Setelah mengantar Kara ke kamarnya, Kaisar juga bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat. Setelah membersihkan tubuh, Kaisar menuju ke kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Baru saja ia hendak menutup mata, ponsel nya berbunyi. Ada telepon yang masuk.
"Hm? " Kaisar menjawab dengan malas."Kamu udah selesai kerja?"Itu Grita, pacar Kaisar."Udah,""Langsung istirahat, jangan begadang. "Kaisar membalas dengan deheman. Lelaki itu mengantuk. "Kita bisa ketemu kapan, Kai?""Ga tau. Ga ada cuti."Terdengar helaan nafas dari Grita. "Segitunya? Kamu kerja apa sih?"Kaisar memang tidak memberitahukan pekerjaannya kepada siapapun, termasuk Grita. Ia hanya mengatakan bahwa ia bekerja di luar kota. Itu saja dan Grita sudah percaya."Ga perlu tau. Udah dulu, gue mau tidur, " ucap Kaisar malas."Iya. Good night, Kai. "Kaisar mematikan telepon. Ia meletakkan ponsel ke atas nakas. Pikirannya masih tertuju pada ucapan tadi saat bersama Kara. Tentang ia yang mengajukan diri untuk menemani gadis itu melihat langit malam setiap hari, kalimat itu keluar saja tanpa ia sadari. Entah kenapa saat bersama Kara ucapan yang keluar dari mulutnya seakan-akan diluar dari kendalinya. Kaisar tidak menyadari itu.Lalu bayang-bayang saat Kara mengangguk antusias dan tersenyum seperti anak kecil itu muncul lagi di pikirannya. Gadis itu mengingatkan Kaisar dengan Grita. Kedua gadis itu murah senyum. Senyuman mereka cantik, Kaisar akui itu.Kaisar mengacak rambutnya. Ia mematikan sakelar lampu dan tidur.***Sudah menjadi kebiasaan setelah bangun tidur Kara akan langsung turun ke dapur untuk minum segelas air putih hangat. Itu sudah dia lakukan sejak kecil.Seperti saat ini, Kara duduk di meja makan dengan tangan memegang cangkir berisi air putih hangat. Rambutnya masih berantakan dengan wajah khas orang baru bangun tidur. Hari ini Kara bangun agak pagi, sekarang baru jam 4 lewat. Anton dan pembantunya masih belum bangun.Kara keluar untuk menghirup udara pagi yang segar. Ia berjalan menuju rumah tempat para pekerja. Tak disangka ia melihat Kaisar tengah duduk di teras sambil merokok. Kara mendekatinya.Kaisar yang sadar dengan kehadiran Kara langsung membuang dan menginjak puntung rokok."Nona Kara sudah bangun?, "tanya Kaisar. Gadis itu mengangguk sambil mengucek matanya dan sesekali menguap. Kaisar meminta gadis itu untuk duduk di kursi sampingnya."Kaisar udah bangun dari tadi?"tanya Kara.Kaisar mengangguk. "Saya terbiasa bangun pagi, "Kaisar bangun dini hari. Jam 3 dia bangun lalu mandi. Tak peduli udara pagi yang dingin menusuk tulang. Sudah kebiasaannya dari dulu ia merokok sambil menikmati suasana pagi yang tenang dan menyejukkan."Kara pengen jogging deh, "Kaisar menoleh ke Kara lalu berdiri."Ayo, saya jagain. "Kara terkejut tapi juga senang. Akhirnya ada yang menemaninya jogging walaupun hanya keliling komplek. Kara bangkit dari duduknya."Aku cuci muka dulu!" ucap Kara lalu berlari masuk ke dalam rumah.Kaisar menunggu di luar. Tak lama Kara keluar dengan mengenakan hoodie hitam dan rambut terikat, wajahnya sudah terlihat lebih segar."Ayo! "Kaisar mengangguk. Mereka berjalan beriringan. Kara berlari kecil mengelilingi komplek sementara Kaisar hanya berjalan santai di sampingnya sambil terus mengawasi gadis itu.Komplek perumahan masih sepi. Kebanyakan orang-orang belum bangun, karena mungkin juga masih pagi. Kara terlihat sangat senang karena bisa keluar