Grita berdecak kesal. Kaisar tidak menjawab telepon darinya, tidak seperti biasanya. "Apa Kaisar udah kerja ya? "
Grita memaklumi, mungkin saja Kaisar sudah bekerja dan tidak membawa ponsel.Gadis itu sudah siap untuk pergi bekerja. Setelah sarapan roti dan susu, Grita pergi menggunakan ojek online menuju kantornya.Perusahaan tempat Grita bekerja letaknya tidak terlalu jauh dari apartementnya. Hanya memakan waktu 10 menit. Seperti biasa Grita akan tersenyum dan menyapa orang-orang di kantor. Entah ia mengenalnya atau tidak, yang terpenting adalah menjadi pribadi yang ramah."Pagi, Ta."Perempuan berambut pendek sebahu muncul dan menyapa Grita. Itu adalah Luna, rekan kerja Grita.Grita tersenyum. "Pagi. Nanti makan siang di luar lagi ya, Lun? "Luna setuju. Mereka lalu berpisah karena ruang kerja mereka berbeda. Ruang kerja Luna ada di lantai dasar sedangkan Grita ada di lantai 3, itu artinya Grita harus menaiki lift untuk sampai di ruang kerjanya.Grita menunggu lift turun. Tiba-tiba ada seseorang disamping nya. Grita tersenyum dan menyapa seseorang disamping nya ini."Selamat pagi Pak Anton, "ucap Grita ramah.Anton mengangguk kecil."Pagi, " ucap Anton datar.Lift terbuka, Grita dan Anton masuk bersama. Setelah menekan tombol pintu lift pun tertutup. Di dalam lift suasana tampak canggung dan hening. Anton terlihat cuek dengan memainkan ponselnya sedangkan Grita bingung ia harus mengobrol apa dengan atasannya itu, ia ingin menjadi karyawan yang ramah apalagi dengan direktur perusahaan ini.Kenapa aku canggung gini sih sama Pak Anton? Masa aku harus diem aja gak ngobrol, tapi aura nya Pak Anton dingin nyeremin, kan jadi segan.Sementara Grita berkecamuk dengan pikirannya sendiri, pintu lift terbuka."S-saya duluan ya, Pak, " ucap Grita dengan sedikit membungkukkan badannya."Ya."Grita keluar dari lift dengan sedikit tergesa-gesa. Ia menyempatkan diri berbalik badan dan mengangguk sopan seraya tersenyum pada Anton. Lelaki itu hanya menatap dingin tanpa membalas senyuman Grita.Begitu pintu lift tertutup, senyum Grita langsung hilang."Cuek banget sih pak Anton, mana tatapannya nyeremin lagi."***Sekarang Kara tengah berada di kamarnya membaca novel. Setelah bermain dengan Kaisar gadis itu memilih pergi ke kamarnya.Kaisar ada di lantai bawah bersama para pembantunya yang lain.Kara mengubah posisi duduknya di sofa."Kara masih penasaran deh, masa bang Kaisar bener-bener gak suka sama orang?"Kara bertanya-tanya pada dirinya sendiri."Untuk lelaki 25 tahun emangnya wajar ya gasuka sama perempuan?"Kara meletakkan novel di sampingnya. Ia mengacak rambutnya sendiri."Ih gatau deh! Kara pusing, "Gadis itu berdiri dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Ia mau meminjam buku yang ada di ruang kerja Anton yang berada di samping kamarnya. Pintu ruang kerja Anton tidak terkunci, mungkin lelaki itu lupa."Tumben gak di kunci, "ucap Kara.Ruang kerja Anton luas. Untuk ukuran ruang kerja luasnya hampir sama dengan kamar Kara. Perhatian gadis itu teralihkan pada tumpukan buku di rak yang jumlahnya lumayan banyak itu. Anton mengoleksi lebih dari 200 buku dengan berbagai genre. Tapi kebanyakan adalah buku tentang bisnis dan misteri. Anton suka hal-hal berbau misteri."Bukunya mana ya? "ucap Kara sambil matanya menelisik buku-buku di rak. Ternyata buku yang Kara cari ada di rak paling atas."Kok di atas sih, Kara ngambilnya gimana coba. " Kara berjinjit untuk menggapai buku itu, tapi percuma