau berpura-pura menjadi bagian dari keluarganya. Alasannya adalah unt
Sudah waktunya makan malam, Kara dan Anton sudah berada di meja makan. Para pembantu menyiapkan berbagai makanan di atas meja. Berbagai lauk tersedia untuk memanjakan lidah mereka berdua. "Homeschooling kamu gimana? Lancar, kan? "tanya Anton. Kara mengangguk. "Lancar kok, ""Gimana dengan Sean?""Sean baik, dia pinter ngajarinnya,"ucap Kara. Selain pintar Sean juga baik. Ia ramah dan murah senyum, membuat siapapun merasa nyaman berada di sampingnya termasuk Kara.Anton lega, ia tak salah mencari guru private untuk anaknya. Setidaknya ia tak akan pusing-pusing mencari guru baru untuk anaknya. Anton memakan hidangan didepannya dengan lahap. Kara nampak tak selera makan, ia hanya mengaduk-aduk makanannya. Anton sadar dengan hal itu. "Kenapa, Kara? Makanannya tidak enak?"tanya Anton. Kara menggelengkan kepalanya. "Ada yang mau Kara tanyain sama Papah, ""Tanya apa?"Kara nampak ragu untuk bertanya, tapi ia sangat penasaran dengan hal yang ingin ia tanyakan ini. Kara memberanikan di
Grita tengah duduk di halte bis. Ia memilih berjalan dari kantor menuju halte untuk menaiki bis ketimbang menaiki ojek online seperti biasanya. Karena biaya naik bis lebih murah daripada naik ojek online. Grita sedang menghemat uangnya, dengan sisa uang di dompet ia berharap masih bisa bertahan hidup untuk sebulan ke depan. Walaupun sudah malam, masih ada beberapa orang yang menunggu di halte. Ya setidaknya Grita tidak menunggu bis sendiri. Ponsel Grita berbunyi, ada panggilan telefon masuk. "Halo, ibu."Terdengar sautan dari telefon. "Kak, ini Aya. "Bukan suara ibunya. Yang terdengar adalah suara remaja perempuan bernama Aya yang merupakan adik kandung Grita. "Kenapa, Ya? Tumben nelfon."Aya tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik sampai ia menjawabnya. "Ibu masuk rumah sakit, "Grita terkejut."Hah? Ibu sakit apa? "Terdengar suara Aya menghela nafas, suaranya gemetar menahan tangis. "Kanker kelenjar getah bening stadium tiga. "Lagi, Grita di buat terkejut dengan u
Setelah Kara masuk ke kamarnya, Kaisar, Vano, dan Pak Adi berdiri mengitari meja, di mana kotak hitam dan mobil mainan kecil masih tergeletak.“Kita periksa CCTV sekarang,” kata Kaisar akhirnya.Pak Adi mengangguk. “Aku setuju. Semakin cepat kita tahu siapa yang melakukannya, semakin baik.”Vano meregangkan tubuhnya, lalu menghela napas. “Baiklah, ayo ke ruang monitor.”Mereka bertiga berjalan ke ruangan kecil di sudut rumah, tempat layar-layar monitor yang menampilkan berbagai sudut rumah terpasang. Pak Erik, seorang petugas keamanan yang hanya bertugas sekali dalam seminggu itu langsung berdiri ketika mereka masuk.“Pak Adi? Ada apa?”“Kami perlu melihat rekaman dari beberapa jam terakhir. Khususnya bagian gerbang depan,” jawab Pak Adi.Pak Erik mengangguk dan segera mengakses rekaman. Kaisar dan Vano berdiri di belakangnya, menatap layar dengan fokus.01:20 AMLayar menunjukkan rekaman gerbang depan. Semuanya tampak biasa—hanya gerbang besi hitam yang kokoh, jalanan sunyi, dan lamp
Kaisar melangkah keluar, diikuti oleh Pak Adi yang berjalan dengan langkah waspada. Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, membawa aroma tanah basah yang khas setelah embun turun. Lampu-lampu di halaman depan rumah Kara menyala redup, menciptakan bayangan panjang di atas tanah berbatu.Vano masih duduk di kursi teras, kedua lengannya terlipat di dada. Ia tampak enggan bergerak, tetapi setelah mendesah panjang, akhirnya ia ikut bangkit. Langkahnya berat, seolah ia sudah bisa menebak bahwa malam ini tidak akan membawa kabar baik.Kara tetap berdiri di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya mengikuti ketiga pria itu yang berjalan menuju gerbang. Dadanya berdebar lebih cepat, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Angin berembus pelan, mengibarkan ujung rambutnya yang dibiarkan terurai. Dari sudut rumah pegawai, beberapa orang masih mengintip dari jendela, rasa ingin tahu mereka sulit dibendung. Bi Ina menyaksikan mereka dari kejauhan dengan raut wajah cemas.Ka
