"Saya Kaisar, bodyguard anda mulai sekarang, Nona Kara. "
Kara menatap lelaki di hadapannya ini. Muda, tinggi, dan berperawakan gagah.Kara akui jika ia terpesona dengan lelaki yang menjadi bodyguardnya ini.Anton memegang bahu Kara."Sesuai kan sama yang kamu mau?" Kara mengangguk. Kara memuji kecepatan Anton dalam mencari pengganti Dante yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Baru kemarin ia mengatakan keinginannya dan siang ini hal itu sudah terjadi."Kaisar juga bisa jadi teman kamu, kan? "tanya Anton sambil menoleh ke Kaisar.Kaisar mengangguk. "Tentu, Pak. "Anton lalu pergi meninggalkan Kara dan Kaisar berdua karena akan melanjutkan pekerjaannya di kantor.Suasana menjadi hening dan canggung seketika. Keduanya tidak ada yang memulai percakapan. Kara tidak suka suasana seperti ini tapi lelaki dihadapannya benar-benar membuatnya gugup."Uhm, Kaisar mau main masak-masakan gak? "***Disinilah Kara dan Kaisar berada, duduk lesehan di halaman belakang yang asri. Kara bermain masak-masakan ditemani Kaisar yang duduk tak jauh darinya. Lelaki itu mengawasi setiap pergerakan Kara. Walaupun hanya bermain tapi Kara sangat terampil dan cekatan dalam memotong bahan dan menumisnya. Peralatan memasak yang digunakannya pun berukuran sedang dan berwarna serba pink."Makanan favorit Kaisar apa? "tanya Kara tanpa melihat ke arah lelaki itu."Tidak ada."Kara menoleh ke Kaisar dengan wajah bingung. "Tidak ada? Kaisar gak suka makanan?"tanya Kara.Kaisar menggeleng. "Bukan gitu, apa aja saya suka, ".Kara ber-oh ria, Ia melanjutkan bermain.Kaisar bingung dengan majikan baru nya ini. Dia sudah remaja tapi sikapnya masih seperti anak kecil. Dari pakaian, cara bicaranya dan mainannya saja sudah membuat Kaisar terheran-heran. Awalnya ia kira anak pengusaha yang akan di jaganya adalah gadis remaja gaul yang sukanya main di mall dan berbelanja seperti umumnya perempuan lakukan. Tapi dugaannya salah, ia ditugaskan untuk menjaga remaja 16 tahun yang masih seperti anak kecil. Kaisar rasa menjaga Kara tidak sesulit itu.Kaisar melihat arloji di tangan kirinya, menunjukkan pukul 5 sore. Sudah waktunya gadis ini berhenti bermain."Nona, ini sudah sore. "ucap Kaisar lalu berdiri.Kara mendongak dan mengangguk, ia lalu membereskan mainannya dibantu oleh Kaisar. Kara berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Kaisar dibelakangnya sambil membawakan mainan gadis itu. Kara berjalan menuju kamarnya, didepan pintu kamar Kaisar menghentikan langkahnya."Ini batasan saya Nona,"Kaisar menyerahkan kotak berisi mainan ke Kara. Gadis itu mengambilnya lalu tersenyum. "Terimakasih, Kaisar, "ucap Kara. Kaisar mengangguk."Tidak masalah, Nona." Kara menutup pintu kamarnya. Kaisar membalikkan badannya lalu turun ke bawah.Setelah meletakkan mainan ke tempatnya, Kara lalu mandi. Gadis itu mandi cukup lama, 30 menitan dia di dalam kamar mandi. Kara keluar dengan memakai piyama biru lengan panjang. Ia duduk di depan meja rias lalu menyisir rambut panjangnya dan membiarkannya terurai. Tanpa memoleskan make up ke wajahnya gadis itu sudah cantik natural.Langit sudah gelap, Kara keluar dari kamar menuju ke halaman belakang. Sudah menjadi kebiasaannya setiap malam ia duduk sambil melihat langit. Seperti malam-malam sebelumnya langit kali ini penuh dengan kemerlap bintang dan bulan. Sangat cantik dan menenangkan.Kara merebahkan tubuhnya di rumput dan menatap langit. Tak lama Bi Ina datang membawakan secangkir cokelat hangat."Jangan lama-lama, Non. Nanti masuk angin, "ucap