saja. Lalu ia mencoba untuk melompat, hasilnya sama saja. Dengan tinggi 155 sangat mustahil jika Kara bisa menggapai buku itu.Kara kesal tapi tetap mencoba mengambilnya dengan melompat. Sebuah tangan tiba-tiba mengambil buku itu. Kara menoleh ke belakang. Kara berhadapan dengan dada bidang Kaisar. Karena tinggi badan Kara hanya sebatas dada Kaisar."Kalau kesusahan bilang, nona." Kaisar menyerahkan buku di tangannya kepada Kara. Gadis itu mengambilnya lalu tersenyum."Terimakasih, "Kaisar mengangguk. "Maaf saya masuk tanpa izin. Saya akan keluar, "ucap Kaisar lalu berjalan keluar. Kaisar sebenarnya sedang ingin memastikan bahwa Kara benar-benar ada di kamarnya. Tapi saat ia naik dan menuju kamar Kara, pintu kamarnya terbuka lebar dan tidak ada siapapun di dalamnya. Mencoba untuk tenang, Kaisar menuju ke ruangan di sebelah kamar Kara,berharap Kara ada disana. Benar saja, gadis itu ada di dalam tengah melompat-lompat untuk meraih buku.Kaisar mengaku bahwa Kara lucu. Wajahnya, sifatnya dan tingkah lakunya benar-benar seperti anak kecil. Benar-benar tidak terlihat seperti remaja 16 tahun karena wajahnya memang seperti anak kecil.Saat sedang menuruni tangga Kaisar berpas-pasan dengan Bi Ina yang hendak naik ke atas."Non Kara ada di kamarnya, Nak? "tanya Bi Ina dengan kedua tangan membawa nampan berisi segelas susu cokelat dingin dan beberapa roti."Di ruang kerja pak Anton, Bu. "Mendengar hal itu Bi Ina bergegas naik ke atas. Dilihat dari wajahnya sepertinya wanita itu tampak cemas dan khawatir. Kaisar tak tahu apa maksudnya, ia memilih cuek dan tak mempedulikannya.Pintu ruang kerja Anton terbuka sedikit, Bi Ina membukanya pelan. "Non Kara?".Kara menyaut dari dalam. Bi Ina masuk dan menemukan gadis itu tengah duduk di sofa dekat jendela sambil membaca buku."Nona sedang apa disini? "tanya Bi Ina.Kara menunjukkan buku di tangannya. Bi Ina meletakkan nampan di atas meja samping sofa. Kara menutup buku lalu meletakkannya dan meminum susu cokelat.Bi Ina duduk di lantai sambil memperhatikan setiap gerakan Kara dari meminum susu sampai memakan roti."Nona sudah lama disini? "tanya Bi Ina. Kara menjawab dengan anggukan karena mulutnya penuh dengan roti."Jadi Kaisar juga sedari tadi bersama Non Kara disini? "Kara menelan roti di mulutnya."Enggak, "ucap Kara lalu melanjutkan makan roti.Bi Ina mengubah posisi duduknya. Ia ingin menyampaikan sesuatu pada Kara tapi ia bingung cara mengatakannya."Non Kara tau kan kalau gak ada yang boleh masuk ke ruangan kerja tuan, kecuali Non Kara sendiri." ucap Bi Ina, "Bibi sendiri juga sebenarnya gak boleh masuk, apalagi nak Kaisar. "Kara tak tahu apa maksud pembicaraan Bi Ina. Ia hanya mendengarkannya."Bibi hanya menyarankan jangan memperbolehkan siapapun masuk ke ruangan tuan termasuk Kaisar. Dia orang asing, kita tidak tau sifatnya seperti apa."Kara mengernyitkan keningnya, ia tidak suka dengan ucapan Bi Ina yang mencurigai Kaisar. "Bang Kaisar tadi masuk cuma buat bantuin aku ngambil buku doang kok, dia baik. Gak mungkin dia mau macam-macam, "ucap Kara.Bi Ina berdiri dari duduknya dan mengambil nampan yang isinya sudah kosong. "Bibi hanya menyarankan saja, Non.""Kalau Kaisar gak boleh masuk Bibi juga gak boleh, "ucap Kara dengan nada tak suka. Bi Ina mengangguk."Iya, bibi tau. "Bi Ina keluar ruangan. Kara menatap kepergiannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia masih bingung dengan ucapan Bi Ina. Apakah wanita itu mencurigai Kaisar sebagai orang asing yang akan berbuat jahat pada dirinya dan keluarganya?.Tapi Kara yakin Kaisar bukanlah orang jahat seperti yang Bi Ina kira. Kara harap perkiraannya tentang Kaisar benar.