dan melihat-lihat sekeliling tempat tinggalnya.Tiba-tiba Kara duduk di tanah. Kaisar sedikit terkejut dengan sikapnya yang mendadak."Nona tidak apa-apa?" tanya Kaisar panik. Takut kalau tiba-tiba gadis itu pingsan karena kelelahan, padahal mereka baru jogging selama 5 menit."Kara capek! Udah ah!"Kaisar menghela nafas kasar. Mungkin karena efek selalu dikurung di rumah dan tidak pernah beraktivitas seperti ini jadi sekalinya jogging langsung kecapekan, padahal baru saja mulai.Kaisar mengulurkan tangan ke Kara."Jangan duduk di tanah, Nona."Kara menyambut uluran tangan Kaisar. Nafas gadis itu terengah-engah, lalu Kara merentangkan tangannya."Gendong, "ucap Kara.Kaisar terkejut. Apa maksud gadis ini? Gendong? Kaisar tidak pernah menggendong perempuan sebelumnya, bahkan dengan Grita. Jadi dia agak bingung dan kaku dengan permintaan Kara."Kok bengong? Kara mau digendong di punggung, "ucap Kara.Walaupun dengan kaku Kaisar tetap menuruti kemauan gadis itu. Kaisar merendahkan tubuhnya agar Kara bisa naik ke punggungnya. Kara rtidak berat, bisa dilihat dari badannya yang kecil itu. Tubuhnya seringan kapas."Langsung pulang? " tanya Kaisar.Kara meng iyakan. Kaisar berjalan pelan menuju rumah. Matahari mulai terbit, samar-samar cahayanya mulai menyinari bumi. Kara melihat ke arah matahari terbit lalu merasa kagum."Langit pagi juga indah ya, Kai, "ucap Kara."Iya, "Kara pikir hanya langit malam saja yang indah, ternyata langit saat pagi hari juga tak kalah cantik. Kara suka suasana seperti ini. Sepertinya mulai sekarang ia akan melihat matahari terbit setiap hari."Kaisar mirip sama bang Erlan, "ucap Kara."Kalau aku anggap Kaisar kayak abang aku sendiri boleh gak? "Kaisar terdiam sejenak. Lalu ia mengangguk. "Boleh, "Kara tersenyum lebar. "Yes! Kara punya abang lagi! "Kara tertawa seperti anak kecil. Kaisar hanya diam tak menanggapi. Kara sekarang menganggapnya sebagai abang, apakah Kaisar juga harus menganggapnya sebagai adik? Tapi melihat betapa bahagianya gadis itu, sepertinya Kaisar harus menganggapnya sebagai adik bukan sebagai majikan.Kaisar menurunkan Kara saat mereka sudah masuk kerumah. Yang pertama menanyai mereka adalah Bi Ina."Darimana pagi-pagi begini? " tanya Bi Ina yang sedang menyapu halaman.Kara tersenyum lebar."Habis jogging, Bi."Bi Ina tersenyum. "Udah ngomong sama tuan, Non? "Kara menggeleng. "Papah belum bangun tadi, jadi gak ngomong. Lagian Kara cuma jogging keliling komplek kok, "Bi Ina mengangguk. Kara lalu masuk ke dalam rumah. Kaisar hendak masuk tapi terhenti karena pertanyaan Bi Ina."Non Kara keliatan seneng banget, kenapa Nak? " tanya Bi Ina."Tadi dia minta saya buat jadi abangnya, "Bi Ina terkejut lalu mendekat penasaran "Terus gimana? ""Ya saya bolehin, "ucap Kaisar.Bi Ina tersenyum lalu menepuk bahu lelaki itu. "Bagus! Itu lebih baik daripada jadi temannya, "Kaisar mengangguk. Bi Ina melanjutkan "Jadi sekarang kamu jangan panggil nona Kara lagi, panggil adek. "Kaisar masih merasa aneh dengan panggilan itu. Menurutnya akan sedikit aneh dan tidak masuk akal jika dia sekarang memanggil seseorang yang tidak dikenali nya dengan panggilan adek."Tapi sekarang non Kara manggil kamu abang? " tanya Bi Ina.Kaisar menggeleng. "Tidak, atau mungkin belum,"Bi Ina menepuk punggung Kaisar lalu melanjutkan pekerjaannya. Kaisar baru saja memegang kenop pintu saat tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara."Abang Kai! "***"Abang