"Pah, bodyguard yang ini terlalu tua! Ga nyambung kalau diajak ngobrol."
Anton memijat kepalanya pusing. Sudah 3 kali dalam seminggu ini ia harus mencari bodyguard yang cocok untuk anaknya. Seperti sekarang, gadis itu berdiri di pintu ruang kerjanya sambil memeluk boneka panda."Kara mau yang kayak gimana lagi? "tanya Anton.Kara berpikir sejenak. Ia masuk ke ruang kerja ayahnya lalu duduk disofa."Yang muda, jangan terlalu tua,"Anton menaikkan alis nya sebelah."Itu aja? "Kara mengangguk. Ia melihat ke sekeliling ruang kerja Anton. Rak-rak yang penuh dengan buku, karena dia gemar membaca.Mata Kara tertuju pada sebuah buku bersampul hitam. Ia berdiri lalu mengambilnya. Itu adalah buku tentang misteri dunia."Kara pinjam ini ya, Pah? "tanya Kara yang dibalas anggukan oleh Anton.Ia memeluk buku dan boneka panda sekaligus lalu berjalan keluar. Tepat di pintu, Kara berhenti lalu menoleh ke arah ayahnya."Inget ya, jangan yang tua. Kara gak suka!"Anton tersenyum simpul dan mengangguk pelan. "Iya, sayang, ". Kara keluar dan menutup pintu, sementara Anton mengambil ponsel dan menelpon seseorang."Ganti, cari yang lain," ucap Anton pada seseorang ditelepon. "Yang masih muda."***Kara duduk di pinggiran kolam sembari membaca buku yang ia pinjam dari Anton tadi. Tak jauh darinya berdiri seorang lelaki 40 tahunan yang mengawasinya. Dia bodyguard Kara yang sebentar lagi akan digantikan.Kara sebenarnya tidak suka di tatap dan diawasi seperti itu. Tapi ini adalah aturan dari ayahnya demi keselamatan dirinya juga. Tapi bukankah ini berlebihan? Ini di rumah. Tidak akan ada yang berbuat macam-macam kepadanya."Pak Dante bisa pergi aja gak? Kara mau baca buku dengan tenang. Kalau di awasi kayak gitu jadi gak nyaman, "ucap Kara pada lelaki berpakaian serba hitam yang mengawasinya dari tadi."Tidak bisa nona, ini tugas saya. "Kara menghela nafas. Ia bangkit lalu berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamar. Percuma menyuruh bodyguard nya untuk pergi, jadi dia mengalah dan memilih masuk kamar saja. Hanya di kamar Kara merasa nyaman karena tidak ada yang mengawasi dan menatap nya terus menerus seperti bodyguardnya.Gadis itu merebahkan badannya ke kasur. Meletakkan buku ke atas nakas lalu memejamkan matanya. Ia lelah dan bosan dengan kondisi rumahnya seperti ini. Kara ingin bermain keluar dan berbaur dengan teman sebayanya. Bukan berdiam diri dikurung di dalam rumah seperti rapunzel.Kara tidak di ijinkan keluar rumah. Dari umur 8 tahun dia dikurung di dalam rumah seperti ini. Semua kegiatan ia lakukan dirumah, seperti sekolah. Kara home schooling. Anton sangat melarang Kara keluar rumah, dia tidak ingin sesuatu terjadi padanya. Ia tak mau kejadian yang dialami Erlan, abang Kara terjadi lagi.Erlan tewas dibunuh oleh saingan bisnis ayahnya. Saat itu usianya baru 15 tahun sedangkan Kara masih 8 tahun, itu yang membuat Anton sangat protektif kepada Kara karena hanya dia yang Anton punya. Setelah Erlan pergi ibunya juga ikut pergi menyusulnya karena terkena serangan jantung.Kara tidur telentang di kasur sambil menatap langit-langit kamar."Bosen, Kara pengen main, "Sebenarnya Kara punya banyak mainan di kamarnya. Kebanyakan adalah mainan perempuan seperti boneka barbie, puzzle, monopoli, mainan masak-masakan dan masih banyak lagi. Umumnya mainan itu sudah tidak cocok dimainkan oleh perempuan 16 tahun seperti Kara. Tapi Anton masih menganggapnya anak kecil dan tidak mengajarkan hal sesuai usia Kara. Jadi Kara bertingkah seperti anak kecil.