***Kara kesepian, sungguh. Cuma dia satu satunya perempuan muda di rumah ini. Kara ingin merasakan punya banyak teman, bermain bersama, dan melakukan apapun bersama teman juga. Kara pasti punya banyak teman andaikan dia bersekolah. Ramah, murah senyum, pintar dan cantik siapa memangnya yang tidak mau berteman dengan Kara? Dia pasti menjadi primadona sekolah, andaikan saja. "Non, jangan ngelamun. Nanti kesambet setan lho!"Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja Bi Ina sudah ada di samping Kara. Mereka berada di ruang keluarga, Kara duduk di sofa sementara Bi Ina duduk di bawah. Gadis itu sudah berulang kali meminta wanita itu untuk duduk diatas, tapi Bi Ina mengatakan bahwa itu tidak pantas dilakukannya karena ia hanya seorang pembantu. "Mikirin apa, Non cantik? "tanya Bi Ina. Kara tersenyum. Ia mau menceritakan semua keluh kesahnya ke Bi Ina. Karena hanya dia lah satu-satunya orang yang bisa ia ajak mengobrol dan curhat di rumah ini."Kara bingung. Kenapa papah gak ngebolehin aku bu
Sepertinya tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain pekerjaan Kaisar. Saat Heru menawarkan pekerjaan ini kepada Kaisar, terlintas di pikirannya bahwa bekerja sebagai bodyguard identik dengan berkelahi dengan musuh, kehidupan yang gelap, serta ancaman musuh. Tapi prediksi Kaisar salah, ia dipekerjakan untuk menjadi teman bermain. Ya, teman bermain. Di satu sisi Kaisar merasa senang karena pekerjaan nya mudah tapi gajinya besar. Tapi di lain sisi ia merasa aneh dan kurang nyaman jika bermain seperti anak kecil dengan Kara. Dia sudah dewasa, 25 tahun sudah tidak cocok untuk bermain masak-masakan dan monopoli, 'kan? Bodyguard juga identik dengan jas hitam serta kacamata hitam. Tapi Kaisar hanya memakai kaos biasa. Lelaki itu tidak terlihat seperti sedang bekerja, ia nampak seperti orang biasa yang kerjaannya cuma di rumah saja. Memang dari awal Anton mengatakan padanya untuk bersikap seperti orang biasa saja atau berpura-pura menjadi bagian dari keluarganya. Alasannya adalah unt
Sudah waktunya makan malam, Kara dan Anton sudah berada di meja makan. Para pembantu menyiapkan berbagai makanan di atas meja. Berbagai lauk tersedia untuk memanjakan lidah mereka berdua. "Homeschooling kamu gimana? Lancar, kan? "tanya Anton. Kara mengangguk. "Lancar kok, ""Gimana dengan Sean?""Sean baik, dia pinter ngajarinnya,"ucap Kara. Selain pintar Sean juga baik. Ia ramah dan murah senyum, membuat siapapun merasa nyaman berada di sampingnya termasuk Kara.Anton lega, ia tak salah mencari guru private untuk anaknya. Setidaknya ia tak akan pusing-pusing mencari guru baru untuk anaknya. Anton memakan hidangan didepannya dengan lahap. Kara nampak tak selera makan, ia hanya mengaduk-aduk makanannya. Anton sadar dengan hal itu. "Kenapa, Kara? Makanannya tidak enak?"tanya Anton. Kara menggelengkan kepalanya. "Ada yang mau Kara tanyain sama Papah, ""Tanya apa?"Kara nampak ragu untuk bertanya, tapi ia sangat penasaran dengan hal yang ingin ia tanyakan ini. Kara memberanikan di