Kai! "Kaisar menoleh ke sumber suara. Ia melihat Kara tengah tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya. Kaisar terkejut, masih tak percaya dengan ucapan Kara. "Ya, nona? ""Nanti ikut aku ke suatu tempat, mau ya?"ajak Kara. "Kemana?"tanya Kaisar. "Ada deh. Nanti juga tahu, " ucap Kara. Kaisar tidak langsung mengiyakan permintaan gadis itu. "Tuan Anton tidak mengijinkan Nona pergi keluar rumah, "ucap Kaisar tegas. Kara menghela nafas kasar. "Nanti aku bujuk papah, "ucap Kara. "Tidak bisa. Tetap di rumah, ini demi keselamatan Nona, " ucap Kaisar tegas. Ia sebisa mungkin bekerja secara profesional. Anton pernah mengatakan padanya bahwa sebisa mungkin untuk memastikan Kara untuk tetap di dalam rumah. Walaupun sudah punya bodyguard yang bisa menjaga Kara, Anton tetap tidak mengijinkan gadis itu pergi dari rumah. Hanya tadi pagi Kara keluar rumah untuk jogging. Itu pun tanpa persetujuan dari Anton. Karena Kara tahu jika ia meminta ijin, Anton tidak akan memperbolehkannya. Kai
Grita berdecak kesal. Kaisar tidak menjawab telepon darinya, tidak seperti biasanya. "Apa Kaisar udah kerja ya? "Grita memaklumi, mungkin saja Kaisar sudah bekerja dan tidak membawa ponsel.Gadis itu sudah siap untuk pergi bekerja. Setelah sarapan roti dan susu, Grita pergi menggunakan ojek online menuju kantornya. Perusahaan tempat Grita bekerja letaknya tidak terlalu jauh dari apartementnya. Hanya memakan waktu 10 menit. Seperti biasa Grita akan tersenyum dan menyapa orang-orang di kantor. Entah ia mengenalnya atau tidak, yang terpenting adalah menjadi pribadi yang ramah. "Pagi, Ta."Perempuan berambut pendek sebahu muncul dan menyapa Grita. Itu adalah Luna, rekan kerja Grita. Grita tersenyum. "Pagi. Nanti makan siang di luar lagi ya, Lun? " Luna setuju. Mereka lalu berpisah karena ruang kerja mereka berbeda. Ruang kerja Luna ada di lantai dasar sedangkan Grita ada di lantai 3, itu artinya Grita harus menaiki lift untuk sampai di ruang kerjanya. Grita menunggu lift turun. Tiba
Kara kesepian, sungguh. Cuma dia satu satunya perempuan muda di rumah ini. Kara ingin merasakan punya banyak teman, bermain bersama, dan melakukan apapun bersama teman juga. Kara pasti punya banyak teman andaikan dia bersekolah. Ramah, murah senyum, pintar dan cantik siapa memangnya yang tidak mau berteman dengan Kara? Dia pasti menjadi primadona sekolah, andaikan saja. "Non, jangan ngelamun. Nanti kesambet setan lho!"Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja Bi Ina sudah ada di samping Kara. Mereka berada di ruang keluarga, Kara duduk di sofa sementara Bi Ina duduk di bawah. Gadis itu sudah berulang kali meminta wanita itu untuk duduk diatas, tapi Bi Ina mengatakan bahwa itu tidak pantas dilakukannya karena ia hanya seorang pembantu. "Mikirin apa, Non cantik? "tanya Bi Ina. Kara tersenyum. Ia mau menceritakan semua keluh kesahnya ke Bi Ina. Karena hanya dia lah satu-satunya orang yang bisa ia ajak mengobrol dan curhat di rumah ini."Kara bingung. Kenapa papah gak ngebolehin aku bu