***"Jadi bodyguard, mau? "Kaisar menatap lelaki paruh baya di depannya ini dengan tatapan malas."Gak," ucap Kaisar lalu fokus menonton televisi. Heru menghela nafas kasar. Ponakannya ini sudah berbulan-bulan menganggur. Setiap hari hanya bermalas malasan dan main. Padahal usianya sudah 25 tahun."Yang kamu jaga ini gadis. Anak pengusaha terkenal, Anton Raharja." Heru melanjutkan. "Kalau kamu mau kerja disana ya bayarannya banyak, yakin gak mau?"Kaisar masih belum menoleh. "Anton nyari yang muda, gagah dan bisa beladiri. Kamu sesuai dengan kriteria nya. Gajinya juga ga main-main, Kai. Dua digit bisa masuk ke rekeningmu, "ucap Heru meyakinkan lelaki itu.Kaisar menoleh, ia mulai tertarik."Om serius kan? "Heru mengangguk. "Serius lah, kalau kamu mau om bisa langsung hubunginsekarang, "Kaisar setuju, Ia juga sedang butuh uang. Pekerjaan ini cukup menggiurkan. Heru tersenyum lalu menepuk bahu ponakannya itu."Yasudah om keluar dulu. Nanti om kabarin kapan kamu bisa mulai kerja, "Heru keluar dari kamar Kaisar. Saat sampai di pintu, lelaki itu menoleh lagi ke arah Kaisar."Rumah Anton di luar kota. Kamu mau kan pindah? "Kaisar mengangguk dengan malas."Kamu tinggal di rumahnya, jadi gak usah nyari kos-kosan."Sekali lagi Kaisar hanya membalas dengan deheman. Heru keluar dan menutup pintu.Kaisar menghela nafas kasar, di satu sisi ia senang karena mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tapi di satu sisi dia juga merasa sedikit sedih karena harus pergi keluar kota dan meninggalkan semuanya disini, termasuk Grita pacarnya.Kaisar mengambil ponsel nya dan menghubungi seseorang."Siap-siap, nanti gue jemput."Di sebrang sana Grita bingung dengan ajakan Kaisar yang mendadak."Mau kemana? Mendadak banget, ""Ga usah buru-buru. 1 jam lagi gue ke rumah, "ucap Kaisar."Iya, aku mandi dulu, ""Hm, "Panggilan terputus. Kaisar ingin mengajak gadis itu pergi jalan-jalan untuk yang terakhir kali sebelum ia pergi ke luar kota. Ia tahu, setelah bekerja dia tidak akan bisa lagi pergi dengan Grita. Jadi ia akan menghabiskan hari ini bersama Grita.Kaisar tidak langsung bersiap-siap, masih ada waktu 1 jam lagi sebelum ia menjemput Grita. Ia masih bisa bermalas-malasan.Pukul 2 siang Kaisar sudah sampai di apartement Grita. Gadis itu keluar dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Grita tampak cantik dengan wide leg pants putih dan kaos putih bergambar serta platform sandal. Sedangkan Kaisar hanya memakai jeans hitam dan hoodie abu-abu.Kaisar menatap gadis itu sambil tersenyum."Hai, cantik."Grita tertawa. Ia memukul lengan Kaisar."Apasih, "Kaisar memberikan helm ke Grita dan langsung diambil oleh gadis itu. Kaisar mengulurkan tangannya sebagai pegangan agar gadis itu bisa naik ke motornya. Lelaki itu mengendarai honda cbr250 rr."Pegangan yang erat nanti lo terbang, "ucap Kaisar sambil tertawa. Gadis itu memukul bahu Kaisar kesal."Kaisar ngeselin! "Grita memeluk Kaisar, motornya pun melaju dengan kecepatan sedang menuju jalanan. Kaisar tidak tahu kemana ia akan membawa gadis ini pergi, ia tidak punya tujuan. Kaisar hanya ingin menghabiskan waktu dengan Grita hari ini.Di penghujung sore Kaisar mengajak Grita ke danau, tempat favorit mereka. Disana mereka sering bercerita sambil melihat matahari terbenam."Kamu tumben hari ini baik banget, kenapa? "Kaisar menoleh ke Grita sebentar lalu tertawa kecil, matanya kembali menghadap ke depan."Salah? "Grita menggelengkan kepala."Enggak. Tapi cuma heran aja sama sikap kamu hari ini. Tiba-tiba ngajak jalan seharian,"Hening sesaat."Gue dapet kerja, Ta"ucap Kaisar memecah keheningan.Grita tersenyum. "Bagus dong, "Kaisar menatap gadis di sampingnya ini. "Iya bagus, tapi kerjaannya di luar kota, "Senyum di wajah gadis itu perlahan hilang."Jauh ya?"Kaisar mengangguk. "Kemungkinan gue balik cuma 2 bulan sekali,"Grita menunduk. Ia