Grita tengah duduk di halte bis. Ia memilih berjalan dari kantor menuju halte untuk menaiki bis ketimbang menaiki ojek online seperti biasanya. Karena biaya naik bis lebih murah daripada naik ojek online. Grita sedang menghemat uangnya, dengan sisa uang di dompet ia berharap masih bisa bertahan hidup untuk sebulan ke depan. Walaupun sudah malam, masih ada beberapa orang yang menunggu di halte. Ya setidaknya Grita tidak menunggu bis sendiri. Ponsel Grita berbunyi, ada panggilan telefon masuk. "Halo, ibu."Terdengar sautan dari telefon. "Kak, ini Aya. "Bukan suara ibunya. Yang terdengar adalah suara remaja perempuan bernama Aya yang merupakan adik kandung Grita. "Kenapa, Ya? Tumben nelfon."Aya tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik sampai ia menjawabnya. "Ibu masuk rumah sakit, "Grita terkejut."Hah? Ibu sakit apa? "Terdengar suara Aya menghela nafas, suaranya gemetar menahan tangis. "Kanker kelenjar getah bening stadium tiga. "Lagi, Grita di buat terkejut dengan u
Pagi ini di kediaman Anton dihebohkan dengan adanya kotak hitam misterius yang tergeletak di depan gerbang. Pak Adi, selaku satpam rumah yang pertama kali menemukannya. Awalnya pak Adi pikir kotak tersebut adalah paket yang dipesan oleh orang rumah. Tapi ketika dilihat tidak ada nama pengirim dan untuk siapa paket misterius itu. Jadi pak Adi membawanya ke pos tanpa memberi tahu orang rumah terlebih dahulu. Lalu orang kedua yang mengetahuinya adalah Kaisar. Ia bersama pak Adi memeriksa kotak misterius itu. "Buka aja, Pak, "ucap Kaisar.Pak Adi menolak. "Jangan! Kita belum tau untuk siapa paket ini. ""Ya kalau gak dibuka gimana kita bisa tau buat siapa paket ini. Siapa tau ada petunjuk di dalamnya,"Pak Adi terus menolak dengan alasan takut kalau di dalam kotak itu ada bom. Alasan yang tidak masuk akal karena kotak itu sangat ringan seperti tidak ada isi di dalamnya. Bi Ina yang sedang mengantarkan sarapan kepada satpam akhirnya mengetahui keberadaan kotak misterius tersebut. Wanit
Kara dan Kaisar sudah menunggu cukup lama tapi Anton tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Kara sampai mengantuk, matanya berkali-kali terpejam namun ia paksakan untuk tetap terjaga. Kaisar menyadari itu, ia meminta Kara untuk tidur saja tetapi jawaban gadis itu tetap sama, yaitu tidak. "Nona bisa bertanya pada tuan besok. Sekarang Nona tidur saja ini sudah malam,"ucap Kaisar. Kara hendak protes tapi terpotong oleh ucapan Kaisar. "Tidak ada penolakan. Pergi sendiri atau saya antar? "ucap Kaisar tegas. Ia menatap mata Kara dalam, membuat yang ditatap langsung salah tingkah. "A-aku bi-bisa sendiri!" Kara berjalan cepat menuju kamarnya untuk mengindari lelaki ini, lebih tepatnya menghindari tatapan matanya yang sangat dalam itu. Kaisar menatap punggung kecil itu yang perlahan menghilang dibalik tembok. Setelah memastikan bahwa Kara benar-benar masuk ke kamar, Kaisar keluar dari rumah. Tidak mungkin ia menunggu Anton keluar dari ruang kerjanya dan menanyakan apa isi dari kotak miste
Pagi ini suasana hati Anton tampak buruk. Tatapan matanya dingin serta tak ada senyuman seperti biasanya. Setelah minum secangkir kopi, ia bergegas pergi tanpa makan apapun. Niat Kara untuk bertanya tentang kotak misterius itu pun terurungkan. Kara memikirkan apa penyebab ayahnya menjadi sedikit berubah sifatnya akhir-akhir ini. Apakah karena kotak misterius itu atau mungkin Anton masih marah karena Kara menanyakan penyebab kematian ibu dan abangnya?Kara keluar rumah, ia melihat Kaisar yang tengah duduk sambil menyeruput kopi di teras rumah depan. Ia langsung menghampiri Kaisar. "Gimana tadi malam? Orangnya ke tangkap?" Kaisar menoleh ke arahnya lalu menggelengkan kepalanya. Kara duduk di kursi samping Kaisar. "Dia tidak datang, "ucap Kaisar. Matanya lurus ke depan, menatap halaman rumah yang luas. Perjuangannya tadi malam sia-sia, orang yang dia tunggu tidak datang. Satu teko kopi membantunya untuk tetap terjaga hingga saat ini, tapi tidak dengan Pak Adi, pria paruh baya itu te