Sepertinya tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain pekerjaan Kaisar. Saat Heru menawarkan pekerjaan ini kepada Kaisar, terlintas di pikirannya bahwa bekerja sebagai bodyguard identik dengan berkelahi dengan musuh, kehidupan yang gelap, serta ancaman musuh. Tapi prediksi Kaisar salah, ia dipekerjakan untuk menjadi teman bermain. Ya, teman bermain. Di satu sisi Kaisar merasa senang karena pekerjaan nya mudah tapi gajinya besar. Tapi di lain sisi ia merasa aneh dan kurang nyaman jika bermain seperti anak kecil dengan Kara. Dia sudah dewasa, 25 tahun sudah tidak cocok untuk bermain masak-masakan dan monopoli, 'kan? Bodyguard juga identik dengan jas hitam serta kacamata hitam. Tapi Kaisar hanya memakai kaos biasa. Lelaki itu tidak terlihat seperti sedang bekerja, ia nampak seperti orang biasa yang kerjaannya cuma di rumah saja. Memang dari awal Anton mengatakan padanya untuk bersikap seperti orang biasa saja atau berpura-pura menjadi bagian dari keluarganya. Alasannya adalah unt
Sudah waktunya makan malam, Kara dan Anton sudah berada di meja makan. Para pembantu menyiapkan berbagai makanan di atas meja. Berbagai lauk tersedia untuk memanjakan lidah mereka berdua. "Homeschooling kamu gimana? Lancar, kan? "tanya Anton. Kara mengangguk. "Lancar kok, ""Gimana dengan Sean?""Sean baik, dia pinter ngajarinnya,"ucap Kara. Selain pintar Sean juga baik. Ia ramah dan murah senyum, membuat siapapun merasa nyaman berada di sampingnya termasuk Kara.Anton lega, ia tak salah mencari guru private untuk anaknya. Setidaknya ia tak akan pusing-pusing mencari guru baru untuk anaknya. Anton memakan hidangan didepannya dengan lahap. Kara nampak tak selera makan, ia hanya mengaduk-aduk makanannya. Anton sadar dengan hal itu. "Kenapa, Kara? Makanannya tidak enak?"tanya Anton. Kara menggelengkan kepalanya. "Ada yang mau Kara tanyain sama Papah, ""Tanya apa?"Kara nampak ragu untuk bertanya, tapi ia sangat penasaran dengan hal yang ingin ia tanyakan ini. Kara memberanikan di
Grita tengah duduk di halte bis. Ia memilih berjalan dari kantor menuju halte untuk menaiki bis ketimbang menaiki ojek online seperti biasanya. Karena biaya naik bis lebih murah daripada naik ojek online. Grita sedang menghemat uangnya, dengan sisa uang di dompet ia berharap masih bisa bertahan hidup untuk sebulan ke depan. Walaupun sudah malam, masih ada beberapa orang yang menunggu di halte. Ya setidaknya Grita tidak menunggu bis sendiri. Ponsel Grita berbunyi, ada panggilan telefon masuk. "Halo, ibu."Terdengar sautan dari telefon. "Kak, ini Aya. "Bukan suara ibunya. Yang terdengar adalah suara remaja perempuan bernama Aya yang merupakan adik kandung Grita. "Kenapa, Ya? Tumben nelfon."Aya tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik sampai ia menjawabnya. "Ibu masuk rumah sakit, "Grita terkejut."Hah? Ibu sakit apa? "Terdengar suara Aya menghela nafas, suaranya gemetar menahan tangis. "Kanker kelenjar getah bening stadium tiga. "Lagi, Grita di buat terkejut dengan u
Pagi ini di kediaman Anton dihebohkan dengan adanya kotak hitam misterius yang tergeletak di depan gerbang. Pak Adi, selaku satpam rumah yang pertama kali menemukannya. Awalnya pak Adi pikir kotak tersebut adalah paket yang dipesan oleh orang rumah. Tapi ketika dilihat tidak ada nama pengirim dan untuk siapa paket misterius itu. Jadi pak Adi membawanya ke pos tanpa memberi tahu orang rumah terlebih dahulu. Lalu orang kedua yang mengetahuinya adalah Kaisar. Ia bersama pak Adi memeriksa kotak misterius itu. "Buka aja, Pak, "ucap Kaisar.Pak Adi menolak. "Jangan! Kita belum tau untuk siapa paket ini. ""Ya kalau gak dibuka gimana kita bisa tau buat siapa paket ini. Siapa tau ada petunjuk di dalamnya,"Pak Adi terus menolak dengan alasan takut kalau di dalam kotak itu ada bom. Alasan yang tidak masuk akal karena kotak itu sangat ringan seperti tidak ada isi di dalamnya. Bi Ina yang sedang mengantarkan sarapan kepada satpam akhirnya mengetahui keberadaan kotak misterius tersebut. Wanit