sekarang tahu kenapa Kaisar menghabiskan waktu dengannya seharian ini, karena dia akan pergi jauh."Jadi ini alasannya kamu baik banget hari ini? Karena kamu mau pergi?""Iya, "Air mata Grita jatuh. Buru-buru ia mengusapnya. Tapi Kaisar sudah mengetahuinya."Kok nangis? " Kaisar menyentuh dagu gadis itu agar mendongak dan melihat wajahnya."Kalo kangen kan bisa telfon, gausah nangis ya?" ucap Kaisar sambil mengusap air mata yang turun di pipi Grita."Cantiknya Kaisar ga boleh nangis, paham? " Grita mengangguk pelan.Kaisar tersenyum miring. "Good girl, " ucap Kaisar sambil mengusap rambut Grita.***"Saya Kaisar, bodyguard anda mulai sekarang, Nona Kara. "Kara menatap lelaki di hadapannya ini. Muda, tinggi, dan berperawakan gagah.Kara akui jika ia terpesona dengan lelaki yang menjadi bodyguardnya ini. Anton memegang bahu Kara. "Sesuai kan sama yang kamu mau?" Kara mengangguk. Kara memuji kecepatan Anton dalam mencari pengganti Dante yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Baru kemarin ia mengatakan keinginannya dan siang ini hal itu sudah terjadi. "Kaisar juga bisa jadi teman kamu, kan? "tanya Anton sambil menoleh ke Kaisar. Kaisar mengangguk. "Tentu, Pak. "Anton lalu pergi meninggalkan Kara dan Kaisar berdua karena akan melanjutkan pekerjaannya di kantor. Suasana menjadi hening dan canggung seketika. Keduanya tidak ada yang memulai percakapan. Kara tidak suka suasana seperti ini tapi lelaki dihadapannya benar-benar membuatnya gugup. "Uhm, Kaisar mau main masak-masakan gak? "***Disinilah Kara dan Kaisar berada, duduk lesehan di halaman belakang yang asri. Kara b
Setelah mengantar Kara ke kamarnya, Kaisar juga bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat. Setelah membersihkan tubuh, Kaisar menuju ke kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Baru saja ia hendak menutup mata, ponsel nya berbunyi. Ada telepon yang masuk. "Hm? " Kaisar menjawab dengan malas. "Kamu udah selesai kerja?"Itu Grita, pacar Kaisar. "Udah," "Langsung istirahat, jangan begadang. "Kaisar membalas dengan deheman. Lelaki itu mengantuk. "Kita bisa ketemu kapan, Kai?""Ga tau. Ga ada cuti."Terdengar helaan nafas dari Grita. "Segitunya? Kamu kerja apa sih?"Kaisar memang tidak memberitahukan pekerjaannya kepada siapapun, termasuk Grita. Ia hanya mengatakan bahwa ia bekerja di luar kota. Itu saja dan Grita sudah percaya. "Ga perlu tau. Udah dulu, gue mau tidur, " ucap Kaisar malas. "Iya. Good night, Kai. " Kaisar mematikan telepon. Ia meletakkan ponsel ke atas nakas. Pikirannya masih tertuju pada ucapan tadi saat bersama Kara. Tentang ia yang mengajukan diri untuk menemani
"Abang Kai! "Kaisar menoleh ke sumber suara. Ia melihat Kara tengah tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya. Kaisar terkejut, masih tak percaya dengan ucapan Kara. "Ya, nona? ""Nanti ikut aku ke suatu tempat, mau ya?"ajak Kara. "Kemana?"tanya Kaisar. "Ada deh. Nanti juga tahu, " ucap Kara. Kaisar tidak langsung mengiyakan permintaan gadis itu. "Tuan Anton tidak mengijinkan Nona pergi keluar rumah, "ucap Kaisar tegas. Kara menghela nafas kasar. "Nanti aku bujuk papah, "ucap Kara. "Tidak bisa. Tetap di rumah, ini demi keselamatan Nona, " ucap Kaisar tegas. Ia sebisa mungkin bekerja secara profesional. Anton pernah mengatakan padanya bahwa sebisa mungkin untuk memastikan Kara untuk tetap di dalam rumah. Walaupun sudah punya bodyguard yang bisa menjaga Kara, Anton tetap tidak mengijinkan gadis itu pergi dari rumah. Hanya tadi pagi Kara keluar rumah untuk jogging. Itu pun tanpa persetujuan dari Anton. Karena Kara tahu jika ia meminta ijin, Anton tidak akan memperbolehkannya. Kai