Ternyata di ujung gang ada satu jalan yang mengantarkan mereka menuju hutan. Grita takjub karena ia baru tahu bahwa ada hutan di kota mereka, entahlah mungkin karena ia sibuk bekerja jadi tidak tahu dengan kotanya sendiri. Dodi dan Grita berjalan menelusuri jalan setapak masuk kedalam hutan. Sekeliling mereka hanya ada pohon-pohon besar tinggi. "Tentang lelaki tadi, kau bilang aku akan menjadi rekannya, maksudmu apa?"tanya Grita. Dodi menoleh, ia tersenyum kecil. "Maksudmu Iden? Dia salah satu anak buahku. Karena kau akan bekerja padaku itu berati dia juga akan menjadi rekanmu, "ucap Dodi. Grita menggerutu kesal, lelaki kasar nan menyeramkan itu akan menjadi rekannya? Oh sungguh malang sekali nasibnya. Grita menghela nafas kasar, Dodi menoleh dan menatap Grita kebingungan. "Ada apa?"Grita menggelengkan kepalanya, mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. Dodi langsung melepaskan jas hitam miliknya dan memberikannya kepada Grita. Gadis itu menerimanya dengan raut wajah kebingungan. "U
Dunia ini memang sempit, jangan kira dengan miliaran manusia di dunia ini bukan menutup kemungkinan bahwa kita semua saling berhubungan. Entah itu tali persaudaraan atau hubungan lainnya. Siapa yang sangka bahwa pacarmu berselingkuh dengan atasanmu sendiri? tidak akan ada yang mengira itu. Bahkan dengan jarak yang jauh pun tidak menutup kemungkinan pacarmu akan bertemu dengan atasanmu sendiri. Jangan terlalu percaya dengan kata-kata 'setia' jika kau menjalani hubungan jarak jauh. Sudah banyak korbannya, Kaisar salah satunya.Vano saja yang mendengar pengakuan dari Kaisar, langsung terpaku dan merasa tak percaya. Hingga sampai ke depan rumah, Vano masih saja tak mampu berkata-kata saking terkejutnya."Ga usah syok gitu, gua coba lupain," ucap Kaisar kepada Vano saat mereka memasuki gerbang rumah."Siapa yang ga syok coba? lo cerita sana sama Bu Ina juga beliau bakalan kaget," balas Vano."Jangan, kasian orang tua."Vano tertawa, Kaisar hanya tersenyum simpul."Lain kali kalau ada masal
Udara terasa sejuk dengan embun yang masih menempel di dedaunan. Cahaya matahari perlahan muncul dari balik bukit, menyinari langit dengan warna keemasan yang lembut. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan menyejukkan setiap sudut suasana pagi. Burung-burung berkicau riang, seakan menyambut datangnya hari baru dengan ceria. Di kejauhan, kabut tipis melayang-layang di atas pepohonan, menciptakan pemandangan yang menenangkan hati.Vano bangun lebih pagi dari biasanya. Seperti rutinitas biasa ia akan berlari mengelilingi kompleks perumahan. Namun ternyata Kaisar sudah lebih dulu bangun, ia juga lebih dulu lari pagi, Vano mengejarnya."Kenapa lo? ada masalah cerita, Spill it out," ucap Vano yang berlari kecil di samping Kaisar.Kaisar awalnya hanya diam saja. Hingga Vano menghela nafas kasar."Kayak cewek lo, ada apa-apa cerita sama gua, gausah sok-sokan gapapa," sinis Vano.Kaisar menoleh sekilas ke Vano, lalu kembali menghadap depan."Urusan pribadi," jawabnya singkat."Ken