Pak Adi menarik tangan Kara, membawanya masuk ke dalam rumah. Dengan cekatan, ia menutup dan mengunci gerbang.Di dalam, suasana rumah terasa sepi. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka dan hembusan angin yang bergerak pelan.Kara masih berdiri disana, menatap ke luar. Kaisar dan Vano sudah menghilang dalam kegelapan. Ia menggigit bibir, berusaha menahan pikirannya agar tidak berlarian terlalu jauh.Pak Adi memperhatikannya sejenak sebelum berkata, “Non, mereka pasti baik-baik saja.”Kara menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Aku tahu.”Namun, hatinya berkata lain.Ia ingin percaya bahwa Kaisar dan Vano mampu menangani situasi ini, tetapi kotak hitam yang muncul entah dari mana, ditambah dengan sosok misterius yang mengawasi mereka dari balik semak-semak, membuat pikirannya terus bekerja.Pak Adi berjalan ke pos satpam sementara Kara masih berdiri di tempatnya, memperhatikan gerbang yang kini tertutup rapat.Hening.Lalu, terdengar suara langkah kaki.Kara refleks menoleh. Bebera
Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Kaisar, Vano, Pak Adi, dan Kara berdiri di luar gerbang rumah, mengitari sebuah kotak hitam yang entah bagaimana bisa muncul di sana tanpa ada yang melihat siapa yang membawanya. Kaisar mendekat dan memperhatikan setiap detail kotak misterius itu. Namun, sebelum ia sempat menyentuhnya, telinganya menangkap sesuatu, suara langkah kaki di atas kerikil, samar tetapi jelas.Krek… krek… krek…Kaisar langsung menegakkan tubuhnya. “Sst! Diam.”Mereka semua terdiam, menajamkan pendengaran. Suara itu datang dari balik semak-semak. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar, seperti seseorang yang sengaja bergerak dengan hati-hati.Kaisar menegakkan tubuhnya, matanya menyipit, fokus mencari sumber suara itu. Dalam sepersekian detik, ia bergerak. "Ada orang disana!" serunya, langsung berlari ke arah datangnya suara.Vano yang refleks ikut waspada langsung mengejar. “Oi, tunggu! Jangan sendirian!”Vano segera mengejar Kaisar. Namun, sebelum pergi, ia
Langit mulai berubah warna ketika matahari merayap turun di balik pepohonan. Di halaman rumah Kara yang luas, tiga pria berdiri dalam diam, menatap benda asing di hadapan mereka—sebuah kotak hitam yang muncul beberapa hari lalu.Kaisar menyilangkan tangan di dada, rahangnya mengeras. Vano berdiri di sampingnya, menggoyang-goyangkan tubuh seperti anak kecil yang tidak bisa diam, sementara Pak Adi mengusap dagunya dengan wajah penuh keraguan.“Ini sudah malam keempat,” gumam Kaisar, nadanya berat.Pak Adi mengangguk, “Dan yang bikin tambah aneh, tuan nggak pulang.”Vano menghela napas panjang lalu menendang pelan kerikil di kakinya. “Dua kemungkinan, dia kabur karena takut sama kotak ini atau dia udah tahu dan nyari siapa pelakunya?”Pak Adi menggeleng. “Saya juga ga tahu.”Kaisar menunduk, menatap kotak hitam itu. Tidak ada tanda-tanda aneh di permukaannya hanya kotak biasa tanpa tulisan, tanpa petunjuk. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang salah.“Pokoknya, kita nggak boleh lengah. Kita