Kara dan Kaisar sudah menunggu cukup lama tapi Anton tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Kara sampai mengantuk, matanya berkali-kali terpejam namun ia paksakan untuk tetap terjaga. Kaisar menyadari itu, ia meminta Kara untuk tidur saja tetapi jawaban gadis itu tetap sama, yaitu tidak. "Nona bisa bertanya pada tuan besok. Sekarang Nona tidur saja ini sudah malam,"ucap Kaisar. Kara hendak protes tapi terpotong oleh ucapan Kaisar. "Tidak ada penolakan. Pergi sendiri atau saya antar? "ucap Kaisar tegas. Ia menatap mata Kara dalam, membuat yang ditatap langsung salah tingkah. "A-aku bi-bisa sendiri!" Kara berjalan cepat menuju kamarnya untuk mengindari lelaki ini, lebih tepatnya menghindari tatapan matanya yang sangat dalam itu. Kaisar menatap punggung kecil itu yang perlahan menghilang dibalik tembok. Setelah memastikan bahwa Kara benar-benar masuk ke kamar, Kaisar keluar dari rumah. Tidak mungkin ia menunggu Anton keluar dari ruang kerjanya dan menanyakan apa isi dari kotak miste
Setelah Kara masuk ke kamarnya, Kaisar, Vano, dan Pak Adi berdiri mengitari meja, di mana kotak hitam dan mobil mainan kecil masih tergeletak.“Kita periksa CCTV sekarang,” kata Kaisar akhirnya.Pak Adi mengangguk. “Aku setuju. Semakin cepat kita tahu siapa yang melakukannya, semakin baik.”Vano meregangkan tubuhnya, lalu menghela napas. “Baiklah, ayo ke ruang monitor.”Mereka bertiga berjalan ke ruangan kecil di sudut rumah, tempat layar-layar monitor yang menampilkan berbagai sudut rumah terpasang. Pak Erik, seorang petugas keamanan yang hanya bertugas sekali dalam seminggu itu langsung berdiri ketika mereka masuk.“Pak Adi? Ada apa?”“Kami perlu melihat rekaman dari beberapa jam terakhir. Khususnya bagian gerbang depan,” jawab Pak Adi.Pak Erik mengangguk dan segera mengakses rekaman. Kaisar dan Vano berdiri di belakangnya, menatap layar dengan fokus.01:20 AMLayar menunjukkan rekaman gerbang depan. Semuanya tampak biasa—hanya gerbang besi hitam yang kokoh, jalanan sunyi, dan lamp
Kaisar melangkah keluar, diikuti oleh Pak Adi yang berjalan dengan langkah waspada. Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, membawa aroma tanah basah yang khas setelah embun turun. Lampu-lampu di halaman depan rumah Kara menyala redup, menciptakan bayangan panjang di atas tanah berbatu.Vano masih duduk di kursi teras, kedua lengannya terlipat di dada. Ia tampak enggan bergerak, tetapi setelah mendesah panjang, akhirnya ia ikut bangkit. Langkahnya berat, seolah ia sudah bisa menebak bahwa malam ini tidak akan membawa kabar baik.Kara tetap berdiri di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya mengikuti ketiga pria itu yang berjalan menuju gerbang. Dadanya berdebar lebih cepat, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Angin berembus pelan, mengibarkan ujung rambutnya yang dibiarkan terurai. Dari sudut rumah pegawai, beberapa orang masih mengintip dari jendela, rasa ingin tahu mereka sulit dibendung. Bi Ina menyaksikan mereka dari kejauhan dengan raut wajah cemas.Ka