Grita berdecak kesal. Kaisar tidak menjawab telepon darinya, tidak seperti biasanya. "Apa Kaisar udah kerja ya? "Grita memaklumi, mungkin saja Kaisar sudah bekerja dan tidak membawa ponsel.Gadis itu sudah siap untuk pergi bekerja. Setelah sarapan roti dan susu, Grita pergi menggunakan ojek online menuju kantornya. Perusahaan tempat Grita bekerja letaknya tidak terlalu jauh dari apartementnya. Hanya memakan waktu 10 menit. Seperti biasa Grita akan tersenyum dan menyapa orang-orang di kantor. Entah ia mengenalnya atau tidak, yang terpenting adalah menjadi pribadi yang ramah. "Pagi, Ta."Perempuan berambut pendek sebahu muncul dan menyapa Grita. Itu adalah Luna, rekan kerja Grita. Grita tersenyum. "Pagi. Nanti makan siang di luar lagi ya, Lun? " Luna setuju. Mereka lalu berpisah karena ruang kerja mereka berbeda. Ruang kerja Luna ada di lantai dasar sedangkan Grita ada di lantai 3, itu artinya Grita harus menaiki lift untuk sampai di ruang kerjanya. Grita menunggu lift turun. Tiba
Kara kesepian, sungguh. Cuma dia satu satunya perempuan muda di rumah ini. Kara ingin merasakan punya banyak teman, bermain bersama, dan melakukan apapun bersama teman juga. Kara pasti punya banyak teman andaikan dia bersekolah. Ramah, murah senyum, pintar dan cantik siapa memangnya yang tidak mau berteman dengan Kara? Dia pasti menjadi primadona sekolah, andaikan saja. "Non, jangan ngelamun. Nanti kesambet setan lho!"Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja Bi Ina sudah ada di samping Kara. Mereka berada di ruang keluarga, Kara duduk di sofa sementara Bi Ina duduk di bawah. Gadis itu sudah berulang kali meminta wanita itu untuk duduk diatas, tapi Bi Ina mengatakan bahwa itu tidak pantas dilakukannya karena ia hanya seorang pembantu. "Mikirin apa, Non cantik? "tanya Bi Ina. Kara tersenyum. Ia mau menceritakan semua keluh kesahnya ke Bi Ina. Karena hanya dia lah satu-satunya orang yang bisa ia ajak mengobrol dan curhat di rumah ini."Kara bingung. Kenapa papah gak ngebolehin aku bu
Sepertinya tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain pekerjaan Kaisar. Saat Heru menawarkan pekerjaan ini kepada Kaisar, terlintas di pikirannya bahwa bekerja sebagai bodyguard identik dengan berkelahi dengan musuh, kehidupan yang gelap, serta ancaman musuh. Tapi prediksi Kaisar salah, ia dipekerjakan untuk menjadi teman bermain. Ya, teman bermain. Di satu sisi Kaisar merasa senang karena pekerjaan nya mudah tapi gajinya besar. Tapi di lain sisi ia merasa aneh dan kurang nyaman jika bermain seperti anak kecil dengan Kara. Dia sudah dewasa, 25 tahun sudah tidak cocok untuk bermain masak-masakan dan monopoli, 'kan? Bodyguard juga identik dengan jas hitam serta kacamata hitam. Tapi Kaisar hanya memakai kaos biasa. Lelaki itu tidak terlihat seperti sedang bekerja, ia nampak seperti orang biasa yang kerjaannya cuma di rumah saja. Memang dari awal Anton mengatakan padanya untuk bersikap seperti orang biasa saja atau berpura-pura menjadi bagian dari keluarganya. Alasannya adalah unt
Sudah waktunya makan malam, Kara dan Anton sudah berada di meja makan. Para pembantu menyiapkan berbagai makanan di atas meja. Berbagai lauk tersedia untuk memanjakan lidah mereka berdua. "Homeschooling kamu gimana? Lancar, kan? "tanya Anton. Kara mengangguk. "Lancar kok, ""Gimana dengan Sean?""Sean baik, dia pinter ngajarinnya,"ucap Kara. Selain pintar Sean juga baik. Ia ramah dan murah senyum, membuat siapapun merasa nyaman berada di sampingnya termasuk Kara.Anton lega, ia tak salah mencari guru private untuk anaknya. Setidaknya ia tak akan pusing-pusing mencari guru baru untuk anaknya. Anton memakan hidangan didepannya dengan lahap. Kara nampak tak selera makan, ia hanya mengaduk-aduk makanannya. Anton sadar dengan hal itu. "Kenapa, Kara? Makanannya tidak enak?"tanya Anton. Kara menggelengkan kepalanya. "Ada yang mau Kara tanyain sama Papah, ""Tanya apa?"Kara nampak ragu untuk bertanya, tapi ia sangat penasaran dengan hal yang ingin ia tanyakan ini. Kara memberanikan di