Bi Ina lalu meletakkan nampan berisi cokelat hangat di samping Kara.Kara tersenyum dan meng-iyakan ucapan wanita paruh baya yang sudah ia anggap keluarganya sendiri. Bi Ina sudah bekerja pada keluarga Anton sejak Kara kecil. Jadi baik Kara maupun Anton sudah menganggapnya keluarga.Di dapur Bi Ina menemukan Kaisar yang sedang mengawasi Kara sambil memakan sebuah apel. "Kalau jagain non Kara ya yang deket, Nak. Jangan malah jauh begini, "ucap Bi Ina."Nanti ganggu dia, Bu."Bi Ina mendekat dan menepuk punggung Kaisar pelan. "Kamu yang akrab ya sama non Kara, kasihan dia ga punya teman, "Kaisar menoleh ke Bi Ina."Dia ga punya teman?"tanya Kaisar heran.Bi Ina mengangguk lalu beralih melihat Kara yang ada diluar. Bicaranya menjadi pelan. "Non Kara dikurung di rumah dari umur 8 tahun, dia dilarang keluar. Kamu tau kan alasannya?"Kaisar mengangguk mengerti. Bi Ina melanjutkan bicaranya. "Kamu seumuran dengan abangnya Kara, anggap dia sebagai adikmu ya?,"Kaisar hanya membalas dengan anggukan. Wanita paruh baya itu lalu tersenyum tipis lalu pergi keluar dari dapur. Kaisar bingung, ia harus mendekat dan mengobrol dengan gadis itu atau hanya berdiam diri di dapur sambil memakan apel seperti ini?.Kaisar bukan tipe lelaki yang mendekati perempuan duluan, walaupun ini majikannya. Ego nya tinggi, tapi jika dia terus berdiam diri di dapur ia terus diberi tatapan aneh dan heran oleh pembantu-pembantu dirumah ini, tatapannya mengandung arti seperti ;apa yang dilakukannya di dapur? Bukannya menjalankan tugas malah sibuk memakan apel.Pikirannya berkecamuk. Kaisar mengacak rambutnya frustasi. Persetan dengan ego dan harga diri, saat bekerja ia akan menjadi Kaisar yang berbeda dengan saat dirumah.Kaisar berjalan tegap menuju Kara."Nona sedang melihat langit? "Shit, gue ngomong apa sih?Jelas-jelas dia lagi liat langit kenapa gue nanya? Kaisar lo bodoh.Kara mendongak, ia tersenyum saat melihat bahwa yang sedang berbicara dengannya adalah Kaisar. "Iya, aku tiap hari liat langit malam, "Kaisar duduk disamping Kara. Tidak terlalu dekat, masih ada jarak di antara mereka,Kaisar tahu batasannya. "Nona suka?"tanya Kaisar."Suka sekali! " Gadis itu tersenyum lebar menampilkan gigi gingsulnya. Manis sekali.Kaisar ikut menatap ke arah langit. "Diantara bulan dan bintang, Nona suka yang mana?"Kara menoleh ke Kaisar. "Dua-duanya aku suka! Aku gak bisa milih salah satu, semuanya aku suka, ". Lalu hening, Kaisar tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan. Ia kehabisan topik. Lalu ia hanya fokus menatap ke arah langit saja.Ditengah keheningan Kara mengatakan "Dulu, aku liat langit malam gak sendiri. Biasanya sama mamah kalo gak ya sama abang. Papah sibuk, jadi gak bisa nemenin aku,"Kaisar hanya diam mendengarkan ucapan Kara. "Aku tiduran di sini sambil diceritain banyak hal sama mamah. Cerita waktu dulu mamah sama papah pacaran, terus tentang masa kecil aku sama abang. Kalo pas mamah lagi cerita pasti setelah itu abang dateng sambil bawa cemilan banyak. Kita liat bulan sampe larut malem, tapi mamah ga pernah marah," Wajah gadis itu mendadak murung dan sedih. Ia tersenyum tipis."Tapi sekarang udah gak bisa lagi. Karna mamah sama abang udah di surga. Sekarang aku liat langit sendiri, "ucap Kara.Kaisar tahu apa yang dirasakan gadis itu. Raut wajahnya berubah drastis menjadi sedih.Ia takut gadis itu akan menangis dan orang-orang dirumah ini akan menyalahkannya. Kaisar menoleh ke arah Kara."Mulai sekarang liat langitnya sama saya, mau?"