Malam itu, kamar Grita remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu meja yang temaram. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jarinya melayang-layang di atas layar, sementara pesan dari Anton yang masuk terus menunggu balasan darinya. Pesan-pesan itu biasa, seolah percakapan rutin seorang pria yang mulai tertarik pada wanita. Namun, bagi Grita, setiap pesan adalah pengingat tugasnya yang berat. Bukan hanya risih, hatinya terasa tertusuk setiap kali harus membalas perhatian Anton dengan kata-kata yang ia tahu kosong dari ketulusan.Pesan terakhir Anton tertera di layar.'Sudah sampai rumah, Grita?'Grita memandangi kata-kata itu lama, jari-jarinya berhenti bergerak. Mengapa pria ini, yang tadinya begitu dingin dan tak terjangkau, kini peduli apakah ia sudah sampai rumah atau belum?Sambil menarik napas panjang, Grita mulai mengetik balasan.'Sudah, Pak Anton. Baru sampai tadi. Terima kasih sudah menanyakan.''Maaf ya tadi saya tidak bisa antar kamu pulang, kebetulan
Kamar itu sunyi, hanya ditemani suara detak jam di dinding dan bayangan lembut cahaya yang menerobos dari celah jendela. Udara terasa sejuk, dan setiap sudutnya seakan dipenuhi keheningan yang menggantung. Kara berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit dan hampa. Sejak pengakuan Anton terucap, seakan ada dinding tak kasat mata yang yang berdiri di antara Kara dan dunianya. Ia tak lagi bisa berbicara dengan ayahnya, rasa marah dan terluka itu masih tersimpan penuh dihatinya. "Kenapa? kenapa papah ga nepatin janjinya?" lirih Kara. Dalam kesendirian itu, Kara berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Memahami alasan di balik tindakan ayahnya, mencari-cari pembenaran yang mungkin bisa membuatnya sedikit saja merasa lega. Namun, semakin ia mengingat kejadiannya semakin dalam pula luka yang ia rasakan. Tak ada pembenaran yang mampu menghapus kecewa yang begitu dalam. Tanpa sadar malam mula
Langit-langit kantor itu rendah, dihiasi dengan lampu-lampu neon yang bersinar lembut namun dingin, memantulkan bayangan samar di lantai beton yang halus. Dinding-dindingnya abu-abu kusam, tanpa hiasan atau jendela yang mengarah ke dunia luar. Di sudut-sudut ruangan, beberapa karyawan bekerja di depan monitor yang berderet rapi, jari-jari mereka menari di atas keyboard tanpa suara. Suara pendingin ruangan yang mendengung pelan menambah suasana kaku dan serius. Setiap orang yang berjalan di koridor melangkah dengan langkah cepat, tatapan mata penuh konsentrasi, menyembunyikan seribu rahasia. Pembicaraan antar karyawan jarang terjadi, dan jika pun ada, selalu bisik-bisik penuh kehati-hatian, seakan dinding memiliki telinga. Dodi duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan catatan yang berserakan di meja. Suara ketikan keyboardnya menghiasi keheningan, saat ia terfokus pada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Tiba-tiba, suara notifikasi ponselnya menggema, menarik pe
"Halo?" ucap Anton. "Oh iya, halo tuan." Anton mengerutkan kening, ini bukan suara Kara. "Bi Ina?" "Iya tuan, ini bibi." "Kok ponsel Kara ada bi Ina?" tanya Anton bingung. "Jadi gini tuan, bibi teh cuma mau nanya ini kenapa kok ponselnya non Kara ada di lantai ruang tamu, terus kok si non ga mau keluar kamar, dikunci dari dalem, bibi panggil juga ga nyaut, non kenapa ya tuan?" Anton terdiam. Kara meletakan ponsel sembarangan itu sudah biasa, tapi menguci kamar dan tidak menyaut bukanlah Kara biasanya. Ada apa dengan gadis itu? apa ini ada hubungannya dengan percakapan antara Anton dengan Kara kemarin? "Kara gak mau keluar dari kamar, bi?" "Iya tuan. Tapi tadi mas Vano udah nge cek dari balkon katanya non gapapa." Vano? batin Anton. "Syukur Kara gapapa, kalau terjadi apa-apa bilang aja ya, bi." "Oh iya baik tuan." Panggilan terputus. Meninggalkan banyak sekali pertanyaan di benak Anton. Ia akan mengetahui jawabannya nanti. *** Gosip tentang hubungan Anton dan Grita mula