Grita tengah duduk di halte bis. Ia memilih berjalan dari kantor menuju halte untuk menaiki bis ketimbang menaiki ojek online seperti biasanya. Karena biaya naik bis lebih murah daripada naik ojek online. Grita sedang menghemat uangnya, dengan sisa uang di dompet ia berharap masih bisa bertahan hidup untuk sebulan ke depan. Walaupun sudah malam, masih ada beberapa orang yang menunggu di halte. Ya setidaknya Grita tidak menunggu bis sendiri. Ponsel Grita berbunyi, ada panggilan telefon masuk. "Halo, ibu."Terdengar sautan dari telefon. "Kak, ini Aya. "Bukan suara ibunya. Yang terdengar adalah suara remaja perempuan bernama Aya yang merupakan adik kandung Grita. "Kenapa, Ya? Tumben nelfon."Aya tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik sampai ia menjawabnya. "Ibu masuk rumah sakit, "Grita terkejut."Hah? Ibu sakit apa? "Terdengar suara Aya menghela nafas, suaranya gemetar menahan tangis. "Kanker kelenjar getah bening stadium tiga. "Lagi, Grita di buat terkejut dengan u
"Iya, dia kekasihku."Baik Kara maupun Pak Adi sama-sama terdiam, sedang mencerna ucapan Kaisar. Kara mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menatap pria dihadapannya lalu tersenyum sinis. Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. "Pantas saja. Kalian bekerja sama untuk menghancurkan keluarga ku?" sinis Kara.Kaisar menggelengkan kepalanya, "Tidak, sama sekali tidak."Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. Tapi lelaki itu masih terdiam seolah enggan untuk berucap atau menjelaskan barang sepatah kata pun."Kau ingin aku percaya? Setelah semua ini?" Kara tertawa kecil, penuh sindiran. "Kekasihmu itu wanita yang mendekati ayahku dan tiba-tiba saja muncul di sekelilingku? Jangan bilang ini semua kebetulan."Kaisar tetap berdiri tegak, meski sorot matanya menunjukkan kegelisahan, mereka sedang mencurigainya saat ini. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku tidak pernah berkhianat padamu atau keluar
Grita telah benar-benar menghilang dari pandangan Kara. Gadis itu menghela napas kasar, emosinya masih menggebu-gebu. Dua pria yang berdiri di belakangnya tetap terdiam, seakan menimbang kata-kata mereka dengan hati-hati setelah menyaksikan perubahan sikap Kara yang begitu drastis barusan."Siapa yang membiarkan wanita itu masuk?" tanya Kara dengan nada dingin, tatapannya tetap lurus ke depan, tidak sekalipun melirik ke belakang.Pak Adi dan Kaisar saling berpandangan, seolah melempar tanggung jawab satu sama lain. Pak Adi menatap Kaisar dengan isyarat halus, mendorongnya untuk berbicara sebelum amarah Kara semakin memuncak.Namun, Kaisar tetap diam.Pak Adi menghela napas berat. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin menggantung di udara."Maaf, Non. Ini salah Pak Ad—""Saya."Sebuah suara tiba-tiba memotong, membuat Pak Adi terhenti di tengah kalimatnya."Saya yang mengizinkan dia masuk."Kara berbalik cepat, langkahnya mantap saat ia mendekat ke Kaisar. Sorot matanya tajam, penu