Raven tidak pernah memiliki kehidupan yang mudah. Ia lahir di keluarga miskin di pinggiran kota, tumbuh di lingkungan yang keras di mana kejahatan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap sudut jalan yang ia lalui dipenuhi dengan bayangan gelap; transaksi ilegal di gang-gang sempit, suara sirene polisi yang menjadi latar belakang kesehariannya, dan bisikan ketakutan yang menyelinap di antara orang-orang yang tahu bahwa mereka hidup dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka.Ayahnya adalah seorang pecandu alkohol yang kasar, pria yang lebih sering menghabiskan waktunya di bar daripada di rumah. Ketika pulang, ia membawa serta aroma minuman keras yang menyengat dan amarah yang tak terkendali. Ibunya, sebaliknya, adalah wanita kuat yang bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya, tetapi kerja kerasnya tidak pernah cukup untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan Raven kecil menyaksikan semua itu dengan mata yang s
Malam itu, hujan turun deras di taman kota yang sepi. Lampu-lampu jalan redup, memantulkan cahaya ke genangan air di trotoar. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.Di salah satu sudut taman, di bawah pohon besar yang batangnya basah oleh air hujan, berdiri seorang pria. Ia mengenakan hoodie hitam yang sudah mulai basah, tetapi ia tidak peduli. Tudung hoodienya menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tampak seperti bayangan yang muncul dari kegelapan. Ia bukan orang sembarangan—ia adalah mata-mata Anton, seorang pria yang bekerja dalam bayang-bayang, mengumpulkan informasi. Nama aslinya sudah lama tenggelam dalam catatan sejarah. Di dunia ini, ia hanya dikenal dengan kode: Raven.Tangan kirinya berada di saku, sementara tangan kanannya memegang ponsel. Jemarinya yang panjang dan dingin menekan tombol panggil. Ia menempelkan ponsel ke telinganya, mendengar suara dering yang memecah keheningan malam.Satu kali. Dua kali. Lalu, suara di seberang menjawab
Malam itu, suasana di dalam ruangan terasa dingin, meski tak ada pendingin udara yang menyala. Lampu di langit-langit menerangi meja kayu di tengah ruangan, tempat seorang pria duduk dengan ekspresi tak terbaca. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, satu tangan menopang dagunya, sementara tatapannya lurus ke depan.Di seberang meja, seorang pria lain berdiri dengan tubuh tegap. Ia mengenakan pakaian serba hitam, tampak formal tapi tetap cukup fleksibel untuk bergerak cepat jika diperlukan. Tangan kanannya mengepal di belakang punggung, sementara tangan kirinya memegang sebuah map tipis berwarna abu-abu.“Sudah tiga hari,” kata pria yang berdiri itu.Yang duduk tidak langsung menanggapi. Ia menggeser jemarinya di atas meja, menelusuri permukaannya yang halus, sebelum akhirnya berkata, “Dan dia tidak kembali ke rumahnya sama sekali?”“Tidak.”Hening sejenak. Angin dari luar jendela berhembus pelan, menggoyangkan tirai tipis yang setengah tertutup.“Tidak ada tanda-tanda dia berada di ru
Sudah dua hari Anton tidak pulang.Bi Ina mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan, seolah menegaskan bahwa waktu terus berjalan tanpa kepastian. Di sampingnya, Pak Adi duduk dengan wajah cemas, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Tuan pergi kemana to, biasanya kalau pulang telat pasti kasih kabar,” keluh Bi Ina, suaranya terdengar lebih khawatir daripada sekadar kesal.Pak Adi menghela napas berat. “Iya, Bu. Saya juga bingung. Biasanya paling lama pulang tengah malam, atau enggak ya nelpon, bilang lagi di mana. Ini dua hari nggak ada kabar.”Mereka saling berpandangan. Keduanya sama-sama tahu bahwa Anton bukan tipe orang yang begitu saja menghilang. Meskipun ia memang sering pulang larut, tapi setidaknya ia akan memberi tahu. Tapi sekarang? Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi.Pak Adi meraih ponselnya lagi, mencoba menelepon Anton sekali lagi. Hasilnya masih sama—suara operator yang memberi tahu