***Setelah mengantar Kara ke kamarnya, Kaisar juga bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat. Setelah membersihkan tubuh, Kaisar menuju ke kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Baru saja ia hendak menutup mata, ponsel nya berbunyi. Ada telepon yang masuk. "Hm? " Kaisar menjawab dengan malas. "Kamu udah selesai kerja?"Itu Grita, pacar Kaisar. "Udah," "Langsung istirahat, jangan begadang. "Kaisar membalas dengan deheman. Lelaki itu mengantuk. "Kita bisa ketemu kapan, Kai?""Ga tau. Ga ada cuti."Terdengar helaan nafas dari Grita. "Segitunya? Kamu kerja apa sih?"Kaisar memang tidak memberitahukan pekerjaannya kepada siapapun, termasuk Grita. Ia hanya mengatakan bahwa ia bekerja di luar kota. Itu saja dan Grita sudah percaya. "Ga perlu tau. Udah dulu, gue mau tidur, " ucap Kaisar malas. "Iya. Good night, Kai. " Kaisar mematikan telepon. Ia meletakkan ponsel ke atas nakas. Pikirannya masih tertuju pada ucapan tadi saat bersama Kara. Tentang ia yang mengajukan diri untuk menemani
"Abang Kai! "Kaisar menoleh ke sumber suara. Ia melihat Kara tengah tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya. Kaisar terkejut, masih tak percaya dengan ucapan Kara. "Ya, nona? ""Nanti ikut aku ke suatu tempat, mau ya?"ajak Kara. "Kemana?"tanya Kaisar. "Ada deh. Nanti juga tahu, " ucap Kara. Kaisar tidak langsung mengiyakan permintaan gadis itu. "Tuan Anton tidak mengijinkan Nona pergi keluar rumah, "ucap Kaisar tegas. Kara menghela nafas kasar. "Nanti aku bujuk papah, "ucap Kara. "Tidak bisa. Tetap di rumah, ini demi keselamatan Nona, " ucap Kaisar tegas. Ia sebisa mungkin bekerja secara profesional. Anton pernah mengatakan padanya bahwa sebisa mungkin untuk memastikan Kara untuk tetap di dalam rumah. Walaupun sudah punya bodyguard yang bisa menjaga Kara, Anton tetap tidak mengijinkan gadis itu pergi dari rumah. Hanya tadi pagi Kara keluar rumah untuk jogging. Itu pun tanpa persetujuan dari Anton. Karena Kara tahu jika ia meminta ijin, Anton tidak akan memperbolehkannya. Kai
Grita berdecak kesal. Kaisar tidak menjawab telepon darinya, tidak seperti biasanya. "Apa Kaisar udah kerja ya? "Grita memaklumi, mungkin saja Kaisar sudah bekerja dan tidak membawa ponsel.Gadis itu sudah siap untuk pergi bekerja. Setelah sarapan roti dan susu, Grita pergi menggunakan ojek online menuju kantornya. Perusahaan tempat Grita bekerja letaknya tidak terlalu jauh dari apartementnya. Hanya memakan waktu 10 menit. Seperti biasa Grita akan tersenyum dan menyapa orang-orang di kantor. Entah ia mengenalnya atau tidak, yang terpenting adalah menjadi pribadi yang ramah. "Pagi, Ta."Perempuan berambut pendek sebahu muncul dan menyapa Grita. Itu adalah Luna, rekan kerja Grita. Grita tersenyum. "Pagi. Nanti makan siang di luar lagi ya, Lun? " Luna setuju. Mereka lalu berpisah karena ruang kerja mereka berbeda. Ruang kerja Luna ada di lantai dasar sedangkan Grita ada di lantai 3, itu artinya Grita harus menaiki lift untuk sampai di ruang kerjanya. Grita menunggu lift turun. Tiba