Sean kembali mengetukkan jemarinya ke kemudi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia mencoba sekali lagi, menekan tombol di alat komunikasinya, berharap ada suara yang menyambutnya di sisi lain. Tapi tetap saja, hanya ada kesunyian yang mengganggu.Ia menghela napas, menatap rumah besar itu dengan mata tajam. Tidak ada tanda-tanda Grita keluar, dan itu membuatnya semakin tidak tenang. Seharusnya, ia bisa mendengar setidaknya suara langkah kaki atau suara samar dari dalam rumah. Tapi sekarang? Tidak ada apa-apa."Brengsek," gumamnya.Sean mengamati alat komunikasinya dengan saksama. Tidak ada indikasi bahwa alat itu mati total, tapi juga tidak menangkap sinyal apa pun. Seakan ada sesuatu yang menghalangi transmisi antara dirinya dan Grita.Matanya beralih ke atas rumah. Mungkinkah ada sistem penghalang sinyal di tempat ini? Anton bukan orang sembarangan, dan jika rumah ini memang memiliki perlindungan khusus, tidak aneh jika alat komunikasi biasa seperti miliknya menjadi tidak bergun
Sean mengetuk-ngetukkan jarinya ke kemudi, matanya tak lepas dari sosok Grita yang masih berdiri di depan pintu rumah besar itu. Sudah hampir sepuluh menit sejak ia masuk, dan bukannya segera melanjutkan rencana mereka, perempuan itu justru larut dalam percakapan dengan seorang pria bernama Kaisar, kalau dia tidak salah ingat.“Harusnya dia sudah bergerak ke dalam,” gumam Sean pelan.Dari balik kaca mobil yang sedikit tertutup embun, ia tida bisa melihat ekspresi Grita karena ia membelakangi nya dan jarak terlalu jauh. Sementara Kaisar, pria itu berdiri dengan sikap yang lebih kaku, tapi tatapannya seakan berusaha membaca sesuatu dari mata Grita.Sean mengerutkan kening. Apa mereka memiliki hubungan? Dia tahu Grita tidak punya riwayat di tempat ini, tapi ia juga tidak menduga ada orang yang bisa membuatnya bertahan selama itu hanya untuk berbicara. Apa dia sedang merayu Kaisar agar lebih mudah mendapatkan informasi? Atau ini sesuatu yang lebih pribadi?Sean mengernyit heran kenapa ala
Suasana pagi masih sepi ketika Grita dan Sean melaju dengan mobil hitam tanpa plat menuju rumah Anton. Jalanan yang mereka lalui masih basah akibat hujan semalam, menciptakan pantulan samar dari lampu jalan yang belum sepenuhnya padam. Embun masih menyelimuti dedaunan di pinggir trotoar, dan hanya sesekali ada kendaraan lain yang melintas.Di dalam mobil, Sean duduk di kursi kemudi dengan santai, tapi matanya penuh waspada. Tangannya yang bersarung kulit menggenggam setir dengan ringan, namun sorot matanya memperhatikan setiap detail di sekitar mereka. Grita duduk di sebelahnya, mengenakan pakaian sederhana yang membuatnya tampak seperti warga biasa yang hendak berkunjung ke suatu tempat. Namun, di balik penampilannya yang biasa itu, ada ketegangan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang tahu tujuan sebenarnya.Grita menyandarkan punggungnya ke kursi, menutup matanya sejenak. "Lo yakin ini bakal berhasil?""Gue ga pernah ragu. Gue tau ini pertama kali lo lakuin hal begini, waj
Dari jendela gedung tua yang hampir seluruh kacanya buram oleh debu, Grita bisa melihat lampu-lampu kota menyala redup, menandakan hari sudah semakin larut. Dia duduk di kursi kayu yang sudah usang, salah satu kakinya terangkat ke atas sandaran kursi, sementara sebelah tangannya bermain-main dengan korek api. Api kecil menyala dan padam berulang kali di antara jarinya, menciptakan cahaya yang sesekali menyorot wajahnya.Di depannya, pria yang menjadi partnernya duduk bersandar di kursinya, tangannya menyilang di dada. Dodi keluar dari ruangan dan membiarkan mereka berdua menyusun rencana. Tatapan partner Grita tak lepas dari beberapa lembar kertas yang tersebar di meja, rumah Anton, foto beberapa sudut penting, dan catatan kecil yang ditulis dengan tergesa-gesa.“Jadi, lo mau masuk lewat mana?” tanyanya akhirnya, tanpa mengalihkan pandangan dari peta.Grita menghentikan permainan koreknya, menutupnya dengan bunyi kecil yang nyaring di ruangan sunyi itu. “Gue masuk lewat gerbang depan.