Pak Adi menarik tangan Kara, membawanya masuk ke dalam rumah. Dengan cekatan, ia menutup dan mengunci gerbang.Di dalam, suasana rumah terasa sepi. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka dan hembusan angin yang bergerak pelan.Kara masih berdiri disana, menatap ke luar. Kaisar dan Vano sudah menghilang dalam kegelapan. Ia menggigit bibir, berusaha menahan pikirannya agar tidak berlarian terlalu jauh.Pak Adi memperhatikannya sejenak sebelum berkata, “Non, mereka pasti baik-baik saja.”Kara menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Aku tahu.”Namun, hatinya berkata lain.Ia ingin percaya bahwa Kaisar dan Vano mampu menangani situasi ini, tetapi kotak hitam yang muncul entah dari mana, ditambah dengan sosok misterius yang mengawasi mereka dari balik semak-semak, membuat pikirannya terus bekerja.Pak Adi berjalan ke pos satpam sementara Kara masih berdiri di tempatnya, memperhatikan gerbang yang kini tertutup rapat.Hening.Lalu, terdengar suara langkah kaki.Kara refleks menoleh. Bebera
Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Kaisar, Vano, Pak Adi, dan Kara berdiri di luar gerbang rumah, mengitari sebuah kotak hitam yang entah bagaimana bisa muncul di sana tanpa ada yang melihat siapa yang membawanya. Kaisar mendekat dan memperhatikan setiap detail kotak misterius itu. Namun, sebelum ia sempat menyentuhnya, telinganya menangkap sesuatu, suara langkah kaki di atas kerikil, samar tetapi jelas.Krek… krek… krek…Kaisar langsung menegakkan tubuhnya. “Sst! Diam.”Mereka semua terdiam, menajamkan pendengaran. Suara itu datang dari balik semak-semak. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar, seperti seseorang yang sengaja bergerak dengan hati-hati.Kaisar menegakkan tubuhnya, matanya menyipit, fokus mencari sumber suara itu. Dalam sepersekian detik, ia bergerak. "Ada orang disana!" serunya, langsung berlari ke arah datangnya suara.Vano yang refleks ikut waspada langsung mengejar. “Oi, tunggu! Jangan sendirian!”Vano segera mengejar Kaisar. Namun, sebelum pergi, ia
Langit mulai berubah warna ketika matahari merayap turun di balik pepohonan. Di halaman rumah Kara yang luas, tiga pria berdiri dalam diam, menatap benda asing di hadapan mereka—sebuah kotak hitam yang muncul beberapa hari lalu.Kaisar menyilangkan tangan di dada, rahangnya mengeras. Vano berdiri di sampingnya, menggoyang-goyangkan tubuh seperti anak kecil yang tidak bisa diam, sementara Pak Adi mengusap dagunya dengan wajah penuh keraguan.“Ini sudah malam keempat,” gumam Kaisar, nadanya berat.Pak Adi mengangguk, “Dan yang bikin tambah aneh, tuan nggak pulang.”Vano menghela napas panjang lalu menendang pelan kerikil di kakinya. “Dua kemungkinan, dia kabur karena takut sama kotak ini atau dia udah tahu dan nyari siapa pelakunya?”Pak Adi menggeleng. “Saya juga ga tahu.”Kaisar menunduk, menatap kotak hitam itu. Tidak ada tanda-tanda aneh di permukaannya hanya kotak biasa tanpa tulisan, tanpa petunjuk. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang salah.“Pokoknya, kita nggak boleh lengah. Kita
Raven tidak pernah memiliki kehidupan yang mudah. Ia lahir di keluarga miskin di pinggiran kota, tumbuh di lingkungan yang keras di mana kejahatan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap sudut jalan yang ia lalui dipenuhi dengan bayangan gelap; transaksi ilegal di gang-gang sempit, suara sirene polisi yang menjadi latar belakang kesehariannya, dan bisikan ketakutan yang menyelinap di antara orang-orang yang tahu bahwa mereka hidup dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka.Ayahnya adalah seorang pecandu alkohol yang kasar, pria yang lebih sering menghabiskan waktunya di bar daripada di rumah. Ketika pulang, ia membawa serta aroma minuman keras yang menyengat dan amarah yang tak terkendali. Ibunya, sebaliknya, adalah wanita kuat yang bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya, tetapi kerja kerasnya tidak pernah cukup untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan Raven kecil menyaksikan semua itu dengan mata yang s