Kara kesepian, sungguh. Cuma dia satu satunya perempuan muda di rumah ini. Kara ingin merasakan punya banyak teman, bermain bersama, dan melakukan apapun bersama teman juga. Kara pasti punya banyak teman andaikan dia bersekolah. Ramah, murah senyum, pintar dan cantik siapa memangnya yang tidak mau berteman dengan Kara? Dia pasti menjadi primadona sekolah, andaikan saja. "Non, jangan ngelamun. Nanti kesambet setan lho!"Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja Bi Ina sudah ada di samping Kara. Mereka berada di ruang keluarga, Kara duduk di sofa sementara Bi Ina duduk di bawah. Gadis itu sudah berulang kali meminta wanita itu untuk duduk diatas, tapi Bi Ina mengatakan bahwa itu tidak pantas dilakukannya karena ia hanya seorang pembantu. "Mikirin apa, Non cantik? "tanya Bi Ina. Kara tersenyum. Ia mau menceritakan semua keluh kesahnya ke Bi Ina. Karena hanya dia lah satu-satunya orang yang bisa ia ajak mengobrol dan curhat di rumah ini."Kara bingung. Kenapa papah gak ngebolehin aku bu
Sepertinya tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain pekerjaan Kaisar. Saat Heru menawarkan pekerjaan ini kepada Kaisar, terlintas di pikirannya bahwa bekerja sebagai bodyguard identik dengan berkelahi dengan musuh, kehidupan yang gelap, serta ancaman musuh. Tapi prediksi Kaisar salah, ia dipekerjakan untuk menjadi teman bermain. Ya, teman bermain. Di satu sisi Kaisar merasa senang karena pekerjaan nya mudah tapi gajinya besar. Tapi di lain sisi ia merasa aneh dan kurang nyaman jika bermain seperti anak kecil dengan Kara. Dia sudah dewasa, 25 tahun sudah tidak cocok untuk bermain masak-masakan dan monopoli, 'kan? Bodyguard juga identik dengan jas hitam serta kacamata hitam. Tapi Kaisar hanya memakai kaos biasa. Lelaki itu tidak terlihat seperti sedang bekerja, ia nampak seperti orang biasa yang kerjaannya cuma di rumah saja. Memang dari awal Anton mengatakan padanya untuk bersikap seperti orang biasa saja atau berpura-pura menjadi bagian dari keluarganya. Alasannya adalah unt
Sudah waktunya makan malam, Kara dan Anton sudah berada di meja makan. Para pembantu menyiapkan berbagai makanan di atas meja. Berbagai lauk tersedia untuk memanjakan lidah mereka berdua. "Homeschooling kamu gimana? Lancar, kan? "tanya Anton. Kara mengangguk. "Lancar kok, ""Gimana dengan Sean?""Sean baik, dia pinter ngajarinnya,"ucap Kara. Selain pintar Sean juga baik. Ia ramah dan murah senyum, membuat siapapun merasa nyaman berada di sampingnya termasuk Kara.Anton lega, ia tak salah mencari guru private untuk anaknya. Setidaknya ia tak akan pusing-pusing mencari guru baru untuk anaknya. Anton memakan hidangan didepannya dengan lahap. Kara nampak tak selera makan, ia hanya mengaduk-aduk makanannya. Anton sadar dengan hal itu. "Kenapa, Kara? Makanannya tidak enak?"tanya Anton. Kara menggelengkan kepalanya. "Ada yang mau Kara tanyain sama Papah, ""Tanya apa?"Kara nampak ragu untuk bertanya, tapi ia sangat penasaran dengan hal yang ingin ia tanyakan ini. Kara memberanikan di
Grita tengah duduk di halte bis. Ia memilih berjalan dari kantor menuju halte untuk menaiki bis ketimbang menaiki ojek online seperti biasanya. Karena biaya naik bis lebih murah daripada naik ojek online. Grita sedang menghemat uangnya, dengan sisa uang di dompet ia berharap masih bisa bertahan hidup untuk sebulan ke depan. Walaupun sudah malam, masih ada beberapa orang yang menunggu di halte. Ya setidaknya Grita tidak menunggu bis sendiri. Ponsel Grita berbunyi, ada panggilan telefon masuk. "Halo, ibu."Terdengar sautan dari telefon. "Kak, ini Aya. "Bukan suara ibunya. Yang terdengar adalah suara remaja perempuan bernama Aya yang merupakan adik kandung Grita. "Kenapa, Ya? Tumben nelfon."Aya tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik sampai ia menjawabnya. "Ibu masuk rumah sakit, "Grita terkejut."Hah? Ibu sakit apa? "Terdengar suara Aya menghela nafas, suaranya gemetar menahan tangis. "Kanker kelenjar getah bening stadium tiga. "Lagi, Grita di buat terkejut dengan u