Pagi itu matahari nampaknya akan bersinar cerah, tapi kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena jumlah pegawai berkurang, tapi karena satu orang yang seharusnya duduk di ruangan utama tidak kunjung muncul, Anton.Grita sudah sampai di kantor sejak pukul 07:30, berharap menemukan Anton sudah ada di ruangannya seperti biasa. Namun, meja kerjanya kosong. Ia menunggu hingga pukul 08:00. Lalu 09:00. Hingga akhirnya, waktu menunjukkan pukul 11:00.Tidak ada tanda-tanda Anton akan masuk. Tidak ada panggilan darinya. Tidak ada pesan.Ponselnya mati.Grita sebagai sekretaris pribadinya tidak tahu di mana keberadaan bos mereka.Saat jam makan siang, Grita memilih menuju cafe depan kantor sendirian menikmati segelas kopi dingin. Ia membuka ponselnya dan mengirimkan pesan kepada seseorang.Tak lama kemudian balasan muncul.'Apa yang terjadi?'Balasan pesan dari Dodi. Grita memilih menceritakan semua yang terjadi pada Anton beberapa hari ini, tentang sifatnya yang sedikit berubah hingg
Mobil hitam itu melaju kencang, meninggalkan perumahan mewah di kejauhan. Lampu-lampu kota berkelebat melewati jendela, menciptakan bayangan samar di wajah penyusup yang masih berusaha menormalkan napasnya. Sementara itu, pengemudi tetap fokus di jalan, tak mengucapkan sepatah kata pun.Tak butuh waktu lama sebelum mereka tiba di sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Dari luar, tempat itu tampak seperti gudang terbengkalai, tetapi di dalamnya ada aktivitas yang jauh dari kata kosong. Beberapa orang berseliweran di antara tumpukan peti kayu dan meja-meja serta senjata di atasnya.Begitu mereka masuk, suasana langsung berubah. Semua mata tertuju pada si pengirim kotak yang baru saja kembali."Bos sudah menunggu," ucap seseorang, menepuk bahunya.Tanpa bicara, pria ini berjalan melewati lorong sempit, menuju sebuah ruangan dengan lampu redup. Di dalam, duduk seorang pria paruh baya dengan jas hitam, Dodi. Tatapannya tajam, dan ada secangkir kopi yang masih mengepul di mejanya. Disini Do
Malam telah larut. Langit gelap pekat tanpa bintang, hanya diterangi rembulan yang menggantung samar di kejauhan. Udara dingin menyelinap di antara celah-celah bangunan, membawa kesunyian yang sesekali dipecah oleh suara hembusan angin malam. Kota nyaris tertidur, hanya menyisakan beberapa lampu jalan yang berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang sepi.Di salah satu sudut kota, tepatnya kompleks perumahan mewah berdiri dengan megah, dikelilingi tembok tinggi yang seolah menjadi batas antara dunia luar dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Tidak ada suara selain gemerisik dedaunan yang terbawa angin, hingga langkah kaki yang berlari cepat memecah keheningan.Sosok itu berlari secepat mungkin, napasnya memburu di udara malam yang dingin. Langkahnya ringan tapi tergesa, menyeberangi jalann gelap sebelum tiba di tembok tinggi yang membatasi perumahan itu dengan dunia luar.Tanpa ragu, ia meraih tonjolan kecil di tembok dan mulai memanjat. Jari-jarinya bergerak cek