Malam itu, hujan turun deras di taman kota yang sepi. Lampu-lampu jalan redup, memantulkan cahaya ke genangan air di trotoar. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.Di salah satu sudut taman, di bawah pohon besar yang batangnya basah oleh air hujan, berdiri seorang pria. Ia mengenakan hoodie hitam yang sudah mulai basah, tetapi ia tidak peduli. Tudung hoodienya menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tampak seperti bayangan yang muncul dari kegelapan. Ia bukan orang sembarangan—ia adalah mata-mata Anton, seorang pria yang bekerja dalam bayang-bayang, mengumpulkan informasi. Nama aslinya sudah lama tenggelam dalam catatan sejarah. Di dunia ini, ia hanya dikenal dengan kode: Raven.Tangan kirinya berada di saku, sementara tangan kanannya memegang ponsel. Jemarinya yang panjang dan dingin menekan tombol panggil. Ia menempelkan ponsel ke telinganya, mendengar suara dering yang memecah keheningan malam.Satu kali. Dua kali. Lalu, suara di seberang menjawab
Malam itu, suasana di dalam ruangan terasa dingin, meski tak ada pendingin udara yang menyala. Lampu di langit-langit menerangi meja kayu di tengah ruangan, tempat seorang pria duduk dengan ekspresi tak terbaca. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, satu tangan menopang dagunya, sementara tatapannya lurus ke depan.Di seberang meja, seorang pria lain berdiri dengan tubuh tegap. Ia mengenakan pakaian serba hitam, tampak formal tapi tetap cukup fleksibel untuk bergerak cepat jika diperlukan. Tangan kanannya mengepal di belakang punggung, sementara tangan kirinya memegang sebuah map tipis berwarna abu-abu.“Sudah tiga hari,” kata pria yang berdiri itu.Yang duduk tidak langsung menanggapi. Ia menggeser jemarinya di atas meja, menelusuri permukaannya yang halus, sebelum akhirnya berkata, “Dan dia tidak kembali ke rumahnya sama sekali?”“Tidak.”Hening sejenak. Angin dari luar jendela berhembus pelan, menggoyangkan tirai tipis yang setengah tertutup.“Tidak ada tanda-tanda dia berada di ru
Sudah dua hari Anton tidak pulang.Bi Ina mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan, seolah menegaskan bahwa waktu terus berjalan tanpa kepastian. Di sampingnya, Pak Adi duduk dengan wajah cemas, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Tuan pergi kemana to, biasanya kalau pulang telat pasti kasih kabar,” keluh Bi Ina, suaranya terdengar lebih khawatir daripada sekadar kesal.Pak Adi menghela napas berat. “Iya, Bu. Saya juga bingung. Biasanya paling lama pulang tengah malam, atau enggak ya nelpon, bilang lagi di mana. Ini dua hari nggak ada kabar.”Mereka saling berpandangan. Keduanya sama-sama tahu bahwa Anton bukan tipe orang yang begitu saja menghilang. Meskipun ia memang sering pulang larut, tapi setidaknya ia akan memberi tahu. Tapi sekarang? Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi.Pak Adi meraih ponselnya lagi, mencoba menelepon Anton sekali lagi. Hasilnya masih sama—suara operator yang memberi tahu