Pagi ini di kediaman Anton dihebohkan dengan adanya kotak hitam misterius yang tergeletak di depan gerbang. Pak Adi, selaku satpam rumah yang pertama kali menemukannya. Awalnya pak Adi pikir kotak tersebut adalah paket yang dipesan oleh orang rumah. Tapi ketika dilihat tidak ada nama pengirim dan untuk siapa paket misterius itu. Jadi pak Adi membawanya ke pos tanpa memberi tahu orang rumah terlebih dahulu. Lalu orang kedua yang mengetahuinya adalah Kaisar. Ia bersama pak Adi memeriksa kotak misterius itu. "Buka aja, Pak, "ucap Kaisar.Pak Adi menolak. "Jangan! Kita belum tau untuk siapa paket ini. ""Ya kalau gak dibuka gimana kita bisa tau buat siapa paket ini. Siapa tau ada petunjuk di dalamnya,"Pak Adi terus menolak dengan alasan takut kalau di dalam kotak itu ada bom. Alasan yang tidak masuk akal karena kotak itu sangat ringan seperti tidak ada isi di dalamnya. Bi Ina yang sedang mengantarkan sarapan kepada satpam akhirnya mengetahui keberadaan kotak misterius tersebut. Wanit
"Iya, dia kekasihku."Baik Kara maupun Pak Adi sama-sama terdiam, sedang mencerna ucapan Kaisar. Kara mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menatap pria dihadapannya lalu tersenyum sinis. Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. "Pantas saja. Kalian bekerja sama untuk menghancurkan keluarga ku?" sinis Kara.Kaisar menggelengkan kepalanya, "Tidak, sama sekali tidak."Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. Tapi lelaki itu masih terdiam seolah enggan untuk berucap atau menjelaskan barang sepatah kata pun."Kau ingin aku percaya? Setelah semua ini?" Kara tertawa kecil, penuh sindiran. "Kekasihmu itu wanita yang mendekati ayahku dan tiba-tiba saja muncul di sekelilingku? Jangan bilang ini semua kebetulan."Kaisar tetap berdiri tegak, meski sorot matanya menunjukkan kegelisahan, mereka sedang mencurigainya saat ini. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku tidak pernah berkhianat padamu atau keluar
Grita telah benar-benar menghilang dari pandangan Kara. Gadis itu menghela napas kasar, emosinya masih menggebu-gebu. Dua pria yang berdiri di belakangnya tetap terdiam, seakan menimbang kata-kata mereka dengan hati-hati setelah menyaksikan perubahan sikap Kara yang begitu drastis barusan."Siapa yang membiarkan wanita itu masuk?" tanya Kara dengan nada dingin, tatapannya tetap lurus ke depan, tidak sekalipun melirik ke belakang.Pak Adi dan Kaisar saling berpandangan, seolah melempar tanggung jawab satu sama lain. Pak Adi menatap Kaisar dengan isyarat halus, mendorongnya untuk berbicara sebelum amarah Kara semakin memuncak.Namun, Kaisar tetap diam.Pak Adi menghela napas berat. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin menggantung di udara."Maaf, Non. Ini salah Pak Ad—""Saya."Sebuah suara tiba-tiba memotong, membuat Pak Adi terhenti di tengah kalimatnya."Saya yang mengizinkan dia masuk."Kara berbalik cepat, langkahnya mantap saat ia mendekat ke Kaisar. Sorot matanya tajam, penu
Sean kembali mengetukkan jemarinya ke kemudi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia mencoba sekali lagi, menekan tombol di alat komunikasinya, berharap ada suara yang menyambutnya di sisi lain. Tapi tetap saja, hanya ada kesunyian yang mengganggu.Ia menghela napas, menatap rumah besar itu dengan mata tajam. Tidak ada tanda-tanda Grita keluar, dan itu membuatnya semakin tidak tenang. Seharusnya, ia bisa mendengar setidaknya suara langkah kaki atau suara samar dari dalam rumah. Tapi sekarang? Tidak ada apa-apa."Brengsek," gumamnya.Sean mengamati alat komunikasinya dengan saksama. Tidak ada indikasi bahwa alat itu mati total, tapi juga tidak menangkap sinyal apa pun. Seakan ada sesuatu yang menghalangi transmisi antara dirinya dan Grita.Matanya beralih ke atas rumah. Mungkinkah ada sistem penghalang sinyal di tempat ini? Anton bukan orang sembarangan, dan jika rumah ini memang memiliki perlindungan khusus, tidak aneh jika alat komunikasi biasa seperti miliknya menjadi tidak bergun