Di kantor, suasana terasa begitu sibuk dan penuh dinamika. Para karyawan sibuk berlalu-lalang, membawa dokumen atau sibuk berbicara di telepon. Mesin fotokopi berdering tanpa henti, mengisi udara dengan suara ritmis yang menjadi latar bagi percakapan di sekitar. Di pojok ruangan, terdengar suara tuts keyboard yang ditekan cepat, tanda dari seorang karyawan yang tengah berkejaran dengan tenggat waktu. Di ruangan lainnya, ada rapat yang sedang berlangsung; suara diskusi terdengar samar, sesekali diiringi dengan tawa kecil atau gumaman tanda setuju. Ruang kerja berhiaskan pot-pot tanaman hijau untuk menambah kesegaran di antara deretan meja yang penuh dengan berkas dan laptop yang menyala. Di ruangan besar tempat para staf bekerja, ada papan tulis yang penuh dengan coretan ide dan target mingguan. Aroma kopi tercium dari arah pantry, menjadi penguat semangat di pagi hari bagi mereka yang baru memulai aktivitasnya. Beberapa karyawan duduk sambil mengetik dengan serius, sementara yang lai
***Pagi hari di rumah mewah itu terasa damai, ketika sinar matahari perlahan menyusup di antara dedaunan pohon besar yang mengelilingi, menciptakan pola cahaya yang indah di halaman. Suara burung berkicau lembut mengisi udara, sementara embun pagi masih menempel di rumput hijau, menambah kesegaran suasana. Aroma bunga-bunga yang bermekaran berpadu dengan udara segar, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan, seolah waktu berjalan lebih lambat di tempat ini.Sinar matahari baru mulai menyinari halaman rumah mewah di mana Vano, bodyguard yang selalu siaga, berdiri di depan pos satpam, melakukan sedikit pemanasan. Suara burung berkicau mengiringi suasana tenang, hati Vano juga merasakan ketenangan yang sama. Ia memperhatikan rekannya, Kaisar, yang sepertinya tidak bersemangat. Wajahnya tampak berbeda dari biasanya; ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya.Vano mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang terjadi. Biasanya Kaisar meski pendiam, selalu memiliki aura tenang yang b
Kara duduk di balkon kamarnya, malam itu terasa begitu sunyi. Angin dingin berhembus lembut, namun justru membuat hatinya semakin terasa perih. Ia menatap langit gelap yang berhiaskan bintang-bintang, berusaha mencari ketenangan di antara kerlipan cahaya kecil itu. Namun, pikirannya terus kembali ke satu momen yang membuat hatinya hancur—saat Anton, ayahnya, mengakui bahwa ia menjalin hubungan dengan Grita, sekretarisnya. Kata-kata Anton tadi terngiang jelas di benaknya. Ia masih ingat raut wajah ayahnya, serius namun tak bisa disembunyikan dari sorot mata. Bagi Kara, kata-kata itu tidak hanya menghancurkan kepercayaannya pada Anton, tetapi juga meruntuhkan bayangan tentang keluarga yang ia kira masih utuh, meski ibunya sudah tiada. Sambil memeluk lututnya, Kara menundukkan kepala, menahan sesak yang mengisi dadanya. “Papah udah ga sayang sama mamah lagi…” gumamnya lirih. Di tengah keheningan malam, ia seperti berbicara pada dirinya sendiri, pada langit, atau mungkin pada ibunya y