Sean mengetuk-ngetukkan jarinya ke kemudi, matanya tak lepas dari sosok Grita yang masih berdiri di depan pintu rumah besar itu. Sudah hampir sepuluh menit sejak ia masuk, dan bukannya segera melanjutkan rencana mereka, perempuan itu justru larut dalam percakapan dengan seorang pria bernama Kaisar, kalau dia tidak salah ingat.“Harusnya dia sudah bergerak ke dalam,” gumam Sean pelan.Dari balik kaca mobil yang sedikit tertutup embun, ia tida bisa melihat ekspresi Grita karena ia membelakangi nya dan jarak terlalu jauh. Sementara Kaisar, pria itu berdiri dengan sikap yang lebih kaku, tapi tatapannya seakan berusaha membaca sesuatu dari mata Grita.Sean mengerutkan kening. Apa mereka memiliki hubungan? Dia tahu Grita tidak punya riwayat di tempat ini, tapi ia juga tidak menduga ada orang yang bisa membuatnya bertahan selama itu hanya untuk berbicara. Apa dia sedang merayu Kaisar agar lebih mudah mendapatkan informasi? Atau ini sesuatu yang lebih pribadi?Sean mengernyit heran kenapa ala
Suasana pagi masih sepi ketika Grita dan Sean melaju dengan mobil hitam tanpa plat menuju rumah Anton. Jalanan yang mereka lalui masih basah akibat hujan semalam, menciptakan pantulan samar dari lampu jalan yang belum sepenuhnya padam. Embun masih menyelimuti dedaunan di pinggir trotoar, dan hanya sesekali ada kendaraan lain yang melintas.Di dalam mobil, Sean duduk di kursi kemudi dengan santai, tapi matanya penuh waspada. Tangannya yang bersarung kulit menggenggam setir dengan ringan, namun sorot matanya memperhatikan setiap detail di sekitar mereka. Grita duduk di sebelahnya, mengenakan pakaian sederhana yang membuatnya tampak seperti warga biasa yang hendak berkunjung ke suatu tempat. Namun, di balik penampilannya yang biasa itu, ada ketegangan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang tahu tujuan sebenarnya.Grita menyandarkan punggungnya ke kursi, menutup matanya sejenak. "Lo yakin ini bakal berhasil?""Gue ga pernah ragu. Gue tau ini pertama kali lo lakuin hal begini, waj
Dari jendela gedung tua yang hampir seluruh kacanya buram oleh debu, Grita bisa melihat lampu-lampu kota menyala redup, menandakan hari sudah semakin larut. Dia duduk di kursi kayu yang sudah usang, salah satu kakinya terangkat ke atas sandaran kursi, sementara sebelah tangannya bermain-main dengan korek api. Api kecil menyala dan padam berulang kali di antara jarinya, menciptakan cahaya yang sesekali menyorot wajahnya.Di depannya, pria yang menjadi partnernya duduk bersandar di kursinya, tangannya menyilang di dada. Dodi keluar dari ruangan dan membiarkan mereka berdua menyusun rencana. Tatapan partner Grita tak lepas dari beberapa lembar kertas yang tersebar di meja, rumah Anton, foto beberapa sudut penting, dan catatan kecil yang ditulis dengan tergesa-gesa.“Jadi, lo mau masuk lewat mana?” tanyanya akhirnya, tanpa mengalihkan pandangan dari peta.Grita menghentikan permainan koreknya, menutupnya dengan bunyi kecil yang nyaring di ruangan sunyi itu. “Gue masuk lewat gerbang depan.
Pagi itu matahari nampaknya akan bersinar cerah, tapi kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena jumlah pegawai berkurang, tapi karena satu orang yang seharusnya duduk di ruangan utama tidak kunjung muncul, Anton.Grita sudah sampai di kantor sejak pukul 07:30, berharap menemukan Anton sudah ada di ruangannya seperti biasa. Namun, meja kerjanya kosong. Ia menunggu hingga pukul 08:00. Lalu 09:00. Hingga akhirnya, waktu menunjukkan pukul 11:00.Tidak ada tanda-tanda Anton akan masuk. Tidak ada panggilan darinya. Tidak ada pesan.Ponselnya mati.Grita sebagai sekretaris pribadinya tidak tahu di mana keberadaan bos mereka.Saat jam makan siang, Grita memilih menuju cafe depan kantor sendirian menikmati segelas kopi dingin. Ia membuka ponselnya dan mengirimkan pesan kepada seseorang.Tak lama kemudian balasan muncul.'Apa yang terjadi?'Balasan pesan dari Dodi. Grita memilih menceritakan semua yang terjadi pada Anton beberapa hari ini, tentang sifatnya yang sedikit berubah hingg
Mobil hitam itu melaju kencang, meninggalkan perumahan mewah di kejauhan. Lampu-lampu kota berkelebat melewati jendela, menciptakan bayangan samar di wajah penyusup yang masih berusaha menormalkan napasnya. Sementara itu, pengemudi tetap fokus di jalan, tak mengucapkan sepatah kata pun.Tak butuh waktu lama sebelum mereka tiba di sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Dari luar, tempat itu tampak seperti gudang terbengkalai, tetapi di dalamnya ada aktivitas yang jauh dari kata kosong. Beberapa orang berseliweran di antara tumpukan peti kayu dan meja-meja serta senjata di atasnya.Begitu mereka masuk, suasana langsung berubah. Semua mata tertuju pada si pengirim kotak yang baru saja kembali."Bos sudah menunggu," ucap seseorang, menepuk bahunya.Tanpa bicara, pria ini berjalan melewati lorong sempit, menuju sebuah ruangan dengan lampu redup. Di dalam, duduk seorang pria paruh baya dengan jas hitam, Dodi. Tatapannya tajam, dan ada secangkir kopi yang masih mengepul di mejanya. Disini Do
Malam telah larut. Langit gelap pekat tanpa bintang, hanya diterangi rembulan yang menggantung samar di kejauhan. Udara dingin menyelinap di antara celah-celah bangunan, membawa kesunyian yang sesekali dipecah oleh suara hembusan angin malam. Kota nyaris tertidur, hanya menyisakan beberapa lampu jalan yang berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang sepi.Di salah satu sudut kota, tepatnya kompleks perumahan mewah berdiri dengan megah, dikelilingi tembok tinggi yang seolah menjadi batas antara dunia luar dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Tidak ada suara selain gemerisik dedaunan yang terbawa angin, hingga langkah kaki yang berlari cepat memecah keheningan.Sosok itu berlari secepat mungkin, napasnya memburu di udara malam yang dingin. Langkahnya ringan tapi tergesa, menyeberangi jalann gelap sebelum tiba di tembok tinggi yang membatasi perumahan itu dengan dunia luar.Tanpa ragu, ia meraih tonjolan kecil di tembok dan mulai memanjat. Jari-jarinya bergerak cek